Evermore 6

diambil dari ingatan Davika (ika)

Dua minggu sudah, seorang anak muda bernama Ara itu bekerja disini, ia mampu mengubah putraku yang semula hanya diam di dalam kamar kini mulai aktif dan terkadang membantuku di dapur menyiapkan sarapan ketika pagi menjelang, juga memberinya semangat yang mungkin aku sudah tak merasakannya tiga tahun terakhir.

Putraku, Bian Langit Angkasa menemukan hidupnya lagi, aku tak tahu harus berterimakasih dengan cara apa pada Ara, ini sudah melampaui ekspektasiku yang hanya berharap ia mau berteman dengan Bian, bahkan saat ini mereka sangat dekat dan menghabiskan waktu berdua.

Terkadang aku melihat mereka tertawa tergelak-gelak di kamar sebelum aku berangkat kerja, juga ketika kau pulang kerumah mendapati mereka berdua sedang tertidur di ruangan audio visual dengan film yang masih terputar dilayar sana.

Cukup seperti ini saja sudah membuatku bahagia, jika saja suatu hari nanti sumber bahagia Bian adalah Winara maka aku akan menyetujuinya, bagiku kebahagiaan Bian adalah segalanya.

Aku pernah menawarkan Winara untuk menginap namun aku mengerti kalau ia tak bisa karena ia punya keluarga tak jauh dari sini, tak apa aku mengerti, seperti ini saja sudah cukup bagiku, mendengar gelak tawa Bian kembali lagi menghiasi rumah ini adalah suatu keajaiban yang aku mau membayarnya semahal apapun harganya.

Dua minggu belakangan juga Winara lah yang selalu Bian bicarakan bahkan ketika aku dengannya sedang menonton tv ia banyak menuturkan dan bercerita tentang apa-apa saja yang mereka lakukan berdua hari ini, juga apa saja yang Winara ajarkan padanya.

Bian menceritakan padaku kalau hari ini Winara mengajarinya untuk membuat kue, ia terlihat sangat bahagia dan senyum itu tterus terukir ketika menceritakannya, selain itu ia juga meminta izin padaku untuk pergi, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Bian meminta izin padaku sebagai mamanya untuk pergi keluar rumah.

“ma, aku boleh minta izin?”

“iya sayang? Mau minta izin apa?”

“Bian mau pergi keluar boleh?”

“keluar? Kemana nak? Sama siapa?”

“Ara mengundangku untuk makan malam di rumahnya, katanya besok dia berulang tahun ma”

“iyakah? Wahhh boleh, tentu mama mengizinkan sayang”

“ma?”

“iya?”

“Bian boleh minta di temani?”

“kemana sayang?”

“Bian harus mencari kado untuk Ara, apa mama mau manemaniku keluar mencari kado untuknya?”

Aku menangis, tentu saja, lagi-lagi untuk pertama kalinya putraku mengajakku untuk keluar, walau hanya mencari sebuah kado ulang tahun tentu ini adalah moment yang sudah lama tak aku rasakan lagi.

“tentu sayang, mama mau, ayo kita bersiap keluar” Aku memeluknya erat dan mengecup puncak kepalanya.

“mengapa mama menangis? Apa aku mereportkan mama lagi? Maafin Bian ma” Aku menggeleng keras.

“enggak sayang, enggak sama sekali, mama bahagia akhirnya kamu kembali, anak mama, Bian Langit Angkasa”

Ia tersenyum dan melihatku

“apa mama gak malu punya anak yang tangannya buntung? Aku takut kalau mama malu dengan persepsi orang karena aku ma” Lagi-lagi aku menggeleng keras.

“enggak sayang, mama gak perlu mendengar apa perkataan orang lain ketika dunia mama sudah berpusat ke kamu, kamu dunia mama, mama bangga sama kamu, tetaplah bersama mama Bii”

Aku memeluknya lagi, sudah tak terhitung aku dibuat menangis karen perubahan Bian yang luar biasa pesat membuatku menangis bahagia, lelaki muda bernama Winara Cahaya Senja nampaknya memang membawa cahaya baru di kehidupan putraku.

Terimakasih Winara, kamu telah mengembalikan senyum dan tawa Bian, anakku satu-satunya yang aku sayang dan alasanku bertahan di dunia yang kejam ini.


Dipusat perbelanjaan untuk kado-kado ulang tahun, Bian sibuk berputar-putar kesana kemari, bahkan aku terkejut ketika ia tak lagi takut dengan tatapan orang-orang yang melihatnya dengan tatapan heran, aku bangga kepercayaan dirinya telah kembali.

“ma, kayanya Bian mau ambil ini aja deh, Ara pernah bilang dia pengen punya benda yang kayak ginian”

Aku melihat sebuah bola yang isinya manusia salju, sebuah snow globe ternyata.

“iya sayang, udah itu aja? Mau apa lagi?”

“udah ma, yuk ke kasir”

Bian menggandeng tanganku, dengan satu-satunya tangan yang ia punya, aku yakin ia bisa menggenggam dunianya sendiri.

diambil dari ingatan Davika