Saat ini Nata tengah berada di sebuah ruangan dengan rangkaian bunga kecil di setiap ujung sofa. Ruang itu cukup besar, tapi tampak kecil baginya. Meskipun tempat yang terang dan sederhana itu dimaksudkan untuk dianggap sebagai tempat yang ramah, dia melihatnya aneh. Duduk di sana, diam beberapa saat, lalu mulai berbicara. Suaranya lemah.

Saat Nata berbicara, seorang wanita dewasa yang duduk didepannya dengan buku catatan ditangannya menulis secara sporadis. Kita dapat mendengar kebingungan dalam suara saat Nata melanjutkan perkataannya, seolah-olah tidak yakin bagaimana perasaannya. Dalam sekejap, tenggorokannya seperti tercekat, menutup sepenuhnya, dan mulai tersedak saat berbicara. Nata mengangkat kepalanya keatas mencoba menahan air mata yang akan kembali keluar. Matanya memohon kelegaan dari tangisan tanpa henti, tetapi menolak untuk membiarkan air mata mengalir. Dalam diam, matanya yang sedih bertemu dengan mata wanita yang mendengarkan. Tak pelak, air mata mengalir di pipinya dan jatuh ke pangkuannya. Nata menarik kakinya dan menyembunyikan wajahnya di balik lutut. Terapis menarik napas dalam-dalam seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebaliknya, menggigit lidahnya dan membiarkannya menangis.

Setelah satu jam, Nata meninggalkan sesi terapinya dengan perasaan lebih kosong. Setidaknya sebelumnya, Nata memiliki rahasiaan tentang lukanya, tapi sekarang dia telah berbagi segalanya dengan orang asing di kantor itu. Pikirannya kosong, tapi hatinya penuh. Bekas luka yang dulunya beristirahat dengan damai, telah gelisah dan sekarang berdenyut-denyut di dalam dadanya, menggosok tempat yang sakit untuk kerentanan dan penipuan. Dia mulai menangis lagi, bukan karena kesedihan, tetapi karena dia telah mati rasa dan tidak bisa merasakan apa pun.