Evermore 4

Diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja

Hari ini seperti biasanya aku akan menyiapkan sarapan, membersihkan kamarnya yang berantakan, dia juga masih belum mau berbicara denganku, yang dia lakukan hanyalah berdiam diatas ranjang dan melihat tv, kadang bermain PS, lalu tertidur.

Aku bosan, sangatlah bosan, bekerja melihat orang tidur memangnya apa yang bisa aku lakukan? Aku memutuskan untuk melihat-lihat lebih jeli lagi apa saja yang ada di kamarnya.

Diatas nakas sana ada fotonya dengan sebuah gadis yang ada di pelukannya, bukan hanya satu foto namun ada lima foto dengan lima figura yang dengan ukuran yang berbeda-beda, aku baru sadar kalau ia sangatlah tampan dengan rambut yang pendek dan wajah yang terawat, aku tak bilang sekarang ia jelek, bukan, bukan seperti itu, hanya saja rambutnya yang gondrong tak terawat, juga jenggot dan janggut yang membuat wajahnya lebih tua dari lelaki seusianya.

“apa yang kamu lihat-lihat? Tidakkah kamu harus tahu kalau aku punya privasi?”

oh, here we go again dia terbangun rupanya dan mendapatiku sedang melihat beberapa foto diatas nakasnya.

“gak kok, hanya lihat-lihat saja”

Dia menatapku tajam diatas ranjang dan aku membalas tatapannya.

“kemana gadis itu? Aku yakin dia pacarmu kan? Sudah dua hari aku tak melihatnya berkunjung kemari”

Tanyaku santai duduk diatas kursi.

“kamu tak berhak tahu, lakukan saja tugasmu disini, kamu tak perlu tahu apa-apa tentangku”

Dingin, itulah dia, aku hanya ingin mencari topik pembicaraan untuk mencairkan suasana saja.

“maaf”

Aku berdiri dan bersiap untuk keluar kamar untuk ke dapur dan mempersiapkan makan siangnya.

“oh iya Bian….” Aku kembali berbalik dan melihat ke arahnya.

“apa aku boleh makan siang diluar? Gak lama kok, aku janji jam satu sudah sampai disini”

Dia hanya diam dan aku sudah menduganya, memangnya ia peduli? Rasanya jika aku pulang ke rumah pun dia tidak akan peduli, sungguh menyebalkan.


“dia sangat menyebalkan Wan, aku hanya ingin mengajaknya ngobrol dan jawaban seperti itu yang aku dapatkan”

“ssshhh, iya-iya. Yang sabar ya? Aku yakin suatu hari nanti dia pasti mau berteman sama kamu kok Ra”

“tetap saja menyebalkan”

Aku mengunyah roti yang aku beli dengan Awan begitu sampai di taman ini, tidak jauh dari rumah Bian memang ada taman yang cantik, Awan sampai mengorbankan jam makan siangnya untuk menjemputku dan mendengarkan keluh kesahku.

“ayo semangat lagi, aku abis ini mau balik ke kantor, maaf gak bisa jemput kamu pulang soalnya aku ada lembur”

“ah tak apa Wan, aku bisa jalan kaki”

“beneran?”

“iya, beneran mungkin aku akan mulai terbiasa beberapa hari kedepan”


Hari ke tiga, empat dan ke lima masih sama, ia masih membisu dan hanya berbicara seperlunya saja, bahkan aku sangsi dengan tante ika ketika jam pulang tiba ia akan bertanya apakah sudah ada kemajuan? Aku hanya berkata sejujurnya yang memang tidak banyak.

Yang sangat mengejutkanku adalah hari ke enam, ketika aku sampai disana aku berpapasan dengan seorang perempuan yang wajahnya seperti aku kenal, ia keluar dari rumah Bian dengan seorang laki-laki yang memakai jas, aku yakin mereka akn berangkat ke kantor.

Aku langsung menuju kamar Bright, suara kaca-kaca yang dibanting ke lantai langsung kudengar.

“Bians stop, jangan diambil nanti tangan kamu kena kaca”

“aakkkhhhh” Terjadi sudah, jarinya tergores oleh pecahan kaca figura yang ia banting di lantai.

“kan aku udah bilang, sini” aku memapahnya untuk berdiri dan duduk ditepi ranjang, meninggalkan pecahan-pecahan kaca itu.

Aku segera berlari menuju dapur dimana kotak p3k berada dan membawanya ke kamar.

“aaahhhh, perih”

Dia menarik jarinya ketika aku mencoba membersihkan lukanya dengan cairan alkohol.

“tahanlah sebentar, aku akan menutupnya dengan perban dan plester setelah ini”

Aku menarik kembali tangannya dan segera membuntal jari yang terluka itu dengan perban dan plester, setelahnya aku mencoba memunguti pecahan kaca di lantai dengan hati-hati.

Ketika aku melihat foto itu, aku baru ingat kalau perempuan yang berpapasan denganku tadi adalah perempuan di foto ini, namun aku tak tahu lelali yang datang dengannya.

“apa kamu mau menyimpan foto ini?”

“buanglah saja, bakar kalau perlu”

Aku terhenyak di tempatku. Apa yang terjadi hingga ia membanting semua foto-foto ini? Bukankah ia sangat sayang dengan perempuan itu sampai fotonya saja memenuhi kamar Bian? Lalu mengapa aku harus membuangnya.

“aku akan menyimpannya di laci”

“sudah aku bilangkan? Buang saja!”

“baiklah”

Setelah aku membereskan pecahan kaca di lantai, aku kembali ke kamar Bian.

Aku melihatnya, aku menyaksikannya bagaimana lelaki dewasa seperti Bian menangis, ia nampak sangat tertekan dengan keadaan.

“kamu bisa bercerita padaku, ya…kalau saja kamu ingin, aku dengan senang hati akan mendengarkannya”

Aku duduk di tepi ranjang, menemaninya yang duduk di sebelahku.

“apakah aku ini hanya beban saja? Lalu mengapa aku hidup? Bukankah lebih baik kalau aku mati saja?”

“hey, apa yang kamu bicarakan, ceritalah kalau ada yang kamu bagi padaku”

“harusnya aku yang menikah Ra, harusnya akuuu, bukan dia” Lirihnya, keputus asaan sangat tergambar jelas disana.

“jadi dia mau menikah? Dengan lelaki yang tadi itu?”

Ia mengangguk.

“kemarilah dulu, aku akan menyisir rambutmu, setelah ini sebaiknya kita keluar dan berbicara di taman, bukankah lebih asik?”

“aku tak pernah keluar rumah selama ini, aku tak mau dunia tau kalau aku buntung”

“sstt, kamu ngomong apa sih. Baiklah kita akan keluar ke teras saja dan menemaniku menyiram tanaman disana”

Aku mengambil sisir diatas nakas dan mulai menyisir rambutnya.

“aku bisa sendiri”

Ah, lagi-lagi seolah ia tak membutuhkan bantuan.

“bagaimana kamu akan menyisir? Jarimu terluka seperti itu, biarkan aku yang melakukan tugasku, diamlah sebentar”

Aku mulai menyisir rambutnya yang sudah bervolume ini, sangat berantakan.

“apa kamu tak berniat untuk memangkas rambutmu? Kamu nampak tampan dan fresh jika saja rambut gondrong ini hilang dari batok kepalamu”

Aku terkekeh mengucapkannya.

“apa kamu mau dipecat hari ini juga?”

Aku langsung terdiam mendengar responnya.


“jadi kenapa namamu Bian Langit Angkasa?”

Aku membuka pembicaraan setelah kami sampai di teras, ia mengakui kalau ini pertama kalinya ia duduk di teras selama beberapa tahun terakhir karena ia takut dan malu dengan keadaan dirinya, padahal menurutku tak akan ada yang mempermasalahkannya, bukannya tidak ada manusia yang sempurna kan?

“mendiang ayahku yang memberi nama….”

Akhirnya, ia mau bercerita dan membagi kisahnya denganku.

“ayahku berharap kalau suatu hari nanti aku akan menjadi seorang pilot yang hidupnya akan terbang ke langit dan membelah angkasa, namun lihatlah aku sekarang? Aku terjebak disini, jangankan menjadi pilot, untuk menyetir mobil saja aku tak bisa”

I’m so sorry to hear that tapi aku yakin ini bukan akhir dari segalanya bukan?”

Aku menyelesaikan beberapa origami burung yang aku buat diatas meja.

“cantik kan burungnya?”

“cantik memang, namun selamanya ia hanyalah burung kertas, ia palsu, ia imitasi, hidupnya sama sepertiku yang hanya diam dan tak bergerak, ia tak bisa terbang ke langit dan membelah angkasa bukan?”

Damn, dia sangat serius dengan ucapannya.

“tapi setidaknya dia bisa memberkan kebahagiaan pada orang-orang sekitar, bukankah begitu Bian? Aku bahagia bisa membuat burung kertas ini, begitupun denganmu, tanpa kamu sadari kalau kehadiranmu disini saja sudah bisa membuat orang bahagia, sebutlah tante Ika, bukankah ia bahagia bisa memilikimu? Iyakan?”

Ia hanya diam dan tersenyum getir.

“lalu mengapa namamu Winara Cahaya Senja?” Begitu rupanya, ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

“ibuku menyukai senja, sebanyak aku melihatnya ketika masa kecilku dulu, senja akan selalu indah untuk ditatap bukan? sama dengan langit yang selalu akan senja ketika sore hari”

“aku sudah lama tak melihat senja” Ia menerawang kearah langit biru diatas sana.

“iyakah? Kalau begitu kita harus mengagendakan untuk melihat senja, mungkin saja kalau kamu mau”

Kami berbicara banyak sekali, Bian bukanlah lelaki yang sedingin yang aku kira, aku bercerita tentang pekerjaanku sebelumnya, keluargaku, kedua adikku yang kadang diselingi dengan tawanya yang renyah, ia juga mulai terbuka dan menceritakan bagaimana kecelakaan tiga tahun lalu itu merenggut tangan kanannya, ia juga menceritakan saat perempuan yang bernama Cinta itu memutuskan untuk meninggalkannya dan mengembalikan cincin tunangan yang sudah mereka tukar di jari masing-masing.

Hari ini menjadi hari dimana aku mengenal sosok Bian Langit Angkasa lebih jauh lagi.

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja