Evermore 3

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja.

Pagi ini aku sudah ada ditempat yang sama seperti kemarin, di lobi dengan Tante Ika yang sudah siap berangkat menuju kantor, ia sangat cantik dan terlihat modis sekali.

“Winara ya? Sini duduk dulu, tante mau bicara sama kamu”

“iya tante”

“ini ada buku, semuanya yang kamu butuhkan ada disini, mulai beberapa hari kedepan saya akan sangat sibuk dengan urusan kantor, itu sebabnya ada kamu disini untuk menemani Bian”

Ahhh, jadi namanya Bian. Aku menerima buku itu, seperti buku panduan yang didalamnya ada biodata bahkan mungkin ada hal yang disuka dan yang tidak disukai oleh Bian.

“saya harap kamu tak sekedar bekerja disini, tapi saya harap kamu bisa jadi temannya Bian, bisa kan?”

Aku mengangguk mengiyakan permintaannya, aku akan mencobanya. Tentu saja dengan gaji yang besar aku harus menurut dengan perintah yang diberikan padaku.

“ini” Ia menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat, entah apa isinya.

“itu gaji awalmu, saya sudah membaca riwayat hidupmu tahu dimana kamu tinggal, kamu bisa gunakan gaji itu dulu untuk keperluan keluargamu”

“eh? Tante saya kan baru kerja disini, apa tante gak takut kalau tiba-tiba besok saja gak masuk kerja karena tante sudah memberikan gaji pada saya?”

Ia tersenyum dan menggeleng.

“kabari tante saja ya kalau butuh sesuatu atau kalau ada apa-apa, tante harus berangkat sekarang, saya titip Bian ya Ara?”

“i-iya tante, terimakasih sekali lagi”

Setelahnya tante ika pamit dan pergi untuk menuju kantor, aku masih gemetaran dengan amplop yang aku pegang di tanganku, aku tak percaya kalau tante ika memberikan gaji bahkan sebelum aku bekerja disini.

“senang huh? Itu kan yang kamu mau? Hanya uang dan uang”

Aku terkejut, ternyata Bian yang melihatku dari lantai dua, dan baru aku sadari kalau ia hanya memiliki tangan sebelah kiri saja. Sungguh first impression yang buruk, aku dicap mata duitan hanya karena tersenyum senang mendapatkan amplop coklat ini.


Hari pertama sungguh buruk, Bian adalah lelaki dingin yang sama sekali tak mau berbicara denganku, yang dia lakukan hanyalah mengurung diri di kamar, aku tak melihatnya bermain dengan ponsel, apa ia tak memilikinya?

Yang aku lakukan seharian hanyalah membuatkannya makan siang, membereskan kamarnya dan duduk di sofa, sungguh pekerjaan yang mudah.

Ia masih menolak untuk berbicara denganku, ah mungkin besok aku akan mencobanya lagi, jadi sebelum sore ini aku pulang ke rumah, yang aku lakukan adalah mempersiapkan perlengkapan mandinya, seperti pakaian dan lain-lain yang aku yakin kalian tahu apa itu.

“apa yang mau kamu lakukan?” Ia bertanya untuk yang pertamakalinya padaku.

“mau ngambilin pakaian kamu, kamu mandi gih, aku ambilin semua yang kamu butuhkan”

“gausah, aku bisa sendiri, tanganku hanya buntung gak berarti aku tak bisa melakukannya sendiri, enyahlah”

Bian mendorongku kebelakang dan aku membiarkannya mengambil kaos dalam, kaos hingga celana dari dalam lemarinya.

“baiklah”

Dia membuka mulutnya untuk pertama dan kalimat itu yang keluar? Sungguh aku tak menyangkanya, aku hanya mencoba untuk membantunya, memangnya apa salahnya? Perkatannya masih memantul-mantul di otakku dan tak bisa aku lupakan, terdengar seperti ia meruntuki dirinya sendiri atas ketidaksempurnaan fisik yang ia punya.

Tak berselang lama tante Ika pulang dan aku segera berpamitan, sepertinya beliau paham dengan apa yang aku alami, ia berkata kalau beberapa orang terdahulu juga seperti ini, namun kembali ia berharap padaku untuk bisa berteman dengan Bian.

Diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja