FN6

Selamanya, aku benci sebuah penolakan.

Aku membencinya sebanyak Sri Rama membenci Rahwana, sedengki Siti Nurbaya kepada Datok Maringgi.

Hidup di keluarga yang merampas semua kebebasan yang ku punya, bahkan aku sudah lupa kapan terakhir kali aku memilih pilihanku sendiri.

dulu, ketika aku duduk dibangku sekolah, aku berpikir kalau hanya angka dan huruf yang bisa membantuku mendapatkan nilai-nilai terbaik dan membanggakan orang tua, namun perlahan keyakinanku mulai pudar. Mereka tak puas hanya mendapatkan angka-angka itu, bahkan saat ini kebebasanku yang aku miliki sejak tiga tahun lalu, sejak aku memilih pergi ke Semarang, kembali dirampas.

aku tahu, langit tak selamanya biru, terkadang ia kelabu sebagai pertanda kalau badai akan datang.

dan aku tersadar, kalau kebebasan yang aku miliki, hanyalah kebebasan semu yang suatu saat bisa mereka ambil dan mereka hancurkan di depan kakiku sendiri.


Waduk Sempor, Wonosobo. 16:30 Pm

Aku berangkat dari Semarang ketika matahari sedang ada di puncak atas kepala, jadi saat ini aku sudah sampai di Wonosobo.

Hanya terpaut beberapa jam saja nyatanya matahari sudah bersembunyi dibalik awan yang tak juga menurunkan hujannya.

Aku dan mas Bright sampai disini, di Waduk Sempor yang beberapa bulan lalu aku kunjungi dengan mama. Aku sangat exited untuk menunjukkan beberapa tempat yang fotogenik pada mas Bright, namun aku lebih exited untuk menghabiskan waktu bersamanya sore ini.

Aku mengeluarkan ponselku dan mulai merekam video untuk aku simpan sendiri.

“wahhhh, sampai dimana nih mas? Tahu gak tahu gak tahu gakkk? Hahahaha”

Aku merekam mas Bright yang melepas seat belt nya dan menatapku dengan terkekeh.

“tau lahhh, kan diajak kesini sama pacar sendiri, iyakan?”

Ia menaik-naikkan alisnya, ahhh mengapa ia sangat tampan, bahkan saat melakukannya bisa membuatku jatuh cinta berkali – kali lagi.

“ahahahaha mamas doyan jagung bakar sama bandrek gak? beli yuk?”

Aku menggenggam tangannya, padahal aku tahu kalau kami keluar dari mobil dari arah berlawanan, entah... Aku hanya ingin bermanja sedikit dengannya saat ini.

“doyan kok, yuk turun sayang”

Aku mematikan kamera dan menyimpan ponselku, mungkin nanti aku akan mengambil beberapa foto untuk mengabadikan moment berdua.

Dia menggenggam tanganku dan berjalan menuju sebuah gerobak yang menjajakan jagung bakar dan bandrek disana.

“pak jagung bakar dan bandreknya masing-masing dua ya pak, pacar saya udah kelaparan sepertinya”

Ia terkekeh ketika mengatakannya, entah, aku sudah lama tak merasakan bahagia yang seperti ini, ketika rasanya ada jutaan kupu-kupu yang merambat dan terbang di perutmu karena hanya dengan hal sesederhana di akui menjadi seorang kekasih di depan penjual bandrek, secara tak langsung ia merasa beruntung dan ingin mengatakan pada dunia bahwa aku memang miliknya dan sudah menjadi bagian dari lika-liku perjalanan hidupnya.

“siap mas, ditunggu aja ya”

Penjual bandrek itu terlihat ramah dan rasanya ia juga mengenaliku sebanyak aku berkunjung kemari ketika remaja dulu.


Matahari sudah ada di peraduan sana, segelas bandrek hangat dan jagung bakar di tangan cukup ampuh menghilangkan rasa dingin yang menusuk di kota kelahiranku ini.

Kini aku dan dia berdiri berdekatan melihat sang surya perlahan tertelan air di ufuk barat sana, cahaya senja itu menyapu wajah tampannya dan aku memperhatikannya.

“kenapa lihatin mas segitunya hmm?”

Ia membalas tatapanku kali ini.

“apa ada sisa jagung bakar di mulut mas?”

Ia mencoha membersihkan bibirnya dengan tissue dan meminum beberapa teguk air mineral yang selalu ia bawa kemana-mana. Aku asik melihat jakun itu naik turun seiring ia meminum air mineral itu.

“gak kok, ga ada apa – apa mas, cuma rasanya kayak.... Masih gak percaya kita bisa ada di tahap ini ya mas, setelah semua kekacauan di belakang sana, aku bersyukur punya mas disini”

Aku tersenyum dan aku merasakan panas di pipiku, entah... Apakah aku tersipu malu mengatakannya?

Mas Bright langsung memelukku dan mengecup puncak kepalaku.

“mas juga bersyukur sayang, teruslah kembali ke mas ya?”

Aku mengangguk dan berkata.

“dan teruslah mencoba mengingatku mas”

Aku membalas pekukannya erat, menikmati senja bersama dia disini adalah sebuah moment yang akan terus aku ingat sampai ingatanku memudar dan mungkin tak sanggup lagi berjalan.


Dari catatan Winata Mulya Sandjaya.

Ternyata tuhan sangatlah baik, takdirku dengan takdirnya bersilangan sekali lagi, dan kali ini kami berjalan beriringan bukan lagi saling berlawanan.

Setelah hanya bisa berangan dan setelah begitu banyaknya aku menggantung harapan, akhirnya kami bisa bersama lagi.

Kini ia bukan lagi insan tak bernama, karena namanya sudah kupahat secara gaib di dalam hatiku. Kini aku bisa menemuinya karena keberadaannya juga sudah bukan lagi misteri, ia berada di tempat yang kuketahui untuk kutuju

Bagiku manusia tak ada yang sempurna, justru dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnannya aku bisa belajar untuk mencintai lagi setelah kehilangan yang mengoyak duniaku.

Aku menemukan definisi sempurna untuk diriku sendiri, dia sempurna dimataku dengan segala ketidaksempurnannya. Dan aku akan selalu memakai definisi yang aku punya untuk melihat dunia dari kacamata sang pecinta.


Rumah Winata 08:10 Pm

Mereka semua duduk di meja makan, ada Bright dan Winata, seluruh anggota keluarga dan juga ada seseorang yang juga diundang dalam makan malam ini, namanya Awan.

Usianya terpaut 7 tahun diatas Winata, dan sebaya dengan Bright. Ia adalah putra dari sahabat papa Winata sejak merintis usaha kecil hingga sudah menjadi perusahaan besar seperti sekarang.

Awan bisa dikatakan seorang pribadi yang tenang, baik dan sangat peduli pada Winata, saat masih kanak-kanak dulu antara Winata dan Awan sering menghabiskan waktu bersama, hanya awan yang Winata punya sebelum ia mengenal Mix dan kepergian Awan ke New York untuk melanjutkan pendidikannya.

Sejujurnya antara Winata dan Awan tidaklah beda, mereka berdua hanyalah seorang anak yang seluruh hidupnya sudah dipertimbangkan oleh orang tua, Awan tak pernah mau belajar bisnis karena ia memiliki jiwa seni yang tumbuh di dalam dirinya, namun orang tuanya membunuh potensi yang ia punya dengan dalih meneruskan usaha yang orang tuanya miliki.

Tak jauh berbeda dengan Awan, Winata pun sama, hanya saja Winata lebih beruntung karena bisa memilih untuk kuliah di bidang yang ia suka dan menentukan sendiri dimana ia akan berkuah, namun nampaknya kebebasan itu tak lama lagi.

“jadi kakak pulang kerumah bawa teman?”

Kakak, adalah cara sang papa memamggil anaknya ketika ada sesuatu yang salah dan ada yang harus dibicarakan dibelakang.

Winata yang merasa kalau sang ayah berbicara padanya langsung melihat ke arah sang ayah dan baru saja akan membuka suara namun sang ayah nampaknya tak mau disela.

“siapa namanya?”

“saya Bright pak, saya dosennya Winata” Ujar Bright berterus terang.

“ohhh, ini kenalkan, namanya Awan.... Dia calonnya Winata”

Seperti disiram air dingin, Winata dan Bright menggigil detik itu juga, Winata yang tak percaya dengan apa yang dikatakan sang ayah, juga Bright yang terkejut kalau Win ternyata sudah memiliki calon, mengapa ia tak diberi tahu?

Winata melihat wajah Mesa dan sang Mama yang menunduk, mereka semua tak memberikan penjelasan apapun, ia bingung bukan main, jika ini kiamat maka benar kalau langit telah runtuh tepat di atas kepala Winata.

“m-maksudnya pa?”

“papa rasa setelah kamu lulus S1, papa akan kuliahkan kamu ke New York. Disana kamu sama Awan bisa tinggal satu rumah jadi papa gak khawatir lagi”

Jelas sang ayah.

“om, jangan terlalu buru-buru, saya takut Winata masih terkejut dengan hal ini”

Awan menatap Winata dengan tatapan tenang, memang sedari dulu Awan adalah salah satu orang yang Winata kagumi namun sebagai seorang kakak, bukan sebagai pasangan.

“pa... Ini bukan perjodohan kan? Gak pa, Winata gak mau, Win mau kuliah di london, Win mau jadi psikolog paa, Win gak mau kuliah bisnis”

Ujar Winata dengan nada amarah disana, untuk pertama kalinya Winata berani bersikap seperti ini demi kebebasan yang ia punya.

“kak, bahkan dulu papa gak berniat untuk menguliahkan kamu, bukankan langsung menikah dengan kak Awan adalah pilihan yang bagus? Kalian bisa mengembangkan perusahaan bersama”

“PAAAAA” Win menjerit dan menggebrak meja namun Bright langsung menggenggam tangannya, memberinya isyarat untuk tenang.

“apa ini? Kamu kuliah di Semarang hanya mau jadi pembangkang? Ini yang dosenmu ajarkan ke kamu? IYAAA?!”

bentak sang ayah, sembari menatap Winata dan Bright bergantian.

“Win kira papa udah berubah, Win kira sejak papa ngasih izin Win buat nentuin pilihan sendiri adalah tanda kalau papa sudah berubah.... Ternyata tidak!”

“papa ngelakuin ini demi kebaikan kamu, jangan berani menolak perintah papa kali ini”!

Sungguh, rasanya Bright menyuarakan ketidaksetujuannya, namun ia paham kalau ayahnya Winata adalah tipe yang alot, akan memakan waktu lama untuk menyadarkannya dan bukan sekarang tepatnya.

“kebaikan apa pahh, ini semua hanya untuk bisnis papa kan? Iyakann?”

Ia sudah berairmata, hatinya terasa sakit, ia tak mau merasakan neraka yang menyiksanya dari seolah dasar hingga sekolah menengah, sebelum ia merasakan yang namanya kebebasan semu semasa kuliahnya.

Sang papa berdiri dan akan menampar Winata namun Awan mencegahnya dengan memegang tangan sahabat papanya itu.

“om...om its okay, gapapa kalau Winata gak mau om, jangan sakiti dia ya?”

Tawan melihat Winata dengan tatapan yang tak pernah berubah sejak dulu, tatapannya selalu membuat Winata tenang.

“om malu sama papa kamu, om gagal didik Winata sampai membangkang kaya gini”

“ayo mas, kita pulang, aku gak mau ada disini”

Winata berdiri dan menarik tangan Bright.

“jangan berani-beraninya kamu keluar dari rumah ini Winata!”

Namun Winata tak bergeming, ia terus berjalan menuju pintu keluar dengan Bright yang tangannya ia genggam erat-erat.

Acara makan malam yang seharusnya menjadi ajang pengenalan Bright pada keluarganya malah menjadi ajang perjodohan antara dirinya dan Awan.

“WINATAAAA, KEMBALI”

bentak ayahnya keras sekali.

“Taa, mas aja yang pulang gapapa, kamu disini ya?” bisik Bright pelan

Winata menggeleng menanggapi pertanyaan Bright sambil menangis.

Ia tak mau kebebasannya di rampas lagi, dan kali ini dua kebebasan sekaligus yang coba sang papa rampas dan ambil kembali dari dirinya.

Mereka berdua meninggalkan rumah dengan keadaan kacau. Mungkin benar kalau langit tak selamanya biru, mungkin juga akan kelabu sebagai tanda kalau awan gelap yang membawa hujan dari penghujung samudera dan menjadi badai pada dunia mereka, antara Bright dan Winata.