Airport
Kwon Soonyoung/Lee Jihoon | 3k words | Tags : LDR, Fluff
Melly Goeslaw ft. Jimmy – Pujaanku https://open.spotify.com/track/7lrPMbVnl8WJNSGdn5shXC?si=mJa4o6tdTeqkLX_JoCPOHg
Bandara.
Bangunan yang menyimpan segudang cerita.
Tempat menyambut dan melepaskan.
Ruang penjelasan tentang alasan-alasan mengapa sekumpulan orang berdiri dan berpijak, entah pergi untuk kembali atau datang untuk pulang.
Ada kalanya akan terasa kosong dan hampa ketika seseorang yang telah menggenggam erat tanganmu melepas dan mengayunkan langkahnya berlari menjauh untuk mengejar kapal bersayap demi meraih sebuah mimpi tinggi dan kesibukan yang menunggu di ujung sana.
Lalu, ciuman terakhir sebagai bentuk salam perpisahan.
Ada pula rasa gembira yang meletup-letup ketika seseorang yang telah lama membentuk jarak berkilo-kilometer dalam durasi yang lama membentangkan tangan dengan bendungan air di pelupuk mata di suatu lokasi penjemputan.
Dan ciuman pertama sebagai gestur selamat datang.
Bandara.
Narasi di dalamnya beragam. Kalau mereka bilang, bandara dapat mengemas berbagai bittersweet stories.
Seperti contoh,
Bisa saja seorang pemuda secara terpaksa harus merelakan hubungan dengan kekasihnya terpisah jarak jauh hanya karena ia diterima di suatu wilayah kerja yang telah lama dimimpikan dan mempunyai potensi besar.
Atau bisa saja seseorang yang diharuskan meninggalkan kampung halaman demi keberhasilan duniawi yang menantinya di masa yang akan datang.
Atau lagi bisa saja seseorang yang diharuskan terbang demi meninggalkan luka yang pernah ia tuai di kota yang saat ini dipijak.
Atau yang lebih buruk, adanya tragedi-tragedi penerbangan yang tak mengenakkan menjadi mimpi tersuram yang orang lain terima.
Semua itu adalah kesedihan dan kepahitan dari beribu peristiwa yang bercerita.
Lalu, untuk kebahagiaan?
Tentu juga ada, tidak hanya satu, dua, dan tiga, tetapi tak terhitung jumlahnya.
Bisa saja seorang ayah yang turun dari pesawat terbang sambil menggandeng macam-macam wajah boneka untuk putri kecilnya yang menanti di rumah.
Atau bisa saja seseorang yang diam-diam ingin mengejutkan kekasihnya bahwa ia telah sampai di kota tempat mereka membuat janji untuk kembali bersatu memadu kasih.
Atau hal lain bisa saja sebuah keluarga bahagia yang akan pergi atau kembali dari libur panjang yang menyenangkan demi melepas penat yang kian hari merecoki isi kepala mereka akibat hari kerja yang padat dan hingar-bingar.
Terakhir, bisa saja sebuah pertemuan baru dua orang asing di ruang tunggu bandara dan berakhir menjadi teman akrab yang saling bertukar kabar dan informasi.
Banyak, banyak sekali cerita-cerita menarik yang terjadi di gedung berlapis potongan kaca itu jika arah pandangmu meluas ke setiap sudut. Menjatuhkan tatap walau singkat.
Selalu ada cerita.
Termasuk Lee Jihoon.
Dia, laki-laki penikmat kisah bandar udara yang menggenggam ceritanya sendiri.
“Duluan, ya Won!”
“Iya, Ji hati-hati,” seru Wonwoo melambaikan tangan pada Jihoon yang mulai mengambil langkah lebar dari teman akrabnya itu.
Pukul lima sore. Waktu rutin Jihoon untuk mampir sejenak ke bandara kota di tiap akhir pekan Sabtu dan Minggu dalam kurun waktu lima bulan terakhir.
Bukan tanpa tujuan atau sekadar iseng karena kesukaannya terhadap gedung tersebut, namun sebagai pengingat hati bahwa ada seseorang di belahan negara lain yang akan kembali untuk segera menjadikannya rumah untuk berpulang. Entah kapan, yang pasti adalah dia sedang menanti kedatangan seseorang yang tak pernah gagal meledakkan kepingan kelopak-kelopak bunga tak kasat mata dari kebun di balik dada bergemuruhnya.
Mungkin terdengar konyol karena bagaimanapun pria yang dinantikan kehadirannya belum menentukan ketepatan waktu kepulangannya, semuanya masih mendung dan berwarna abu-abu tua. Rapalan doa menjadi hal yang bertalu-talu ia bisikkan secara diam-diam. Sehingga satu-satunya cara untuk terus mencintanya hanyalah napak tilas pertemuan terakhir mereka yang menuai haru dan dekapan hangat yang jejaknya masih segar membekas di tubuhnya setelah banyak hari berlalu.
Jihoon tiba di bandara ketika jarum panjang menyentuh angka 16:17 dan hal pertama yang dilakukan adalah berjalan ke suatu terminal keberangkatan internasional yang mengantarkannya menuju kedai kopi ternama. Tempat pertama dia dan Soonyoung manjajakan kaki sebelum check-in counter tutup berganti jadwal dan memblokir akses data infromasi penerbangan kekasihnya selaku calon penumpang.
Usai memesan caramel macchiato, Jihoon menempatkan diri di pojok ruangan sambil membuka laptop yang dislip sementara. Jari-jari lentiknya mulai memainkan huruf-huruf di atas keyboard putih untuk membalas sejumlah email yang satu persatu mulai muncul dan menumpuk di dalam kotak masuk. Setidaknya beberapa kiriman pesan tersebut mendapat balasan, sementara untuk sisa yang lainnya bisa dilanjut ketika ia tiba di rumah.
Masih ada waktu, pikirnya.
Sesekali pria itu menggenggam tangan kosong dan mengulum bibir. Dari balik kaca ia memperhatikan sekumpulan keramaian yang sedang merangkai suatu cerita dengan alurnya masing-masing. Ekspresi dari wajah-wajah itu juga menjadi hal yang terus menarik atensinya. Dalam diam ia mencoba membaca perubahan-perubahan air muka ketika gestur verbal bergerak membentuk urutan kalimat semu. Dia, Jihoon pernah berada di posisi yang sama.
“Tungguin aku, ya, Jihoon?”
“Kamu udah ngomong itu dua belas kali, Soonyoung. Dan jawabanku juga dua belas kali sama, aku bakal nunggu kamu. Cuma beberapa bulan kan?”
“Yeeeh, tetep aja akunya khawatir. Ntar tau-tau kamu udah gandeng yang baru pas aku balik,” Dan satu pukulan keras Soonyoung terima di puncak kepala ketika bibirnya berhenti berceloteh.
“Coba inget-inget, hubungan kita udah jalan berapa tahun?”
“Empat tahun,”
“Pernah putus?”
“Sering dan hampir....”
“Gara-gara siapa?”
“Aku yang aneh-aneh....”
Menyengir.
“Nah, dari semua itu kamu masih ragu? Harusnya aku gak sih yang khawatir sama kamu?”
“Tapi ini gak tau berapa bulan, Sayang... kita pernah LDR-an cuma seminggu, tiga minggu, mentok-mentok sebulan paling lama,” tutur Soonyoung dengan bibir yang dikerucutkan lucu.
“Ya sudah, kamu batalin aja ke Hongkong nya biar sama-sama aku terus, gimana?”
“Yah jangan juga. Proyek gede ini, rugi besar kalo aku gak ambil kesempatan yang udah ditawarin,”
“Ck, aneh,” Jihoon menyedot minuman dinginnya setelah mematuk bibir orang di depannya dengan kucupan tangannya. “Ya sudah, kamu harusnya percaya aku sama seperti halnya aku yang percaya sama kamu kalo di sana kamu cuma kerja. Aku janji bakal nunggu kamu terus Soonyoung. Kalo kamu sibuk, bukan berarti kita miskomunikasi terus-terusan, kan?”
Begitulah kira-kira potongan percakapan di detik-detik terakhir sebelum jarak menjadi satu-satunya alasan mereka berpisah secara fisik dan visual tanpa pernah lagi menyentuh permukaan kulit yang melahirkan sejuta kenyamanan. Dan setiap mengingatnya Jihoon selalu terkikik kecil. Kwon Soonyoung, pacarnya itu punya tingkat kekhawatiran yang tinggi, yang ia sendiri bingung bagaimana harus menetralkan tekanan perasaan itu.
“See, I'm coming back here on weekends to remind myself that there will be someone who is going to be home soon to hug and to kiss me all along day, Soonyoung. And you never knew,” bisiknya pelan lalu kembali menuliskan sesuatu di halaman lembar baru sambil menyumpal kedua telinganya dengan earphone putih sepadan warna komputer pangkunya.
Suatu tulisan tentang Soonyoung dan kehidupan pribadinya yang hanya dirinya dan partikel-partikel udara di sekitarnya yang mengerti.
Jihoon tidak pernah tahu kapan pastinya Soonyoung akan pulang. Laki-lakinya itu juga tidak pernah bisa memberitahunya, belum dapat kabar tetap katanya.
Sudah 5 bulan ini Soonyoung dan tim mengerjakan proyek besar dari perusahaannya di Hongkong. Sampai akhirnya menunggu, menunggu, dan menunggu bukan lagi menjadi hal menyebalkan untuknya, bahkan telah berubah menjadi salah satu kegiatan favorit yang dia tekuni selama beberapa bulan terakhir di tengah pekerjaan yang tidak pula sedikit.
Dan Jihoon selalu terserang rindu. Setiap hari, setiap dia menapakkan kedua kakinya di rumah pesawat ini. Setiap dia menerima panggilan video atau telepon dari dia, si seberang.
Tak jarang laki-laki itu menaruh harap ketika tubuhnya sampai di bandara, Soonyoung akan menelepon untuk mengabarkan kalau dia akan pulang hari itu juga.
Atau lebih bahagianya lagi, berupa bentuk kejutan kalau ternyata Soonyoung sudah mendarat di landasan pacu Soekarno-Hatta dan segera bertemu dengannya. Namun Jihoon sadar, ini impian kecilnya saja dan dia hanya bisa menelan pil harapan-harapannya di ujung tenggorokan. Lagi-lagi hanya bisa menunggu.
Jihoon menghela napas berat. Memikirkan Soonyoung selalu menyenangkan dan tak bohong melelahkan pula. Semua faktor itu didasarkan rasa rindu yang mencercanya semakin luas dan membola besar. Tapi tak apa, semuanya akan terbayar kelak.
Empat puluh menit waktu maksimal yang selalu Jihoon habiskan di kedai tersebut. Setelah menuang rentetan isi-isi di kepalanya menjadi bentuk tulisan bermakna dan penuh warna, Jihoon bergegas keluar kedai dan berkeliling melintasi gedung bandar udara mulai dari check-in counter yang dia putari, lalu ke toko-toko yang pernah mereka datangi walau sebentar, dan yang terakhir kakinya dia ajak berdiri di depan pintu masuk pengecekan tiket penerbangan rangkap ruang tunggu di mana Soonyoung terakhir kali memeluknya erat sambil berbisik, “Sayang kamu, Ji and I’ll miss you so much.”
Dan saat itu, Jihoon memilih respon anggukan daripada jawaban berupa kata. Tidak ingin melepas air mata yang justru menandakan kelemahan, yang kenyataannya sudah mengapung rapi di permukaan danau mata indahnya. “Last kiss for our goodbye?”
Kemudian untuk terakhir kalinya, Jihoon sedikit tidak rela memagut mesra cumbuan yang Soonyoung singgungkan di atas ranum semi tebalnya dengan kedua mata yang tertutup.
“Yang, kalo aku pulang besok kamu kaget gak?”
Jihoon merotasikan kembar kelamnya dan mendengus, “Mustahil.”
“Dih, kok mustahil, sih padahal bisa aja tau....”
“Belum ada 10 menit kamu bilang kalo proyek tim kamu masih tiga per lima penyelesaian, gimana tuh? Boleh pulang emangnya, hm?”
Gelak tawa mengarungi ruang berukuran 5×5 meter tersebut dari balik layar ponsel pipih punya pria yang lebih kecil. Kamar berdinding putih tulang tempat biasa Jihoon dan Soonyoung berbagi kehangatan di tengah rintikan hujan yang bergantian turun menginjak bumi.
“Iya, juga ya kok aku lupa, sih, tadi bilang gitu,”
“Gak tau, kamu kan pikunan.”
“Tapi beneran, Yang, kalo misal saatnya aku bilang besok aku pulang, kamu gimana?” tanya Soonyoung lagi sambil mengucek mata lelahnya.
“Biasa aja,”
“Bohong banget,” sela Soonyoung diikuti juluran lidah yang digoyang-goyangkan sengaja guna mengejek. “Pasti kamu bakalan nangis jelek, terus nungguin aku di bandara 24 jam sampe ringkih, terus pas udah ketemu kamu langsung melukin aku sampe seseeek banget, gak mau lepas, terus minta cium aku banyak-banyak, ya kan?”
“Hah, gak kebalik? Ini kamu lagi ngedeskripsiin diri kamu sendiri? Yang kayak gitu-gitu kerjaan kamu doang kali,” Jihoon memprotes dengan kedua alis yang berkerut menjalar di tengah-tengah kening.
“Kamu, tuh deniaaal terus kerjaannya kalo di depan ku padahal aslinya kebalikannya. Sekali-kali bilang iya susah banget kayaknya....”
Sekarang giliran Jihoon yang menggelar tawa. Nada jengkel bicara Soonyoung sangat lucu menurutnya. “Soalnya kamu ngaco, sih.”
“Well, kalo urusan peluk sih mungkin iya, gak sesek-sesek juga kali, tapi kalo udah nangis jelek sampe nungguin di bandara 24 jam nggak banget, please?! Lebay banget and you are not that awaited person, babe.”
Soonyoung memasang wajah kerucutnya dan menirukan kalimat terakhir Jihoon dengan maksud mengolok-olok, “you are not that awaited person, babe. Bohong terus, ah, males.”
“Nggak usah ngambek, jelek!” Jihoon terkekeh. “Eh, Soonyoung, sebentar, mau ke bawah ambil go food.”
“Hm,”
Jihoon lantas turun dari kasur dan keluar untuk mengambil pesanan boks makanan di saat jam telah menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh dua menit. Waktu tengah malam memanglah jam abadi Jihoon mengalami kelaparan meski cacing-cacing di lambungnya sudah diberi asupan makanan saat matahari lengser dari puncak langit.
Omong-omong tentang suasana malam, mulai saat itu, gelapnya langit berperan menjadi keadaan yang dinanti-nantikan Jihoon dalam hidupnya karena hanya pada saat itulah dia dan sang terkasih dapat berbagi cerita juga keluh kesah dari masing-masing tempat melalui media elektronik. Bertatap muka walau dibatasi oleh layar kaca dan jaringan yang terkadang tersendat-sendat membuat keduanya dongkol bukan main.
Malam, selalu menjadi medianya untuk melepas rindu walau tak pernah tuntas sempurna. Dan ketika wajah ceria Soonyoung muncul di hadapannya saat satu panggilan diterima, lengkung bulan sabit di bibirnya tidak sekalipun jatuh membentuk lengkungan pelangi yang membusur cembung. Sebab mau bagaimanapun situasinya, bertemu Soonyoung selalu mengembalikan harinya bagai dikelilingi oleh gelembung-gelembung hati ilusi yang terbang memuji dirinya walaupun Jihoon sendiri tidak pernah mengatakannya secara gamblang. Cukup, biar hatinya saja yang menyimpan semuanya.
Biasanya mereka bisa melakukan panggilan tatap muka hingga berjam-jam lamanya. Bahkan bermulai ketika baterai ponsel menyentuh angka 87% sampai ke angka 0%, hangus disantap durasi. Tipikal pasangan jarak jauh penuh kasmaran yang enggan memutus momentum kecuali ketika mentari merangkak naik dan burung-burung berkicau tanda mereka setia pada si pagi.
Jika kalian bertanya-tanya mengenai apa yang mereka obrolkan, tentu jawabannya adalah : tidak ada yang spesial.
Hanya ocehan ringan satu sama lain yang saling melempar candaan. Atau kadang mereka membiarkan keheningan tersemat di antara keduanya dengan saling memuja dalam diam melalui tinjauan mata. Membiarkan pertukaran tatapan dalam hening yang berbicara, yang berakhir tertawa berdua.
Atau lagi, Soonyoung yang merengek meminta Jihoon untuk menyanyikan satu lagu mengingat suara merdu prianya membuai dua kupingnya lembut.
Kadang pula, Jihoon diminta untuk menonton Soonyoung melakukan latihan presentasi oral yang berakhir gagal untuk kesekian kalinya acapkali Jihoon suka menyuruhnya mengulang dari awal ketika ada salah sedikit saja. Dan kalau Soonyoung tidak mau, Jihoon akan tega memutus panggilan sepihak tanpa mau mengangkatnya kembali kecuali dengan syarat tertentu. Dinamika konyol seperti ini hanya mereka yang paham menjalaninya.
“Kamu pesen apa?” tanya Soonyoung ketika bunyi gesekan kresek terjangkau inderanya.
“Taichan, lagi pengen,”
“Ih, mau... Di sini aku gak nemu taichan masa, ya,” ujar Soonyoung sendu disertai lenguhan pelan dari hidungnya.
“Kamunya aja males nyari kali,”
“Hehehe... akunya males kalo gak bareng kamu,”
“Halah, lebay. Kalo dapat gratis juga tetep dimakan kan?” ejek yang lebih kecil sambil menumpahkan saus sambal di atas tumpukan daging-daging tusuk.
“Yah, kalo gratis mah bedaaa. Ih, Ji, mau....” Soonyoung melipat bantalan bibirnya ketika melihat Jihoon mulai menyuapkan bakaran sate ke dalam mulutnya.
“Pulang,” balasnya sambil menggerak-gerakan rahangnya naik turun mengunyah.
“Kalo aku punya jet udah on the way ini,”
“Yaudah sana beli jet,”
“Lagi miskin,”
Dan setelah itu hanya terdengar bunyi kunyahan. Sedangkan Soonyoung sibuk memperhatikan kekasihnya makan dengan lahap.
Ah, suka sekali Soonyoung menonton mukbang ala Jihoon daripada yang sering ditonton rekan kerjanya melalui Youtube. Salah satu alasannya adalah bagaimana kedua pipi pemuda itu akan membentuk bongkahan kantung yang menggemaskan dan siap untuk dicubiti hingga melar melebar. Sayangnya, Soonyoung hanya bisa menahan keinginan itu saja dari posisinya sekarang ini.
“Kamu gak lapar apa? Nyam,”
“Gak, ngeliatin kamu makan sampe belepotan gitu aja udah bikin kenyang, Yang,” jawabnya. Ya, Soonyoung. Hidupnya selalu penuh kata-kata gombalan keju yang membuat bulu kuduk Jihoon merinding.
Jihoon berdeham malas.
“Btw, kalo aku sekarang lagi di Jakarta, pasti kita lagi late night strolling sambil nyari jajan-jajanan yang masih buka,” Soonyoung membuka percakapan baru. “Soalnya kamu gak pernah suka makan di apart, maunya keluaaar mulu nyari makanan.”
“Iyalah,” Jihoon menjawab seadanya.
“Terus, setiap pulang kamu maksa aku untuk gendong kamu di punggung. Gak tau diri kalo punya badan berat,” katanya lagi.
“Tapi kamu mau-mau aja, tuh,” Jihoon mengejek, lekuk meruncing terlukis di kedua alis matanya.
“Terpaksa, biar kamu gak nangis,”
“Kurang ajar!” umpatnya setengah tertawa.
Dan malam itu, tidak jauh berbeda seperti malam sebelum-sebelumnya. Obrolan yang bisa diceritakan, keluar bergantian dari kedua belah bibir kedua laki-laki itu, baik Soonyoung dan Jihoon yang berakhir senandung dengkuran napas dari salah satunya menjadi penutup kelamnya luas lapisan berkerlip cakrawala.
“Selamat malam, Sayang.”
Terhitung sudah 8 bulan Soonyoung menetap di negara tetangga. Dan selama itu pula Jihoon tak pernah absen mengunjungi bangunan yang padat massa di tiap pekannya.
Dan sepertinya penantian Jihoon dalam menanti kedatangan Soonyoung di lantai bandar udara cukup sampai di bulan itu saja, Desember. Karena akhirnya Soonyoung mengkonfirmasi kalau dia akan pulang esok hari.
Dan sekarang Jihoon menunggu.
Menunggu hadir sosok yang yang dirindukan hampir satu tahun. Menunggu dua langkah kaki yang berhenti tepat di depannya.
Jihoon nervous.
“Jihoon!”
Seseorang memanggil dari jarak beberapa meter di depannya bagai tidak tahu malu bagaimana orang-orang mulai menembak atensi ke arah Soonyoung.
Iya, Soonyoung telah berdiri di depannya. Wajah itu berseri, menampakkan cengiran paling lebar sambil menunjukkan deretan gigi-giginya. Kedua lengannya membentang meminta pelukan.
Namun bukan Jihoon namanya kalau dia langsung menghabur ke rengkuhan itu. “Bawain aku oleh-oleh apa?”
“Peluk dulu kali?!” Cengiran ceria seketika berubah menjadi kerut tuntutan.
“Nanti aja, itu bisa kapan-kapan.”
Jihoon memundurkan langkahnya begitu Soonyoung begitu keras kepalanya ingin mendusel ke arahnya. “Gak mau Soonyoung!”
Karena kesal, Jihoon berlari kecil menuju lapangan parkir yang menyimpan mobil hitamnya, meninggalkan Soonyoung yang tergopoh-gopoh di belakang sambil membawa koper dan beberapa tas berbahan kertas di kedua tangannya.
“Yang, tunggu!”
“Yang, bantuin bawain dong!”
“Jihoon, ya Tuhan!”
Diam-diam Jihoon tertawa kecil. Tetap berpegang teguh pada pendiriannya sebagai orang yang tidak mendengar apapun selain bisikan angin dan ketukan sepatu.
Dalam hati, dia senang atas kepulangan Soonyoung. Hari yang ditunggu-tunggunya pada akhirnya mencapai titik terakhirnya.
Jihoon tidak perlu lagi menginjakkan dua alas kaki di landasan kaca di tiap akhir pekan. Jihoon tidak perlu lagi berkeliling bandara demi mengingat pertemuan terakhirnya dengan Soonyoung. Jihoon tidak perlu lagi memesan minuman yang sama tiap berhenti di kedai kopi langganannya. Jihoon tak perlu lagi menanti malam untuk dapat mengobrol banyak dengan seseorang di balik benda pipihnya.
Dan Jihoon tidak perlu lagi menarasikan setiap cerita di depannya melalui setiap pergerakan yang keramaian buat.
Jihoon lega. Dadanya tidak lagi ditempa benda berat yang merisaukan. Pundaknya tak lagi jenuh menunggu. Sekarang, dia bisa menjadikan seseorang di belakangnya tempat untuk bersandar secara fisik, menjatuhkan keningnya di badan atletisnya.
Dia senang. Soonyoung tetap menjadikannya rumah untuk berpulang.
Suasana hening membungkus kamar Jihoon.
Di atas kasur itu, terdapat dua laki-laki yang berbaring nyaman.
Jihoon bertelungkup di atas tubuh Soonyoung. Mereka berpelukan tanpa mengeluarkan banyak kata. Hanya deru napas yang menyapu kulit masing-masing lawan.
“Mau sampai kapan begini?”
“Gak tau.”
Sudah 30 menit semenjak tiba di apartemen, posisi mereka masih saling menindih enggan menyudahi. Omong-omong mereka begini karena ulah Jihoon. Begitu mereka masuk ke kamar, laki-laki yang lebih pendek itu langsung mendorong kekasihnya dan merangkak ke tubuhnya.
Soonyoung dilarang melakukan hal lain selain memeluk tubuhnya, mandi atau mengganti pakaian saja tidak diperbolehkan. Dan dari Soonyoung sendiri sangat baik-baik saja diperlakukan seperti itu, dia paham.
Tak lama Jihoon mengangkat kepala dan mendaratkan tatapannya ke Soonyoung.
“Muka kamu makin kusam. Ini kenapa ada jerawat mau tumbuh di sini. Kamu jarang cuci muka, ya? Makin jelek,” Komentar Jihoon sambil menunjuk-nunjuk kulit wajah Soonyoung, menekan warna kemerahan kecil yang tumbuh di samping hidung dan atas bibirnya.
“Sakit, woy?!”
“Trus ini apaan, deh, nusuk-nusuk di dagu. Jenggot?”
“Iya kali,”
“Kamu pulang mau ketemu aku tapi gak bersih, gak rapi tuh, maksudnya gimana, ya?” Nadanya melemah, berpura-pura sedih.
“Nggak, gitu....”
Jihoon mengejek, lalu kembali menjatuhkan kepalanya ke dada Soonyoung. Lamat-lamat mendengarkan pompaan jantung Soonyoung yang bergerak halus. Nyata sekali.
Ah, lama sekali rasanya tidak mendengar bagaimana dada itu berisik di inderanya.
“Ji, aku cium boleh, ya?”
“Nggak, nanti.”
Terdengar helaan napas pasrah. “Aku bobo aja deh....”
Jihoon lantas kembali mengangkat wajahnya, memainkan satu telunjuknya di atas ranum Soonyoung agar laki-laki itu tidak jatuh ke ruang mimpi.
Tak lama yang lebih muda memperbaiki posisi tengkurapnya, sedikit memajukan badan lalu menjangkau bibir Soonyoung dengan kecupan singkat.
Bantalan semi basah itu masih punya Soonyoung, sangat pas ketika bertemu dengan miliknya. Bentuk gelombangnya masih mirip seperti beberapa bulan lalu. Rasanya juga tidak ada yang berubah. Dan segalanya masih punya Jihoon.
Menerima kecupan tiba-tiba, sukses mengulas rekahan senyum dari pria Kwon tersebut. Yang di bawah semakin menarik Jihoon mendekat dan menciumnya lembut. Menerbangkan kepakan sayap kupu-kupu berkeliaran di dalam perut. Membagi rasa rindu yang telah lama terpendam di dalam relung.
“Welcome home, Soonyoung.”
Jihoon menciumnya lagi, tanpa gerak rahang dan lumatan. Mengecup bibir Soonyoung sekali, sebelum menatapnya lagi. Mengecup lagi. Mengecup lagi. Mengecup lagi. Lalu kecupannya turun ke rahang, turun lagi ke leher, turun terus ke bahu yang setengah terbuka, lalu berakhir mengecup tulang selangka. Dan Soonyoung terkekeh geli merasakan tekanan bibir Jihoon yang tak ada habisnya. Setelah itu, dia menenggelamkan diri semakin jatuh ke dalam dekapan sang kekasih.
“Miss you, bontot.”
—Fin.