Penutup

“HAH?!”

Masih dengan teriakan yang sama, Mikasa berlari ke luar kamar. Berharap menemukan abangnya sedang duduk di ruang tamu atau menyeduh teh di meja makan. Sayangnya tak ada siapapun.

“Abang beneran? Aku lagi nunggu hasil SBMPTN ya jam 2 nanti. Jangan bikin kepikiran yang nggak-nggak!” Seru Mikasa tanpa memikirkan batas kesopanan.

“Berisik. Suara kamu bisa kedengaran sampe ujung gang tau,” omel Levi yang baru keluar dari kamar.

Di belakangnya, Hanji mengikuti dengan wajah yang berseri. Kalau sudah seperti itu, tidak mungkin lagi kalau tidak nyata.

“Abang beneran mau punya anak?”

Levi mengiyakan dengan singkat. Ia berniat duduk di sofa dan mengajak Mikasa ikut berdiskusi soal ini. Sampai akhirnya Mikasa malah bertanya kembali.

“Lah, kapan bikinnya coba?”

Wajah Hanji memerah bukan main. Levi langsung meraih bantal sofa dan melempar tepat ke wajah adiknya. Kenapa dia jadi tidak mengerti sopan santun, sih?

“Heh aku salah apa kok dilempar bantal?”

“Pergi masuk ke kamar dan pikirin di mana salahmu!”

Buset, ini bapak-bapak galak amat.


Lolos di pilihan pertama tidak akan membuat bahagia jika kondisimu seperti Mikasa.

Abangnya akan segera punya bayi dan ia malah mau masuk kuliah kedokteran. Bagaimana bisa bahagia? Memikirkan berapa banyak uang yang harus dikeluarkan juga sudah membuatnya pusing.

“Asa? Kenapa nangis?” tanya Hanji saat mengecek kondisi adiknya di kamar.

“Kalau nggak keterima kan masih ada tahun depan. Atau mau cari swasta yang murah juga gapapa. Kita omongin lagi bareng Levi.”

“Aku keterima, Kak.”

“Loh, alhamdulilah dong. Tapi kamu kok nangisnya kayak sedih gitu? Keterima pilihan berapa emang?”

“Pertama.”

“Oh...”

Sekarang Hanji tahu kenapa Mikasa terlihat sedih meski lolos SBMPTN.

“Kak Han, kalo aku ga kuliah tahun ini juga gapapa kok. Aku ikut persiapan buat ambil beasiswa aja tahun depan.”

“Heh, ngaco. Kita omongin dulu sama Levi. Keterima kedokteran nggak gampang loh. Masa kamu lepasin gitu aja?”

“Tapi kan...”

“Makanya, ayo kita omongin dulu sama Levi.”

Mereka pergi ke meja makan untuk bicara. Levi menyeduh teh hangat dan menyuguhkan biskuit. Ketiganya membicarakan banyak hal sore itu.

Sepanjang pembicaraan, Mikasa dipenuhi derai air mata. Dia tidak sanggup membayangkan berapa banyak uang yang Levi keluarkan jika dirinya sekolah kedokteran.

“Itu mahal banget Abang. Nanti kan Abang punya bayi. Harus beli perlengkapan ini itu. Biaya rumah sakit pas melahirkan. Itu kan nggak murah, Bang.”

“Ya emang nggak murah,” Levi tidak menyangkal.

“Tuh, kan. Abang juga bilang gitu.”

“Tapi ada BPJS,” tambah Hanji.

“Kalo nggak di-cover semuanya gimana?”

“Itu urusan Abang. Bukan urusan kamu.”

“Tapi kan...”

“Udah sekarang gini aja,” Hanji menyela kalimat Mikasa, “kamu masih mau kuliah kedokteran apa nggak?”

“Dia mau.”

“Aku nanya ke Asa, Levi.”

Gadis bersurai pendek itu mengangguk samar. Ia masih ingin meraih mimpi masa kecilnya. Meski di sisi lain, ia tidak ingin membebani abangnya dengan biaya kuliah yang tinggi.

“Yaudah. Ambil aja kalo emang kamu mau. Nanti urusan biaya semester depan atau gimananya bisa kita pikirin lagi. Kalo yang semester ini kan udah disiapin sama Levi.”

Levi turut mengamini. Jujur ia agak terkejut saat Mikasa bilang tidak mau mengambil kuliah kedokteran yang ia dapat. Berbulan-bulan Levi menabung, menghemat pengeluaran. Mencari sumber penghasilan lain dengan mengambil proyek kecil di luar pekerjaan utamanya. Ia merasa tidak dihargai jika Mikasa mundur hanya karena alasan biaya.

“Sambil kuliah, nanti kamu bisa nyari-nyari beasiswa kalo kamu mau. Kakak dulu pas S1 juga baru dapet beasiswa pas di tengah-tengah kuliah kok.”

Mikasa menjawab dengan anggukan. Ia menghapus sisa-sisa air matanya. Berusaha menguatkan tekad untuk tetap mengambil kuliah kedokteran.

Di tengah keheningan, Levi meraih sebelah tangan Hanji dan Mikasa. Menyatukan keduanya dan menangkupkan tangan di atasnya.

“Terima kasih udah jadi bagian dari hidupku.”

Mikasa yang baru mengakhiri tangis kembali meneteskan air mata. Di sampingnya, Hanji bersusah payah agar tidak ikut terisak.

“Kita bisa melalui ini bersama.”

Hanji dan Mikasa mengangguk. Turut meyakinkan diri masing-masing kalau mereka akan terus berjuang bersama.

“Asalkan kita hemat dan rajin makan sayur tiap hari.”

“NGGAK!” seru Hanji dan Mikasa serempak. Bersamaan menarik tangan dari genggaman Levi.

“Please, jangan sayur,” rengek Mikasa memelas.

“Gapapa sih, tapi jangan setiap hari,” tambah Hanji kemudian.

“Kalian ini gimana? Kalo mau sehat dan hemat ya makan sayur dong. Sayur kan macem-macem. Ada kangkung, bayem, sawi, daun singkong, sayur asem, sayur sop. Heh, kenapa malah pergi?”

Levi menarik istri dan adiknya untuk kembali duduk mengitari meja makan.

“Aku serius, Han. Kamu butuh asupan bergizi buat si kecil,” ujar Levi sambil mengusap lembut perut Hanji.

“Asa juga biar pinter jangan makan mi instan mulu.”

“Aku nggak makan mi instan mulu, Bang. Jarang!”

Tetap saja Levi memutuskan kalau mereka harus memulai hidup sehat dan rajin makan sayur.

“Levi, tapi protein juga penting loh,” Hanji mengingatkan.

“Ya siapa yang bilang nggak penting? Pokoknya selama liburan, kalian harus belajar masak. Besok Hanji sama Asa ikut Abang ke pasar biar tau caranya belanja.”

“Kalo aku gajadi masuk kedokteran tetep harus belajar belanja sama masak, Bang?”

“Iyalah. Ini keterampilan bertahan hidup. Semua orang harus bisa.”

Begitulah keputusannya. Bersama-sama mereka bersiap menyambut kehadiran sosok mungil di antara mereka. Membatu Mikasa mempersiapkan orientasi mahasiswa baru. Dan tidak lupa belajar memasak makanan sehat setiap harinya.

Hidup akan terus berjalan. Tidak ada akhir bagi perjuangan mereka. Namun setidaknya, mereka memiliki satu sama lain untuk melaluinya bersama.[]

—END—