Evermore 5

diambil dari ingatan Bian Langit Angkasa.

Winara Cahaya Senja, bisa aku katakan kalau ia berbeda dengan beberapa orang yang pernah bersinggungan denganku sebelumnya, aku bisa merasakan kalau ia tak hanya sekedar ingin tahu saja, aku bisa merasakannya ketika ia menyisir rambutku, ketika ia mendengarkan penuturanku dan cerita hidupku, aku juga bisa merasakannya ketika ia menceritakan latar belakang hidupnya yang ternyata jauh dibawah beruntung.

Ia berkata kalau ia sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini yang bahkan aku saja mengutuk semua orang sebelum kedatangannya yang hanya menginginkan uang dan uang.

Bebanku sedikit lega dan berkurang ketika bercerita dengannya, pikiran tentang Cinta pun sudah tak lagi membuatku sesedih tadi, undangan pernikahan itu langsung aku buang ke tong sampah, aku tak mau melihatnya lagi.

“ma, aku boleh pakai ponsel lagi gak?”

Tanyaku pada mama yang sedang asik menonton tv, aku tahu kalau mama pasti lelah setelah bekerja seharian.

“boleh sayang, ada apa nih kok tiba-tiba kamu mau pakai ponsel lagi?” Aku duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepalaku di pangkuannya.

“ma, Bian nyusahin mama ya? Maafin Bian yang gak berguna ini ma”

“Bian, kamu ngomomg apa sayang? Enggak sayang enggak, mama bahagia kamu ada disini, selama mama punya kamu, mama punya tujuan untuk hidup sayang, jangan pernah bilang kayak gitu lagi ya?”

Aku menangis di pangkuannya, hal yang tak pernah aku sadari selama tiga tahun terakhir ternyata benar, apa yang dikatakan Ara tentang burung kertas meski tak sempurna namun bisa memberi kebahagiaan untuk orang disekitarnya ternyata benar.

“maafin Bian ma, maafin karena selama ini Bian gak pernah sadar kalau Bian masih punya mama yang sayang sama Bian….”

Mama memelukku erat, tangisnya semakin lama semakin keras dan aku bisa mendengarnya dengan jelas.

“Bian Angkasa Langit, anak kesayangannya mama….selamanya kamu akan selalu jadi anak kesayangannya mama, gak peduli kekurangan yang kamu punya, kamu alasan mama untuk terus bertahan sayang, teruslah bertahan untuk mama ya?”

Aku mengangguk di pelukannya, akupun juga menangis, suatu hal sederhana yang baru aku sadari ternyata terucap dari mulut yang tak aku sangka.

Winara Cahaya Senja telah membuka mataku untuk melihat lebih jelas tentang dunia yang sudah lama tak aku kenali ini.

Kalimat sederhana Winara terus terngiang di kepalaku, ucapannaya seperti dipantulkan dari dinding-dinding ruangan ini yang mengatakan kalau semua ini bukanlah sebuah akhir bagiku.

diambil dari ingatan Bian Langit Angasa