write.as

Paper Lick


Tags: romantic comedy, smut

Author’s Note: I'm not really sure range NC-17 itu sampai mana (karena pandangan kita-kita vs MPAA tuh agak beda), so i'll just go with this...


Tidak ada yang lebih menggelitik dibanding kursor yang terus berkedip di layar laptopnya. Mungkin sudah satu dua jam ia hanya duduk di sini, menatap Words yang masih kosong melompong. Coba tanyakan kepada seluruh penulis di muka bumi ini, apa yang lebih menjengkelkan dibanding author’s block yang memuakkan? Izinkan Wonwoo menggeneralisasi, namun jawabannya tidak ada. Rien. Nothing. Nada.

(Atau mungkin ada, namun ia tidak mau repot-repot mengoreksi pikirannya sendiri yang mulai kalut itu).

Pengalamannya dalam menulis ini bukan baru seumur jagung. Mungkin sudah dua belas tahun sejak kali pertamanya membuat sebuah cerita pendek yang kemudian ia kirim ke sebuah majalah, masih ia simpan robekan halamannya di dalam file bersama dokumen-dokumen penting. Lalu, sudah tujuh tahun semenjak novel pertamanya terbit, empat setengah tahun semenjak novel keduanya meledak di pasaran dan digandrungi orang-orang. Nama Jeon Wonwoo itu kerap disandingkan dengan penulis novel-novel melejit lainnya seperti Tere Liye, Dee Lestari, atau Ahmad Fuadi. Tawaran film yang datang tepat di depan wajahnya oleh produser kondang yang sudah tidak diragukan kualitas filmnya. Berbagai book signing event dan road show diadakan. Hidupnya dalam dunia kepenulisan itu cerah sekali, Jeon Wonwoo berada di salah satu tangga teratas.

But, what goes up must come down. Begitu kata Isaac Newton, si penemu gravitasi. Setidaknya hingga setahun lalu, Wonwoo mulai menemukan batu besar yang menghalangi dirinya untuk melangkah. Puncaknya adalah enam bulan lalu. Otaknya itu serasa mati, he couldn’t even manage to find its switch off button, in case there’s is such an on-off button inside his brain.

Ini bukan kali pertamanya, author’s block adalah sewajar-wajarnya hal bagi seseorang yang melabeli diri sendiri mereka sebagai penulis. Tapi, Wonwoo tidak pernah merasa sepayah ini sebelumnya. Dulu itu, ia hanya butuh setidaknya dua bulan sampai ia mendapatkan kemampuannya kembali untuk mengetik apa pun, mengubah segala kombinasi kata yang muncul di otaknya menjadi kalimat apik layaknya air yang mengalir. Tapi lihat dia sekarang, lihat layar laptopnya sekarang.

Detik setelahnya adalah handphone yang berdering.

Dibanding banyak penulis lain yang ia kenal, pada awalnya, Wonwoo dibuat cukup bersyukur karena editornya adalah salah satu yang terbaik. Cara yang ia gunakan selalu menyenangkan, tidak memberi tekanan namun memotivasinya untuk segera menyelesaikan novelnya. Tapi itu bertahun-tahun lalu, bukan saat ini ketika untuk sekadar mengetik caption di Instagram saja, ia tidak tahu harus menulis apa. Tapi itu lima bulan lalu, saat Wendy masih bekerja di penerbitan tempatnya menerbitkan novel-novelnya.

Wonwoo masih ingat betul bagaimana saat itu, ia masuk ke dalam William’s dan menyebut nama Wendy untuk kemudian diantar ke sebuah meja restoran dengan dua orang di sana.

“Wonwoo, ini Kim Mingyu, editor baru di kantor. Dan, Mingyu, lo pasti udah kenal Wonwoo.”

Mingyu-mingyu tadi langsung menyodorkan tangannya, mengajak Wonwoo untuk berjabat tangan. Wonwoo menyambutnya dengan senyum halus, baru berubah saat laki-laki tadi seakan memaksanya untuk mendelik ketika ia menggenggam tangannya sangat erat like they were in an important United Nation’s agreement.

“Lo tau kan kalau suami gue dipindahtugaskan ke Amsterdam and i don’t think i can manage to work in here again. I’m so sorry, Wonwoo ....”

Begitu katanya, membungkam mulutnya sejadi-jadinya. That was ... wow? That was happening so damn fast. Dia yang sedang berjuang mati-matian ini harus menelan pil pahit berupa ditinggalkan oleh editor kesayangannya. Kalau Wendy adalah editor yang menyebalkan, mungkin segalanya akan jauh lebih mudah. Namun kenyataannya, dia adalah yang terbaik. Sosoknya itu sudah seperti kakak dan sahabat yang selalu menemaninya setiap Wonwoo membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah.

Jadi di sinilah Wonwoo sekarang, menatap layar handphone yang menyala dengan nama Mingyu (ed.) terpatri di sana. Pada dering ketiga, Wonwoo mengangkat teleponnya.

“Halo, Wonwoo. Saya enggak ganggu kamu nulis kan?”

Menulis turus mengenai banyaknya tombol backspace dan delete yang ia pencet sebelum kalimatnya mencapai titik selama setahun ini? Sure, Mingyu, sure.

Nope, not at all! Aku lagi santai kok.”

Aku.

So, that’s the thing. Has he mentioned it before if that guy is actually kinda cute?

Selama dua puluh tujuh tahun dia hidup sebagai warga Jakarta dan segala stereotip orang kotanya, Wonwoo tidak pernah terbiasa dengan kata ganti nama selembut aku-kamu, kecuali kepada segelintir orang yang memang ia anggap butuh. Seperti misalnya, keluarga besar. Lalu teman-temannya yang berasal dari luar Jakarta yang tidak terbiasa dengan gue-lo. Orang-orang yang bertemu dengannya atas nama profesionalisme. Kemudian pacar-pacarnya yang telah berubah status menjadi mantan yang entah ada berapa banyak itu. Lalu, ya, Mingyu-mingyu ini.

“Oke … bagus kalau gitu.” Wonwoo bisa merasakan senyum Mingyu di seberang sana. “Jadi ... gimana perkembangan buku kamu?”

Sadly, I can’t give you any progress yet,” ujarnya, dengan nada sedih.

“Ada masalah, Jeon?”

“Masih author’s block. Aku enggak berasa hidup kalau gini terus, Gyu.”

Ada keheningan setelahnya, mungkin editornya yang sering kali bersikap kikuk itu sedang berpikir.

Ada beberapa kali pertemuan yang mereka lakukan, sekitar tiga kali kalau Wonwoo tidak salah ingat. Mingyu selalu muncul dengan gaya yang tidak pernah buruk, justru termasuk ke dalam mereka yang akan membuatnya perlu menengok dua kali jika berpapasan. One of his favorite look was two months ago, ketika Mingyu mengajaknya untuk melakukan brainstorming and whatever shit di sebuah kafe. Kemeja baby blue dengan strip putih itu melekat bagus di tubuhnya, the wide shoulder of him. Lengannya yang tentu saja digulung sampai siku layaknya seluruh laki-laki di antero dunia dengan alasannya masing-masing itu menampilkan jamnya yang membuatnya lebih ... menarik. Kemudian celana jeans hitam dan rambut yang dibiarkan menutupi sebagian dahinya. Fuck, that was actually hot, if only Mingyu tried his best to look into Wonwoo’s eyes for at least two seconds.

Sigh, kenapa laki-laki atraktif ini tidak sekalian dianugerahi dengan kemampuan sosial yang baik juga?

“Kamu mau batalin semua draft yang kemarin?”

“Bukan gitu, Mingyu. Just ... give me another couple of months, can you?

“Saya bisa ngasih semua waktu, Wonwoo, cuma—“

Kalimat-kalimat setelahnya terdengar lebih seperti aerosol yang terbang di udara. Kalau Wonwoo bisa memilih, dia juga tidak mau seperti ini. Bagaimana bisa ia mengklaim diri sebagai penulis jika untuk menulis saja, rasanya tidak mampu? Sesuatu yang awalnya mudah untuk dikerjakan itu tiba-tiba berubah menjadi hal tersulit yang pernah ada di jagat raya.

Mingyu, it must be tiring for you too. I’m sorry.

“Enggak apa, saya ngerti kalau ini pasti lebih berat untuk kamu.”

Mingyu itu tidak buruk. Setelah lima bulan mengenal laki-laki ini, hal lain yang menarik perhatiannya selain penampilan dan fisiknya itu tentu bagaimana dia dapat menyaingi Wendy dalam hal menjadi yang paling perhatian. Menyarankan istirahat terlebih dahulu, makan makanan yang Wonwoo suka, pergi ke tempat yang ingin ia datangi, apa pun. Tidak bisa menghasilkan tulisan apa pun berarti menyia-nyiakan segala kebaikan dan dukungan yang telah Mingyu lakukan dan Wonwoo tidak suka itu. Ia tidak suka punya utang budi semacam ini. Mungkin, ia memang harus mencari cara agar otaknya berhenti tersumbat lagi.

Think, Wonwoo, think.

“Mingyu ..., may I ask?”

Ada hening lagi sampai Mingyu menggumam, “Boleh.”

“Kamu sebenernya ada pacar enggak sih? Atau malah ... istri? suami?”

That was a drunk state of him, even though he didn’t even drink anything except milk and honey, mineral water, and tea for the past week.

“Saya ... masih sendiri.” Ada bingung di dalam nadanya. “Kenapa, Won?”

“Jadi kalau aku mau ngajak kamu main ke rumah aku, enggak akan ada yang marah, kan?”

Ugh, why did he sounds like those fuck boy who tried to hit a woman he found in an Instagram? Kedua, kenapa juga ia mengundang Mingyu untuk datang ke rumahnya? Apa sekarang dia terdengar seperti laki-laki nakal karena mengajak rekan kerjanya sendiri untuk bermain ke rumahnya tanpa alasan jelas?

Jeon Wonwoo, you’re sick.

“Saya ... saya—“

It’s okay if you don’t want to, tapi aku pengen yang kayak waktu itu lagi loh, Gyu. Pas kita sharing ide, it helped me so much! Walaupun cuma untuk satu chapter dan sekarang aku payah lagi.”

“Kamu enggak payah, kok.” Sanggah Mingyu. “Kamu mau saya ke sana kapan, Jeon?”

“Terserah kamu bisanya kapan, Mingyu.”

“Saya kosong malam ini.”

Suddenly, it has been settled. Mingyu akan datang ke rumahnya dan berjanji akan membawa makanan untuk mereka makan malam. Dibanding kembali memusatkan pikirannya dengan apa pun yang berhubungan dengan chapter ketiga novelnya, Wonwoo memilih untuk mengangkat diri, pergi ke kamar mandi dan membasuh dirinya sebersih-bersihnya. Entah apa alasannya, pikirannya mengatakan bahwa ia hanya ingin. Memilih baju di lemari pun tidak kalah sulit dengan memilih judul untuk karya-karyanya. He wants to make it less obvious kalau dia mempersiapkan diri untuk kedatangan Mingyu, jadi kemeja atau polo shirt bukan jawabannya.

Oversized shirt.

Nah, Mingyu sudah pernah melihatnya dengan itu.

Sweater.

Sama saja.

But sweater looks cute, mungkin ia bisa memakai celana pendeknya dan—

What the hell, Jeon Wonwoo?! You invited him to help you, not for you to trap him.

Tangannya kemudian menarik sebuah piyama satin berwarna biru tua yang entah sejak kapan dia beli. Jadi, pilihannya berakhir di pakaian itu. Menatap pantulannya di depan cermin, Wonwoo mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil di tangan.

Butuh satu jam sampai belnya berbunyi dan Wonwoo langsung berubah seperti kucing yang mendengar suara kemasan makanannya tengah dibuka. Ada Mingyu di balik pintunya, polo shirt biru tua dan celana khaki, great. Kemudian rambutnya yang dibiarkan menutupi dahi, great as well. Lalu paper bag belanjaan di pelukannya, seems domestic, so it’s greater.

Perfect.

Well, little crush won’t hurt anyone, right?

“Katanya, kamu mau beli makan.”

“Tadinya,” jawabnya sambil tersenyum, meletakkan bahan-bahan makanannya di atas meja pantry. “Tapi mungkin, masakan saya bisa bantu kamu buat ...,”

Wonwoo memiringkan kepalanya, menunggu jawaban.

“Buat kamu ngerasa ... lebih nyaman.”

Do I look uncomfortable?

“Mungkin makanan rumahan bisa bantu kamu untuk lebih rileks.”

Wonwoo lantas hanya mengangguk, menarik kursi dan duduk di depan meja pantry. Editornya itu sudah sibuk sendiri dengan berbagai bahan dan alat di tangan, jadi Wonwoo membuang waktunya untuk kembali masuk ke kamar dan kembali dengan laptop di tangan, just because.

“Mau coba nulis, Jeon?”

Twenty four hours, seven days a week.

“Dan belum ada progres untuk chapter tiga.”

“Belum ada progress untuk chapter tiga.”

Lalu, ada helaan napas langsung terdengar di ruang yang hening.

“Wonwoo, saya enggak ada niat untuk buru-buru, tapi ... deadline ini seharusnya berguna untuk memacu kamu.”

“Aku paham, Mingyu. Dulu, blocks-ku enggak pernah separah ini, jadi aku enggak sekhawatir sekarang. I swear, this is the worst.

“Tapi kalau emang ngerasa overwhelming, enggak apa kalau mau cancel novelnya dan ambil break. Menulis enggak seharusnya jadi burden untuk kamu,” lanjut Mingyu, tangannya masih sibuk bermain dengan spatula plastik IKEA yang Wonwoo miliki.

“Tapi, mau jadi apa penulis yang bahkan enggak bisa menulis, Gyu?“

“Saya pernah baca di internet. Katanya, setiap penulis bakal tetap jadi penulis, bahkan kalau enggak nulis, Won. Semua orang tau kamu dan novel kamu, itu title yang bakal kamu bawa sampai kapan pun.”

Tangannya Wonwoo sejenak berhenti berdansa di atas keyboard laptopnya. Segala yang dikatakan laki-laki itu benar, dia akan tetap dikenal sebagai Jeon Wonwoo, seorang penulis, dan tidak seharusnya proses menulis itu menjadi sebuah tekanan. Tapi rasanya sayang sekali kalau ia harus merelakan segala jerih payah selama beberapa bulan belakangan, dua chapter yang berhasil ia kirimkan kepada Mingyu sebelum memburuknya author’s block yang sekarang ia dapatkan.

“Gyu, kamu tau enggak sih kalau kamu itu atraktif banget?”

Kalimat yang salah, Wonwoo tau. Dapat ditinjau dari bagaimana telinga Mingyu langsung memerah dan geraknya yang semula sudah membaik itu menjadi kaku lagi. Mungkin, Wonwoo membuatnya kaget. Mungkin juga, ia hanya malu saja.

“Semoga kamu enggak keberatan sama ayam kecap,” ujarnya, setelah beberapa menit kemudian enggan menatap mata Wonwoo seakan dia adalah Medusa yang mampu mengubah Mingyu menjadi batu.

Makan malam berjalan dengan tenang. Hanya ada Wonwoo yang mencuri pandangan dari Mingyu yang sibuk menyendokkan nasi ke dalam mulutnya, meski Wonwoo itu tidak bodoh. Dia bisa merasakan tatapan yang Mingyu berikan kepadanya, memergokinya dua kali, meski laki-laki itu sangat andal untuk membuang pandangannya ke mana saja.

Ia bersikuku untuk mencuci setelahnya, menyuruh Mingyu untuk duduk di sofa dan melakukan apa pun yang laki-laki itu mau.

“Just wait there!”

Butuh sepuluh menit, mungkin, hingga Wonwoo benar-benar selesai dan merebahkan dirinya di atas sofa.

So ... kamu juga pegang buku penulis lain? Kayak Wendy?”

Mingyu langsung mengangguk, “ada dua lagi.”

“Progres mereka bagus ya?”

Ketika Mingyu menoleh, Wonwoo langsung mencebik. Jawabannya pasti iya dan dia merasa payah sekarang.

“Saya baca semua buku kamu, Wonwoo, dan saya yakin kamu bisa nulis sebagus itu lagi.”

I know! But ... when?

“Wonwoo, yang tau itu cuma kamu. Kamu perlu dikasih deadline lebih ketat lagi buat memacu?”

Well, what the hell? Wonwoo screwed.

“Kalau aku enggak bisa nyelesain di saat itu?”

“Ya, buku kamu enggak akan bisa naik di akhir semester pertama tahun ini, seperti target kamu.”

Bagaimana bisa laki-laki ini masih mengingat target yang ia buat? Like, of course, Wonwoo sendiri ingat. Dia buat target itu dengan mempertimbangkan segalanya, segala aspek eksternal yang bisa mendukung kesuksesan buku ini. Namun Mingyu mampu untuk membuatnya kembali kalut dengan satu kata bernama “target.”

“Tanggal 27 bulan ini, kamu bisa?”

No, you must be kidding me! Aku bahkan enggak yakin bisa nyelesain chapter ini di deadline awal yang masih 40 hari lagi itu!”

“Saya majuin lagi jadi 20 gimana?”

Wonwoo doesn’t understand what’s going into him. Yang ia tau, tubuhnya itu tiba-tiba sudah terduduk di atas pangkuan Mingyu yang sedang menatapnya nanar. Tubuhnya berubah kaku, Wonwoo bisa merasakan itu.

Please, jangan,” ujar Wonwoo, jari telunjuknya bermain di lambang Polo Ralph Lauren yang ada di dada kiri Mingyu. Menjadikan empunya terpaku, membeku di bawahnya.

“Wonwoo, kamu— ngapain?”

“Mingyu, aku udah kerja keras banget. Kamu enggak bisa pengertian sedikit?”

“Wonwoo, iya. Saya bisa ngasih kamu waktu, tapi—“

You won’t even look me in the eyes, gimana aku tau kalau kamu serius?”

Wonwoo can hear a sigh, napas berat yang baru saja dikeluarkan. Lalu Mingyu yang mendongak dengan tatapan kikuknya. He is cute, he is the cutest.

Tangannya bergerak untuk mengelus pipi laki-laki di bawahnya.

“Aku suka enggak enak sama kamu sih,” tutur Wonwoo. “Kamu udah nunggu lama banget untuk ceritaku, tapi aku belum bisa ngasih kamu lebih dari lima ribu kata.”

“Won, saya enggak ap—“

“Jadi, karena aku belom bisa ngasih chapter baru, aku mau bilang makasih dengan ngasih hal lain yang kamu mau.”

Napasnya langsung terasa tercekat, matanya melebar. Penulisnya ini bukan orang sembarangan, auranya itu terlalu kuat untuk dilawan, membuatnya pasrah di bawah kungkungannya. Mungkin karena otaknya itu sudah terbiasa menutur kata-kata cantik, kalimat adalah kekuatannya. Mingyu hampir terlena dibuatnya.

Tell me, Mingyu ....

“Wonwoo, saya—“

“Aku suka kalau kamu panggil aku Jeon.”

Wonwoo swears he can feel a bulge under him, Mingyu’s bulge. It triggers him to bounce his hips, menciptakan friksi berkat singgungan di bawah sana.

Ada lenguhan yang spontan lepas. Napas Mingyu mulai berat, tatapannya mulai lari ke sana dan kemari hingga akhirnya, besar rasanya untuk ingin menyerah.

“Jeon, jangan giniin saya ....”

“Kamu enggak bilang maunya apa, gimana aku tau mana yang boleh dan yang enggak?” Jelas Wonwoo. Tangannya masih sibuk bermain, kini ibu jarinya yang membuat lingkaran kecil di pinggang Mingyu.

Yang kemudian membuat Wonwoo balik tercekat adalah ketika sepasang tangan memeluk pinggangnya, tatapannya mulai merendah.

“Jeon Wonwoo ....”

Elusan di pipi kirinya, “Iya, Mingyu?”

“Kamu mau—“

“Mau apa?”

“Mau— ah, gimana saya ngomongnya ke kamu.” Ada frustrasi di wajah Mingyu, Wonwoo mampu melihatnya. Bibirnya sedikit mengerucut, tidak mungkin tidak membuatnya ingin menunduk dan mencuri kecupan dari sang editor.

Just say it, Editor Kim. It’s just me.

Ada kontemplasi singkat di otak laki-laki itu barang sejenak. Tarikan napas yang tidak ia keluarkan dengan cepat.

“Kamu mau ... ngelakuin ini sama saya?”

“Maksud kamu tuh ngelakuin apa, sih, Gyu?

He feels like he just wins and he loves it so much, Mingyu dan wajah paniknya yang tengah mengais-ngais kalimat untuk menjawab pertanyaannya.

“Mingyu?”

Dibanding menjawab, langsung serasa ada listrik yang menyengat tubuhnya, membangkitkan seluruh syaraf yang ada dari ujung kepala hingga kaki.

Wonwoo mampu untuk membedakan mana orang yang punya kemampuan baik dalam hal ciuman dan mana yang tidak. Oh my God, sometimes, its way too obvious. Gerak bibirnya, berantakannya, momentumnya, canggungnya, apa pun. Laki-laki di depannya ini tentu bukan yang baik, gerakannya kacau dan seputar kedua bibir yang ditekan kepada satu sama lain. Tapi, Wonwoo memilih untuk mengikuti permainan Mingyu, mengizinkannya untuk terbawa ke dalam arus insting yang dia miliki.

Baru ketika Mingyu mulai membuka mulutnya untuk melumat milik Wonwoo, dia melancarkan aksi.

Pada akhirnya, Wonwoo memenangkan permainan. Dapat dilihat dari bagaimana Mingyu membiarkan laki-laki di pangkuannya itu memimpin permainan. Mengizinkan bibirnya untuk dikecup setiap incinya, untuk dicumbu, dibuai dengan nafsu.

Gyu, tell me.

“Jeon ....”

What do you want us to do?

“Kamu beneran mau ngelakuin ini sama saya?” Tanya Mingyu, masih dengan pertanyaan yang sama.

“Kamu bahkan enggak ngejelasin apanya, Mingyu.”

“Seks.”

Fuck, that was ... pretty bold.

Bukannya dia salah, bukan. Doing sex with his cute-yet-so-damn-hot editor, Kim Mingyu? Oh, what a pure heaven? Tapi—

Or making out. Atau ... apa? Saya enggak tau kamu mau apa, Wonwoo ...,” lanjut Mingyu.

This guy is something else, another form of an adorable puppy. Wonwoo memberinya kecupan di bibir sebagai tanda gemas, membuat laki-laki itu kembali mendelikkan mata.

“Memang kamu pernah ngeseks?”

“Eng ... enggak. Maaf, saya cupu banget.”

No! Not at all. Kita semua bebas ngelakuin kapan aja, selama udah siap,” jelas Wonwoo. Jarinya berhenti setelah membuka kancing kedua dari polo Mingyu dan menarik bagian bawahnya untuk ia lepas dari tubuhnya, membuangnya ke lantai.

Well, fuck.

Wow, summer body when it’s not even summer? Indonesia bahkan enggak punya summer, but—

“Jeon Wonwoo,” suara rendahnya langsung membuatnya berdesir dari ujung kaki hingga kepala. “Boleh ganti bahasannya? Saya ... agak malu.”

He chuckles, mengangguk pelan.

“Gantian, kamu yang bukain baju aku.”

“Wonwoo, saya ngerasa enggak sopan ke kamu.”

Oh my God ...,

Maybe he knows that Wonwoo pissed off, karena tangannya itu akhirnya bergerak dan membuka setiap kancingnya perlahan. memberikan akses bagi udara dingin untuk menyentuh kulitnya sebelum Mingyu sempat melakukannya. Licinnya satin membuat piyamanya itu langsung turun dari bahunya, seperti memberikan pemandangan untuk satu-satunya orang lain di ruang tamu ini.

Tangannya yang bergerak naik dengan kaku, ada gemetar di sana sampai akhirnya Wonwoo menariknya, meletakkannya di atas dadanya.

Do whatever you want to do, Mingyu. Aku bakal bilang kalau aku enggak comfortable.

Kalau mau dijabarkan seperti apa menit-menit setelahnya terasa, Wonwoo akan mendeskripsikannya sebagai panas. AC di ruangannya itu seakan tidak berfungsi, bahkan tubuhnya yang terlampau peka terhadap dingin itu tidak mampu lagi merasa. Mingyu yang kikuk akan tetap jadi Mingyu yang kikuk, penuh keraguan dalam setiap sentuhnya. Lalu, Wonwoo yang memimpin akan menunjukkannya apa yang harus ia lakukan.

Mereka berakhir dengan kotor di celana yang Mingyu gunakan.

“Wonwoo, gila kamu.”

How’s your first-time experience, sir? We should’ve done it on my bed room.

“Kamunya ... enggak sakit?”

Oh, he hates it here

Tidak perlu untuk seperhatian itu setelah bersenggama, Minggu, pikir Wonwoo.

“Aku enggak kenapa-kenapa, tapi aku nanya kamu.”

“Saya ...” Mingyu perlu mengerjapkan matanya beberpa kali, lalu menatap Wonwoo yang semakin bingung dibuatnya. “Ngerasa ... hidup. Enak ternyata.”

Ada senyum yang terbentuk di wajahnya setelahnya, lalu ketika ia menuduk, ada kenyataan yang menyapa jikalau Mingyu-mingyu ini sedari tadi tidak melepas celananya, hanya sedikit menurunkannya. Ada bekas cairan milik Wonwoo yang kini membasahi bagian pinggangnya.

“Tapi, kamu enggak bisa pulang pakai celana kamu ini, Mingyu.”

Mingyu bersumpah ini adalah salah satu momen paling memalukan yang pernah ia alami. Pipinya itu langsung memerah, leher yang terus diusap-usap oleh telapak tangan. Warna dan letak basahnya juga benar-benar tidak mendukungnya untuk beralasan apa pun. Meski tetangga juga tidak akan mungkin langsung berkonklusi di malam hari seperti ini dengan penerangan seadanya mengenai pulau yang ada di celananya, siapa yang tau? Keberadaannya saja sudah dapat memancing ribuan pertanyaan.

“Gimana kalau kamu nginep aja, Gyu? Aku bisa cuciin celana kamu. Besok pagi, pasti udah kering.”

Kalau Mingyu cerdas, dia akan tau bahwa itu hanya akal-akalan Wonwoo untuk menahannya agar tetap tinggal. Namun mungkin, Mingyu bukan orang paling pintar di muka bumi. Namun mungkin juga, mereka berbagi pikiran yang sama. Bisa dilihat dari bagaimana dia yang meminta Wonwoo untuk turun dari pangkuannya dan melepas seluruh celananya, membuatnya telanjang bulat.

This guy is seriously something else.

“Ini saya boleh pinjem baju kamu atau—“

“Kamu mending begini aja deh, Gyu? You look better with no clothes on.”

“Jeon Wonwoo ....”

Of course, aku bakal pinjemin kamu, Mingyu. Ayo, bahas ide cerita yang tadi kamu sebutin di kamar aku!”

Well, well. It’s gonna be such a long long night.

DONE