Evermore 9

diambil dari ingatan Winara Cahaya Senja.

Aku berlari menuju rumah sakit dengan air mataku yang sudah tak kupedulikan lagi, apa yang Bian lakukan hingga ia harus dilarikan kerumah sakit?

Di depan ruangan aku bisa melihat tante Ika ada di dalam sana, perlahan aku masuk dan seolah paham, tante ika meninggalkanku berdua dengan Bian didalam ruangan yang berbau obat ini.

“Bian, apa yang kamu lakukan? Kenapa Bii? Kenapa?”

Aku duduk di tepi ranjang melihat tangan kirinya yang sudah diperban, ia mencoba melukai dirinya sendiri ternyata.

“Ara, aku ngerasa gak berguna di dunia ini Ra, aku ngelukai orang-orang yang aku sayang, maafin aku Ra”

Aku menggeleng, dan mendekat padanya.

“apa yang kamu lakukan Bii? Gak ada? Jadi tolong jangan lakukan ini, aku mohon”

“kamu putus dengan Awan kan? Gara-gara aku Ra, aku tahu itu”

“gak Bii, kamu salah, kamu salah”

Aku menangis sejadi-jadinya, di detik ini perkataan Awan ada benarnya, kalau diniaku sudah berputar pada Bian, bahwa tatapan dan perhatianku sudah berpindah pada lelaki ini, apa aku yang terlalu naïf sehingga tak bisa membedakannya antara sayang dan menunaikan pekerjaan?

“dia selingkuh Bii, dia jahat gunain kamu sebagai alasanku untuk putus, padahal dia sendiri yang melakukannya Bii…hiks”

Aku tahu, meski ia ingin menghapus air mataku, namun ia tak bisa, tangannya masih terluka dan terlalu sakit untuk di gerakkan.

“apa aku terlalu naïf Bii? Kalau semua duniaku sudah berputar padamu? Jika iya, aku akan mengatakannya sekarang, Bian Langit Angkasa aku telah jatuh cinta padamu sejak hari pertama kita bertemu, sejak burung kertas itu yang tak bisa terbang di teras rumah, aku mengatakannya Bian, aku mengatakannya”

Aku menjatuhkan wajahku diatas ranjang dan menangis sejadi-jadinya saat ini.

“jangan berbohong Ra, aku tak suka di kasihani seperti ini”

“gak Bii, aku gak bohong, coba lihat mataku” Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang.

“apa kamu tak malu menyukai lelaki yang hanya punya satu tangan?” Aku menggeleng.

“apa kamu tak malu dicintai oleh lelaki dengan tangan yang bunt…”

“diam Bii, aku gak suka kamu berbicara sepeti itu”

Aku memeluknya, tak peduli kalau bobotku bisa mengintimidasinya.

“aku mencintaimu Bii, mencintai ketidaksempurnaanmu dengan ketidaksempurnaan yang aku miliki”

“Winara Cahaya langit, terimakasih Raa, namun kamu tak perlu melakukan ini kalau hanya atas dasar kasihan, aku berterimakasih karena kamu membawa cahaya baru dalam hidupku”

Aku menggeleng di pelukannya.

“apakah perasaanku tak sepenting itu Bii? Sampai kamu kira aku berbohong? Aku mencintaimu Bii, tidakkah kau sadar?” Ia tersenyum dan terkekeh.

“kalau begitu, peluk aku sekali lagi dan yakinkan aku kalau ini bukan mimpi”

Aku memeluknya erat, setelahnya aku mengecup dahi, pipi dan bibirnya singkat untuk meyakinkan kalau ini bukanlah sebuah mimpi.