LAWU


Manusia adalah makhluknya yang kecil, ia tak berdaya tanpa adanya rasa cinta yang tumbuh seiring usia, terkadang manusia yang kurang bersyukur atas apa yang diberikan oleh sang kuasa, saat dirimu diberikan sebuah cinta namun kau menolaknya, selalu ada penyesalan diakhir sebuah cerita yang terangkai indah bagai puisi saat senja.

Bersyukur adalah salah satu cara bagaimana dirimu menghargai apa yang telah diberikan sang kuasa dan terlebih lagi menghargai dirimu sendiri atas apa yang kau punya selama ini, dan banyak orang bilang bahwa dipuncak Lawu kau akan bisa menemukan siapa dirimu yang sebenarnya, dipuncak sana adalah tempat orang bersyukur dan mengagumi keindahan karya tangan tuhan yang selama ini tak bisa kita lihat.

Banyak diantara manusia yang memfilosofikan gunung sebagai perumpamaan cinta mereka, namun mereka tak tahu kalau gunung menyimpan sebuah kisah di tiap pijakan batunya, di tiap kabut tebal yang menyelimutinya, dan kisah bright dan winata dimulai dari sana.


Bagi sebagian orang, mendaki adalah kegiatan yang menyenangkan untuk melepas stress dari penatnya semua hingar bingar kota, bagi sebagian orang lagi, mendaki adalah hal yang menyeramkan, semua hal bisa saja terjadi, dari faktor alam sampai faktor manusianya sendiri.

Pun konon katanya di gunung banyak hal terjadi, tak terkecuali gunung Lawu, gunung yang namanya sudah melalang buana sebagai gunung pendakian di Jawa Tengah ini menjadi salah satu gunung favorit para pendaki, disinilah yang namanya pertemanan dan persahabatan diuji, mitosnya di gunung ini terasa menantang ditiap pijakan kaki, apakah teman atau sahabatmu akan meninggalkanmu ketika kau mengalami hal buruk? Apakah mereka akan mencarimu ketika kau terpencar dari rombonganmu? Disinilah semuanya diuji.

Dan disinilah winata, ia bersama rombongannya yang terdiri dari 4 orang, ada siwi, khao, Afi dan dirinya sendiri. Mereka sengaja tak mengajak Puim dan Love karena mereka berdua takut dengan mitos yang beredar, pun mereka sudah diperingatkan oleh dua gadis itu untuk tak pergi mendaki ketika keadaan alam yang sedang tak menentu dan tak bisa ditebak seperti saat ini.

Namun mereka berempat tetap berangkat menuju jalur pendakian, pagi ini cerah sekali, tak ada awan hitam dilangit, terbentang langit yang berwarna biru dengan burung-burung yang terbang memulai hari dengan mencari makan bersama kawanan mereka, pun suara cicit burung yang merdu menjadi pertanda alam kalau hari ini semuanya akan baik-baik saja, cuaca sedang mendukung mereka untuk melakukan pendakian menuju puncak lawu.

Sejujurnya ini adalah pendakian yang pertama kali bagi mereka berempat, sehingga mereka tak terlalau paham dengan cara packing yang benar, mereka tak tahu kalau tas yang mereka bawa beratnya tak boleh lebih dari 1/3 berat tubuh mereka, jadilah winata yang membawa banyak sekali barang-barang yang tak ia perlukan, hal itu juga terjadi pada tiga orang lainnya.

Mereka berangkat dari Semarang menggunakan sebuah mobil Jeep milik ayah Winata, Afi yang menyetir mobil ditemani Khao didepan, sedangkan Winata dan Siwi duduk di kursi belakang, sepanjang perjalanan mereka habiskan untuk mengobrol kesana kemari, membahas hal yang tak penting hingga kantuk menyambangi mereka, satu persatu dari mereka pun tidur, hanya Afi yang terjaga dan terus membawa mereka menuju sebuah Gunung indah nan mempesona itu.

Tak ada setengah hari mereka sampai, dengan langkah mantab mereka berempat langsung menuju jalur pendakian pertama, dengan menggunakan tas ransel yang terlihat sangat berat untuk dibawa, mereka membulatkan tekad untuk sampai dipuncak lawu apapun yang terjadi.

Cerahnya cuaca hari ini menambah keyakinan mereka berempat untuk segera melakukan pendakian, beberapa pendaki juga terlihat berlalu lalang mendahului mereka, perlahan mereka mulai menapakkan kakinya di kaki gunung Lawu, berjalan berderet dengan ururan Afi, Khao, Siwi dan Winata di urutan terakhir.

“eh kalian tau gak sih kalau dipuncak sana katanya indah banget” itu suara Afi yang samar-samar terdengar diterbangkan angin.

“tau lah, gue udah pernah lihat cuplikan videonya, katanya emang seindah itu dan worth it” Khao menjawabnya, suasana sejuk ini sangat menyulut semangat mereka berempat untuk segera tiba di pos pemberhentian pertama.

“gue sih belom pernah kesana ya, ini pertama kali sih….” Siwi melanjutkan.

“eh…kan ini perdana kita semua kan ke puncak lawu? Terus gimana kalau kita tersesat?” siwi lagi.

“gak lah, kan banyak pendaki lain juga, tinggal ikutin jalurnya aja gue yakin kita semua sampai puncak kok” Afi meyakinkan teman-temannya, ya ide gila mendaki gunung Lawu disaat cuaca ekstrem ini adalah usulan darinya.

“tapi harusnya sih kita ngajak Bright, iyakan win? Ahahahhaha” goda siwi pada winata yang berada dibelakangnya.

“apaan sih, aku sama Bright gak ada hubungan apa-apa walau dia nembak aku seribu kalipun gak akan gue terima” Jawab winata yang masih mengekor dibelakang Siwi.

“ahahahha kenapa sih win? Bright anak Mapala kan bisa tuh bermanfaat kalau dikondisi kayak gini, ya seenggaknya dia udah pernah mendaki lah” Khao merespon win dan tak menoleh sedikitpun.

“khao apa sih, kata Afi kan juga banyak penunjuk arah disini, jadi gak perlu tuh bantuan Bright yang anak mapala itu” jawab win agak ketus, ia tak suka kalau teman-temannya sudah membahas antara dirinya dengan Bright.

Bukannya apa-apa, Winata memang tak menyukai Bright karena ia adalah anak Mapala, winata tak suka itu, sejujurnya winata tak suka kegiatan outdoor seperti ini, ia ikut mendaki karena bujukan ketiga temannya yang terus-terusan mengajaknya dari jauh-jauh hari.

“iya iya ih gausah ngambek gitu kali, yuk semangat guys kita gak akan jauh lagi sampai pos satu nih”

Afi menyemangati rombongannya, ia sudah melihat sebuah rambu yang bertuliskan bahwa tak jauh lagi pos pemberhentian pertama sudah dekat.

“iya nih, ranselku berat banget kayak mau jatoh aja nih rasanya”

winata mengeluh karena dirasa ranselnya yang semakin berat, bukan, sebenarnya bukan tas winata yang terasa semakin berat, namun karena stamina mereka perlahan terkuras karena terus mendaki dengan jalur agak terjal itu lah yang membuat seolah tas mereka semakin terasa semakin berat.

“iya gue juga nih, kayak pundak gue rasanya capek banget bawa tas segede gini, ini kita gak salah packing kan?” siwi merasakan hal yang sama dengan hal yang dirasakan winata, pundaknya semakin berat karena energinya sudah terkuras.

Mereka semua masih berjalan denga formasi barisan menuju pos pertama.

“iya gue tahu, yuk bentar lagi sampai bisa istirahat dulu sambil makan atau minum gitu kan. Lagi-lagi Afi meyakinkan teman-temannya.

“tuh udah kelihatan posnya, yuk agak cepetan” khao menambahi karena ia melihat pos pemberhentian pertama itu.

Sedangkan diantara mereka berempat, terlihat Winata yang sepertinya kelelahan dan kuwalahan membawa beban ransel dan beban dirinya sendiri, keringat mengucur deras dari tubuh winata saat itu, namun angina sejuk yang menerpa mereka membawa sebuah keyakinan sendiri dibenak masing-masing bahwa alam sedang menyetujui dan merestui mereka untuk segera menuju puncak sana.

Suara pepohonan yang tertiup angin menjadi sebuah irama dan melodi yang sangat langka mereka nikmati dan dengarkan, melodi yang menenangkan siapapun yang mendengarnya diikuti suara kicauan burung dan belalang menambah suasana alam terbuka ini menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi mereka berempat.

“pelan dikit dong jalannya, agak capek nih” winata mengintrupsi teman-temanya yang berjalan didepannya semakin cepat, dirinya agak tertinggal karena ia lambat dalam berjalan dengan membawa semua beban berat di punggungnya ini.

Hal itu membuat Afi sebagai ketua pendakian mereka berhenti dan menoleh kebelakang, hal itu juga dilakukan oleh Khao dan Siwi, mereka berhenti sejenak menunggu Winata yang berjalan agak pelan.

“ini kalau kita jalan pelan gini kapan sampai puncaknya coba? ahahhaha”

Canda Afi yang membuat mereka semua tertawa, namun jauh di lubuk hati Winata ia takut jika ia tertinggal atau ditinggalkan oleh teman-temannya.

___

POS 1-02:30 Pm

Mereka semua beristirahat sejenak di POS 1, saling bergantian memakai toilet untuk melakukan keperluan masing-masing, disana ada beberapa pendaki yang juga sedang beristirahat namun sudah berkemas untuk bersiap-siap kembali mendaki menuju POS 2. Winata sedang menggunakan toilet ketika ketiga temanya sedang berbincang-bincang dengan pendaki lainnya.

“kalian juga mau mendaki ke POS 2? Gak mau barengan nih?” Tawar seorang pendaki perempuan bersama gerombolan yang mungkin itu komunitas pecinta alam.

“enggak kak makasih, kami baru sampai pun, mau istirahat bentar, lagipula satu teman kita masih ada di toilet kak” jawab Siwi sopan

“baiklah, hati-hati kalau dijalan okay?”

“siap kak” Khao merespon dengan cepat

Saat perempuan pendaki itu akan meninggalkan mereka tiba-tiba ia berbalik dan mendekat pada Afi, Khao maupun Siwi, seperti ada sesuatu yang akan ia sampaikan pada mereka.

“oh iya, saya mau ngasih tahu” ujar perempuan itu setengah berbisik, membuat mereka bertiga agak mendekatkan diri pada pendaki itu agar suaranya sampai di indera pendengaran mereka masing-masing.

“disini ada mitos pasar ghaib, kalian udah tahu kan?”

Mereka bertiga mengangguk secara bersamaan

“sebenarnya ada satu lagi pantangan yang harus kalian tahu, ini gak banyak dibicarakan dimasyarakat luas, tapi kalian harus mengetahuinya”

Dan mereka mengangguk lagi seraya semakin menyimak kata perkata, kalimat per kalimat yang diucapkan oleh perempuan pendaki itu. Tanpa mereka sadari kalau Winata yang masih didalam toilet itu tidak mengetahui sebuah pantangan yang dikatakan perempuan pendaki itu pada mereka.

___

POS1-03:30 Pm

Satu persatu dari mereka berempat sudah bersiap-siap melanjutkan perjalanan, terlihat ada dua tenda yang mereka bawa, rencana untuk bermalam diperjalanan dengan satu tenda untuk dua orang sudah mereka pikirkan matang-matang. Dua tenda itu dibawa oleh Khao dan Siwi, dengan formasi Afi Khao dan Siwi Winata untuk penggunaan tenda tersebut.

“yuk berangkat” ajak Afi.

“iya bagus nih cuacanya, sambil lihat sunset gini, indah banget kan? Jarang-jarang disemarang kita lihat sunset” sahut Siwi yang sudah bersemangat untuk melanjutkan perjalanan, tubuh mereka semua terasa lebih segar dan lebih bertenaga untuk kembali berjalan dan mendaki menuju pos ke dua di atas sana.

“emangnya tau kemana tujuan kita selanjutnya?” tanya Winata membuat mereka semua terdiam, namun Afi tersenyum mendengarnya, ia sudah melakukan research sebelum memutuskan berangkat mendaki dan menaklukan gunung Lawu.

“tau dong, kita ambil jalur Cemoro Sewu buat ke Pos 2” Jawab Afi dengan menyedekapkan tangannya di dada.

“yuk ah, nanti keburu malam kita gak jalan-jalan” ajak Khao yang sudah mulai berjalan pelan.

“iya ayo, tungguiiinnnnnn” Winata langsung bergabung dengan mereka.

Lagi-lagi menggunakan formasi berbaris dengan Afi sebagai kepala dan Winata sebagai ekornya. 1 jam sudah mereka terus berjalan, cahaya matahari kini sedang mematang menuju puncak senja, cahaya keemasan itu bersinar diufuk barat bersamaan dengan puluhan burung yang terbang pulang menuju sarang masing-masing, membawa makanan untuk sang anak yang menunggunya seharian.

Semakin lama senja semakin mematangkan warnanya, menyihir siapapun untuk berhenti sejenak menikmati indahnya karya yang maha kuasa, tak terkecuali keempat pemuda yang berasal dari kota metropolitan ini, menikmati senja dengan suara pepohonan yang ditiup oleh angin adalah moment langka untuk mereka nikmati dan dapatkan, jadilah mereka berhenti sejenak, duduk bersisian di tepi jalan menuju ufuk barat mengantar sang surya pulang ke peraduannya.

“indah ya” khao melihat matahari yang semakin mengecil tertelan barat sana.

“indah banget sih ini, gak nyesel kan gue ajak kesini?” Afi membanggakan dirinya.

“iya bagus, tapi ini semakin malem, apa gak sebaiknya kita terus jalan biar sampai di Pos Cemoro Sewu?”

tawar Siwi yang khawatir karena keadaan yang semakin menggelap, suara angin yang mengerakkan pohon juga samar-samar membuat bulu kuduknya meremang semua, benar-benar suasana yang berbeda dan kontras sangat terasa disini, dan itu mereka semua rasakan, hanya saja ego mereka yang tinggi dan menantang liarnya dunia malam itulah yang harus mereka segera kurangi dan mereka kendalikan.

Semakin gelap semakin dingin, cahaya senja kini telah menghilang seiring matahari yang pulang keperaduannya, dilangit tertinggal rembulan yang tengah purnama, cahayanya terang namun tak seterang mentari, kabut malam pun kini turun dari puncak gunung, membuat jarak pandang mereka terbatas dan mereka semua kedinginan dan memakai jaket ekstra mereka masing-masing.

“dingin banget gak sih” khao menggosokkan kedua telapak tangannya, berusaha menghangatkan dirinya dengan gerakan yang menghasilkan panas statistik itu.

“iya nih, keluarin senter gih, kabutnya tebal banget ini, semoga kita gak salah jalan sampe ke Cemoro Sewu”

Sesuai namanya, Pos ii Cemoro Sewu ditandai dengan banyaknya pohon cemara yang menuntun para pendaki menuju ke Pos peristirahatan itu, agaknya mereka masih jauh dari tujuan mereka, disekitar mereka hanya ada pohon pinus yang menjulang tinggi, yang mungkin saja umurnya jauh lebih tua dari umur ke empat pemuda modal nekat ini.

“yuk jalan”

Dengan modal keberanian yang semakin menciut seiring malam yang larut, mereka semua mulai berjalan, masih dengan formasi yang sama, tak berfikir untuk merubah formasi sama sekali, mengingat ke tiga dari empat pemuda itu mengetahui pantangan yang ada ditempat ini dan mengabaikan salah satu diantara mereka yang belum mengetahuinya, iya, orang itu adalah Winata yang tak tahu menahu tentang sebuah hal yang dikatakan oleh seorang pendaki perempuan di POS 1 tadi, entah apa yang terjadi, apakah mereka bertiga lupa memberi tahu Winata soal pantangan itu? Sangat kebetulan sekali kalau mereka bertiga lupa disaat yang sama? Ataukah karena ketakutan mereka menghadapi dunia malam gunung lawu yang membuat mereka lupa? Bisa saja terjadi.

Perlahan mereka mulai bergerak, dalam gelap gulitanya malam mereka menyusuri jalanan yang semakin terasa menyempit, jalan rata itu kini berubah menjadi rerumputan licin, entah mereka mengarah kemana, ke pos dua atau semakin masuk kedalam hutan yang belum tentu mereka tahu kemana ujungnya. Yang jelas mereka semua melangkah ditengah tebalnya kabut malam Gunung Lawu bermodalkan senter sebagai penerangan mereka dan keteguhan hati sebagai pegangan mereka menuju puncak lawu esok hari.

“ini dimana sih fi, aku takut fi”

Winata bersuara dibelakang sana, suaranya terdengar jelas oleh mereka semua, angin malam berhembus menggoyangkan pohon-pohon pinus yang ada di sekitar mereka.

KRETEKKKK KRETEKKK

Suara batang pohon yang berderit itu menambah suasana semakin mencekam, dinginnya angin juga seperti membisikkan sesuatu kepada mereka namun entah itu apa, mereka semua tak mengetahuinya.

“fi beneran deh aku takut banget fi huhuhu”

Winata merengek dibelakang, ia benar-benar ketakutan karena ini pengalaman pertamanya dan harus langsung berhadapan dengan medan yang ekstrem seperti ini.

“bisa diem gak sih? Gue didepan nyariin jalan buat kalian, diem dulu napa dah”

Afi sepertinya kesal sendiri mendengar rengekan Winata yang tiada habisnya, didepan sana Afi mencoba menyipitkan matanya dan mendapati sebuah lahan datar yang bisa mereka gunakan untuk bermalam dan memasang tenda disana.

“yuk kedepan ada lahan datar, kita nge-camp disitu aja”

Ajak Afi sebagai ketua sekaligus pemandu mereka itu, satu persatu anak manusia itu menembus kabut melangkah menuju lahan itu, namun belum juga sampai ke lahan itu lagi-lagi Winata bersuara.

“duhhh……win kebelet pipis huhuhu gimana dong ini?”

“yaelah winnnn ada aja sih yang lo omongin, yang takut lah yang ini lah itu lah sekarang apa? Kebelet pipis? Astaga winnnn” Afi sepertinya kehilangan kesabaran menghadapi Winata yang vokal sekali di saat-saat seperti ini.

“ya gimana dong huhuhuhu ini kebelet banget gimana dong ini” Win sampai harus berjongkok untuk mengurangi rasa ingin buang air kecilnya.

“pake botol aqua nih, mau gak? Gue denger sih biasanya kalau pendaki kebelet pipis pada ditampung di botol aqua” Khao menawarkan sebuah botol minumnya yang sudah kosong itu pada Winata.

“ihhh gak mau, yang ada malah pencemaran lingkungan tau gak sih? Kalau missal kita lupa buang tuh botol apa gak kasian yang nemu harta karun kaya gini? Gak mau, win gak mau pipis pake botol huhuhu” Protes win yang benar-benar sudah tak tahan.

“astaga winnn lo tuh ya…” Afi diam sebentar sembari berfikir.

“Siwi lo temenin win pipis deh, gue sama khao kesana bikin tenda sama api unggun” perintah Afi pada Siwi yang dari tadi hanya diam dan mengamati obrolan.

“lah kok gue? Lo aja lah fi, lo kan yang hafal jalan” protes Siwi

“yaelah bawa aja ke pojokan saja bentar, gue disana nyalain api unggun pasti kelihatan lah”

“ihhh iya ayo siwiiii, udah ga tahan” ajak win langsung menggandeng tangan Siwi untuk segera berpencar.

“wait….nih bawain tas gue Fi, pasangin tenda gue sama Winata sekalian, lo sih nyuruh gue”

Siwi menyerahkan tas ranselnya yang tak kalah besar dari Winata, ditambah ia membawa tenda.

“gampang, yaudah gue kesana sama khao ya? Jangan lama-lama okay?”

“ihhh ayo cepetan siwiii, udah ga tahannnnn”

Win langsung menggandeng Siwi dan mereka berempat berpisah disana, ada Afi dan Khao yang menyusuri kabut menuju tanah yang datar untuk mereka semua bermalam, ada Winata dan Siwi yang menuju ujung sana untuk segera menuntaskan panggilan alam yang dialami Winata.

Win berjalan menembus kabut dengan modal lampu senter yang ia punya, ketika sampai di sebuah semak yang mungkin ia yakin tak akan ada hewan buas yang mengintai mereka, Winata memutuskan untuk menuntaskan panggilan alamnya disana.

“siwi, lo disini bentar ya? Jangan ngintipppp, awas ajaa”

“astagaaa ngapain gue ngintip sih, buat apa sih winnn hihh”

“yaudah kalau gak mau ngintip ya lihat arah sana aja, jangan liatin akuuu”

“iya iyaaa”

Setelahnya Winata langsung menuju semak dibelakang pohon besar itu, Siwi menunggunya dengan jarak yang agak jauh.

“ahhhhhhhhh” lirih win ketika ia sedikit demi sedikit mengeluarkan beban panggilan alamnya itu.

Seperti ada beban yang diangkat dari pundaknya setelah ia membuang hasil ekskresi tubuhnya itu, setelah dirasa selesai, Winata baru saja akan memanggil Siwi, namun ada suara yang ia tangkap. Itu suara yang familiar, benar, win mengenal suara itu namun ia tak mengingat itu suara siapa.

‘wiiiinnnn, ikut aku’

Iya itu suara yang ia kenal, suara it uterus memanggilnya dari arah belakang.

‘ayo berbalik dan ikutlah denganku win’

Suara itu terus memanggil winata, memanggil untuk segera berbalik dan mencari tahu kemana suara itu berasal, dan winata mengikutinya, ia berbalik dan didapatinya Siwi sudah tak ada lagi berdiri dan menunggunya.

‘siwi kemana sih’ batin win

Namun ia terus mengikuti suara itu yang menuntunnya jauh masuk kedalam hutan pinus, ia terus melangkah tanpa takut, tanpa rasa gentar, ia masuk kedalam kabut tebal dan menghilang disana.


Siwi yang merasakan kalau tak ada hawa keberadaan temannya itu berbalik dan ia tak mendapati Winata disana, tak ada temannya yang tadi berada di semak belukar itu, dengan khawatir Siwi menyusuri semak dan mengelilingi pohon demi pohon disekitar sana, namun nihil ia tak menemukan Winata disana.

Dengan perasaan yang bercampur dengan ketakutan ia berlari menuju Afi dan Khao yang terlihat sudah membuat api unggun di ujung sana, cahaya panas api itu menembus tebalnya kabut sehingga Siwi degan mudah menemukan Afi dan Khao yang sudah mendirikan kedua tenda itu.

Afi yang melihat Siwi berlari dari balik kabut seperti merasaan perasaan tak enak, rasa was-was ada hinggap di pundaknya. Ia berdiri dari semula duduk didepan api unggun.

“GUUYYYYYSSS”

Siwi berteriak sambil berlari kencang, nafasnya terengah-engah ketika sudah sampai didepan api unggun, keringatnya sebesar biji bunga matahari, menandakan ia berlari dengan perasaan takut yang sangat luar biasa, didapatinya kaki siwi yang gemetaran menambah dugaan Afi semakin menguat.

“kenapa?Winata mana?” tanya Khao yang baru menyadari kalau salah satu temannya tak kembali dari ujung gelap disana.

“udah aku cari-cari tapi gak ada sumpahhh, gue takut nih” siwi menjelaskan ditengah nafasnya yang terengah-engah karena berlari secepat mungkin.

“lah terus gimana? Lo gak ngerasa apa gitu? Masa iya tiba-tiba ilang sih” tanya Afi yang menuntut penjelasan dari Siwi.

“beneran gak ada, udah gue cari di semak-semak, gue cari dibalik pohon besar juga gak ada sumpahhh”

“lah terus ini gimana donggg” Khao mulai khawatir mendapati Winata yang hilang tanpa jejak.

“bentar deh gue baru keinget sesuatu…..” kata afi lirih

“apa?”

“kalian inget kata perempuan tadi sore? Kalian ada yang ngasih tahu win gak?”

Dan mereka menggeleng bersamaan, bodohnya mereka tak memeberi tahu Winata tentang hal itu, padahal sejak senja menjadi gelap mereka bertiga sudah merasakannya kalau ada yang memanggil-manggil mereka dari belakang, itulah sebabnya Afi, Khao dan Siwi tak pernah menengok kebelakang ketika Winata sedang merengek dan mengeluh untuk buang air kecil, hal kecil namun fatal dan sudah terlanjur terjadi.

“kannn…..pasti win nengok kebelakang pas ada suara orang yang manggil-manggil dia, terus gimana? Kita bertiga mau cari winata bareng-bareng atau nge-camp dulu disini lanjutin cari winata besok?” Afi memberikan pilihannya.

“duhh gimana ya fi, gue takut tapi gue juga gak bisa biarin win hilang malam-malam ditengah hutan kaya gini” jawab Siwi.

“gue juga nih, kita bertiga selama gak berpencar kayanya aman sih”

“yaudah kita putuskan ya, ini beresin semua tenda, kita cari win sama-sama malam ini sampai ketemu okay?”

Dan mereka segera bergegas melipat kembali tenda yang sudah mereka buat, juga mematikan api unggun yang mereka nyalakan, mereka bertiga berjalan menyusuri hutan ditengah gelapnya malam dan tebalnya kabut pegunungan, mengesampingkan rasa takut mereka demi mencari kawan mereka yang bernama Winata.

___

Suara itu menuntun winata masuk kedalam gelap dan sunyinya hutan pinus, ia berjalan mengikuti suara yang terus memanggilnya.

Anehnya ia tak sadar kalau dirinya terus dituntun menuju sebuah pemukiman ditengah hutan sana. Hingga ada sebuah tanda yang bertulisakan ‘selamat datang di pasar malam’. Win tak paham mengapa ia bisa berada disini, ketika ia sadar tak ada Siwi yang menemaninya, dan tempat apa ini? Pasar malam? Mengapa tak ada satupun penjual yang terlihat?

Dengan langkah gontai, Winata berjalan melihat barang-barang yang di jual di pasar ini, tidak ada tanda-tanda keberadaaan manusia disini. Lalu bagaimana ia akan membayarnya jika ia menginginkan sesuatu dari tempat ini.

Ia berjalan ke salah satu lapak jualan yang menjual buah apel, ia ingin membelinya dan ketika ia akan menyentuh apel itu, bisikan itu terdengar lagi.

'jangan sentuh, ayo ikuti aku'

Semakin lama semakin jelas, itu suara yang sama yang memanggilnya untuk datang kemari, atau karena ia belum membawa winata sampai tujuan, sehingga suara itu muncul lagi?

Dengan kaki lemas, winata mengikuti suara itu, jika di hitung jarak dirinya hilang dari titik awal sampai sekarang ini sangatlah jauh, bahkan teman-temannya belum tentu bisa mencapai jarak seperti ini dalam waktu semalam.

'win, ayo ikut aku, kemarilah'

Dan winata terus berjalan, melewati jalan berbatu, melewati semak belukar ditengah gelapnya malam dan tebalnya kabut yang membatasi jarak pandang, yang ia tahu ada suara yang terus menuntunnya dan ia penasaran siapa dibalik suara itu.

'teruslah berjalan dan kau akan menemukanku'

Lagi, suara itu lagi, suara yang sangat familiar namun kenapa winata bisa lupa itu suara siapa.

Hingga ia berada di tepi aliran sungai, ia ingat kalau ada pendaki yang tersesat biasanya mereka akan mengikuti kemana arah aliran air membawa mereka ke arah pemukiman, namun ini sangat berkebalikan dengan suara itu yang memintanya menjauh dari sana.

'jangan, jangan ikuti dia, kembali ikuti aku'

Suara itu berbisik seperti tepat ditelinga winata, namun Winata sudah ada di tahap lelah, ini sudah terlalu jauh, ia ingin menangis di tengah kegelapan malam seperti ini, dingin yang semakin malam semakin menusuk karena kabut baru saja turun dari puncak lawu membuat suhu tubuh winata semakin turun drastis. Ia bisa saja terkena hipotermia saat ini.

Winata telah memutuskan untuk mengikuti aliran sungai daripada kembali mengikuti suara yang menuntunnya ke tempat yang tak ia ketahui entah dimana asalnya.

'jangan ikuti dia, kembali win, kembali padaku, disana ada mara bahaya win'

Namun winata tak mengikutinya saat ini, win memilih mengikuti instingnya dengan menyusuti ditepian sungai, suara itu terus memanggil-manggilnya untuk kembali Namun winata tak mempedulikannya lagi, hingga winata melihat sebuah pohon beringin besar sekali, pohon tua yang sangat besar berusia ratusan tahun.

Tiba-tiba terdengar suara gerombolan perempuan yang tertawa, tawanya mengerikan sekali, winata seperti sedang berada di tengah podium, ia seperti sedang diawasi oleh ratusan mata yang tak bisa ia lihat namun bisa ia rasakan.

Tubuhnya merinding hingga menggigil, suara tertawa itu seperti menertawakan dan mengejek winata mengapa ia tak mendengarkan suara yang menuntunnya dan malah mengikuti aliran sungai yang belum tentu juga ia tahu kemana ujungnya.

“SIAPA KALIAN, KELUARRR”

Winata berteriak, ia ketakutan, tubuhnya merinding hingga membuatnya menggigil ketakutan, namun bodohnya mengapa ia malah menantang maut?

“HIHIHIHIHIHI”

Suara cekikian itu bertambah banyak, bertambah dekat membuat winata panik dan tak tahu harus apa, badannya serasa lemas, ia harus kemana lagi?

'berbaliklah, lalu lihat rembulan yang sedang purnama, dan ikuti aku'

Suara itu lagi, dan kali ini winata benar-benar mengikutinya entah kemana suara itu akan menuntunnya.

Dengan berlari menggunakan ransel yang overload membuat winata ketakutan dan kelelahan sekaligus, ia mengikuti arahan suara itu, suara yang familiar namun gagal ia kenali.


Ia sampai di tengah hutan, hutan yang dikelilingi pohon cemara tinggi-tinggi, suara itu telah menghilang, tak lagi memanggil atau menuntunnya, membuat winata kesal sendiri, mengapa ia harus sampai sejauh ini mengikuti suara yang tak jelas itu, ditengah cahaya rembulan yang sedang purnama.

Didepan sana winata melihat sebuah gubuk, bukan gubuk tua, terlihat kokoh dan sepertinya winata akan bermalam disana sebelum ia akan melanjutkan perjalanan esok hari.

Dengan beban berat ransel di pundaknya rasanya winata bisa ambruk sekarang juga, dan semua hal mistis yang ia alami tentang pasar malam dan sesuatu yang terus menertawainya di pohon beringin benar-benar membuat winata lemas kalau mengingatnya, namun suara tadilah yang menyelamatkannya, suara tadilah yang terus mengarahkannya agar bisa menjauh dari marabahaya, dan suara itulah yang sudah memperingatkannya. Suara siapa?

Ia berjalan menuju gubuk itu, semakin dekat, semkin jelas bahwa ia tak sendiri disini, ada seseorang di gubuk itu, orang itu memunggunginya, namun sepertinya ia kenal dengan orang yang berada di gubuk itu.

“maaf, boleh aku istirahat sebentar disini?”

Tanya winata sopan, tentu saja, ia hanya singgah disini sehingga harus menjaga sikapnya.

Orang itu berbalik dan melihatnya, winata kenal dengan orang ini, winata mengenalinya, orang yang selama ini selalu mengejarnya dan selalu mengungkapkan cinta padanya namun selalu winata tolak karena ia tak menyukai kegiatan Mapala yang orang ini ikuti, iya, orang itu adalah Bright.

“Bright?”

“loh win? Kamu kok bisa sampai di lawu?” Tanya Bright heran.

“aku mendaki sama temen-temen, kamu juga ngapain disini? Mendaki sama siapa?”

“aku juga sedang mendaki, ini lagi istirahat”

“ohhh….”

“terus temen-temenmu mana?”

“ummm, sebenernya aku kepisah sama mereka, ini aku gak tau ada dimana”

“tujuan kalian mau ke pos mana?”

“kata Afi sih ke pos Cemoro Sewu”

Alis bright mengernyit, jelas ia paham sekali daerah dan medan disini, lalu mengapa hanya winata yang berhasil menuju arah cemoro sewu?

“cemoro sewu ya? Coba kamu lihat sekelilingmu win, ini semua pohon apa?”

Win mengedarkan pandangannya kesekitar, benar, disekeliling mereka hanya ada pohon cemara yang besar dan tinggi-tinggi.

“ini pohon cemara kan?” tanya win pelan

“yup, dan pos cemoro sewu sepertinya masih ada diatas sana” Win mengangguk sebagai responnya

“lalu kemana temen-temenmu win?”

“aku gak tau bright, tadi sih aku dianter siwi, tapi pas aku nengok kebelakang kok gak ada, aku sendiri bingung”

Bright tersenyum mendengar jawaban itu, sedangkan win seperti keheranan, mengapa ia tersenyum? Apanya yang lucu?

“yaudah istirahat disini aja, Cuma gubuk sih tapi lebih baik lah daripada tenda, lagipula ini kayanya udah tengah malam” ajak bright sambil memiringkan kepalanya untuk melihat ransel besar dibawa oleh win.

“besar banget raselmu? Gak berat? Bawa apaan aja sih?”

BRUKK

Win melepas ranselnya dan menjatuhkannya ke tanah, benar kata bright kalau isi ransel ini overload.

“iya berat banget huhuhu”

Bright tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, ia tahu kalau win masih awam dengan dunia pandakian seperti ini. Selanjutnya ia mengangkat ransel winata.

“yuk masuk, biar aku aja yang bawa ransel ini. Kabutnya juga udah tebal banget win”

Winata masih mematung disana, dia agak ragu untuk bermalam satu gubuk dengan bright.

“hey ayo, diluar tambah dingin, belom lagi kita gak tahu kalau ada hewan liar yang mungkin sedang cari makan kan? Yuk”

Benar kata bright, mengapa winata tak berpikir bahwa bisa saja ada hewan liar disekitarnya? Jika saja ia menyadarinya dari tadi, mungkin saja ia sudah berdiam diri dan tak akan berani melangkahkan kakinya sejauh ini.

Jadilah mereka masuk kedalam gubuk itu dengan bright yang membawakan ransel yang berukuran besar milik winata.


“kamu buat apaan bright?” Tanya win yang melihat bright sedang merebus air dengan peralatan yang ia bawa.

“aku mau buat teh hangat buat kita, kamu juga belum makan kan?”

“ummmm…u-udah kok bright”

krucuk-krucuk

Winata sampai menutup wajahnya dengan kedua tangannya, dasar perut kurang ajar, mengapa sangat kontras sekali dengan yang baru saja win katakan, malah ia meraung seakan menunjukkan kalau winata tengah berbohong kalau ia sudah mengisi perutnya. Bright tertawa mendengarnya.

“ahahahaha, kau tak pandai berbohong huh? Jangan pernah berbohong ya? Aku buatkan mie rebus untuk kita berdua okay?” Win tersenyum dan mengangguk

“terimakasih bright, kamu baik”

“bukan apa-apa win, bukankan kita harus saling menolong kan?”

Bright menuangkan air mendidih itu ke dua gelas yang didalamnya sudah berisi gula teh, sisanya ia kembalikan ke kompor portable itu untuk menyeduh mie rebus.

“maksudku, aku sudah sering menolakmu bukan? Aku pikir tidak seharusnya kau berbuat sebaik ini pada orang yang telah menolak cintamu kan? Bukan sekali dua kali, entah aku juga sudah tak menghitungnya lagi bright” Bright terkekeh mendengarnya.

“bukankah bagus kalau aku tak mudah menyerah?”

Win ikut terkekeh bersama bright yang sibuk mengaduk aduk mie di air mendidih.

“hanya saja, ya…kamu tahu kan alasanku menolakmu bright?”

“aku tahu, karena aku anak mapala kan? Sedangkan kau tak terlalu suka dengan orang-orang yang tergabung di dalamnya, iyakan?” Win mengangguk, matanya melihat air mendidih di atas kompor portable itu.

“jika saja aku tak ikut mapala apakah kau akan menerimaku menjadi kekasihmu win?”

“mungkin saja, bisa aku pertimbangkan hahahaha”

Mereka berdua tertawa bersama didalam gubuk tua diatas langit yang sedang purnama dan ditemani kabut tebal yang turun dari lereng gunung lawu.

“kalau begitu aku lebih memilih mapala”

Hal itu membuat hening seketika, win kira bright benar-benar akan keluar dari mapala jika saja ia akan menerimanya, namun pernyataan bright barusan tadi membuat kecanggungan yang luar biasa diantara mereka saat ini.

Bright menuang mie itu kedalam dua mangkok yang sudah ia siapkan sebelumnya. Setelahnya ia melihat kerah winata dengan mimik serius.

“kau tahu win? Bahwa memilih untuk mencintai hobi dan mencintai orang adalah hal yang sulit kulakukan, karena bagiku….aku kira kau akan memberiku support untuk melakukan hal yang aku suka”

“bright….”

“tak apa win, bagiku mencintai alam adalah hal aku pilih saat ini, karena ketika aku ada dipuncak sana, rasanya semua beban hidupku sudah hilang, semuanya telah diangkat dari pundakku, rasanya seperti…menyadari bahwa manusia adalah sebagian kecil dari ciptaanya, diluar sana masih banyak maha karya tangan tuhan yang bahkan masih kita tak ketahui sebelumnya kan?”

Win mengangguk

“lalu mengapa harus bersedih, bahkan siapa tahu aku akan menanyakan itu lagi padamu malam ini ahahahhaha”

Win tersenyum sejenak, tadi ia mengira bright akan benar-benar berhenti, namun ternyata tidak, jauh dilubuk hati winata, ia juga menyukai bright, hanya saja ia belum bisa menerima hobi yang bright geluti beberapa tahun terakhir.

“mungkin suatu hari nanti win, iya… suatu hari nanti mungkin kamu akan mengerti mengapa aku mencintai alam sampai dititik ini, nih dimakan dulu yuk, kalau dingin gaenak”

Winata mererima mangkuk dan segelas teh yang bright buatkan untuknya, mereka makan bersama digubuk sempit ini.


Backsong [Ellie Goulding-How long will i love you]

[https://open.spotify.com/track/7CFQrZR4WeKEg4vweqp8Gv?si=6l3sfUPQSSi8ZppavM0Axg]

Bright dan winata sedang berbaring, bersebelahan memang, winata sepertinya tak bisa tidur walau bright sedang menemaninya disini dan bright sepertinya menyadari hal itu.

“gak bisa tidur win?”

Bright kini berbalik dan mencondongkan dirinya kearah winata, matanya menatap winata dari samping.

“iya nih bright, dingin banget gak sih? Walau udah pakai jaket sama selimut tebel kayak gini, gak kayak di Semarang yang panas kalau malam”

Win berkata sambil menahan giginya yang bergemeletukan, dingin ini benar-benar membuat dirinya menggingil.

“iya kah? Kok aku gak kedinginan ya win?”

“masa sih bright, ini dingin banget tauu”

“beneran, sini coba pegang tanganku”

Dan winata menyebrangkan tangannya dan menggenggam tangan bright, terasa hangat sekali, sangat berbeda dengan dirinya yang jari-jarinya mulai memucat karena dingin yang ia rasakan ini.

“eh iya, kok hangat sih”

Bright tersenyum melihat ekspresi winata yang lucu dan menggemaskan, entah kapan lagi ia bisa melihat wajah winata dengan jarak sedekat ini, mungkin tak akan pernah terulang lagi.

“mau aku buat lebih hangat?” bright menawarkan diri, tidak, ia tak sedang menggoda winata.

“apaan sih bright, jangan mikir aneh-aneh ah”

“ahahahahaha, win…win”

Bright terkekeh namun juga ia bergerak semakin dekat, semakin dekat dan semakin dekat, lalu ia memeluk winata.

“kamu mikir apa emangnya win? Aku hanya ingin peluk kamu kaya gini aja kok, gak lebih”

Winata hanya diam, pelukan bright terasa hangat sekali menyelimuti dirinya, ia tak menyangkalnya kalau ia nyaman seperti ini, jika tak menuruti ego, winata mau saja membalas pelukan bright, namun ia masih berfikir seribu kali untuk melakukannya. Diam-diam winata tersenyum, iya...mungkin saja suatu hari nanti ketika hatinya sudah mau berbesar hati menerima bright, ia akan paham, untuk saat ini biarlah seperti ini.

“kenapa senyum-senyum hmm? Kamu boleh peluk aku balik kok”

Sadar kalau bright baru saja memberinya izin membuat winata gelisah, ia bingung akankah ia balas memeluk atau membiarkan bright memeluknya semalaman, namun hangatnya bright yang ia butuhkan saat ini.

“ya itu kalau kamu mau sih, kalau gak mau juga gapapa kok”

persetan

Win langsung balas memeluk bright, menempatkan kepalanya diceruk leher bright dan menyesapi wangi maskulin darinya, pasti saat ini wajah winata sedang berwarna merah menahan malu, juga karena telah meruntuhkan egonya sendiri.

“hangat kan?”

Win mengangguk sembari mengetatkan pelukannya.

“nyaman kan?”

Lagi-lagi win mengangguk

“kalau gitu, tidurlah, kau aman disini win, kau aman”

Bright membelai rambut winata, lalu ia mengecup puncak kepalanya, menyadari betapa sayangnya ia pada insan yang ada dipelukannya membuat bright tak mau kehilangan apalagi berpisah dengan winata, mungkin saja suatu hari nanti winata sudah mau, mungkin saja suatu hari nanti nasib baik sedang berpihak padanya, pada mereka berdua.

“win….” Panggil bright

“ya?” win menjawab dari celah-celah leher bright

“kalau aku tanya kamu sekali lagi, maukah kamu menerimaku?”

Bright masih membelai rambut winata dengan lembut.

“entah bright, aku sendiri ragu dengan perasaanku”

Ada hening sejenak, baik bright maupun win tak bersuara lagi.

“kalau begitu baiklah, ayo tidur, ini udah malam, esok temanmu akan sampai sini”

“kau tau dari mana?”

“tau aja, memangnya siapa yang mau kehilangan kamu hmmm?” Win tersenyum mendengar jawaban bright yang terdengar seperti sedang menggodanya.

“selamat tidur bright”

“selamat tidur juga win”

Sekali lagi bright memberinya kecupan dipuncak kepala winata, dan setelahnya mereka tertidur dengan posisi berpelukan, saling menghangatkan satu sama lain dibawah langit gunung lawu dengan segala cerita yang tersembunyi dibaliknya.


Dingin itu datang lagi, perlahan merenggut hangat yang winata rasa, mengambilnya secara paksa hingga membuat dirinya terjaga, mentari sudah bersinar, suara nyanyian burung juga terdengar, namun ia tak mendapati bright disisinya, hanya ada ransel milik bright dan sebuah notes disana.

Winata menguap untuk menghilangkan rasa kantuknya, lalu ia bangkit dari tidur dan membaca notes diatas ransel milik bright itu.

hai win, sepertinya nyenyak sekali ya? Maaf aku tak bisa menemanimu lebih lama lagi, aku harus melanjutkan perjalanan, dan aku tak bisa menundanya, aku takut kalau aku kehabisan waktu, jadi aku tinggalkan tasku disini, mungkin saja kau membutuhkannya, kau bisa belajar cara packing di dalamnya, dan kalau saja kau mau, bawa pulang tas ini dan kembalikan padaku dirumah ya dan sepertinya teman-temanmu akan sampai disini sebentar lagi, langsung pulang ya jangan kepuncak Lawu, hari ini cuaca sedang tak bersahabat, Bright.

Win membacanya hingga kalimat terakhir

“hufftttttt”

ia membuang nafasnya, bagaimana bisa ia membawa dua tas ransel, ia membawa ranselnya saja sudah keberatan ini lagi ditambah tas dari bright, yang benar saja iyakan?

“WINNNNN”

“winnnn”

Itu suara teman-temannya, mengapa kebetulan sekali? Dengan cepat winata berdiri dan keluar dari gubuk tua itu.

“AFIIII, SIWIII, KHAOOOO, AKU DISINIIIII”

Ia melambaikan tangannya agar teman-temannya melihatnya

“WIIIIINNNNN”

Siwi terlihat senang sekali mendapati temannya itu masih dalam keadaan baik dan selamat.

“astaga kamu kok bisa sampai sini sih win?”

“nanti deh gue ceritain”

“dan…lo kok bisa tau arah ke cemoro sewu? Gue baru sadar kalau semalem kita tersesat tau” itu Afi

“nanti deh pokoknya gue ceritain, yang penting gue mau kepuncak lawunya dibatalin ya pleaseeee”

“HAH? KOK GITU?” lagi-lagi Afi

“firasat gue gak enak aja, ini aja gue beruntung ketemu sama Bright semalem jadi selamat deh gue disini sama dia”

“bright?” khao bersuara

“iya”

“mana?” kali ini siwi

“udah duluan dia, katanya takut ketinggalan rombongan, tuh tasnya aja ada didalam, dia titip di taroh rumahnya kalau kita pulang hari ini”

“yaudah deh ayo siap-siap kita turun sekarang juga, keselamatan kita nomor satu, mungkin aja ada kesempatan lain pasti kita bisa sampai kepuncak Lawu kok”

Afi memberikan keputusannya yang langsung disetujui oleh ketiga rekan lainnya, dan hari itu mereka sepakat untuk turun menuju lereng dan kembali ke mobil mereka.


Mobil mereka sampai didepan rumah Bright, deret-deret kursi itu ada didepan rumahnya, mereka berempat tak tahu apa yang akan diselenggarakan disini.

Mereka berempat turun bersama-sama dan masuk kedalam rumah bright, sepi, benar-benar sepi, di ruang tamu itu ada banyak bingkai foto bright dengan latar puncak, mungkin saja salah satunya ada puncak lawu, bright terlihat tampan disana.

“cari siapa ya nak?” seorang perempuan paruh baya keluar dari dalam rumah ketika menyadari ada empat pemuda yang berdiri didepan pintu rumahnya. Itu adalah ibu Bright.

“ah selamat siang ibu” ucap win yang langsung menyalaminya dan diikuti ketiga temannya yang lain.

“ini bu, mau ngembalikan ranselnya bright, tadi dia titip sama saya buat dibawa pulang kerumah”

Perempuan itu menatap winata heran, setelahnya ia menerima ransel yang winata bilang adalah ransel dari sang putra, dan benar saja semua isi dan benda-benda itu adalah milik sang putra tercinta, bright.

“kamu nemu ini dimana sayang?” Air mata ibu itu jatuh.

“loh bu kenapa? Win salah bicara ya bu? Win minta maaf bu”

“enggak win enggak, ibu hanya rindu sama bright” Mulai dari sinilah firasat dan dugaan buruk itu muncul

“ahhhh sebentar lagi bright juga pulang bu, semalem kan ketemu sama saya di deket cemoro sewu, nih buktinya minta ranselnya buat dikembalikan kan bu?”

“nak….bright telah pergi nak…”

Tidak, winata tak paham apa yang dikatakan sang ibu.

“kalian lihat semua suasana duka disini? Semua karangan bunga semua kursi yang ditata rapi, sudah tujuh hari nak bright tak kembali kerumah”

Hal itu membuat mereka semua tercengang, apalagi winata, bagaimana bisa sang ibu berkata seperti itu? Jelas-jelas semalam ia bertemu dengan bright dan memeluknya hingga tertidur pulas, tidak, ini tak nyata.

“lalu kami dapat kabar bahwa bright ditemukan di dekat pohon besar didekat sungai dan ia sudah tenang disana, disurga”

Sang ibu terlihat sedih, meski mencoba mengikhlaskan, nyatanya masih menggoreskan sebuah luka dan duka.

Pikiran winata berkecamuk, pohon besar dipinggir sungai? Pohon besar itu? Yang semalam menertawainya? Lalu winata tersadar, bahwa suara itu adalah suara bright, suara yang menuntunnya hingga selamat, suara yang mengatakan bahwa disana ada marabahaya, bright tak mau hal itu terjadi pada winata, sosok yang ia cinta hingga jiwa sudah tak menyatu dengan raga.


Backsong [maudy ayunda-kamu dan kenangan]

[https://open.spotify.com/track/6dMXNAMr1dlAAUo53QKfqs?si=-zgEvkoSQwuBtDG7e3hqOw]

1 tahun berlalu

Aku terlambat, semua kesempatan yang aku punya kini telah kadaluarsa, mustahil bagiku memutar waktu, semuanya telah tertinggal dibelakang, namun tidak dengan kamu dan segala kenangan yang masih tersimpan di memoriku, mengapa dahulu tak ku ucapkan aku mencintaimu sejuta kali sehari?

Ternyata rasanya sepeti ini, rasanya dicintai sedemikian hebatnya oleh seseorang namun aku tak menyadarinya, malah dengan bodohnya aku terus menolaknya agar ia menyerah, jika boleh aku mau semuanya terulang lagi, jika bisa aku akan berkata ‘iya’ untuk setiap tanya yang ia katakan padaku.

Tidurlah bright, aku tahu kau tak pernah meninggalkanku sejak hari pertama kita bertemu, aku tahu kau mencintaiku sedemikian hebatnya hingga kau memanggilku waktu itu untuk mengucap perpisahan yang terakhir kalinya, ataukah semua niat ke Lawu hari itu adalah sebuah panggilanmu untukku? Kau merindukanku? Jika iya, meski sudah terlambat dan setahun berlalu, aku akan berkata ‘iya, aku juga merindukanmu'

Jadi, disinilah aku sekarang, ditempat yang sama ketika kau memelukku hari itu, saat kau bertanya terakhir kalinya padaku akankah aku akan menerimamu, dan sekarang aku sadar bright, aku paham dengan kalimat ‘suatu hari nanti’ itu, mungkin inilah waktunya, waktu aku menyadari kalau aku mencintaimu sama besarnya, aku kehilangan dirimu hingga mengoyak duniaku, dan aku sadar kalau semuanya telah terlambat untuk diputar ulang dan menerimamu menjadi seorang pendamping hidupku, karena sekarang kau akan terus mendampingiku, meski berbeda dimensi, berbeda ruang dan waktu, namun aku tahu kalau cintamu padaku sekuat itu hingga malam itu kau datang menyelamatkanku, terimakasih bright.

Bright, hari ini, menit ini dan detik ini aku datang kemari sebagai winata yang berbeda, aku sudah bisa melihat sesuatu dari sudut pandang lain, aku mengerti sekarang mengapa kamu cinta dengan alam, karena kini aku juga mencintainya sama dengan caramu mencintainya, alam ini ternyata indah sekali bright, namun akan semakin indah jika aku menaklukannya bersamamu, disampingku.

Tahukah bright? Aku sudah mendaki beberapa gunung, namun baru sekarang aku baru memberanikan diriku untuk mendaki lawu, mengapa? Karena aku sangat mencintaimu bright, setahun berlalu pun tak mengubah apapun, tak merubah kenyataan bahwa duniaku tak akan sama lagi tanpamu, tak akan mengubah kalau kini aku semakin mencintaimu bahkan disaat sudah terlambat sekalipun. kau berhasil merubahku menjadi pribadi yang lebih baik bright, dan aku berterimakasih untuk itu, dan sampai saat itu tiba, aku akan terus datang kemari dari musim ke musim berikutnya, aku akan menjengukmu ditempat yang sama, jangan bosan ya? Terimakasih karena telah mencintaiku sedemikian hebatnya.

Cemoro Sewu, Lawu, Jawa Tengah.

winata dan jeje pamit undur diri