Jaedopro

Doyoung lari ke pintu saat bel apartemennya bunyi, dia udah senang bayangin bisa makan dessert berdua sama Jaehyun.

“Kok lama si — Kak Dew?”

Dew langkah masuk terburu, dia tutup pintu apartemen Doyoung pake kakinya lalu raup tubuh Doyoung mendekat. Telapak tangannya ada di kedua sisi pipi Doyoung, tahan pemuda itu agak tidak menjauh lalu cium bibir Doyoung.

“Kak — “ Doyoung coba lepasin, dia rapatin bibirnya. Tangannya mulai dorong badan Dew. “Kak! Gila ya!” 

Doyoung berontak, Dew masih coba cium Doyoung, lumat bibirnya yang terkatup rapat. Dew tahan tengkuk Doyoung, sementara satu tangannya mulai cengkram pergelengan tangan Doyoung yang terus dorong tubuhnya menjauh.

Doyoung gigit bibir Dew, keras, sampe dia cium aroma besi dan liat ada darah di bibir Dew. Dia tarik tangannya lepas dari Dew terus tampar pipi Dew keras. Suaranya menyakitkan. Napas Doyoung naik-turun nahan emosi, tangannya ngepal, dia bener-bener pengen tonjok Dew, tapi liat wajah sendu Dew bikin Doyoung urungin niatnya.

“Lu gila!” Teriaknya. “Pergi dari sini!” Dia dorong tubuh Dew. “Jangan pernah lu balik ke sini!” lanjutnya. “Gue bakal hajar lu sampe mampus kalau lu berani nunjukin muka lu di depan gue!”

Dew usap bibirnya yang berdarah, tatap Doyoung.

“Si Jaehyun itu semalem di sini?” Dew balas. “Iya kan?”

“Gak ada urusannya sama lu,” jawab Doyoung, dia usap bibirnya sendiri pake lengan baju. “Gue bisa ajak siapa aja nginep di sini.”

“Gak dengan Jung Jaehyun!” 

“Lu kenapa sih?” Doyoung tanya, alisnya ngerut. “Maksud lu kayak gini tuh apa?”

Dew mendekat, tapi langsung didorong sama Doyoung buat ngejauh.

“Kamu yang bilang ke aku kalau selingkuh gak harus dengan fisik.”

“Bener.” Doyoung yakinin itu dengan cepet.

“Then how about you?”

“What?”

“You and Jaehyun.”

“What?” Doyoung tatap Dew jengah. “Apa maksudnya?”

“You still in love with him, Doyi.” Dew penuh amarah. “Even when we were together. Then how about you?! You cheat on me first!”

Doyoung rapatin bibirnya. Tidak melawan. Dia ingat di masa dia benar-benar abai tentang Dew dan masih mencintai Jaehyun di antara hubungannya dengan Dew. Dia ingat, pikirannya yang selalu tertuju pada Jaehyun selagi dia dan Dew bergandengan tangan. Dia ingat segala malam yang ia habiskan untuk menangisi Jaehyun, namun tidak pernah menghargai keberadaan Dew di sisinya.

“Tapi aku tetep di sisi kamu,” Dew lanjut. “Aku ambil kepingan demi kepingan hati aku yang berantakan, aku bentuk kembali supaya dia sempurna, and i still love you so much. Aku coba tuli. Aku coba buta. Aku coba buat gak perduli karena aku sayang kamu melebih apapun. Yes. It’s all my fault. Yes it was. Aku cari pelarin saat aku mulai penat dengan segalanya. Because i thought i deserve love. I don’t get the love from you. And it’s hurt so so so much. But then again, i’m not leaving you. Aku gak pergi kayak Jung Jaehyun. Aku gak ninggalin kamu kayak Jung Jaehyun. Aku tetep di samping kamu walau aku tau kamu gak pernah ada rasa sedikitpun buatku.”

Pandangan Doyoung mulai ngabur, hatinya nyeri. Kepalanya berdenyut. Dia tidak bisa balas ucapan Dew sama sekali. Rasanya segalanya terlalu bertubi-tubi.

“I’m not leaving you,” bisiknya pelan, “I would never leave you.” Dew coba buat ngedekat. Dia ambil tangan Doyoung, bawa tubuh Doyoung buat masuk ke dalem pelukannya dan elus rambut Doyoung. “Please believe me, please give me one more chance. Just please.”

Jadi, Doyoung harus memberikan kesempatan kepada siapa kali ini?

Jaehyun pencet tombol lift untuk turun, dia cek hapenya selagi nunggu liftnya naik. Suara ‘ding’ pelan bikin Jaehyun lepas fokusnya dari layar hape dan nunggu pintu liftnya kebuka.

Dew.

Ada Dew di hadapannya. Pemuda itu tatap Jaehyun penuh selidik, matanya memicing tajam, langkahnya yang tadi hendak keluar dari lift terhenti, dia tahan pintu lift pakai ujung sepatunya.

“Mau turun?” tanya Dew.

“Iya,” Jaehyun jawab, dia masuk ke dalam lift, pintunya ketutup dan Jaehyun sentuh tombol menuju lantai dasar. Dia mau ke lobi, ambil makanan yang dipesan Doyoung; dia pengen makan yang manis-manis setelah santap habis makan siang mereka.

Jaehyun tarik napas. Udara di sekelilingnya terasa mencekik. Jaehyun liatin tanda panah turun. Mereka di lantai 21, dan sekarang baru di lantai 19.

“You smell exactly like him”, ucap Dew. Pelan. Terbakar cemburu. “Lu pake baju sama celana dia juga,” lanjutnya.

Jaehyun mandang lurus ke arah pintu lift yang mantulin wajah mereka. Dew geritin giginya kasar, dagunya mengetat.

“Jadi itu alesan dia gak bisa dihubungin,” Dew kembali berbicara.

“Nothing happened.” Ucap Jaehyun, sedikit nolehin kepalanya ke arah Dew. “He just needs me.”

“Oh, great.” Dew bales. “Lu ke masuk ke apartemen orang yang jelas-jelas masih punya pasangan.”

Jaehyun dengus, dia ikut gerit giginya kesal. “He’s not your boyfriend anymore.”

“He tells you that?”

“Yap.”

“And you believe him?”

“With all my heart,”

Dew diam sebentar, lantai 15 sudah lewat.

“Lima tahun lalu, waktu lu pergi gitu aja gak tau ke mana. Gue yang nemenin dia,” Dew mulai bicara lagi, kali ini lebih tenang. “Gue yang temenin dia nangis sampe pagi. Gue yang susah payah rayu dia buat makan. Gue yang pegang tangan dia dan cintain dia sepenuh hati.”

“But you cheat on him.” balas Jaehyun, marah. “Gue lepasin dia buat lu, gue relain dia karena gue yakin lu bisa bahagian dia dari gue! Tapi apa? Lu mainin dia kayak gitu? Dia percaya sama lu, tapi lu ancurin kepercayaan dia.

Dew tertegun sesaat, sepertinya Doyoung sudah ceritain segalanya ke Jaehyun.

“He never treats me like a boyfriend.” Dew berucap. “He won’t even let me touch his hands, hug him, or kiss him. Apa yang bakal lu lakuin kalau jadi gue?” Dew jilat bibirnya yang kering. “Gue selalu jadi pesaing lu, Jung Jaehyun. Di mata dia cuma ada lu, di hati dia cuma ada lu, dan saat gue mulai cari pelarian dari segala rasa sakit yang dia tusuk ke hati gue, dia marah dan bersikap seolah dia yang paling sakit.”

Jaehyun dengerin, diam.

“Dia jadiin gue sebagai pelarian doang, yet i love him so much.” Suara Dew mulai gemeter. “Gue kasih dia segalanya, gue selalu pingin dia bahagia, tapi dia gak sama sekali kasih gue sedikit aja cinta buat gue.”

Jaehyun tarik napas, dia mulai emosi sebenarnya. Jarinya ngepal.

“Still, you cheat on him.”

Dew ketawa pelan, “Yeah, all blame is on me. Tiap gue kasih tau yang sebenarnya, mereka selalu jawab ini salah gue. Yap, benar gue akuin. But, Jae. Let me tell you this.” Dew deketin wajahnya terus ucap, “He cheats on me first,”

Doyoung bangun dari tidurnya saat matahari sudah tinggi. Dia regangin badannya yang pegal lalu tatap jam digital di samping tempat tidurnya. Pukul 12.45. Doyoung kedip ringan, lihat sekeliling kamarnya yang sepi lalu kembali ingat apa yang membuatnya tidur tadi pagi.

Menangis.

Jaehyun.

Oh, iya. Jaehyun.

Doyoung tarik selimutnya lepas, dia setengah lari turunin tangga lalu liat Jaehyun yang lagi tidur di atas sofa ruang tengahnya. Lengannya tersilang di depan dada, tumpu kepalanya pakai bantal sofa yang mungil wajah ditutup oleh topi. Kebiasaan Jaehyun. Dia selalu tutup wajahnya saat tidur. Bahkan, di gelapnya kamar aja Jaehyun masih terbiasa tutup mukanya saat tertidur. Doyoung balik lagi ke kamarnya, dia ambil selimut terus selimutin dengan hati-hati tubuh Jaehyun yang masih tertidur pulas.

Dia pergi ke kamar mandi buat mandi, sekilas liat kondisi dapurnya yang udah bersih dari bekas makan mereka pagi buta tadi. Doyoung gak bisa berenti senyum liatnya. Sehabis dia kelar mandi, Jaehyun udah bangun. Mukanya masih ngantuk luar biasa, duduk di sofa dengan kedipan lemah. 

“Mau makan gak?” Doyoung tanya, bikin Jaehyun yang lagi sisirin rambutnya pake jari sedikit kaget. Dia noleh pelan, terus usap mukanya. 

“Mau,” jawabnya, dia terus pake topinya lagi. Nutupin rambutnya yang acak-acakan.

“Makan apa ya enaknya.” Doyoung gumam, dia terus ambil dua kaleng cola. Satu dikasih ke Jaehyun dan satunya lagi dia buka terus minum. Doyoung duduk di samping Jaehyun. Mulai nyalain TV biar mereka sunyi-sunyi banget.

“Apa aja sih gue mah,” Suara Jaehyun serak, khas abis tidur. Doyoung lirik Jaehyun, liatin Jaehyun yang lagi usap-usap mukanya paka telepak tangan, dia lagi usapin bakal janggut di dagunya waktu matanya lirik Doyoung dan mata mereka ketemu.

Doyoung langsung alihin matanya, sesap colanya terburu dan nyuruh jantungnya buat gak detak cepat. Bunyinya berisik. Bikin telinga Doyoung tuli seketika.

“Gue ijin mandi, kak.” Jaehyun berdiri, sama groginya dengan Doyoung.

“Oke,” Doyoung mempersilahkan. “Jadinya mau makan apa?” Doyoung tanya lagi sebelum Jaehyun masuk ke kamar mandinya.

“Apa aja,” Jaehyun kembali jawab gitu.

“Gue pesen online aja ya?”

“Boleh,”

Doyoung tau, Jaehyun gak terlalu picky sama makanan. Dia tipe orang yang bisa makan apa aja. Diajak makan ke mana aja hayok. Doyoung sibuk sama ponselnya, milih makanan yang sekiranya enak dimana siang-siang gini. Dia usap-usap dadanya yang masih bergemuruh.

Lima tahun, dan debarannya masih sama.

Lima tahun, dan ketika mata mereka ketemu, Doyoung rasanya kesulitan nyruh diam ribuan kupu-kupu yang terbang di perutnya.

Lima tahun, dan Doyoung masih saja kalah jika lawannya adalah pesona Jaehyun.

“Udah pesen, kak?”

Jaehyun udah kelar mandi, rambutnya masih basah. Duduk di samping Doyoung mengenakan baju milik Doyoung yang emang sengaja dia taro di kamar mandi.

Jaehyun pakai sabun yang sama, shampo yang sama, tapi kenapa bisa aromanya kecium lebih maskulin dari dia sendiri?

Doyoung angguk, “udah.”

“Sorry gue malah nginep,” Jaehyun coba ngusir tetesan air di ujung rambutnya. “Numpang mandi pula.”

Doyoung ketawa kecil. “Gak apa-apa.” Dia liatin Jaehyun. “Mau gue keringin?” tanyanya ke rambut Jaehyun.

“Pake apa?”

“Hairdryer?”

“Oh punya?”

“Punya.”

“Boleh,”

“Oke bentar, gue ambil.” Doyoung setengah lari ke atas, cari hairdyer di laci lemarinya terus turun sambil kerepotan sama kabel hairdyer yang kelilit.

Jaehyun bantuin Doyoung ngurai kabelnya, terus dicolok ke stop kontak deket televisi.

“Sini,” Doyoung panggil Jaehyun, tepuk tempat di hadapannya.

Jaehyun duduk di hadapan Doyoung, dia nyalain hairdyer dan mulai keringin rambut Jaehyun. Gak ada percakapan. Karena bisingnya suara hairdryer juga karena Doyoung terlalu gugup buat buka obrolan. Rambut Jaehyun yang basah kerasa lembut di jarinya, Jaehyun setengah nunduk waktu Doyoung keringin bagian bawah rambutnya.

“Udaaah,” Doyoung matiin hairdyernya pas semua bagian rambut Jaehyun udah kering. Jaehyun keliatan lucu banget pas rambutnya ngembang buat disisir.

“Udah?”

“Udah, tapi jangan bangun dulu.” Doyoung tahan pundak Jaehyun.

“Terus mau apa?”

“Bentar gue sisirin dulu.” Doyoung terus sisirin rambut Jaehyun, biar rapi dan keliatan makin cakep.

“Enak kak gini,” Jaehyun buka omongan. Matanya terpejam pas rasain tangan Doyoung lagi rapihin rambutnya.

“Enak apa?”

“Being taken care,”

Doyoung senyum kecil, “i love taking care of you.”

“I know.”

Gak lama makanan mereka dateng pas banget sama Doyoung yang kelar sama rambut Jaehyun. Jaehyun yang ambil makanannya di lobi terus balik lagi ke apartemen Doyoung dengan tentengan di tangannya.

Mereka makan sambil ngobrol dikit, bercanda, nontonin TV terus kadang diem aja sambil ngunyah. Kayak udah nyaman aja gitu. Jaehyun yang bukain plastik makanan punya Doyoung, bukain kemasan saos buat Doyoung, juga tuker makanannya dan milik Doyoung waktu Doyoung bilang dia gak suka sama sausnya. Jaehyun yang bakal kasih tisu ke Doyoung buat elap sudut bibirnya yang ada sisa makanan, Jaehyun yang mastiin Doyoung makanannya enak atau gak, mau tuker atau gak, mau nyobain punya dia atau gak.

Dan, Doyoung suka. Dia juga suka diperhatiin segininya sama Jaehyun.

Seperti, segala malam yang dia lalui dengan berkhayal akan bagaimana indahnya jika ia dan Jaehyun bersama menjadi kenyataan hari ini.

“Lo pernah punya pacar, Jae?” Doyoung jawab, makanan mereka sudah tandas. Tinggal beberapa side-dish dan minuman.

“Pernah,” Jaehyun jawab. “Temen kerja gue di Bandung.”

Doyoung gak bisa nampik rasa cemburu di raut wajahnya. “Gimana orangnya?”

Jaehyun senyum tipis sebelum jawab, “mirip elu, kak.”

“Hah?”

“Iya, mirip elu.” Jaehyun ulangin lagi. “Ya gue kira gue nemuin elu di diri elu, tapi ternyata engga. Gua gak bisa nemuin lagi yang kayak elu.”

Doyoung gigit bibirnya, coba buat abisin minumannya yang masih sisa.

“Berapa lama?”

“Apanya?”

“Jadiannya.”

“Dua atau tiga bulan kayanya. Abis itu ya, dia ngerasa juga kali gue selalu cari elu di diri dia, dan dia nyerah. He gives up on me.”

Mereka diam buat beberapa saat.

“Why won’t you give up, kak?” Jaehyun tanya dengan tenang, menunggu Doyoung untuk menjawab.

Doyoung mainin jarinya terus angkat bahu, “Gak tau.” gumamnya. “Yang mudah buat gue lakuin adalah nyerah, tapi gak tau kenapa gue gak mau.” Doyoung hela napas panjang. “Gue ngerasa jahat banget waktu itu. Saat lu ke kosan gue dan ungkap perasaan lu. Malemnya, gue nangis. Gue ngerasa waktu jahat banget sama gue. Kenapa bisa kayak gitu. Kenapa lu harus dateng ke gue saat gue udah terima Dew. Kenapa gue harus tau lu punya perasaan yang sama ke gue waktu gue udah terima cinta yang lain dan mutusin buat lupain perasaan gue ke elu.”

Iya benar.

Waktu jahat sekali saat itu.

“Gue selalu minta elu balik ke gue, Jae.” Doyoung bisik pelan. “Gue selalu doa kalau emang lu buat gue, maka ijinin gue ketemu lu lagi dengan keadaan kita yang lebih baik. Kita yang udah bisa damai sama masa lalu, kita yang udah saling paham sama perasaan kita masing-masing. Tapi, terus lu ngilang. Nomor lu gak aktif. Twitter lu deactive. Gue tanya ke temen-temen lu dan mereka bilang lu pindah ke Bandung setelah lulus. Gue benci banget diri gue sendiri waktu itu. Gue gak treat Dew dengan baik sampe dia akhirnya nyari kenyamanan di orang lain.” Suara Doyoung mulai gemeter. “Ini salah gue. Dew selingkuh itu salah gue. Gue gak pernah perduliin dia, gue selalu marah ke dia, gue selalu nyakitin dia. Gue jahat banget, Jaehyun.” Doyoung nutup wajahnya pake telapak tangan.

Jaehyun elus punggung Doyoung, coba nenangin Doyoung.

“Saat gue rasa gue mulai bisa tata hati gue lagi, gue malah nemuin kenyataan kalau Dew selingkuh. Gue bahkan gak tau harus nangis atau ketawa saat itu. Gue lepasin Dew karena gue rasa dia bisa lebih bahagia kalau bukan sama gue. Rasanya gue benci banget sama semuanya. Gue gak bisa berenti salahin diri gue sendiri.”

“Kak, itu bukan salah lu.” Jaehyun buka suara, “please jangan punya pikiran kayak gitu. Apa yang dilakuin Dew gak bisa dibenerin. Itu salah. Selingkuh gak pernah ada benarnya. Lu gak boleh salahin diri lu sendiri tentang selesainya hubungan lu sama Dew. Mau apapun alesannya, selingkuh itu salah.” Jaehyun ambil tangan Doyoung, “gue gak ngilang waktu itu — gue gak dengan sengaja ngilang maksudnya. Tepat abis kelulusan gue sama anak-anak yang lain touring buat ilangin penat, dan di perlajanan hape gue jatoh, gue udah coba cari tapi tetep gak ketemu. Itu makanya nomor gue gak bisa dihubungin, gue ganti nomor, begitupun dengan twitter yang sengaja gue deactive supaya gak ada orang yang macem-macem kalau ada yang nemu hape gue. Terus gue pikir, ya selagi segalanya gue mulai dari nol, jadi gue coba buat lupain lu, dan gak ngehubungin lu lagi. Karena gue kira, lu udah bahagia sama Dew.”

Jaehyun remes jari Doyoung, “Gue gak mau ancurin kebahagiaan lu, gue gak mau bikin lu sedih dan setelah luluspun ada masalah di keluarga yang bikin gue akhirnya mutusin buat pergi dan netap di Bandung. Salah satu alasannya adalah buat ngehindarin lu dan alasan lainnya adalah karena nyokap masih aja usaha buat ketemu gue, dan gue gak mau. Makanya gue pergi ke tempat dia gak bisa cari gue.”

Doyoung kedip, dia cerna semua omongan Jaehyun. 

“Kak,” Jaehyun tatap Doyoung, “setelah semua ini. Setelah gue tau apa yang udah kita berdua lewatin. Setelah segala-galanya yang udah kita ungkapin. “Gue masih punya kesempatan gak, kak?”

Jaehyun rapihin rambutnya, elap tangannya yang berkeringat ke bahan celana jinsnya lalu pencet bel kecil di sisi pintu. Nomor 201. Benar. Ia rapiin kaos punya Yuta yang tadi terburu dia pinjam, mandi sebentar buat bersihin diri lalu langsung bawa mobilnya ke alamat yang dikirim Doyoung. Jaehyun gigit bibirnya gugup, nunggu sebentar sampai pintu dihadapannya menjeblak terbuka.

“Hai.” Jaehyun menyapa duluan.

“Haiii,” Doyoung sapa lebih ceria, walau kantung matanya terlihat menggelap. “Ayok masuk.”

Doyoung baru saja selesai mandi, Jaehyun tahu itu dari rambut Doyoung yang masih setengah basah. Ada tetesan mengganggu di kerah baju Doyoung yang berasal dari ujung rambutnya. Semerbak wangi lavender menguar ketika Jaehyun masuk ke dalam apartemen Doyoung dan melewatinya untuk buka sepatu lalu taru di rak sepatu tinggi di sisi kanan pintu. Oh, ternyata wangi sabun Doyoung yang beraroma lavender. 

“Pake yang ini aja,” Doyoung ambil satu sendal warna hijau dengan bentuk keropi. “Punya Ten. weheheh.”

Jaehyun gak sadar ikut ketawa, lirik sendal rumah yang dikenakan Doyoung; warnanya kuning, bentuknya seperti bebek, lucu sekali. Akhirnya dia pakai sendal keropi punya Ten lalu diajak masuk lebih dalam ke apartemen Doyoung.

Apartemen Doyoung luas, warnanya didominasi oleh abu-abu dan putih. Ada dapur yang bersih, kamar mandi, tidak bersekat oleh dinding dan langsung menuju ruang tengah dengan sofa warna abu-abu serta televisi besar di hadapannya. Di ujung ruangan, ada liukan tangga ke atas, sepertinya menuju kamar tidur. Ada gorden berwarna gelap setinggi hampir sepuluh meter. menjulang dari lantai bawah sampai ke lantai atas.

“Sorry kalau berantakan,” ucap Doyoung, dia rapihin sedikit keadaan sofanya yang banyak berserakan bungkus makanan.

“Wah kalau segini berantakan gimana punya gue, kak.” Jaehyun berucap santai, dia duduk di sofa. Televisi di hadapannya menayangkan Nickelodeon.

“Belum sempet gue rapihin seoalnya,” Doyoung ucap lagi, dia peluk bantal sofa, dudukin badan ngehadap Jaehyun. “Gue ganggu lu gak, Jae?”

Jaehyun geleng cepet, “Engga. Tadi cuma lagi ngumpul aja sama yang lain di rumah Yuta.”

“Ooh,” Doyoung gigitin bibirnya. “Ada Ten?”

“Gak ada, dia langsung balik sama Johnny.”

“Bagus deh,” Doyoung garuk lehernya canggung.

Gak tau dari mana datengnya keberanian buat ajak Jaehyun ke apartemennya selarut ini. Jam dinding di atas televisi nunjukin kalau sekarang udah pukul tiga pagi, dan Doyoung rasanya begitu tidak enak karena sudah meminta Jaehyun menemaninya.

Entahlah.

Dia rasanya lagi kacau aja.

Dan, sendirian adalah pilihan yang gak bagus saat pikiran dia lagi kacau balau.

“Eh mau minum apaa?”

Sampe lupa dia tawarin Jaehyun minum.

“Minum apa aja gue mah, kak.”

“Sirop mau?”

“Air zam-zam ada gak?”

“Yee nyusahin mintanya.” Doyoung lempar sofa bantal ke Jaehyun yang cuma ketawa aja sambil ngehadang lemparan bantal dari Doyoung pake tangannya.

“Lu udah makan, Jae?”

“Baru ngemil kacang doang tadi,” Jaehyun jawab, dia sisir rambutnya pake jari.

Oh, rambutnya Jaehyun sekarang panjang. Hampir nutupin matanya dan nutupin tengkuk. 

“Mau makan gak?” Doyoung nawarin, “ayok gue bikinin.”

“Mie aja.” Jaehyun pilih.

“Masa mie sih?” Doyoung bangun dari duduknya, jalan ke arah dapur.

“Lagi pengen aja,” Jaehyun ikut bangun, samperin Doyoung.

“Adanya rasa kari tapi,” Doyoung buka kabinet di dapurnya, tempat dia biasa naro makanan instan. “Kemarin lupa beli mie pas belanja sama Mama.”

“Gak apa-apa,” Jaehyun duduk di kursi panjang di sisi kitchen set. Dia merhatiin Doyoung yang lagi sibuk obrak-abrik kabinet dapurnya satu persatu. Doyoung agak jinjit dikit waktu buka kabinet paling atas, bikin kaos yang dia pakai ke singkap sedikit dan nampilin pinggang Doyoung yang mulus.

Aduh.

Jaehyun buru-buru alihin matanya.

“Pake telur?”

“Boleh.”

“Kornet?”

“Boleh.

“Sayuran?”

“Boleh.”

“Gue?”

Jaehyun ketawa, “ya janganlah. Masa lu ikut direbus.”

Doyoung ikut ketawa. “Lu tunggu di sana aja. Biar gue masakin.”

“Engga, ah.” Jaehyun numpu dagu di telapak tangannya, merhatiin Doyoung. “Gue di sini aja nemenin.”

Mereka buka omongan sambil Doyoung sibuk masak mie. Jaehyun mau bantu, tapi ditahan Doyoung. Dia gak diijinin. Jadinya, ya Jaehyun diem aja. Bener-bener merhatiin Doyoung seksama sambil sesekali buka obrolan. 

Jaehyun lihat. Sekilas raut sedih di wajah Doyoung. Ada tawa, lalu matanya berkedip lemah, tanda dia memang tidak bisa dibiarkan sendirian. Rasa-rasanya, Jaehyun ingin tanya apa penyebab Doyoung begitu sedih saat ini. Baru beberapa jam lalu dia dijemput Dew, dan entah ada pembicaraan apa antara Doyoung dan Dew sehingga membuat segala binar di matanya seketika redup tak bersinar.

Dua puluh menit kemudian, mie-nya jadi. Jaehyun yang bawa pancinya ke meja depan sofa dan mereka duduk di lantai. Doyoung bawa dua buah mangkuk kecil beserta sendok dan garpu juga sumpit. Ambil botol air mineral dingin lalu duduk di samping Jaehyun.

“Makasih mie-nyaa,” ucap Jaehyun.

Doyoung angguk-angguk lucu. “Ayok di makaaaan.”

Selama lima tahun jauh dari Doyoung, Jaehyun gak sama sekali nyangka kalau dia bakal ada di posisi ini sama Doyoung. Tiupin mie sambil lirik-lirikan, terus kesedak, ditepuk pundaknya sama Doyoung dan dikasih minum, kemudian mereka berdua ketawa-ketawa gak jelas.

Gak ada.

Gak ada sama sekali Jaehyun menyangka, kalau dia sama Doyoung bisa kembali dekat seperti ini.

Dia kira Doyoung akan marah, balik memusuhi dan tidak sudi bertemu lagi.

Namun, nampaknya Doyoung memang jauh lebih dewasa darinya dalam menyikapi masalah. Dia menerima Jaehyun kembali tanpa amarah.

“Kak,” Jae panggil, dia lagi usap bibirnya pake tisu. 

“Hm?” Doyoung masih sibuk sendok kuah mie-nya, belum ngerasa kenyang,

“Masih inget Narika gak?”

Doyoung lirik sebentar terus angguk. “Masih.”

“Waktu itu…” Jaehyun mainin tissu ditangannya, dililit-lilit. “Dia bilang dia suka sama gue.”

Tangan Doyoung berhenti, dia tatap Jaehyun.

“Tapi, gue tolak.” Jaehyun cepet-cepet terusin waktu liat tatapan Doyoung. “Dia bilang dia akan berusaha bikin gue bahagia, dia gak akan nyakitin gue, dan dia bilang kalau setiap orang berhak dikasih kesempatan kedua.”

Sekarang, Doyoung berhenti ngunyah.

“Gue gak pernah mau mulai hubungan bukan karena gue takut dia nyakitin gue, kak. Tapi, karena gue takut gue yang nyakitin dia.” Jaehyun lanjut. “Gue takut kalau omongan gue nyakitin hatinya, sikap gue bikin dia ngerasa bersalah, dan semua yang udah kita bangun bareng-bareng bakal ancur gitu aja.”

“Gue pernah ada dititik kalau gue merasa gak pantes buat dicintain. Gue merasa paling merana di dunia. Gue benci banget sama semuanya. Rasa sakitnya. Kacaunya. Itu semua bermula dari gue, dan akan terus begitu kalau gue gak rubah apa yang ada di pikiran gue. Terus ya gue coba buat ngehindar dari semuanya, gue coba buat maafin semuanya, buat relain segalanya, buat lebih ikhlas.” Jaehyun kasih tau aja, gak tau didenger atau engga sama Doyoung.

Jaehyun lirik Doyoung, dan nampaknya cowok itu serius denger apa yang diungkapin sama Jaehyun.

“Yang terpenting adalah maafin diri sendiri, kak.”

Mata Doyoung panas, pandangannya mulai mengabur.

“Dan kita juga harus yakin kalau di antara tujuh milyar manusia di bumi ini, bakal ada yang rangkul lu dan sayang sama lu tanpa syarat. Akan ada yang nerima segala kelebihan dan kekurangan, dari amarah dan sedih, juga dari segala patah hati.” Jaehyun mulai bisik, dia coba buat gapai tangan Doyoung, dan berhasil. Dia remes jari Doyoung lembut. “Patah hati gak apa-apa. Terparah pun gak apa-apa. Kita semua pasti ngalamin itu. Yang beda adalah gimana cara kita nanganinnya. Dengan nangis pun gak apa-apa, dengan teriak sekenceng-kencengnya pun gak apa-apa. Dengan cara benci dia pun gak apa-apa. Lakuin apa aja, kak. Selagi itu bikin hati lu lega setelahnya. Ini hidup lu, yang berhak nentuin segalanya adalah elu. Yang berhak usir dan bawa masuk orang ke kehidupan lu adalah lu sendiri.”

Doyoung bersit pelan, tangisannya diam, tidak berisik. Dia balik remes tangan Jaehyun.

“Jangan pernah gantung kebahagiaan lu ditangan orang lain, Kak.” Jaehyun ambil kepala Doyoung terus dibawah ke pelukannya, dan itulah.

Itulah di mana tangisan Doyoung pecah. Tidak terkira. Kencang. Jaehyun yang mendengarnya saja sedih luar biasa. Dia usap pundak Doyoung pelan, ditepuk-tepuk pelan agar jerit tangisannya sedikit mereda.

“T-thank you,” bisik Doyoung. “Jae, thank you for being here with me when i need you.”

“Kamu lain kali kalau ada acara begini kabarin aku dong. Pagi buta gini masih di luar kamu. Udah ijin Mama belum mau nonton konser?”

Dew langsung cerca Doyoung begitu mobilnya memecah jalan raya yang mulai sepi. Doyoung nunduk, remes hapenya erat digenggaman.

Doyoung teringat tatapan Jaehyun ketika ia balik badan dan gantung beribu pertanyaan di otak Jaehyun.

Doyoung ingat mata Jaehyun yang masih terus mengikutinya walau setelah Doyoung duduk di dalam mobil, netra mata Jaehyun tetap terpaku padanya tak berkedip.

Doyoung dihinggapi banyak rasa bersalah.

Dia pegang bibirnya dan hangat bibir Jaehyun terasa membekas di sana.

Dia pejamin mata dan rasain kembali genggaman tangan Jaehyun yang lembut, deru tawanya, dan senyuman mempesonanya yang kurang ajar.

Doyoung berharap pertemuannya dan Jaehyun dapat berakhir lebih baik dari ini.

Bukan seperti ini.

Dengan banyak kesalah-pahaman di antara mereka.

“Doyi,” Dew manggil, “Hei.”

Dew coba buat ambil tangan Doyoung, sempet ditepis pelan sama Doyoung tapi genggaman Dew mengerat, penuh tuntutan.

“Kenapa sih?“ 

“Lain kali jangan maksa buat jemput bisa?” Doyoung bales. Matanya tatap Dew dengan tajam.

“Ya kamu gak ada kabar, aku harus apa selain bilang ke Mama?” Dew bales, dia coba buat konsen. Antara mata Doyoung dan juga jalan raya di hadapannya. “Kalau kamu ada kabar, ngasih tau aku jelas kamu ke mana, sama siapa, aku gak akan begini.”

Doyoung desis ringan, kini tarik tangannya dari genggaman Dew. Dia buang tatapannya menuju jendela mobil yang gelap. Suasana mobil hening. Gak ada musik. Gak ada percakapan. Sunyi.

Doyoung mutusin buat diem, waktu Dew ngajak ngobrol pun dia tidak merespons. Dew ajak dia makan dulu pun Doyoung abain. Dew decak kencang, dia acak-acak rambutnya. Merasa frustasi dengan segala sikap Doyoung.

“Kamu kenapa sih?” Dew tanya, hembus napasnya kesal. 

Doyoung diam.

“Mau diem kayak gini terus?” Dew lanjut. “Gak akan ada kelarnya kalau kamu sikapnya kayak gini.”

“I told you,” Doyoung desis pelan. Gertak giginya terdengar penuh amarah. “We're over.”

Dew lajuin mobilnya masuk ke area apartemen Doyoung, menuju parkiran yang mulai sepi lalu hentiin mobilnya. Dew remes kemudinya erat, tarik napas panjang.

“And i told you too, that i don't want it. I don't wanna us to over, Doy.” Dew balas. Matanya penuh kekecewaan. “Aku udah bilang aku mau pertahanin kamu, sekuat apapun kamu minta kita buat pisah. Aku gak mau.”

“Kenapa?” Doyoung setengah teriak, dia hampir jenggut rambutnya sendiri. “Kenapa kamu kayak gini, Kak?”

“Because i love you!” Dew bales, hampir teriak. “Kita udah jalanin ini bareng-bareng. Kenapa kamu gak liat kesitunya sih? Kamu pikir gampang buat lepas ini semua? setelah semua yang kita berdua laluin bareng-bareng? Kamu kira ini mudah, Doy?”

Doyoung gigit bibirnya, dia embus napas kasar. “Gue mau putus.” tandas Doyoung, tidak mau didebat. “Terserah lu mau anggep kayak gimana. Tapi, gue udah gak nyaman sama hubungan kita. Gue rasa gak ada yang bisa kita pertahanin sekarang.”

“Is it because of him?” Dew nuduh, “Jung Jaehyun? Ini karena dia?”

“Apa sih?” Kening Doyoung ngerut gak suka. “Gak usah bawa-bawa dia,”

“Iya tentu aja,” Dew setengah ketawa. “Kamu sengaja juga kan gak kasih tau aku ke mana kamu malem ini supaya kamu bisa ketemu sama Si Jaehyun itu?”

“Stop!”

“For over five fucking years, Doy! Lima tahun! Dan, Kamu masih tetep lari ke dia!”

“Jangan bawa-bawa dia!” Doyoung beneran teriak. “Dia gak ada sangkut pautnya sama sekali sama masalah kita!”

“Terus apa?”

“Lu masih sebuta itu ya, Kak?” Doyoung tatap Dew, penuh kekecewaan. 

Dew tarik napas panjang, coba buat atur emosinya. Dia tahu keadaan Doyoung yang juga dipuncak amarah.

“I love you,” Dew gumam pelan, dia ambil jari Doyoung terus dibawa ke wajahnya. “I just love you so much.” lanjutnya. “Aku gak mau kehilangan kamu.”

“Then why…” Serupa bisikan, Doyoung menyuarakan isi hatinya yang menjerit perih. “Why you cheating on me, Kak?

Setelah konsernya kelar, mereka gak langsung buru-buru keluar venue. Terlalu rame juga dan mereka males desek-desekan.Mereka poto-poto dikit sambil cerita sana-sini. Ngakakin kelakuan Taeil sama Yuta dan gak lupa godain Mark sama Jeno yang coba bisa ngelak sana-sini.

“Parkir di mana, Yang?” tanya Johnny, mereka mulai keluar dari venue. Udah mulai sepi. Sekarang pukul satu pagi.

Jaehyun berencana buat anterin Doyoung balik, mungkin nanti pas mereka udah di depan.

“Gak tau, gak inget.” Ten jawab.

“Di ituloh, deket mall.” Doyoung yang jawab. Ten paling males emang kalau disuruh inget-inget tempat.

“Ada orang markir gak inget,” Yuta nyaut.

“Gue denger yee,” Ten injek kaki Yuta, untung dia pake sendal nginjeknya. Gak kebayang kalau injeknya pake sepatu boots-nya yang berat.

“Aduh anjing,” Yuta jinjit sambil pegangan ke Jaehyun, elus jari kakinya yang nyut-nyutan.

“Lagian lu mah, bang. Udah tau karetnya dua masih aja lu lawan.” Jeno ketawa liat Yuta kesakitan.

Jaehyun noleh ke belakang. Tadi Doyoung lepas genggaman tangan mereka dan angkat telponnya yang dari tadi bunyi. Karena jengah, akhirnya Doyoung angkat dan bergerak mundur, ngejauh dari yang lain.

Jaehyun bisa liat alis Doyoung yang nekuk marah, bibirnya yang sibuk bicara dan tangannya yang berkacak pinggang. Jaehyun ngelangkah pelan, sengaja nunggu Doyoung. Dia biarin temen-temennya jalan duluan, dan sesekali noleh buat liat Doyoung.

“Kenapa?” Jaehyun tanya, dia usap pelan pelipis Doyoung.

“Gak apa-apa.” Doyoung jawab sambil nunduk. “Ayok, ketinggalan kita.”

Doyoung jalan duluan, ninggalin Jaehyun.

Jaehyun tatap punggung Doyoung. Gak mau terlalu mikirin sikap Doyoung, tapi dia jadi kepikiran. Jaehyun lari kecil nyamain langkah Doyoung. Dia genggam jari Doyoung yang dingin.

“You can talk to me, kak.” ucapnya.

“I know.” Doyoung remes jari Jaehyun. “Thanks.”

Mereka berdua akhirnya bisa nyamain langkah sama yang lain. Yuta sama Taeil ambil mobil Jaehyun di parkiran, Johnny sama Ten juga ambil mobilnya Ten yang parkir di tempat yang beda. Tinggal Jaehyun, Doyoung serta Mark, Jeno berdiri di depan pintu masuk yang udah lumayan sepi. Mereka ngobrol-ngobrol aja selagi nunggu, tapi Doyoung lebih banyak diemnya.

Jaehyun jadi gak enak.

Dia takut ada satu dari sikapnya yang salah.

Jaehyun baru aja mau ajak ngobrol Doyoung ketika sebuah Mazda merah mengkilap berhenti di depan mereka. Bukan. Ini bukan mobil Jaehyun. Dan, jelas ini juga bukan punya Ten.

Kaca kemudinya turun, dan Jaehyun ngerasa jantungnya berdenyut nyeri ketika liat siapa di dalam mobil itu.

“Gue duluan ya,” Doyoung ucap begini, nolak tatap Jaehyun dan setengah lari muterin mobil di depan mereka menuju kursi kemudi.

Mark sama Jeno lirik-lirikan, tapi tetep bales senyum Doyoung dan sambil nyaut ‘hati-hati bang’ ke Doyoung.

Jaehyun diem.

Dia tatap Doyoung.

Gak lepas.

Apalagi waktu Doyoung akhirnya masuk ke dalam mobil itu dan hilang dari pandangan Jaehyun.

“Duluan,” lelaki itu kasih senyum tipis lalu pacu mobilnya ninggalin mereka.

Lelaki itu.

Dew.

Dan, sepertinya, hubungannya dengan Doyoung belum tuntas sepenuhnya.

Setelah ungkapan perasannya pada Doyoung lima tahun lalu, Jaehyun lebih memilih mundur saat itu. Ia membiarkan Doyoung menggapai kebahagiaan yang tidak bisa ia berikan padanya. Ia memilih menyaksikan Doyoung meniti rasa senangnya bersama orang lain. Lelaki yang bisa membuat Doyoung tersenyum lebih sering, genggam tangannya sepanjang lorong kampus, dan lelaki yang tulus menyayangi Doyoung lebih darinya. Jaehyun ambil langkah seribu untuk lari, bersikap luar biasa baik-baik saja di hadapan semua orang padahal hatinya tengah remuk redam.

Dia menjauh. Tidak sama sekali adu kontak dengan Doyoung. Menghindari Doyoung luar biasa dan memilih untuk menata hatinya sendirian.

Jaehyun pikir ia akan mati. Rasa sakitnya tonjok setiap sendi tubuhnya tanpa ampun. Jaehyun hampir kehilangan akal sehatnya. Namun, teman-temannya membantunya teramat penuh kasih ketika ia berada di titik lumpuhnya. Mereka menyemangati Jaehyun untuk terus melangkah, memberikan canda tawa di hidupnya yang gelap gulita.

Jaehyun bangkit dari keterpurukannya dan mencintai Doyoung dalam diam.

Dia masih berdoa pada Tuhan untuk memberikan segala rasa bahagia untuk Doyoung.

Dia masih meminta pada Tuhan agar Doyoung diberkahi hidup mudah dan kesehatan berlimpah.

Jaehyun tidak pernah berdoa untuk dirinya sendiri.

Namun, untai doanya tak pernah lepas untuk Doyoung ditiap hela napasnya.

“Yang!” Johnny lambai tangannya ke atas, ngial Ten yang tengah menoleh kanan-kiri mencari suara. Mata Ten bertemu Johnny, dia langsung jalan menuju kekasihnya itu lalu gamit lengan Johnny manja.

“Macet banget tadi,” adu Ten. “Yang lain mana?” Ten tanya.

“Pada beli minum,” jawab Johnny. “Nanti paling ketemuan di dalem venue aja.”

Pandangan Ten bertemu Jaehyun.

“Wet, orang jauh nih,” Ten kasih senyum.

Jaehyun bales senyum, “kabar baik?”

“Baik-baik,” Ten angguk-anggukin kepala. Dia tarus noleh ke arah belakang. “Doyoung! Sini!”

Ini mungkin terdengar seperti drama picisan.

Jaehyun hampir tertawa.

Tapi memang begitu nyatanya.

Di antara ribuan kerumunan orang di sekeliling mereka, Jaehyun bisa menemukan Doyoung begitu mudah dengan matanya.

Doyoung yang tersenyum lucu. Doyoung yang lagi jalan ke arah mereka sambil peluk dua botol minuman di dadanya. Doyoung yang awalnya cuma tatap Ten sama Johnny, lalu pupil matanya gerak pelan, tepat menuju mata Jaehyun.

Rasanya, hanya ada dirinya dan Doyoung di muka bumi.

Rasanya, Jaehyun bisik terimakasih pada Tuhan karena sudah mengijinkannya kembali bertemu Doyoung.

“Hai,” Doyoung berdiri di hadapannya. Matanya berbinar. Antara pantulan cahaya lampu atau mungkin kerlip bintang.

Rambut Doyoung dipotong lebih pendek, nampilin keningnya yang mulus dan undercut tipis dibagian belakang. Sekilas, Jaehyun bisa liat segaris eyeliner di garis mata Doyoung. Bikin matanya keliatan makin tajem.

“Hai,” Jaehyun jawab, setengah gugup. Tidak. Luar biasa gugup.

“Nih,” Doyoung kasih satu botol minuman di pelukannya. “Rasa anggur.”

Jaehyun terima uluran minuman dari Doyoung, dia ketawa kecil. “Kesukaan gue.”

“Yap,” Doyoung angguk. Dia masih inget.

“Thanks,”

“Sama-sama.”

Jaehyun jilat bibirnya yang kering, dia terus ketawa, dan Doyoung ikut ketawa. Hal kecil. Apa saja. Maka Jaehyun akan berbahagia akannya. Apalagi dengan Doyoung di sisinya.

“Woy, ke sono.” Johnnya tepuk punggung Jaehyun. “Anak-anak udah di sono.”

“Oke,”

Johnny gandengan tangan sama Ten, belah kerumunan menuju tempat di teman-teman mereka sudah ambil tempat buat nikmatin konser. Jaehyun dan Doyoung jalan beriringan. Tidak jauh. Tidak dekat. Cukup.

Cukup untuk bisa hirup aroma parfum Doyoung yang searoma lavender, ada sekilas aroma kopi di rambutnya, pasti shamponya. Jaehyun lirik, lihat kedipan bulu matanya yang lentik, lekuk bibirnya yang manis, dan segaris senyuman Doyoung yang hangat.

“Jangan lirik gue terus,” Doyoung ngomong.

“Aduh ketauan,” Jaehyun jawab.

Doyoung ketawa.

Hujan turun di ujung petang, buat medan yang mereka laluin agak sedikit licin. Resiko ngadain event di ruang terbuka. Gak ada yang bisa prediksi cuaca. Untung aja menjelang malam, cuaca mulai membaik. Hawanya masih dingin, tapi adem.

Doyoung kehilangan keseimbangannya sesaat, uluran tangan minta pertolongan dan Jaehyun terlalu cepat ambil jari Doyoung yang melayang di udara.

Jari Doyoung berada digenggaman Jaehyun terlampau manis.

Jaehyun coba pegang siku Doyoung waktu langkah Doyoung goyah, “You good?”

“Salah pake sepatu kayaknya gue,” Doyoung jawab, dia nunduk, coba liatin tanah di bawahnya dan loncat ke bagian yang gak terlalu becek. Jaehyun bantuin Doyoung jalan, tangan masih genggam milik Doyoung takut pemuda itu kembali bermasalah sama langkahnya.

“Aduh sepatu gue licin bangeeet,” protes Doyoung, genggaman mereka keputus, namun sekarang dia setengah meluk lengan Jaehyun waktu mereka berdua cari jalan biar gak kena becek.

“Gak apa-apa, gue bantuin.” ujar Jaehyun nenangin.

Jaehyun ketawa kecil waktu kepala mereka kebentur pas mereka berdua serempak nunduk liatin jalan. Doyoung ikut ketawa, pegangin kepala Jaehyun.

“Sakit?” tanyanya. Elus bagian kening Jaehyun, sisa tawanya masih ada. Menggema di telinga Jaehyun.

“Engga,” Jaehyun jawab, dia liatin Doyoung. “Kepala lu sakit?”

Doyoung geleng, kasih senyum. Jaehyun bales senyum.

Jaehyun gak ngira kalau dia dan Doyoung bisa langsung akrab tanpa ngerasa canggung. Kayak udah biasa, interaksi mereka, bisik-bisik mereka, ketawa mereka. Jaehyun kayak nemuin separuh dirinya di dalam Doyoung.

Mereka berdua cek tiket lalu akhirnya sampe di tempat anak-anak yang lain.

“Anjir sepatu gue ancur,” Ini Ten yang protes.

“Samaa,” Doyoung nyahut.

“Kayak Yuta dong noh nyeker.” Taeil tunjuk Yuta pake dagunya.

“Kaga nyeker gue,” Yuta nyaut gak terima. “Tadi ganti pake sendal.”

“Bawa sendal berapa, Yut?” tanya Ten.

“Bawa dua,” Yuta duduk di pagar penyangga, “atu lagi dipake si Jeno.” Dia seimbangin badannya pake badan Johnnya yang tinggi.

“Si Jeno mana?” tanya Ten, kayaknya niat mau minjem sendal sih dia.

“Tau dah sama si Mark dia. Gak tau ke mana.” Yuta angkat bahunya.

Jaehyun berdiri di samping Joni, senderin badannya ke pagar besi, Doyoung lagi ngobrol sama Ten. Gak tau bahas apa.

“So sweet bener gue liat-liat,” Johnny angkat omongan.

“Siapa?” Yuta nimbrung.

“Nih,” Johnnya sikut Jaehyun, “sama si onoh.” terus tunjuk Doyoung pake dagunya. “Tadi jalan di belakang gue berdua bae. Pegangan tangan pula.”

“Jaah,” Taeil nyaut. “Jangan sampe kayak yang lalu lu.”

“Tau. Nanti lu ajak fwb-an lagi jangan-jangan.” Yuta udah noyor kepala Jaehyun.

“Aduh,” Jaehyun ngaduh pelan, dia balas gebuk lengan Yuta, cowok itu hampir aja jatoh kejungkal kalau gak ditahan sama Johnny sama Taeil.

“Enggalah, gila.” Jaehyun respon.

Jaehyun sudah ceritain segalanya pada teman-temannya. Dari A sampe Z. Dia gak lagi nyimpan masalahnya sendiri sekarang. Jaehyun sudah mulai mau terbuka untuk orang-orang di sekelilingnya.

“Saran gue mah lu kalau emang mau serius sama si Doy, ya langsung aja kasih tau dia maksud lu gimana.” Kata Taeil.

“Iye, gak usah berbelit-belit lagi. Udah berumur sekarang kita. Gak sebodo amat pas kuliah.” Yuta ikutan.

“Iyaa,” Jaehyun manut. “Ngerti kok gue.”

Gak lama kemudian, Mark sama Jeno nyamperin. Sendal yang dipake sama Jeno langsung dipalak Ten. Akhirnya karena gak tega dan gak bisa ngelak, Jeno kasih sendalnya ke Ten. Dia naik ke pagar besi di belakang biar gak usah napak ke tanah.

Acaranya mulai. Kayak biasa, cuma basa-basi terus akhirnya mulai tampil beberapa guest-starnya. Jaehyun tetep di tempatnya sama yang lain, dia pastiin buat merhatiin Doyoung yang berdiri gak jauh di depannya. Di pertengahan konser, Doyoung jalan ke belakang terus berdiri di samping Jaehyun.

“Cape?” Jaehyun tanya, agak teriak karena suara nyanyiannya kenceng banget.

“Lumayann,” Doyoung jawab, “maju sana, di sini mulu.”

“Males,” Jaehyun jawab. “Pengap. Enakan di sini.”

“Iye sih,”

Johnny sama Ten udah mulai ke depan, jingkrak-jingkrak brutal. Kalau Jeno lagi digandeng pundaknya sama Mark sambil liatin panggung yang lumayan jauh, mereka berdiri gak jauh dari Jaehyun dan Doyoung. Jeno gak bisa ke mana-mana juga karena sendalnya dipinjem Ten. Sedangkan Taeil lagi naik ke atas pundak Yuta sambil muter-muterin kaos di udara. Udah gak tau malu.

“Bawa mobil ke sini?” tanya Doyoung setelah dia kelar tenggak minumnya.

“Iya,” Jaehyun angguk. “Bareng yang lain. Lo sendiri?”

“Bareng Ten,”

Mereka diam, sesekali ketawain Yuta sama Taeil atau lirik Mark sama Jeno. Ada jarak di pundak mereka, semakin terkikis saat Doyoung bisikin Jaehyun sesuatu atau ketika Jaehyun tepuk-tepuk lengan Doyoung dan kasih liat sesuatu yang seru di sekitar mereka.

“Ke mana aja lima tahun?” Doyoung tanya. Keadaan mereka yang gelap bikin Jaehyun gak bisa liat eskpresi Doyoung.

“Sembuhin diri,” Jaehyun jawab pasti. Gak ada lagi kebohongan. “Belajar buat cintain diri sendiri lebih baik dan terima masa lalu gue dengan lebih tabah.”

Sekilas, Jaehyun bisa lihat senyuman di wajah Doyoung.

“Good to hear.”

“Yeah,” Jaehyun ketawa canggung, dia garuk belakang telinganya salting. “Terus lu? gimana lima tahun terakhir?”

Doyoung diam sebentar, gak ngejawab. Dia noleh, Jaehyun ikut noleh. Mereka saling tatapan. Tidak berbicara. Saling memahami satu sama lain. Doyoung nampak berat mengatakan keadaannya. Matanya berkaca-kaca dan dada Jaehyun berdenyut nyeri melihatnya.

“Did someone hurt you, kak?” Jaehyun angkat tangannya terus tempel telapak tangannya di pipi Doyoung yang hangat. Suaranya pelan, sebisik, namun ia yakin Doyoung dapat mendengarnya.

“Gue gak bisa ceritain sekarang,” gumam Doyoung.

“It’s okay,” Ibu jari Jaehyun elus pipi Doyoung begitu lembut, rasain permukaan kulit Doyoung yang alus dan hirup seberkas aroma minuman yang ditenggak Doyoung. “Lu bisa cerita ke gue kalau lu udah siap.”

Sekali lagi,

Seakan hanya ada dirinya dan Doyoung saat ini.

Tidak ada yang lain.

Matanya hanya bisa pandang Doyoung; kedipan perihnya yang pelan, hela napasnya yang hangat, dan jemarinya yang mulai bertaut dengan milik Jaehyun begitu pelan.

Di menit selanjutnya, Jaehyun cium bibir Doyoung. Pelan. Tidak terburu. Manis.

Jaehyun merindukan Doyoung teramat sangat.

Tidak ada apa-apa di pikirannya selain Doyoung.

Segalanya.

Dan, Jaehyun berarap dia diberi satu kesempatan lagi untuk bisa bikin Doyoung bahagia; dengan benar, dengan penuh, dan dengan dirinya.

Jaehyun menerima pesan dari Ibunya ketika ia tengah tertawa asik bersama teman-temannya. Saling bercanda untuk melepas penat serta menginginkan Doyoung pergi dari pikirannya.

Tangan Jaehyun bergetar ketika ia membuka layar hapenya dan membaca rentetan pesan dari Ibunya. Rasanya sesak. Tenggorokannya tercekik. Jaehyun coba buat kedip, tahan air mata yang kumpul di kantong matanya dan siap meleleh kapan saja. Jaehyun tidak dengar gurau canda Yuta di sampingnya. Jaehyun terasa tuli. Segalanya mengabur. Pandangannya. Pendengarannya. 

Hatinya berdenyut ngilu.

Ia lepas lengan Mark yang ada di pundaknya lalu berjalan tidak tentu arah, dipanggil Yuta yang terkejut karena perubahan drastis dari sikap Jaehyun, Mark dan Jeno saling tatap, namun tidak mampu menguar apa yang terjadi dengan Jaehyun. Taeil sempat menahan tangan Jaehyun dan bertanya ada apa, namun Jaehyun menepis cengkraman Taeil lalu berjalan gusar ke arah pintu keluar Amirta.

Udara malam gak bisa sedikitpun bikin kecamuk pikiran Jaehyun mereda.

Jiwanya meradang. Perih hatinya mengaung begitu hampa. Jaehyun cengkram dadanya dan berharap rasa sakitnya menghilang. Namun, kenyataannya Jaehyun menangis pedih akan nasibnya yang malang.

Jaehyun yang malang,

Ditinggal Ibunya yang tercinta ketika dia masih butuh kasih sayang,

Jaehyun yang malang.

Bertahan menunggu Ibunya pulang namun tak juga ia kembali datang,

Jaehyun yang malang,

Dia menangis setiap malam, mengutuk Tuhan, berucap penuh kebencian, dan tidak sama sekali percaya pada keberuntungan.

Jalan hidup Jaehyun adalah neraka.

Ia tapaki dengan amarah, dan berhadap dunia cabut nyawanya.

Segalanya gelap. Kosong. Hampa. Sampai dia bertemu Kim Doyoung di kehidupannya yang malang.

“Liat-liat dong kalau parkir motor,”

Adalah ucapan pertama Doyoung yang diberikan. Lekukan alisnya yang sebal, lengkung bibirnya yang mencebik judes, serta sorot mata tenangnya yang menghanyutkan.

Jaehyun dibuat jatuh cinta, saat itu, tepat ketika ia menatap Doyoung dikemerlap malam parkiran Amirta.

“I love you, Kak.” Jaehyun mengulang, penuh penekanan, nadanya sedih luar biasa. Dia coba buat gapai tangan Doyoung. Berhasil. Jarinya yang dingin tertaut sempurna dengan milik Doyoung. “Dari pertama gue kenal lu, gue tau gue udah sayang sama lo. Tapi, gue gak pernah berani ambil resiko untuk jatuh cinta. Gue pengecut. Gue terus berkutat sama masa lalu dan selalu merasa kalau dunia ini gak akan adil untuk orang kayak gue.”

Doyoung masih diam. Mencerna tiap untai kata yang keluar dari bibir Jaehyun.

“Gue takut ngerasa bahagia karena hidup gue selalu penuh sama rasa sedih. Gue takut buat jatuh cinta karena isi hati gue cuma diisini oleh rasa benci. Tiap orang yang datang ke kehidupan gue, mereka bakal pergi dan ninggalin gue kesiksa sendirian. Kak,” Jaehyun bawa tangan Doyoung ke wajahnya, kecup punggung tangan Doyoung yang kini basah karena tangisannya. “Maafin gue. Maafin gue.” Lirihnya perih. “Gue lebih milih ego gue dibandingkan rasa sayang gue ke elu. Gue selalu pikir kalau lu gak pantes kak sama gue. Si Jung Jaehyun yang terlalu benci sama dunia ini gak bisa jadi pasangan yang baik buat lo. Gue selalu berharap lu bisa dapetin yang lebih baik dari gue. Gue selalu minta lu bisa dapet orang yang bisa cintain lu lebih dari gue. Sejak awal, di sini, antara kita berdua, yang udah rusak perjanjian kita dari awal itu gue. Gue sayang banget sama lu. Gue merasa berengsek luar biasa kalau cuma dateng ke elu kalau ada maunya. Padahal gue pengen bisa ajak lu ngedate, gue pengen genggam tangan lu di manapun, gue pengen berisik, gue pengen kasih tau seisi dunia kalau lu punya gue. Tapi, sekali lagi, gue ini pengecut, Kak. Gue butuh waktu terlalu lama buat sadar dan akuin perasaan gue. Setelah gue sakitin lu. Setelah gue bikin lu nunggu. Gue terlalu pengecut buat utarain ini semua.”

Setelah ucapan panjang lebar dari Jaehyu, mereka berdua saling diam untuk waktu yang cukup lama. Jaehyun masih genggam tangan Doyoung, gak mau sedikitpun di lepasin. Dia tumpu keningnya di tangan mereka yang bertatut.

“Jaehyun,” Doyoung panggil pelan, rasa terkejutnya sudah hilang. Dia nampaknya tidak pernah mengira kalau Jaehyun bisa berbicara selebar itu tentang perasaannya. “Ini semua beneran? Yang lu ucapin semua ini beneran?”

Jaehyun angguk cepet, dia malu buat angkat wajahnya yang kacau, tapi dia pastiin buat tatap Doyoung ketika ia menjawab.

“Gue serius, Kak.” Jaehyun usap air matanya pake lengan baju. Dia tadi sampe lupa ambil jaketnya yang dia lepas di Amirta.

“Terus, Rika?” Doyoung tanya hati-hati.

Jaehyun kedip, “Gak ada apa-apa antara gue sama Rika, Kak.”

Doyoung tarik napas, dia basahin bibirnya yang kering.

“Jae,” Doyoung mulai, dia remes jari Jaehyun. “Tadi sore gue baru aja jalan sama Kak Dew.”

Jaehyun diam. Dia dengerin apa yang mau disampein Doyoung.

“Dia bilang mau deketin gue,”

Rasanya, jantung Jaehyun diremes kuat sama jari jemari.

“Awal dia utarain maksud dia, gue tolak. Karena gue gak mau jadiin dia pelarin dari perasaan gue ke elu.”

Jaehyun rasain tangannya yang semakin dingin.

“Tapi, tadi. Pas gue sama dia lagi santai aja ngobrol. Dia bilang dia serius sama ucapannya. Dia gak paksa gue buat lupain lu cepet-cepet, tapi dia mau temenin gue sampe gue capek dan lupain lu.”

“Kak — ”

“Pas gue ke kosan lu kemarin malem,” Doyoung potong omongan Jaehyun. “Gue liat Narika yang pake sweater lu, gue sadar dia yang ternyata temenin lu pas lu sakit. Gue ngerasa … mungkin ini waktunya gue buat bener-bener lupain lu.”

“Dia gak nemenin gue, Kak.” Jaehyun langsung jelasin. “Dia coba nemenin gue sebentar, tapi yang nginep di kosan gue si Mark.”

“Oh, begitu.” Doyoung merespons dengan tenang. “Jae,” Doyoung pelan kasih tau. “Gue udah terima Dew.”

“Mau apa?”

Doyoung tahan pintu kosannya, setengah badannya ada di balik pintu. jelas banget gak ngijinin Jaehyun buat masuk ke dalem.

Jaehyun eratin tangannya, gemeter.

Dia kangen banget.

Dia kangen banget sama Doyoung.

Mata Jaehyun panas, bayang sileut tubuh Doyoung ngabur dipandangannya.

“Kita…” Suara Jaehyun mendadak hilang, dia deham kecil. “Kita bisa ngomong?”

“Ngomong apa?” Doyoung langsung tanya, masih setia diposisinya. Wajahnya gak ketebak.

“Gue,” Jaehyun nyugar rambutnya ke belakang, dia gugup, tatap Doyoung yang masih luar biasa defensif. “Gue mau cerita, kak.”

“No, don’t come to me.” Doyoung bales, penuh penekanan. “Lu selalu lari ke Rika tiap lu ada masalah. Terus kenapa sekarang ke gue?”

Hatinya mencelos mendengarnya. Jari Jaehyun ngepal, napasnya naik-turun nahan tangis.

“Lu gak pernah mau terbuka sama gue, Jae.” Tandas Doyoung kembali. “You’ve hurt me. Gue nunggu lu tiap harinya. Gue mau liat segimana usaha lu buat minta maaf, tapi ternyata lu gak pernah punya nyali buat hubungin gue duluan.”

“I know, kak. I know.” Jaehyun mengakui. Dia coba satu langkah mendekat, tapi malah bikin Doyoung mundurin badannya makin jauh.

“Jangan,” bisiknya. “Diem aja di situ.”

Jaehyun tarik napas sesak, dia nurut. Tangannya coba gapai kenop pintu Doyoung.

“Gue minta maaf,” ucapnya, tulus. Matanya berkaca-kaca. “Kak, i need you right now. Please, talk to me, ya? Kak, please.” Jari Jaehyun ngerat di kenop pintu kamar Doyoung sampe buku kukunya memutih.

Doyoung katupin bibirnya erat, enggan menjawab.

Rasa sakitnya masih ada.

Dalam.

Membekas.

Doyoung lalu gigit bibirnya, berpikir. Dia alihin matanya dari wajah Jaehyun terus geleng.

“No,” gumamnya. “Leave.”

“Kak — “

“Leave, just like you said to me that night!” Jelas Doyoung. “Sepulang gue dari kosan lu, gue nangis sepanjang malem,” Doyoung berucap lirih. “Gue salahin diri gue sendiri atas apa yang udah gue ungkapin ke elu. Gue salahin perasaan gue sendiri, dan lu gak ada sama sekali coba nenangin gue. Gue tau, tau banget hubungan kita gak patut buat diperjuangin. Gue ngerti. Paham banget gue. But, i love you, Jae. That night, after that, and even now. Dan, gue gak ngarepin lu suka gue balik. Gak sama sekali.”

Doyoung jelasin segalanya, karena dia hanya punya waktu saat ini.

Setelah ini, dia akan benar-benar lupain Jaehyun.

Susah.

Berat.

Tapi, Doyoung tau cinta yang satu ini sulit buat dia menangkan.

“Tapi malem itu lu milih buat luapin marah lu ke gue. Lu teriak di muka gue tentang betapa salahnya perasaan gue ke elu. Gak harus sejahat itu, Jae. Gak perlu. Lu cukup diem aja gue ngerti harus apa. Lu denger ya,” Doyoung maju selangkah, dia tatap mata Jaehyun. “Perasaan gue gak pernah salah. Jatuh cinta gak pernah salah. Lu mau tau apa yang salah?”

Jaehyun diam waktu Doyoung deketin wajahnya, mereka kini hanya berjarak beberapa senti aja.

“Jadi pengecut yang selalu lari dari perasaan lu sendiri.”

“Pengecut yang gak berani untuk ambil resiko dari segala kemungkinan yang ada. Lu bisa jatoh, lu bisa terbang, lu bisa sakit, lu bisa bahagia, tapi lu milih buat jadi pengecut dan jadiin masa lalu sebagai alasan. Lu lebih milih diem di tempat daripada coba pilih jalan yang lain. Lu lebih milih tutup telinga dan dengerin terus isi otak lu yang kusut. Lu bisa ancur, tapi gak akan selamanya. Lu bisa jatoh, tapi lu bisa bangkit. Lu bisa patah, lu bisa ambruk, lu bisa payah. Lu bisa sedih, tapi selalu ada kesempatan buat lu bisa bahagia. Gue.” Doyoung tunjuk dirinya sendiri. “Gue nawarin semua itu ke elo. Gue tawarin hidup gue buat elu, Jaehyun. Gue gak pernah coba buat menangin lu tapi gue cuma pengen ada di samping lu saat lu lagi kacau-kacaunya. Gue kasih tangan gue buat lu genggam tapi lu terlalu pengecut buat terima. Lo butuh apa gue tanya? Lo butuh apa?! Kapan gue balik badan dan buat lu sedih? Kapan gue bikin lu kecewa? Pernah gak gue kayak gitu? Lo gak pernah percaya, Jae. Lu nutup diri. Lu pendem semua rasa sakit lu sendirian, dan berharap gue ngerti segalanya. Gak bisa, Jae. Gak bisa. Gue gak akan tau apa-apa kalau lu gak kasih tau gue.”

Tangan Jaehyun lepas dari kenop pintunya, dia tergugu, gak pernah sebelumnya Doyoung kasih rentetan kata-kata kayak gini. Ada amarah di matanya, namun rasa perduli lebih tinggi dari lainnya.

Doyoung tarik napas panjang.

“I care for you,” bisik Doyoung. “but you wont listen to me, you always running to her. Lu selalu cari dia saat sumpek sama gue. Now i’m giving you up.” Doyoung tarik napas. “Mungkin emang dia yang lu butuhin, bukan gue. Mungkin dia dengerin lu lebih baik dari gue. Mungkin dia cintain lu lebih lebih dari gue. Mungkin pelukan dia lebih anget dari gue. And that’s okay.” Doyoung terus senyum tipis. “Just … leave,” lirihnya. “Please leave.”

Doyoung hentak kenop pintunya dari genggaman Jaehyun, matanya nyiratin luka yang begitu dalam.

Oh, Jaehyun.

Lo kasih luka ke Doyoung.

Lo bikin dia nangis.

Lo bikin dia sedih.

Doyoung, orang yang lo sayang setengah mati. Orang yang coba lo lupain tiap malem. Orang yang diam-diam selalu masuk ke untai doanya, supaya Doyoung dicintain lebih baik oleh orang lain. Bukan dirinya.

Orang yang bikin hari-hari Jaehyun indah, namun buat hidupnya kelam satu bulan terakhir.

Doyoung yang bertahan dipikirannya gak henti. Doyoung yang diem di sudut hatinya dan sulit buat diusir; seberapa pun kuatnya dia berusaha.

Mungkin Doyoung benar, dia terlalu melukai dirinya, dan tanpa sadar juga melukai Doyoung.

Dia ingin Doyoung mengerti tetapi dia tidak pernah bergerak meminta Doyoung untuk mendengar.

Ini jatuh cinta, dan jatuh adalah resikonya.

“I stay,” Ucap Jaehyun, bikin Doyoung lebarin bola matanya. “Gue gak mau pergi.

“No,” Doyoung geleng, dia dorong pelan tubuh Jaehyun yang coba buat ambil langkah maju. “Rumah lu bukan gue.”

“Gue gak akan pergi.” Jaehyun bersikeras.

“Terserah elu deh,” Doyoung coba buat tutup pintu kosannya, tapi langsung dihadang pake kaki Jaehyun.

“Kak,” panggilnya, tangannya nahan pintu kosan Doyoung.

“Jae, jangan nyebelin dah.”

“Listen to me,”

“No,”

“Please — “

“No,”

“Kak, gue — “

“Leave.”

“I love you too!”

Jaehyun lagi ambil minum pas pintu kosannya dibuka dari luar. Narika dateng sambil bawa tentengan di tangannya. Dia kasih senyum lebar, lepas sendal milik Jaehyun yang dia pakai, juga ternyata sweater punya Jaehyun pula yang ia kenakan saat ini.

“Udah mendingan?” Narika tanya, berdiri di depan Jaehyun yang lagi nenggak minumnya sampe abis. Narika jinjit pelan terus taro telapak tangannya di kening Jaehyun. “Udah gak panas.”

“Iya,” Jaehyun mundurin kepalanya sopan, dia jalan balik ke tempat tidurnya buat rebahan. Badannya masih lemes, embus napasnya masih anget, matanya perih. Dia lagi gak mau banyak ngomong.

“Aku bawain kamu bubur,” Narika berucap, dia taro tentengannya di nakas tepat di samping tempat tidur Jaehyun. “Aku beliin buat kamu.”

Jaehyun buka matanya yang tadi tertutup, lirik tentengan Narika.

Dia mungkin terlalu jahat sama Narika.

Sikapnya terlalu kaku sama cewek itu.

Padahal Narika cuma nunjukin rasa perdulinya aja ke Jaehyun.

“Makasih, Ka.” gumamnya.

“Kalau kamu lapar nanti aku angetin buburnya.” Narika duduk di tepi tempat tidur Jaehyun. “Pucet banget muka kamu,” gumam Narika, dia condongin badannya sampe wajahnya deket sama punya Jaehyun.

“Ka,” Jaehyun coba menghindar, dia gerakin badannya ke samping, nyoba buat ngejauh. “Jangan gini.”

“Can i get my kiss?” Narik bisik.

“Ck, Ka.” Jaehyun tahan pundak Narika. “Gue lagi gak mood sumpah. Kepala gue mau pecah rasanya. Gue pengen istirahat.”

Narika diem. Dia akhirnya tegakin badannya lagi sambil tarik napas panjang.

“You’ve change, Jae.”

“Berubah apa sih?” Jaehyun coba nanggepin, walau kepalanya rasanya seperti dihantam baja. Sakit minta ampun.

“Is it because that guy?” Narik nerus. “Cowok yang dulu kamu pernah bilang kamu jatuh cinta sama dia?”

“Ini apaan sih,” Jaehyun mulai naikin nada suaranya.

“No, don’t mind.” Narik terus bangun berdiri, “Maaf udah ngomong ngawur.”

Selepas ucapan Narika, pintu kosannya diketuk, Narika jalan buat buka pintunya dan ada Mark di sana, dia bawa tentengan yang dari aromanya sih udah kecium itu nasi goreng.

“Bang Jaehyun udah bangun, Ka?” Mark tanya, main masuk aja walaupun tadi pintunya dihalang sama Narika.

“Wet, Bang. Udah baikan lu?” Mark tanya, dia ke dapur kecil di kosan Jaehyun, ambil piring sama sendok terus duduk di deket kasur Jaehyun, dia nyalain TV, terus buka nasi gorengnya.

“Mayan,” Jaehyun jawab.

“Mau gak?” Mark nawarin Jaehyun.

“Engga,” Jaehyun geleng, “Gue tidur, Mark.” Dia tarik selimut sampe nutupin badan.

“Iya tidur aje lu udah,”

Mark lagi suap nasi gorengnya, lirik Narika yang berdiri di ujung ruangan.

“Gue yang jagain Bang Jaehyun, Ka.” Ucap Mark, nyengir lucu.

“Oke,” Narika angguk, dia ambil tasnya di nakas. “Aku balik, Jae. Balik Mark.”

“Iyee hati-hati,” Mark jawab. Jaehyun enggak, pura-pura tidur.

Setelah yakin Narika udah keluar dari kosannya, Jaehyun lepas selimutnya terus tarik napas panjang.

“Hadeh,” Mark dengus sambil kunyah nasi goreng. “Diapain lu?”

“Mau dicipok,” Jaehyun jawab.

Mark ketawa ngakak, dia pencet remote cari tayangan yang seru.

“Tapi dia baik,” Jaehyun gumam, matanya natap totebag yang tadi dibawa Narika. “Dia beliin gue bubur biar kalau malem laper gue gak bingung cari makanan.”

Mark lirik totebag yang diliatin sama Jaehyun.

“Yeah,” Mark angguk. “She’s nice. Tapi, tetep aje, bang. She’s toxic as fuck.”