Blank Space

New nampak kebingungan di kamar kos yang tak terlalu besar ini, tak ada pencahayaan di sini selain cahaya yang berasal lampu kamar mandi, susah payah ia celingukan mencari orang yang sukarela mau membantunya namun sepertinya penghuni kosan ini punya jadwal mereka sendiri apalagi ini malam minggu.

“Sepertinya Ibu kos lupa ngasih tau kalau lampunya udah minta dipensiunkan”

Suara seorang lelaki dari arah pintu membuat New berbalik, mereka bertatapan, dari keremangan seperti ini sosok lelaki tegap nan jangkung yang berdiri di daun pintu sana nampak sangat macho.

“K-Kak Tegar?”

Tegar mengangguk pelan, ia sendiri kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikan sosok lelaki di depannya..... Ah tidak.... Mungkin lebih tepatnya sosok remaja, wajah manis nan imut itu yang memberitahunya, mungkin saja usianya masih belasan? Siapa tahu kan?

Matanya tak berkedip, ia menangkap pewangi ruangan di genggaman tangan di remaja belia yang mematung di depannya.

“Mau gantung pewangi ruangan di bawah kipas ya?” Tegar melangkah masuk, melihat jarak lantai dengan plafon yang lumayan tinggi.

“He em, tadinya mau geser meja jati ini tapi kayanya berat banget, gak kuat kalau mau geser sendirian” New mengangkat bungkus pewangi ruangan dengan tersenyum kikuk.

“Jadi yang mana satu? Mau lampu dulu atau gantung penyegar ruangan dulu?”

“Sepertinya lampu lebih dibutuhkan saat ini”

Dan mereka mendorong meja jati itu berdua, menempatkannya di bawah lampu yang minta dipensiunkan segera.

“Yakin bisa pasang sendiri?” Tegar mengernyitkan alisnya ketika melihat aksi bocah remaja itu memanjat meja.

“Bisa” susah payah New mencoba menggapai lampu, namun sayang sekali.... Tak sampai, ia sampai berjinjit tapi tak membawanya untuk memutar bohlam lampu.

New menunduk ke bawah dengan raut putus asa “Gak nyampe ternyata” ujarnya dengan tawa canggung sembari bergerak menuruni meja.

Naas kakinya terpeleset dan tak mulus mendarat ke lantai.

BUAGGGGHHH!!!

“Aaaaaaa....”

Tegar menangkap tubuh New dengan reflek, si remaja yang ia perkirakan masih duduk di bangku SMA itu jatuh menghantam dadanya, mereka saling mengunci lengan satu sama lain agar tak jatuh bergulingan di lantai.

Untuk beberapa saat mereka terdiam, raut terkejut terukir jelas di wajah si remaja, mereka bertatapan tepat di mata, tangan mereka nampak seperti merangkul bahu satu sama lain.

Tegar tersihir, ia terbius dan terpana, sepasang bola mata indah itu memerangkapnya dalam gerak yang membekukan,

“Kak....”

Begitu tersadar, Tegar buru-buru melepaskan belitan tangannya yang melingkar erat di pinggang si pemuda.

“Biar aku aja yang naik”

Kecanggungan jelas menguasai udara di kamar ini, degub jantung Tegar terasa bertalu-talu seperti suara langkah kaki di anak tangga, ia khawatir kalau remaja yang jatuh dalam pelukannya itu mendengarnya.

Tap Tap Tap

Tegar bergerak cepat menaiki meja, New sampai terkagum dibuatnya.

“Lampunya...”

New diam tak merespon, tapi terus menatap Tegar dengan tatapan yang susah diartikan.

“Ehem....”

“Eh iya kak? Kenapa?”

“Lampunya” Tegar menujuk bohlam lampu yang tergeletak di atas meja.

Tak butuh waktu lama sampai bohlam baru selesai dipasang, juga penyegar ruangan sudah menggantung rapi di bawah kipas, tak lupa mereka kembali menggeser meja ke tempat semula.

“Makasih kak” Pemuda itu tersenyum,

Oh shit! Tegar terpana sampai melongo seperti orang bodoh.

“He eh” hanya itu kata yang keluar dari mulutnya, diikuti dengan senyum yang menular di bibirnya sebelum melangkah keluar dan kembali ke kamar.

Tok! Tok! Tok!

Tak ada jawaban, sama seperti pesan singkatnya yang diabaikan oleh Tegar.

“Gar...Tegar, cacing di perutku kayaknya udah pada demo nih”

Klek!

Kenop pintu sukses ia putar, ternyata tak terkunci dari dalam.

Dengan gerakan pelan seperti mengendap dan berjinjit New masuk menyelinap, sayup-sayup ia mendengar dengungan ayat yang tak familiar, ternyata Tegar sedang melakukan ibadah.

New terpaku di daun pintu, harus ia akui kalau Tegar adalah seorang insan yang baik.... Ah tidak, mungkin lebih tepatnya seorang muslim yang taat dan baik, New menghormatinya sebagaimana Tegar juga menghormati dirinya, pertemanan mereka nampak berwarna dengan adanya tenggang rasa.

Perlahan ia bergerak menuju ranjang, ia duduk diam dan memperhatikan Tegar yang ada di rakaat terakhirnya, ia menghormati waktu ibadah Tegar, dan ia juga tau kalau Tegar juga melakukan hal yang sama dengan mengingatkannya untuk ibadah Misa, bahkan Tegar menawarkan diri untuk mengantar ke Gereja.

Diam-diam ia memperhatikan sosok Tegar dalam balutan sarung dan baju koko, ada penutup kepala yang menutupi rambut, ia yakin sekali kalau namanya adalah peci.

Tegar nampak berbeda, New tak dapat menjelaskannya, ia hanya bisa diam tanpa membuat sebarang suara sampai Tegar selesai melakukan ibadahnya.

“Tegar, maaf tadi aku gak ngucapin salam waktu masuk, takut kamu bingung gimana jawabnya”

Tegar melepas pecinya dan rambut setengah basah itu menjuntai begitu saja, New sampai kikuk dibuatnya.

“He em, gapapa.... Oh ya tadi siapa yang demo?”

Tiba-tiba sensasi lapar itu kembali menghantam perut New, padahal sesaat tadi sempat hilang entah kemana.

“Cacing di perutku, lapar Gaarrrr” ucapnya manja sembari memegang perut dengan kedua tangannya, sedikit lebay dengan bergerak bergulingan di atas ranjang milik Tegar.

Tegar tertawa pendek, ia melipat sajadah dan sarungnya.

“Tunggu sebentar, aku mau ganti pakaian dulu” kancing-kancing baju koko itu ia buka tautannua dan kembali ia gantungkan di balik pintu.

“Itu seragam sembayangmu ya Gar?”

“Ini?” tunjuknya pada baju koko yang baru saja ia tanggalkan.

“He em”

“Bukan seragam sembayang sih, pakai pakaian apa pun bisa asal suci dan menutup aurat” saat ini Tegar hanya mengenakan celana boxer sebatas lutut dan bertelanjang dada.

New manggut-manggut, terus memperhatikan Tegar yang sedang memasukkan kaos dari celah kepala dan kedua tangannya.

“Ayo, kenapa bengong terus?” kunci motor di atas nakas disambar oleh Tegar.

“E-Enggak, siapa yang bengong” jawabnya bangkit dari ranjang.

“Mau makan gudeg gak?”

“Aku belum pernah makan gudeg” New mengekor di belakang.

“Berarti kamu harus cobain, jadi kalau suatu hari kamu ikut aku ke Jogja biar tau bedanya dengan yang di sini”

“Emangnya kamu mau ngajak aku ke Jogja?” mereka berjalan beriringan.

“Emangnya kamu gak mau tau seperti apa itu Jogja?” bukannya dijawab, Tegar malah melempar pertanyaan.

“Ya mau kalau diajak”

Tegar baru saja menstarter motornya dan New langsung naik ke boncengan.

“Pegangan, tempat makannya agak jauh dari kosan... aku mau ngebut, takutnya kamu jatuh di jalan dan aku gak ngerasa sama sekali” Tegar berkelakar.

Dan ketika kedua tangan New melingkar di perutnya, tanpa sadar ada senyum yang melengkung di sudut bibir Tegar, lengkungan itu tambah lebar tiap kali ia melajukan motornya lebih kencang sehingga New lebih menempel padanya di belakang.

Mereka langsung menjadi teman akrab, tiga bulan pertama mereka habiskan bersama-sama, bahkan frekuensi kedekatan antara Tegar dan New melebihi antara Tegar dengan Joffan.

Joffan hanya pernah ikut makan malam beberapa kali saja, selebihnya mereka menghabiskan waktu berdua. Terkadang Tegar akan menjemput New ketika selesai bekerja karena kebetulan kantor tempatnya bekerja langsung berhadapan dengan Bank di mana New selalu menunggunya.

Tiap hari minggu Tegar akan mengantar New ke Gereja, ketika hari jumat tiba New akan menunggu Tegar menyelesaikan ibadah Jumatnya dan menghabiskan istirahat dengan makan siang bersama.

Saat New masuk ke kamar Tegar dan mendapati laki-laki itu sedang beribadah, seringnya ia akan duduk diam memperhatikan, diam-diam ia suka mendengarkan ayat yang digumamkan Tegar, terdengar mendamaikan.

Pun sama dengan Tegar, lelaki itu menikmati waktu yang ia habiskan dengan Denewa, menjemput dan mengantarnya ke Gereja, kadang membuat kegaduhan di kamar satu sama lain, Tegar mendapati dirinya menyukai banyak hal dari Denewa, pembawaannya yang lucu dan menggemaskan membuat Tegar ingin melindunginya.

Juga ia menganggap waktu yang ia habiskan setelah berkerja bersama Denewa adalah waktu yang paling berharga, sikap New yang riang dan ceria membuat Tegar merasa terisi kembali.

Tegar mendapati ruang kosong di hatinya telah terisi, ia masih ragu apa nama rasa itu karena jujur saja ia tak pernah merasakan ini sebelumnya, rasa tak bernama itu tak dapat ia artian begitu saja. Tapi yang ia yakini adalah ketika ia bercengkrama dengan Denewa, semua rasa lelahnya menguap entah kemana dan berganti dengan kebahagiaan tiap kali mendengar New tertawa.

Tegar melambaikan tangannya, memastikan laki-laki menggemaskanya dapat menyadari keberadaannya yang tak jauh dari pelataran Bank. Ia tersenyum ketika New menolehkan wajah dan balas melambaikan tangan lalu berlari kecil ke arahnya.

“Tegaaaaaar” New berteriak senang setelah berhasil membabat habis jaraknya di antara hujan dan menubrukkan wajahnya di dada Tegar.

“Ayo pulang” tangan yang lebih tua mengacaukan rambut hitam yang lebih muda, rasanya lembab karena air hujan yang terperangkap.

“Kamu sengaja nunggu aku pulang? Sejak kapan? Apa tadi sendirian? Oh Tuhan, aku sangat merepotkan” New memberondong Tegar dengan pertanyaan, padahal ia sedang ngos-ngosan di dekapan Tegar.

“Tadinya memang sendirian, tapi sekarang enggak lagi” Tegar tersenyum tipis, tangannya membuka payung untuk mereka pakai bersama.

Dan sekali lagi mereka menjejakkan kaki di permukaan bumi

Mengingat setiap decit lantai yang mereka pijak di bawah hujan.

Aku mendekap sosokmu di dadaku

Dan apakah benar kalau tanganmu melingkari pinggangku? di sepanjang perjalanan pulang menuju tempat yang kita panggil sebagai rumah?

Entahlah...

Reflek saja lenganku juga melingkari pinggangmu, sepanjang jalan kita mengingat setiap langkah yang kita injakkan di bawah hujan

Rasanya seperti statis, kita sama-sama kaku di bawah payung sempit yang kubuka untuk kita

Kita sama-sama menutup jarak di bawah tirai hujan

Aku menangkap badanmu yang sesekali terlonjak karena gemuruh petir

Di sepanjang jalan kamu mengeluhkan kalau tangan dan kakimu mulai menggigil

Dan di sepanjang jalan juga, kudapati diriku basah sempurna di bawah payung yang kubuka untuk kita.... Atau sebenarnya hanya kubuka untuk dirimu saja?

Tok tok tok

Jeda

Tok tok tok

Jeda

Tok tok tok

Jeda

“Masuk aja Gar, pintunya gak aku kunci” New berteriak serak, suaranya yang sangau hilang timbul bersaing dengan suara hujan di jendela kamarnya.

Ada perasaan lega begitu mendapati Tegar di sini, ini kali pertama New merasakan sakit tanpa adanya sang Mama.

“Astaga, kamu sepanas air mendidih” ujar Tegar lebay setelah memeriksa dahi New dengan punggung tangannya.

“Berlebihan, mana obat demamnya?”

“No no, tunggu di sini sebentar, jangan turun dari ranjang” sebuah ultimatum diberikan Tegar.

Sesaat kemudian Tegar kembali ke kamar dengan menenteng nampan yang berisi mangkok yang mengepulkan asap, di sana juga ada segelas air putih hangat, tak lupa tablet-tablet obat.

Tegar duduk di tepi ranjang, menyentuh dahi panas New yang menyengat punggung tangannya sekali lagi.

“Makan dulu New, abis itu minum obat dan tidur” bisiknya pelan, memberi tahu kalau ia ada di sini untuk menjaganya sepanjang malam.

Sudah payah New mencoba untuk ada dalam posisi duduk, rasanya seperti ada gravitasi yang menariknya untuk kembali meringkuk kesakitan di atas ranjang.

“Sini aku bantu...” Tegar menyandarkan kepala New di bahunya.

“Kamu buatin aku bubur?” suara itu seakan jauh, matanya perlahan terbuka dan sedikit berkaca-kaca.

“He eh, katanya kalau sakit kamu dibuatin bubur kan? Meski ini cuma bubur instan, tapi aku tulys buatnya pake kasih sayang, mungkin juga gak seenak buatan Mamamu tapi semoga dengan semangkuk bubur ini bisa bikin rasa kangen rumahmu sedikit terobati”

“Tegar...”

“Ya? Astaga kamu nangis?”

“Maaf.... Maafin aku kalau ngerepotin kamu terus, kamu yang bukan keluarga, bukan sanak saudara tapi bersedia aku repotkan sampai kamu gak peduli kalau kamu juga sedang sakit kan?” New sedikit mendongakkan kepalanya dan mendapati Tegar sedang tersenyum padanya, senyum yang sejuk dan mendamaikan.

“Siapa pun orangnya, kalau lihat kamu sakit kayak gini juga gak ada tega, sini agak merapat, katanya juga minta peluk kalau sakit kan? Malam ini aku bisa jadi baymax buat kamu” dan begitu saja, Tegar melingkarkan tangannya di pinggang Denewa, membelitnya dan mempecundangi jarak.

“Hello, I am Baymax, your personal healthcare companion. On a scale of one to ten, how would you rate your pain?” sambungnya menirukan karakter Baymax.

“Sebelas Gar... Sebelas”

“Kalau sebelas, berarti harus cepat makan dan obatnya segera ditelan” tangan kiri Tegar menjangkau sendok untuk ia suapkan.

“Aku bisa makan sendiri Gar” tangan pucat itu gemeteran mencoba meraih sendok yang melayang di depan bibirnya.

“Aku akan menyuapimu Denewa” Tegar menukas.

“Buburnya enak?” ini sendok ke lima belas yang Tegar suapkan untuk New yang pasrah di pelukannya.

New menganggukkan kepala.

“Hmm enak juga bubur buatanku, pantesan kamu mangap terus tiap aku suapin hahaha” Tegar berkelakar, ia menyendok bubur ke mulutnya sendiri.

“Tegar, ada baiknya kamu makan pakai sendok sendiri” New berkata serak.

“Kenapa memangnya?”

“Itu kan buburku Gaaar” New merengek manja.

“Tapi kan aku yang buat Denewaaa” balas Tegar dengan nada rengekan yang sama, lebih tepatnya sedikit mengejek.

New cemberut

“Uluh-uluuuuh merajuk haha, iya ini bubur yang aku buat khusus buat kamu, ayo mangap dan habiskan sampe ke sendok terakhir”

Sekarang New menahan tertawa “Kayak iklan”

Setelah memastikan kalau New kenyang dan menelan obat-obatan, Tegar tak berlalu pergi meninggalkan New sendiri, ia bergelung di atas ranjang yang sempit dan menyadarkan kepala New di dadanya, tangannya sesekali membelai rambut hitam itu dengan lembut.

“Tidurlah, aku gak akan pergi kemana-mana”

Setelahnya Tegar seperti bersenandung, berirama dengan suara rintik hujan di jendela, rasanya seperti efek aspirin yang membuat kantuk.

Semua sakit dan panas itu perlahan hilang dijamah pergi, New terkulai tak sadarkan diri seiring matanya yang semakin berat, dan tak butuh waktu lama sampai New benar-benar terlelap.

“Tidurlah, jangan sakit lagi ya? Aku khawatir kalau kamu sakit kayak gini” lirihnya setelah memastikan kalau New tertidur dalam rengkuhnya.

Lalu Tegar merendahkan sedikit kepalanya dan mengecup pelan puncak kepala New yang panasnya terasa menyengat di bibirnya.

“Ayo jadi makan siang gak?” Tegar sampai di pelataran Masjid di mana New menunggunya selesai menunaikan shalat.

“Jadi, tapi kayaknya kakiku bakal kebakar karena nyeker di aspal deh Gar” New menuruni undakan tangga, mengekor di belakang Tegar yang sedang mengambil sandal.

“Ini...” Tegar menyodorkan sandal miliknya tepat di depan kaki New “kamu aja yang pakai”

“Kok aku yang pakai? Terus kamu gimana? Nyeker?”

Tegar mengangguk.

“Gak mau, itu kan sandal kamu... lagi pula aku gak mau egois dengan pakai sandal punyamu Gar”

“Yaudah gausah dipakai aja...” Tegar mengambil sandalnya dan digenggam untuk menemani New nyeker di sepanjang jalan.

“Loh kok gitu? Nanti sandalnya mubazir dong, iya kan?” New mengerucutkan bibirnya.

“Katanya kamu gak mau pake, yaudah aku juga gausah biar sama-sama gak pakai sandal, biar nyekernya samaan, biar kamu gak malu nyeker sendirian”

“Gar.... Kamu gak harus melakukan ini untukku” New trenyuh, hal sederhana yang Tegar lakukan membuat hatinya tersentuh.

“Sebenarnya ada satu cara lain biar kaki kita sama-sama gak kebakar aspal” Tegar sedang ngide.

“Apa? Mataharinya terik banget, aspalnya kayak panggangan telfon Mama di rumah”

Tegar tertawa pendek, lalu memakai sandal dan merendahkan tubuhnya sedikit ke bawah, kedua tangannya mengarah ke belakang seperti mengambil ancang-acang.

“Ayo naik”

“Gar? Kamu mau gendong aku?”

“He eh ayo” tak ada nada bercanda dari mulut Tegar.

“Ummm...” New nampak sedang berpikir.

Tegar menoleh ke belakang “Kamu takut dilihatin orang-orang?”

New menggeleng “Aku lebih percaya sama kamu dibandingkan harus buang-buang waktu mikirin apa yang dipikirkan orang lain karena ngeliat dua cowok gendong-gendongan” dengan begitu, New merapatkan dirinya di punggung Tegar, membiarkan kedua tangan kekar Tegar menelusup di tungkainya agar tak terjatuh bebas ke belakang.

New nampak riang begitu turun dari boncebgan motor Tegar, kakinya melangkah ke sana kemari dengan senyum lebar dan terkadang tertawa-tawa sembari melihat banyaknya penjual yang menjajakan dagangannya.

“Gar lihat...” New menunjuk beberapa makanan yang baru pertama kali ia temui.

“Gar aku mau coba ini” padahal ia bisa langsung memesan pada sang penjual, namun pada akhirnya Tegar akan tersenyum dan mengangguk, lalu memesankannya untuk cowok imut yang tadi duduk manis di boncengannya.

“Kayaknya mau sekalian beli lauk buat sahur” Tegar berhenti di stand yang menjajakan nasi gudeg khas kota di mana dirinya dilahirkan.

“Bu, pesan satu...”

“Dua Gar” New mengintrupsi.

“He?” Tegar menoleh melihat New yang menjinjing beberapa plastik penuh camilan “Kamu mau sarapan pagi buta?”

New menggeleng “Aku mau nemenin kamu puasa” jawabnya tanpa keraguan.

Untuk beberapa saat Tegar meragukan kemampuan indra pendengarannya, New akan menemaninya puasa? Tidak salah dengar kan?

“Kamu gak harus melakukannya New, aku kuat kok puasa sendiri”

“Gapapa aku cuma pengen nemenin aja kok, nanti aku bangunin sahur sekalian ya? Aku udah set alarmnya”

Tegar tersenyum, kali ini mengembang lebar dari kedua sudut bibirnya, pertemanan mereka sangat indah.

“Bu pesan dua porsi, dibungkus”

Selesai membungkus dua porsi gudeg, Tegar membawa langkahnya ke arah sudut.

“Tegar mau beli baju koko baru?” mereka jalan bersisian, kedua tangan New penuh dengan plastik jinjingan.

“Lihat-lihat aja dulu” Tegar mulai memilih dan memilah baju koko yang digantung.

“Aku bantu pilihkan boleh?”

Setelah mendapat anggukkan dari Tegar, ia langsung mencari-cari baju koko yang bermacam-macam motif dan warna.

“Gar, ini kayaknya bagus, menurutmu gimana?” New menenteng baju koko warna putih bersih.

“Cobain ya? Mau kan?” sambungnya merapatkan diri pada Tegar.

Belum sempat Tegar menjawab, baju koko putih itu sudah dilucuti kancing-kancingnya.

“Di sini gak ada kamar pas, jadi dipasin di sini aja, pake rangkap kaos gapapa”

“He eh, gapapa” Tegar menurut saja ketika New mengepaskan baju koko putih itu untuknya.

“Pecinya sekalian Nak” si penjual menawarkan beberapa peci yang langsung diterima Tegar untuk dicoba.

“New gimana? Bagus gak?”

New terdiam, menatap Tegar dengan pandangan yang susah diartikan, baju koko itu nampak sangat indah dipakai oleh Tegar, ia tambah tertegun ketika Tegar memakai peci, entah mengapa.... Tegar yang seperti ini tak terlihat seperti Tegar yang ia kenal.

Tegar nampak begitu bersih, begitu suci yang membuat New merasakan hal aneh bergejolak di dadanya. Ia merasa... Sangat bersalah? Begitulah... Ada rasa yang tak seharusnya ada, rasa yang sangat salah di mata agama mereka.

“New? Heiii”

“Eh.... Ya? Gimana Gar?”

“Jelek ya?”

“E-Enggakkkk, bagus tauuuu, iya kan pak?” New meminta persetujuan si penjual.

“Gimana ya kalau aku pakai seragam sembayangmu ini Gar?” New menggumam dan merapikan kerah baju koko di leher Tegar.

“Mungkin kamu akan terlihat seperti mualaf”

“Hah? Kuala?”

“Mualaf New, mereka yang mualaf tuh dosanya masih nol, seperti bayi yang baru dilahirkan” Tegar membuka tautan kancing baju koko dan melipatnya.

New hanya magut-magut mendengar penjelasan Tegar.

“Kayaknya beli baju koko aja, pecinya udah punya”

“Yaudah tunggu sini bentar...” New langsung menuju ke bapak penjual, mengeluarkan dompet dan menebus sepotong baju koko tanpa menawar.

“Loh kok kamu yang bayar?”

“Ini hadiah buat kamu Gar, jangan ditolak oke?”

“Tau begitu aku ambil peci sekalian, mumpung gratis hahahaha”

“Yeeee itu mah maunya kamu Gar hahaha” mereka berkelakar, New kembali menjinjing belanjaan.

“Makasih ya” Tegar menggandeng tangan New, mereka berjalan dengan jari yang saling bertautan menuju parkiran.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan itu nyaring, entah apakah karena penghuni kos lain masih terlena dalam lelapnya, New mengulang ketukan itu lagi sampai lima kali tapi tak ada tanda-tanda Tegar akan membukakan pintu untuknya.

“Masih ngebo nih pasti, masa dia lupa sih kalau harus bangun sahur, aaah payah ck” reflek saja New memutar kenop pintu “Eh kebuka, tunggu aja.... aku kerjain hihi”

New mengendap-ngendap masuk, seperti seorang detektif sedang menjalankan misi.

“Tegar, bangun...” panggilnya pelan tepat di telinga Tegar, suaranya yang lembut membuat Tegar malah semakin nyenyak.

“Gar, udah jam setengah tiga pagi, ayo bangun...” makin pelan, serupa dengan bisikan.

Yang Tegar rasakan adalah kedua matanya seperti dilem kayu, seluruh tulang dan sendi ditubuhnya seolah dipaku. Dan tiba-tiba saja ada suara Denewa yang memanggilnya, kini ia semakin lelap di alam bawah sadarnya, alam di mana ia memimpikan antara dirinya dan Denewa saling memiliki dan mencintai satu sama lain.

Suara pintu kamar mandi terbuka, lalu suara percikan air dari keran mengalir deras sebelum dimatikan dan kembali pada keheningan kamar.

“WOOOY BANGUN DASAR TEGAR KEBO PEMALAAAAS....” New berlari dan menerjang tubuh Tegar di atas ranjang, di saat bersamaan ia menempelkan kedua tangannya yang basah dan dingin karena air di kedua pipi Tegar, seperti sedang membingkai wajah yang lena dalam damai itu.

“Allahurabbiiiiiiiiii.....” kini kedua mata itu terbuka sepenuhnya, alam mimpi itu kini menjadi fatamorgana, Tegar sudah terjaga.

“Kebo siiiih, aku udah chat, udah telfon sampe aku panggil-panggil kamu, gak bangun-bangun juga” New masih tak beranjak, kepalanya tersandar nyaman di dada Tegar.

“Astaga Denewaaaa, ini baru jam setengah tiga” Tegar mengucek matanya, mendudukkan posisinya dan detik selanjutnya ia menerkam New dengan menggelitikinya.

“Hahahaha ampun Gar... Hahahaha Gaaar ampun geli banget ini” dan posisi mereka langsung berbalik, New telentang di bawah dan Tegar seperti ingin menumpukan seluruh bobot tubuhnya pada laki-laki manis yang membuatnya terjaga.

“Rasain, salah siapa jam segini bangunin orang enak-enak tidur” tentu Tegar terus menggelitik perut Denewa sampai laki-laki manis itu tertawa menggelegar di kamarnya.

“Tegar hahaha uda.... Udaaaah hahaha, kan aku gak tau sahurnya tuh jam berapa”

“Gak ada alasan hahaha”

Mereka berdua tertawa-tawa, mereka berdua bahagia, dan cupid telah melesatkan panahnya, bukan pada salah satunya, tapi keduanya.

Sampai...

“WOOYYYY BERISIK BANGET JAM SEGINIIII”

Ya, tentu saja penghuni kos lain tak akan tinggal diam mendengar kegaduhan yang Tegar dan Denewa sebabkan.

“Hoaaamsss...Gar aku ngantuk, numpang tidur sampe pagi boleh ya?” New mengambil satu bantal dan begitu saja dirinya mengambil kuasa si empunya ranjang.

“Asal jangan ngiler aja” gurau Tegar yang baru saja selesai mencuci muka dan menggosok gigi.

“Kamu gak tidur lagi?”

Tegar menggeleng “Ada baiknya nggak tidur di sela waktu sahur dan menjelang subuh, kamu tidur aja gapapa, aku mau buka file kerjaan dulu”

Tak ada jawaban, lima menit berselang sudah terdengar dengkuran halus, menandakan New sudah lelap di alam bawah sadarnya.

Tegar mendekat, duduk di sisi ranjang, menarik bantal dan menggunakan pahanya sebagai alas di mana kepala New tersadar nyaman, New sempat mengolet tapi detik selanjutnya kembali berkelana dalam tidurnya.

Jemari Tawan menyusuri surai hitam itu, menatap wajah Denewa lekat-lekat, memperhatikan setiap detilnya yang sempurna dipahat oleh Tuhan.

“Entahlah.... Mau dipercaya atau tidak, secara tak sadar kamu sudah menjadi pusat duniaku” ada banyak yang ingin Tegar katakan, kalau ia semakin sayang, kalau ia semakin cinta tapi lidahnya kelu, lidahnya kaku.

Tegar kehilangan bagaimana caranya berbicara, semua menganjal di tenggorokan, yang tersisa hanyalah diam di antara jam dinding yang tertawa dan dengkur halus Denewa. Sampai sayup-sayup suara adzan subuh berkumandang, Tegar menarik dirinya, mengambil wudhu dan menunaikan kewajiban sebagai seorang hamba.

New sempat terjaga, ia hanya diam di atas ranjang memperhatikan Tegar diam tak bergerak, sampai kepala Tegar menoleh ke kiri dan kanan.

Lalu lantunan ayat-ayat itu kembali Denewa dengar, suara Tegar sangat mendamaikan, sampai tak sadar ia kembali tertidur.

“Alhamdulillah....”

Suara bedug maghrib adalah saat yang paling dinanti seluruh umat, bedug maghrib selalu disambut rasa syukur oleh setiap mukmin, dan saat berbuka yang ditunggu-tunggu telah tiba.

“Ya ampun akhirnyaaaaa....” New langsung menjangkau es teh manis, namun saat akan ia teguk, ia melihat Tegar sedang membaca doa, reflek saja ia menangkupkan tangan dan membaca doa menurut keyakinannya.

“Aaaah lega banget Gar” ia asik ber aaah ria seperti iklan minuman isotonik yang nampak menyegarkan.

Tegar hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah New yang menggemaskan, ia menikmati waktu yang ia habiskan bersama New, selalunya New akan mengetuk kamarnya ketika waktu sahur tiba, lalu ketika menjelang sore, mereka akan membeli beberapa menu berbuka di pasar ramadhan.

Dan di hari minggu, kebiasaan Tegar masih sama, membangunkan New di pagi buta, mengantarnya dan menjemput New di Gereja. Rutinitas itu sudah mendarah daging untuk Tegar dan juga Denewa, sebuah toleransi di tengah ramadhan yang indah dan penuh berkah.

“Selamat ulat tahun Gar...”

Tegar terlonjak dari tidurnya, sepertinya New punya kebiasaan baru, mengagetkan Tegar di tengah malam atau saat sahur tiba.

“Ini baru tengah malam New” jam dinding menunjukkan angka dua belas dan jarum pendek di angka lima.

“Iya tau, sengaja aku gak tidur biar bisa jadi orang yang pertama ngucapin tauuu” ada nada mendayu-dayu di akhir kalimat New.

'Kamu memang yang pertama New, akan selalu menjadi orang pertama yang membuatku merasa menjadi orang paling spesial di dunia' batin Tegar yang tak akan pernah bisa ia ucapkan.

Sekarang perhatian Tegar teralihkan sempurna pada kue kecil dengan satu lilin di atasnya.

“Kuenya kecil banget, ikhlas gak sih haha” Tegar berkelakar.

“Jangan dilihat seberapa besar kue yang aku bawa, coba lihat ketulusannya”

“Iya tau”

“Salah sendiri ulang tahun di tengah bulan, jadi kuenya juga mini hihi”

“Lilinnya makin habis Gar, ayo make a wish sekarang kalau gak mau makan kue dengan toping lelehan lilin”

Tegar memejamkan mata.

'Tuhan... Kali ini aku hanya minta satu, tolong berkahi insan yang menyalakan lilin ini untukku, dia yang menjadi pelita di rumah hatiku, dia yang jadi pusat duniaku, berkahi dia Tuhan.... Amiiin' ucap Tegar dalam hati

“Huuuffhhhh....” dan satu-satunya lilin itu padam.

“Kamu minta apa tadi?”

“Kenapa? Kok kamu mau tau?” Tegar menerima kue itu dari tangan Denewa.

“Apa ada aku di sana?” kedua mata New berbinar.

'Namamu satu-satunya yang ada di sana New, kamu satu-satunya' batin Tegar menjerit.

“Rahasia dong” dan apa yang mulut dan hati katakan selalu berbeda.