Enchanted

Winata Aditya POV

Pernahkah kalian merasa seperti 'tersihir' saat bertemu dengan seseorang?, merasa tersihir dalam pandangan pertama, merasa tersihir seakan kalian akan bertaruh apapun untuk mendapatkan cintanya, merasa tersihir seakan kalian sanggup menghadapi segala risiko untuk mendapatkannya, meskipun ia adalah orang asing.

orang asing yang mungkin kalian tidak pernah temui sebelumnya, orang asing yang bahkan kalian tak pernah bertegur sapa, orang asing yang tidak kalian ketahui akan mengubah pandangan kalian tentang dunia dan cinta, iya. Aku pernah, bahkan sampai saat ini 11 tahun berlalu. Sejauh apapun jarakku dengannya, sekeras apapun aku berusaha untuk melupakannya, nyatanya aku akan tersihir sekali lagi dan mungkin berkali-kali lagi ketika melihatnya, nyatanya perasaan yang aku kubur dan aku pendam dalam-dalam akan bersemi dan bermekaran kembali ketika ingatanku mencoba untuk mengenangnya.

Bian Bagaskara, satu-satunya insan yang dapat menyihirku dan tak bisa lepas dari mantranya, menyihir otak dan hatiku secara bersamaan, melemahkan seluruh inderaku ketika bersamanya, darinya aku belajar banyak hal salah satunya adalah bagaimana cara kita memaknai apa itu arti dari 'cinta'.

***

“dasar lemah, gara-gara lo kelas kita kalah kan dari tim lawan!” bentak 1 anak.

“ga ada gunanya emang lo ya selain jadi beban dan nyusahin orang” cemooh yang lain.

“otak lu boleh berlian, tapi selain itu lu itu sampah tau gak!” olok yang lainnya lagi.

Win hanya bisa menatap ketakutan, bullying seakan sudah menjadi hal yang lumrah ia hadapi dari awal sekolah hingga sekarang duduk di kelas 8 smp. Namun kali ini dengan suasana yang berbeda yang membuat ia lebih ketakutan karena ia adalah sebab dari kekalahan taruhan sepak bola antar kelas.

***

” i-iya win minta maaf.... na-nanti win ganti uang taruhannya. Maafin win ya” jawabku terbata-bata.

Meskipun harus mengganti uang taruhan dengan uang tabungan yang aku punya tapi aku akui bahwa akulah penyebabnya, akulah yang patut disalahkan, aku memang tidak becus, aku memang lemah, aku benci diriku yang lemah ini.

” mentang-mentang lu anak orang kaya lu bisa seenaknya gitu? Ini bukan masalah uang gob*ok! Harga diri kelas kita mau di taroh dimana! Lu harus dikasih pelajaran kayanya ya biar kapok” kalimat terakhir itu membuatku takut.

“lu memang lemah dan gak berguna win” timpal yang lain.

Dan untuk kesekian kalinya win merasakan sakit, sakit yang sama seperti yang ia akrabi bertahun-tahun belakang. Tidak, ini lebih sakit dari biasanya. 10 orang teman-temannya mengeroyoknya di belakang sekolah seusah pertandingan selesai, ia hanya bisa pasrah karena selama ini ia merasa bahwa dirinya memang hanyalah sebuah beban, beban bagi orang lain dan siapapun yang ia temui.

Ditengah pasrahnya, ada sepasang bola mata yang melihat kejadian itu dan segera berlari memanggil beberapa guru untuk meminta pertolongan.

“HEY....KENAPA ITU RAMAI-RAMAI” teriakan itu sukses mengakhiri penderitaan win kala itu, ya setidaknya untuk saat itu. 10 orang itu lari kesegala arah karena takut akan dihukum oleh gurunya.

“win... win bangun nak. Bian tolong bantu bapak bawa win ke UKS segera ya, bapak akan panggil guru bk untuk ngurus masalah ini” perintah salah seorang guru yang brian panggil untuk ia mintai pertolongan.

“iya pak, win biar saya aja yang bawa ke UKS....win..win ayo ke UKS, lecet sama memar ini pasti sakit”

“i-iya....“jawab win lemah.

Kedua anak itu tergopoh-gopoh menuju UKS, yang lebih tua memapahnya dan anak yang lebih muda melilitkan tangannya keleher yang lebih tua seraya menahan sakit yang ia rasakan.

***

“ah sudah bangun ternyata”

Ketika membuka mata, yang win ingat hanya sakit...sakit karena lecet dan memar di beberapa bagian badannya yang tidak bisa disembunyikan perihnya, tapi ia juga ingat ada seseorang yang menolongnya, orang itu memapahnya ke UKS sebelum pandangan matanya menjadi gelap.

“i-iya , ma-makasih ya udah nolongin” jawab win canggung

“bukan masalah besar kok, ga perlu berterimkasih” bian menanggapi

“lain kali kalau kejadian lagi kaya tadi tuh dilawan...kamu cowo kamu harus kuat. Setidaknya kalau gak bisa ngelawan ya lari cari bantuan, jangan pasrah-pasrah aja kaya tadi” lanjutnya lagi

“aku....aku...”

“aku yakin kamu gak lemah...kamu gak lemah seperti yang orang lain pikirkan. Aku tau kamu kuat...lain kali kalau ada kejadian kaya tadi lebih baik dilawan oke?”

“aku takut.....”

“apa yang kamu takuti? Teman-temanmu? Mereka bukan temanmu win.... sadar. Teman gak akan melakukan hal bodoh seperti ini ketemannya”

Sadar yang lebih muda tertunduk dan menahan tangisnya, brian duduk di ranjang tepat sebelah win untuk merengkuhnya dalam peluk. Diperlakukan sedemikian rupa membuat tangis win pecah... ia menangis sejadi-jadinya saat itu.

“sampai kapan kamu memandang dirimu lemah win?” bisik brian yang masih memeluk win dalam peluknya.

“kamu itu kuat, kamu itu hebat.... Siapa yang bisa memenangkan olimpiade matematika dan fisika 2 tahun berturut-turut? Itu kamu win. Siapa yang selama ini selalu menjadi siswa terbaik setiap semester? Itu kamu win. Kamu kuat. Kamu hebat. Lebih hebat dari mereka... anggap saja mereka hanya iri gak bisa hebat kaya kamu win, kapan kamu bisa memandang dirimu sebagaimana orang lain memandang dirimu itu hebat?” jelas bian (Kapan kamu bisa memandang dirimu sebagaimana aku melihatmu win).

Win tahu, anak laki-laki ini sedang berusaha memberinya semangat, sedang mencoba memberinya motivasi. Tapi benarkah kalau ia sehebat itu? Seperti yang dikatakan anak laki-laki yang sedang memeluknya dan menjadi sandaran saat ini?

“aku- aku hanya takut tidak punya teman” jawab win yang masih terisak.

Bian melerai pelukan mereka dan menatap mata anak bergigi kelinci dengan sangat dalam sebelum berkata-kata.

“mulai hari ini aku akan jadi teman kamu okay? Aku mau kamu sadar kalau kamu itu hebat dan berharga, setidaknya untuk orang-orang yang kamu sayangi, untuk keluarga, untuk sekolah ini pun kamu sangat berharga win” jelas bian.

Yang sedang ditatap hanya bisa menatap dengan ekspresi bingung yang kemudian menjadi seulas senyum, tersipu kah ia?

“ah iya namaku Bian Bagaskara, kelas kita sebelahan.... Kamu bisa panggil aku bian, gimana masih sakit kah lukanya? Nanti aku antar pulang ya”

Di detik itu juga win merasa 'tersihir' karena dipertemukan oleh seseorang yang dapat melihat dirinya sebagai manusia, sebagai seseorang yang kuat, sebagai pribadi yang hebat dan yang lebih dari segalanya adalah kenyataan bahwa ada yang menganggap dirinya berharga.

“i...iya makasih ya”

jawab win yang kemudian mengalihkan pandangannya ke penjuru ruangan, ia tersipu. Tidak, ia tersihir lebih tepatnya, tersihir dan tak berani menatap mata itu lagi.

“aku win.... Winata aditya” lanjut anak yang lebih muda

“iya tahu kok... aku rasa satu sekolah juga kenal kamu kan. Siswa terbaik yang selalu menang lomba dan olimpiade. Aku heran. Kamu kok bisa pinter banget sih... aku aja ngerjain al-jabar rasanya otakku uda panas kaya mau meledak. Apalagi ngerjain fisika yang isinya Cuma rumus-rumus dong. Kok bisa sih win?” cerocos bian tanpa jeda, yang sedang ditanyai hanya bisa tersenyum.

tanpa sadar ada perasaan yang menghangat....entah hanya kepada satu anak atau mungkin keduanya?

***

KRIIIIIIINGGGGGGG

Suara yang memekakan telinga sudah terdengar, jam sekolah telah usai dan siswa berbondong-bondong untuk pulang. Berbeda dengan 2 insan yang berada di sebuah ruangan ini, yang lebih muda terjaga dari tidurnya karena suara tadi sedangkan yang satunya tertidur dalam kondisi terduduk dan kepala berada di samping badan win sekarang ini.

Win memperhatikannya dengan lekat dan hati-hati, sangat hati-hati kalau brian tiba-tiba terbagun dari tidurnya, sesaat tadi brian sangat keras kepala untuk menjaganya di UKS dan memaksa guru yang berjaga di UKS untuk diijinkan berada disini bersamanya. Padahal ia tahu kalau kalau brian sangat benci matematika dan ia memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur dari kelas? Begitukah? 'ah tidak tidakkk win. Dia udah berbaik hati menolong dan menjagamu bukankah kau berhutang budi padanya?' setidaknya itulah yang ada di kepala win saat itu.

“kak.... Kak bian. Bangun kak”

“eeemmmhhhh iya gimana win? mau peluk lagi? sini”

“apaan si kakkk... enggak...itu kayanya bel pulang sekolah udah bunyi deh kak”

“aaahhhhhhhhh iya-iya . eh jangan panggil kak dong. Kan kita satu angkatan dan selisih 6 bulan aja”

“ahahahha gapapa, win lebih nyaman panggil kakak aja”

“yaudah lah...eh ayo pulang, aku antar ya. Bentar aku ambilin tas kita dulu ya dikelas”

setelah itu bian buru-buru menuju kelas untuk mengambil tas mereka. Padahal win tahu kelas mereka terpisah tapi bian sangat baik saat ini. Kenapa? Mengapa?

Sungguh perkenalan yang tak terduga untuk win, perkenalan secara tak sengaja yang saat ini sukses membuat hatinya menghangat dan tersenyum.

“yuk win pulang.... Bisa jalan kan?”

“bisa kak.. tapi pelan-pelan ya kaki win agak sakit”

“iya ayo aku temenin sampe rumah kok”

Yang lebih muda hanya bisa mengangguk dan menyampaikan terimakasihnya

“makasih ya kak, win ngerepotin terus dari tadi”

“hey enggak kamu ngga merepotkan. Oke? Kita uda bicara banyak tadi, ingatkan?”

“ingat.... Sekali lagi makasih ya kak”

“udah ah makasih mulu ayo cepetan kita pulang” bian segera masuk uks dan membantu win untuk berjalan.

Begitulah mereka, dipanas teriknya matahari. Ada 2 anak yang jalan beriringan menuju jalan pulang ,pelan-pelan dengan perasaan yang menghangat.... Entah untuk win atau untuk brian? Atau bisa saja keduanya.

***

“in-ini beneran rumah kamu win?” tanya brian setelah itu ber wow ria.

“i-iya kak... mampir yuk, mama pasti seneng win bawa temen kerumah” ajak win sangat antusias.

Yang diajak hanya bisa mengangguk-ngangguk sambil mengedarkan pandangnnya keseluruh penjuru halaman. Rasa-rasanya ia bisa bermain sepak bola hanya di halaman rumahnya win. Masih dengan rasa kagetnya karena selama ini win tidak pernah menunjukkan kalau ia adalah anak dari orang yang berada. Brian berpikir kenapa win capek-capek jalan kaki kalau bisa di antar dengan mobil-mobil mewah yang ada di garasi tadi?.

“mamaaa win pulaaaang.....” seru win pada wanita yang tengah menonton tv

“ah iya anak mama udah pulang....loh loh ini kenapa kok muka sama badan ada memar-memar gini win?”

“eummmmm tadi win jatuh dari tangga mah... lalu ditolongin temen win... ah iya mah ini kak bian” jelas win pada mamanya, meski bian tahu kalau win berbohong.

“siang tante” yang di perkenalkan langsung maju dan menyalami mama dari temannya degan sopan.

” ah iya nak....akhirnya temen win ada yang main kerumah ya... selama ini win ga pernah tuh bawa teman-temannya kerumah. Win itu muka udah di kasih obat belum? Ajak bian ke atas setelah itu makan siang ya... nak bian makan sekalian ya, ga ada penolakan pokoknya”

“iya tante.... Makasih tante”

“tante yang makasih uda nolongin si win”

“yuk kak....” Ajak win agak canggung.

Sesampainya di kamar win langsung masuk kamar mandi untuk mencuci muka, tangan dan kaki, setelahnya segera mengganti seragam dengan pakaian rumahan yang menurutnya nyaman.

“kenapa kamu bohong ke mamamu soal tadi?”

Yang di tanyai tertegun dan sempat hening beberapa saat

“mama ga boleh tahu kak tentang hal yang sebenarnya terjadi... win gamau mama khawatir dan gamau kejadian win di SD harus terulang lagi dan akhirnya win pindah-pindah sekolah....capek kak”

Setelah mendapat jawaban begitu rupa bian hanya mengangguk-ngangguk

“terus kenapa kamu sekolah malah jalan kaki? Kan lumayan jauh, Kenapa ga minta di antar pakai mobil aja? Jujur loh aku kaget rumah kamu gede banget gini... tapi kamu gak pernah tuh kaya disekolah keliatan anak orang kaya raya gini”

“ahahhah kak apaan sih... engga win lebih nyaman jalan kaki aja..sehat tau jalan kaki”

'wiiiiinnnn.....turun nak ayo makan siang dulu. Bian diajak sekalian yaaa....”

Suara mamanya dari bawah sangat nyaring sekali sampai kamar win padahal win di lantai 2.

“iya maahhhh...” balas anak bergigi kelinci .

“yuk kak makan dulu kebawah” ajak win

Bian hanya mengekor kebawah, sungguh makan siang hari itu adalah salah satu makan siang terindah yang pernah win lewati, penuh canda tawa antara brian, win, maupun mamanya. Karena antara brian dan mamanya pun sangat suka bercanda dan nyambung.

“makasih ya kak udah nolongin win.... Makasih untuk semuanya” ucap win dengan senyum di kalimat akhirnya. Kini ia mengantar brian ke halaman depan rumahnya.

“iya aku juga makasih...besok ketemu di sekolah ya. Inget kita uda resmi temenan kan hari ini” jawab brian berhasil membuat win kikuk.

“ah – iya kak iya hehehhe”

“sini boleh pinjem hapenya?” tanya brian yang direspon dengan wajah bingung si anak gigi kelinci di depannya.

Kelamaan, brian langsung menyahut HP milik win dan segera mengirimkan pesan ke ponselnya sendiri.

“nanti aku kabarin ya kalau uda sampai rumah”

Sampai dititik ini win paham kalau brian mencoba meminta nomor ponselnya walau dengan caranya yang tergolong unik tersebut.

“iya kak... hati-hati ya dijalan” responnya dan di akhiri dengan senyum lebar yang sangat menawan.

“pasti... aku gabakal tuh jatuh dari tangga dan nyungsep sampe memar-memar hhahahhahaha” jawab brian mengaitkan kebohongan win sedari tadi.

Yang di sindir hanya mengtupkan mulutnya memperlihatkan reaksi kesal, anehnya bagi brian wajah itu nampak lucu dan apa namanya ? imut ? iya sangat imut sekali.

“yaudah... aku pulang ya win”

“iya kak makasih”

Dan mereka pun berpisah...anak yang berbadan lebih kecil memandang punggung anak yang berbadan lebih besar perlahan-lahan menjauh dari pandangan matanya.

***