write.as

lima mil memasuki pekarangan S.T.A.R. Labs, dia orang yang dihormati.

di luar itu?

cuma pejalan kaki biasa.

nyaru dengan warga detroit lainnya yang kebetulan sedang berjalan di trotoar di sisi jalan yang sama dengannya. itu sebabnya mengapa ketika cafe mocha ketiga yang berusaha dibawanya kembali ke base instrumentations tanpa cupholder terselip dari genggaman tangannya, tidak ada orang yang berhamburan menghampiri jinhyuk untuk menawarkan bantuan. paling cuma lirikan mata dan ekspresi wajah yang berkata, turut berduka atas kopi dan kemejamu, bung, tapi kita tidak punya waktu untuk ini.

itu juga sebabnya mengapa ketika ada tangan yang mengulurkan selembar sapu tangan kepada jinhyuk di saat dia sedang sebegitu kewalahannya bergulat dengan kopi tumpah di pinggir jalan, butuh hampir setengah perjalanan menuju S.T.A.R. Labs bagi jinhyuk untuk mulai berkedip lagi.

dan lagi, ketika sang pemilik sapu tangan menawarkannya untuk bebersih terlebih dahulu di base medik, berhubung tempat itu selalu sepi pengunjung.

dan lagi, ketika yang bersangkutan mengulurkan sepotong kemeja bersih yang ukurannya pas di badan jinhyuk.

“di... mana, dok, gantinya?”

“di sini aja,” jawab sang dokter kalem, sambil mengotret sesuatu di mejanya. “nggak ada siapa-siapa lagi di sini selain saya.”

justru saya yang malu kalau harus ganti pakaian di hadapan dokter.

mendapati jinhyuk terdiam seperti orang bego masih dengan kemeja yang terlipat rapi di genggamannya, pria itu akhirnya mengangkat wajah. berkedip bingung, “oh—saya perlu hadap belakang, kah?”

jinhyuk tersenyum pasrah. “kalau boleh, dok.”

yang bersangkutan bergumam pelan, lantas berputar di atas kursi lengan berodanya dengan bolpen dan buku catatan. ada gelengan pelan dan senyum tipis yang terpatri di bibir jinhyuk seraya dia mulai melucuti pakaiannya, berpikir: sudah waktunya base medik punya suatu ruangan yang lebih privat. mungkin dia akan bicara kepada jajaran dewan direksi untuk mengalokasikan budget tahunan mereka selanjutnya ke fasilitas ini. toh, dilihat-lihat, dibandingkan dengan fasilitasi S.T.A.R. Labs yang lainnya—base medik ini yang paling jarang ia dengar tentang keluar-masuk operasinya.

“sendirian aja, dok?” tanya jinhyuk pelan, bergidik manakala pendingin ruangan itu menyentuh kulitnya. buru-buru ia mengenakan kemeja yang bersih—warnanya biru muda.

“sedang pada sarapan,” gumam sang dokter. dari sini, kedengaran seperti sang dokter masih berkutat dengan buku catatannya. jinhyuk tersenyum.

jemarinya mulai bergerak mengancing kemeja tersebut dari kancing yang paling bawah.

“kalau dokter, sudah sarapan?”

ada jeda sedikit, sebelum akhirnya, “...sudah.”

“tempat saya beli kopi tadi, croissant-nya enak, dok,” dia menemukan dirinya sendiri berkata begitu. entah kenapa. ada cermin badan yang dipasang di salah satu sisi dinding ruangan. jinhyuk memposisikan dirinya di hadapan cermin tersebut dan mulai mengenakan dasinya. dia benci fakta bahwa dia harus tampil dengan dasi setiap hari, tapi hari ini, khusus hari ini—dia tidak keberatan. matanya menemukan refleksi sang dokter di atas kursi berodanya, terduduk dengan tungkai terlipat, dan buku catatan bersandar di pangkuannya. kelihatannya tidak peduli kalau dia sedang diperhatikan. “mungkin dokter mau coba.”

“saya sudah sarapan,” ulang pria itu pelan.

“tahu. maksud saya mungkin kapan-kapan,” satu tarikan final di dasi dan ia membalikkan badan. tatapannya menangkap balik mata sang dokter tepat ketika ia melanjutkan dengan, “saya jadi tour guide kuliner. ceritanya.”

yang bersangkutan mengulum senyum, sambil kembali merunduk. jinhyuk menggelengkan kepala lagi kepada diri sendiri. bisa gitu, ya.

“terima kasih ya, dok,” ujar jinhyuk, hampir saja beranjak pergi kalau bukan karena dia lupa akan sesuatu. “ini sapu tangannya boleh saya cuci dulu?”

pria itu tampak berpikir. “nggak apa, dikemarikan aja.”

berhubung sudah ada tangan yang terulur meminta sapu tangan itu kembali, jinhyuk mana tega mendebatnya. jadi yang dilakukannya adalah berjalan kembali menghampiri meja sang dokter untuk menyerahkan sapu tangannya yang belepotan noda kopi bekas mengusap kemejanya. dokter kim wooseok menerimanya dengan dua tangan, tersenyum menengadah kepadanya.

“have a great day, coach.”

jinhyuk membalas senyuman itu cepat. “you too.”

dalam perjalanannya kembali menuju base instrumentation, bohong kalau jinhyuk bilang dia tidak merasa seperti zombie.

bisa-bisanya dia tidak melihat benda berkilauan itu di jari sang dokter di kali pertama.