Keju(tan)!

“Langsung ke rumahku aja gapapa, Ko. Daripada mondar-mandir. Satu gang lumayan loh kalo jalan kaki.”

Falco cuma iya-iya aja. Padahal dia sudah tahu kalau harus langsung turun di rumah Gabi.

“Bayarnya berapa-beraoa, Ko?”

“Udah dibayar.”

“Loh kok udah dibayar? Pake apaan?”

“Teknologi lah. Sekarang jamannya uang virtual.”

“Loh, make uangmu kan itu berarti? Jangan gitu lah, Ko. Nanti aku ganti setengahnya ya? Biar bayarnya berdua.”

Sampai di depan rumah Gabi, mereka masih sibuk soal bayaran taksi online. Pas masuk ke ruang tamu, barulah Gabi mulai diem. Soalnya rumah dia sepi banget kayak nggak ada orang.

“Jangan-jangan Ayah nyuruh pulang, tapi sendirinya ga ada di rumah?” ujar Gabi curiga, “tapi ga mungkin deng. Orang pintunya aja ga kekunci.”

Gabi menyalakan lampu ruang tamu. Ia meletakkan tas di sofa dan mulai mencari keberadaan seseorang di rumahnya.

“Mana ini yang tadi nawarin keju? Jangan-jangan aku emang ditipu.”

Gadis bersurai cokelat itu sibuk memeriksa meja makan. Ia juga membuka kulkas untuk mencari makanan apa yang kira-kira disebut keju oleh sang ayah.

“Mana sih? Gaada yang berbau keju sama sekali. Kesel banget dikerjain gini.”

Gabi menutup pintu kulkas dengan kesal. Ia berniat mengajak Falco beli makan di luar saja, tapi tiba-tiba lampu ruang makan dinyalakan.

“Kejutan!”

Gabi segera berbalik ke arah sumber suara. Dari arah dapur, ia melihat sang ayah bersama tantenya dan juga Falco. Levi yang berdiri di tengah membawa kue ulang tahun di tangannya. Sedangkan gadis di sampingnya membawa sebuah kotak besar yang dihias dengan pita.

“Teh Asa? Kapan ke sininya?”

Mikasa tersenyum dan menjawab, “Kan kejutan. Baru tadi sore aku nyampe sini.”

“Teteh teteh. Dia tante kamu Manggilnya yang bener dong.”

“Ayah sewot mulu sih. Teh Asa nya juga ga keberatan dipanggil kayak gitu. Iya kan, Teh?”

“Udah lah. Bapak anak berantem mulu. Nggak malu apa ini ada temennya Gabi?” sela Mikasa menengahi pertikaian dua orang itu.

Setelah semuanya duduk di meja makan, Gabi pun diminta untuk segera meniup lilin. Ia pun mengucap sebuah harapan dan segera meniup lilin angka 15 itu. Falco dan Mikasa bertepuk tangan. Sedangkan Levi mengulurkan bungkusan besar yang tadi dibawa Mikasa.

“Ini buat kamu.”

“Kado?”

“Kalo ga mau buat Falco aja gapapa,” Levi yang tadi mengulurkan hadiah ke arah Gabi langsung mengalihkan arah tangannya pada Falco.

“Ih, siapa yang bilang ga mau sih? Sini mana kadonya!”

Falco hanya bisa tersenyum melihat tingkah ayah anak itu.

“Ini dari Teh Asa?” tanya Gabi sambil memperhatikan kotak ungu yang lumayan besar itu.

Mikasa menggeleng, “Dari ayahmu itu.”

Gabi hanya ber'oh' kecil. Ia sebenarnya agak penasaran hadiah macam apa yang ada dalam kotak sebesar itu. Ukurannya besar, tapi tidak terlalu berat. Apa itu boneka? Nggak mungkin kan kalau isinya segepok uang kertas? Ayahnya kan pelit.

“Ini apa ya isinya?” Gabi mengobok-obok kotak hadiah itu, “bukan bom kan, Yah?”

“Banyak omong kamu.”

“Coba dibuka aja, Bi. Biar tahu apa isinya,” usul Falco yang langsung dituruti oleh Gabi.

Setelah membuka pita dan tutup kotaknya, Gabi langsung ternganga. Matanya membulat melihat apa yang ada di dalam kotak.

Sebuah tas ransel dengan model incarannya ada di depan mata.

“Ayah beliin ini?”

Levi mengangguk samar.

“Ihh, kok Ayah tau tas yang aku mau? Ayah bisa baca pikiran aku apa gimana?” ujar Gabi sambil mengangkat-angkat tas baru yang diberikan Levi.

“Nggak perlu bisa baca pikiran. Kamu oas diajak ke mall ngeliatin tas itu kayak maling lagi menentukan strategi nyolong. Gimana Ayah gatau apa yang kamu pengen coba?”

Gabi kembali heboh sendiri. Ia bangkit dan menghampiri sang ayah. Memeluknya tanpa permisi dan mengecup pipinya sekilas.

“Makasih banyak, Ayah! Emang Ayah yang terbaik deh!”

“Jauh-jauh dari Ayah. Kamu belum mandi!”

Mikasa dan Falco terkekeh melihat interaksi mereka. Gabi pun tersungut-sungut dan kembali ke kursinya.

“Oh iya,” Gabi teringat sesuatu, “katanya ada keju? Tapi ini kuenya aja stroberi bukan keju. Mana kejunya?”

Levi menunjuk kue ulang tahun dan hadiah yang dipegang Gabi, “Ini semua keju kan? Kejutan.”

“Haduh, bapak-bapak suka mengada-ada bahasa baru,” gumam Gabi tak habis pikir. Dia sedikit kecewa karena tidak ada kue keju seperti yang ia bayangkan. Namun mendapat kejutan seperti itu, rasanya jauh lebih baik daripada sekadar makanan yang terbuat dari keju.

“Eh, berarti Falco udah tahu kalau Ayah mau ngasih kejutan? Kok dia tadi langsung gabung bareng Ayah sama Teh Asa?”

Levi hanya mengedikkan bahu.

“Iya. Yang bayarin taksi onlen juga Om Levi kan tadi.”

“Astagaa, Ayah benar-benar merencanakan semua ini ya? Mau peluk lagi nggak, Yah?”

Levi hanya mendecih. Ia tidak suka disentuh oleh Gabi yang belum mandi. Apalagi jika dipeluk. Mikasa dan Falco kembali tertawa melihat tingkah mereka.

Tak dapat dipungkiri, Gabi senang mendapat kejutan di hari ulang tahunnya. Selama ini sang ayah tidak pernah merayakan ulang tahun dengan sebuah kue dan hadiah. Biasanya mereka hanya akan makan malam bersama dan membaca doa.

Hari itu, ia mendapat kue ulang tahun dan sebuah kado. Bahkan sahabatnya pun juga diundang untuk ikut makan malam bersama. Ini ulang tahun yang sangat istimewa bagi Gabi.

“Makasih banyak ya, Yah,” ungkap Gabi dengan sebuah senyuman.

“Asal kamu nggak boros lagi abis ini.”

“Boros apanya sih? Aku aja nggak beli apa-apa di mall!”

Yah, perdebatan antara ayah dan anak itu sepertinya mustahil untuk diakhiri begitu saja.[]

”“END**