Di Kamar Asa

“Abang.”

Samar-samar Levi mendengar suara seseorang memanggilnya. Ia baru saja jatuh terlelap dan sudah ada yang membangunkannya. Sudah tentu ia akan sulit untuk tidur kembali sampai pagi menjelang.

“Bang Levi, kangen istri nggak?”

Levi langsung membuka mata saat mendengar kalimat itu. Ia mengerjap beberapa kali. Berusaha menangkap bayangan sosok yang membangunkannya dengan kasar.

Tubuhnya kembali diguncang beberapa kali. Membuat Levi berdecak kesal sambil menggerutu.

“Heh, nggak kangen sama istrinya apa?”

“Kamu bukan istriku.”

Mikasa langsung menimpuk wajah abangnya dengan bantal, “Ya emang bukan!”

“Terus ngapain nanya kayak gitu? Ganggu orang tidur aja.”

Saat Levi hendak berbalik untuk kembali tidur, Mikasa segera mengambil bantal dan selimutnya.

“Sana pindah kamarku. Kak Hanji udah tidur,” Mikasa menarik lengan abangnya agar ia bangkit dan pindah ke kamar satunya.

Levi menepis tangan sang adik dan berusaha mengambil kembali bantalnya.

“Balikin bantal Abang.”

“Nggak mau.”

Levi berdecak sekali lagi.

“Kamu bayangin misalnya kamu marah sama orang, terus tiba-tiba orang itu tidur di samping kamu. Bukannya kamu seneng malah makin marah kan?”

“Ya siapa juga yang bakal tidur sama aku? Udah, nggak usah nyuruh orang berkhayal malem-malem gini. Sana cepet pindah. Aku ngantuk tau.”

Meski sambil menggerutu, Levi tetap bangkit turun dari ranjang. Ia merebut kembali bantal dan selimutnya dari Mikasa. Kemudian pergi menuju kamar sang adik.

Begitu membuka kamar Mikasa, Levi langsung mengerti kenapa adiknya sampai mau bertukar kamar dengannya. Padahal biasanya membolehkan masuk saja tidak.

“Itu tidur apa atraksi sih?”

Levi meletakkan barang bawaannya di atas kursi. Ia harus membenarkan posisi tidur Hanji yang melintang menguasai hampir seluruh bagian kasur. Mikasa pasti meminta bertukar kamar karena ia tidak diberi tempat untuk tidur. Bukan karena ia peduli soal pasangan suami istri yang berpisah ranjang.

Hanji melenguh kecil kala Levi selesai membenahi posisinya. Ia menyadari jika tubuhnya diangkat oleh seseorang.

Pria bersurai hitam itu tidak banyak bicara. Meski tahu Hanji terbangun, ia tetap langsung berbaring dan mengenakan selimutnya.

“Bagi selimutnya dong, Sa. Dingin.”

Ternyata Hanji tidak sadar kalau yang di sebelahnya bukan Mikasa. Mungkin dia cuma lihat dari rambutnya saja sehingga tidak tahu kalau itu Levi.

Levi melebarkan selimutnya. Menutupi tubuh Hanji dengan kain tebal itu. Kemudian ia berhenti sejenak untuk menatap wajah sang istri yang terpejam.

Kalau dilihat-lihat, tidak heran jika Mikasa menuduhnya menikahi Hanji hanya untuk memperbaiki keturunan.

“Kak Hanji itu tinggi, hidungnya mancung, bulu matanya lentik, rambutnya bagus, pinter lagi. Abang pake pelet apaan biar Kak Han mau sama cowok pendek dekil kayak Abang? Sengaja banget ini pasti mau memperbaiki keturunan doang kan?”

Kala itu Levi langsung menghantam Mikasa dengan bantal sofa. Tidak terima dengan tuduhan yang tidak-tidak. Ia tidak tahu saja kalau Hanji yang pertama kali mengajaknya kencan. Harusnya tanyakan saja padanya kenapa malah memilih pria dari kalangan biasa yang tidak punya apa-apa.

Levi tersenyum mengingat semua itu. Diusapnya pelan pelipis Hanji. Membenarkan helai-helai rambut yang tergerai berantakan. Ia mendaratkan sebuah kecupan di dahi sebelum kembali berbaring di samping sang puan.

“Engh siapa sih cium-cium? Najong banget,” protes Hanji sambil mengusap-usap dahinya.

Ia membuka matanya sedikit. Berusaha mengetahui sosok yang ada di sampingnya. Saat menyadari kehadiran Levi di sampingnya, Hanji langsung terperanjat.

“Levi ngapain di sini?” Seru Hanji yang terduduk seketika.

Levi tidak paham kenapa Hanji begitu kaget saat melihatnya. Apakah ia sedang mengigau? Atau memang tidak suka dengan keberadaannya?

“Aku kan suamimu,” jawab Levi sekenanya. Ia menarik sedikit lengan Hanji agar kembali berbaring.

Seakan kembali pada kenyataan, Hanji langsung menurut dan merebahkan diri kembali.

“Perasaan tadi di sebelahku Mikasa, deh.”

“Mana ada. Kamu tidur korupsi kasur gitu. Dia jadi minta tukeran sama aku.”

“Oh, berarti kita tukeran kamar ya?” Hanji terkekeh kecil mengetahui hal itu. Padahal ia berniat tidak tidur dengan Levi, tapi ujungnya malah begini.

“Han.”

“Hm?”

“Masih marah?”

Hanji tak langsung menjawab. Ia berbalik sedikit agar dapat menatap mata sang pria, “Menurutmu?”

Levi menggeleng, “Kalau masih marah, pasti kamu diem doang.”

“Kalo udah tau kenapa harus nanya sih?”

“Ya mau mastiin aja.”

Mendengar itu Hanji langsung merengut dan berbalik memunggungi Levi.

“Udah, jangan sok-sok ngambek gitu. Aku nggak bakal ngerayu kamu soalnya.”

“Nggak ada yang minta dirayu juga.”

“Bohong. Kamu mau dipeluk kan?” bisik Levi sembari merapatkan tubuh pada punggung Hanji. Ia melingkarkan sebelah tangan ke perut Hanji. Membawanya untuk semakin mendekat.

“Levi jangan aneh-aneh, ih. Ini kamar Asa.”

“Apa yang aneh-aneh? Lebay kamu.”

“Tapi kamu mepet-mepet gitu. Kayak lagi merencanakan yang iya-iya.”

Sepertinya jam-jam tengah malam memang bisa membuat otak manusia sedikit bergeser. Levi pun menyentil daun telinga Hanji. Berharap kewarasannya kembali.

“Biasanya kamu juga peluk-peluk kalo mau tidur.”

“Itu kan aku. Kamu mah beda kasus. Biasanya kalo udah peluk-peluk pasti ada maksud terselubung.”

Sekali lagi Levi menyentil telinga Hanji, “Jangan dibahas kalo nggak mau kejadian, Hanji.”

Hanji mengomel karena sentilan Levi terlalu keras. Ia mengusap-usap telinganya yang terasa sakit. Apakah ini balasan karena tadi ia mencubit pipi Mikasa?

Lelah dengan keributan kecil itu, Levi menghela napas panjang. Ia mengusap telinga Hanji dan mengecupnya sekilas.

“Udah sana tidur lagi,” ujar Levi sebelum berbalik dan tidur memunggungi sang istri.

Seperti kata Levi, Hanji lah yang akhirnya merapat pada Levi untuk memeluknya dari belakang.[]