FN-B-01

“Sudah berapa kali mas bilang? Jangan kesana lagi kan? Ini sudah jam berapa?”

Cecar Awan yang memojokkan Winata di belakang pintu, mahasiswa S2 psikologi itu baru saja sampai di Apartmen mereka berdua, tapi Awan sudah kehilangan kesabarannya. Rasa amarahnya yang tak terkendali meledak tepat saat Winata melangkahkan kaki masuk dibalik pintu.

“M-maaf kak”

Badan Winata gemetar hebat, matanya berkaca-kaca menghadapi kemarahan Awan.

“Kak? Kak kamu bilang? Huh?”

Nada amarah jelas sekali Awan lontarkan, ia menangkup wajah Winata dengan tangan kanannya sampai pipi yang lebih muda terasa sakit dan linu.

“Bilang 'kak' sekali lagi dan mas pastikan kamu akan menyesal, inget ini baik-baik anak manis...” Awan menatap mata Winata tajam, penuh amarah dan perintah. “Call me 'mas' bukan kak, inget?”

Win menangis, tak pernah ia sangka Awan akan menjadi seperti ini, terobsesi padanya sampai tak segan untuk membentak bahkan menyakitinya.

“JANGAN CUMA NANGIS AJA!! MAS GAK BUTUH TANGISANMU!”

Bentak Awan keras, membuat Win mengangguk dengan cepat, lututnya gemetaran menghadapi ketakutan maha besarnya, adalah Awan.

“Iya m-mas huuu hiks”

Tepat ketika Awan melepaskan tangkupan tangannya pada pipi Winata, mahasiswa itu menangis dalam diam, tak bersuara karena terlalu takut Awan akan semakin menggila untuk memarahinya jika mendengarnya menangis.

Winata menundukkan kepalanya ke bawah dan mengusap air matanya yang tak bisa berhenti, sialnya Awan mengikuti kemana arah mata Winata memandang. Sebuah cincin yang melingkar di tangan Winata itu adalah satu-satunya hal yang Winata percaya saat ini, bahwa suatu hari Bright akan datang menemuinya di tempat itu, tempat dimana semuanya berakhir dan mereka berjanji bertemu kembali.

“Ohhh, cincin ini ya?” dengan cepat Awan memegang tangan kanan Win kuat-kuat dan mengambil cincin itu secara paksa dari tangan Winata.

“Mas jangan diambil itu punyaku” cegah Win terlambat, cincin itu sudah berpindah tangan.

“Ini kan yang bikin kamu ingat dia terus? Mas ingatkan sekali lagi sama kamu Winata!” Awan siap meledak, ia sensitif dengan sesuatu mengenai Bright.

“Dia cuma dosen! Gak bakal bisa bikin kamu bahagia! Siapa yang nolongin keluargamu yang hampir bangkrut? Dia atau mas? SIAPA WINATA? MAS TANYA SAMA KAMU!!”

“Mas, please jangan” Win tak mau mendebat, semalam ia bertengkar hebat dengan Awan dan berakhir memar-memar di sepanjang pahanya.

Maka kali ini ia langsung bersimpuh di kaki Awan memohon untuk cincin itu dikembalikan.

“Bediri...” Lirih Awan sambil membuang nafasnya.

“Mas gak akan ngembalikan cincin ini, mas bisa belikan kamu cincin yang jauh lebih mahal daripada cincin murahan seperti ini” ejeknya sambil memasukkan cincin itu ke dalam saku celananya.

Win hampa mendengarnya, air mata yang membasahi pipinya seakan tak ada harganya, ia putus asa.

“Sekarang kamu mandi, bersihin diri kamu... Mas udah beliin salep untuk luka memarmu itu”

Awan melangkah menjauh, meninggalkan Winata yang masih menangis di belakang pintu, ia kosong, ia hampa, ia putus asa, dan sekarang? Ia terluka tentang bagaimana Awan memperlakukan dirinya.