Luka 1

New berdiri mengintip di balik dinding lobi melihat seorang perempuan yang tengah hamil besar sedang di dorong menggunakan kursi roda oleh seorang lelaki, ia mengenalnya sebanyak rasa benci dan dendam yang mendarah daging di hatinya, rasa perih dan sakit yang tak akan ia lupa sampai jiwanya terpisah dengan raga.

Ia menatap tajam penuh kebencian, tangannya mengepal erat-erat, urat di lehernya sampai terlihat menandakan New sedang menahan amarah, tak sadar ia menitihkan air mata. Air mata yang bersaksi kejamnya dunia yang sedang ia tapaki, air mata yang menemani di saat tak ada seorangpun mengulurkan tangan dan percaya kepadanya.

Wajah penuh amarah itu berubah dengan senyum mengerikan yang perlahan melengkung lebar-lebar, New membasahi bibir dengan lidahnya seraya melihat perut perempuan yang besar membola, lalu ia menelan ludah dengan tawa kecil sebelum meninggalkan lobi.


Laki-laki bernama Kayavine atau yang lebih dikenal Kevin itu berhenti mendorong kursi roda istrinya ketika mendapati New berdiri diantara deretan perawat di depan pintu, mata mereka bertemu namun New tak bergeming sedikitpun. Reaksi tak percaya sangat tersirat di wajah Kevin, dalam pikirnya mengapa New ada di sini? setelah hilang tanpa kabar sejak empat puluh hari yang lalu.

“Selamat datang Bu Citra, semoga persalinannya lancar”

Ujar Metawin ramah menundukkan kepala sebagai rasa hormat diikuti oleh beberapa perawat lain termasuk New yang tersenyum saat membungkukkan badan, senyum yang ia sembunyikan dari siapapun saat kakinya kembali menapaki lantai Rumah Sakit yang menjadi saksi bisu akan sejarah kelamnya.

“Mohon bantuan kalian ya, saya sangat exited karena ini anak pertama saya”

Kevin mendorong kursi roda istrinya yang membiarkan beberapa perawat melakukan persiapan persalinan, kedua matanya mengawasi gerak-gerik New, meski tak ada yang mencurigakan selayaknya perawat yang mempersiapkan selang infus dan mengatur tekanannya.

Suami Citra itu gelisah dan tak tenang, ada perasaan aneh yang mengganjal di hati dan pikirannya, perasaan yang bertentangan dengan logika. Bahwa bertemu kembali dengan New adalah mimpi buruk yang menjadi nyata, dirinya sendiri tak ingin percaya dengan apa yang ia saksikan namun kedua bola matanya tak bisa berdusta kalau saat ini New memang ada di sini, di ruangan ini, tengah merawat istrinya.

Kevin melihat ponselnya, beberapa pesan dikirimkan oleh rekannya yang bekerja di sini sebagai Dokter, sekaligus Dokter yang akan membantu istinya melewati persalinan anak pertamanya, orang itu adalah Tawan. Orang yang dulunya pernah menjalin tali asmara dengan dengan New, namun hubungan mereka kandas begitu saja saat Tawan memutuskan untuk menikah dengan Mild yang kini tengah hamil muda.

Tidakkah New merasa sakit hati? Tidakkah perawat muda itu merasa benci? Bahkan Kevin tak percaya New bisa kembali bekerja lagi dengan tampang datar tanpa ekspresi, seolah tak ada yang terjadi.

Lebih dari segalanya, ada hal yang ganjil di sini karena ia menyembunyikan sebuah rahasia besar, rahasia yang ia sembunyikan dari dunia, rahasia yang ia kira sudah usai di tangannya.

Tidak istrinya, tidak rekannya, dan tak seorangpun berhak tahu atas apa yang ia lakukan. Kevin kalut, ini tak masuk akal, ini tak nyata, ia butuh membicarakan ini dengan Tawan, atau mungkin kepada kedua orang tua sang Dokter setelah persalinan istrinya selesai dilakukan.

“Sayang, mas tinggal sebentar ya. mas mau ke bagian administrasi dan bicara sama Tawan”

New yang baru saja akan menutup korden jendela terdiam beberapa detik mendengar percakapan itu, ia mendongak melihat bulan yang sedang merah purnama, cahayanya memandikan setengah sudut bumi hingga dengan lancang masuk menembus kaca jendela.

“Jangan lama-lama ya mas, dedek bayinya udah nendang-nendang pengen ketemu papanya nih” Citra mengelus perutnya, tendangan demi tendangan si buah hati makin intens ia rasakan.

“Iya sayang, mas gak lama…” Kevin mengecup kening dan meraba perut istrinya, bisa ia rasakan si jabang bayi yang mendesak untuk keluar tak lama lagi. “Metawin, setelah persiapannya selesai jangan langsung pergi. Saya bisa minta tolong jagain istri saya dulu?”

“Tentu bisa Tuan” jawab Metawin ramah sambil menyelimuti tubuh pasien dengan selimut.

“Mas tinggal dulu ya sayang, kalau butuh apa-apa minta sama perawat ya” pamitnya pada sang istri.

New tak jadi menutup korden, ia biarkan cahaya bulan menembus jendela. Samar-samar bisa ia lihat refleksi dirinya di kaca, ia mengambil nafas panjang dan tersenyum berbalik badan menuju pasien yang terbaring di atas ranjang.

“Malam ini sudah mengalami kontraksi berapa kali Bu Citra?”

Tanya penuh perhatian dengan meraba perut yang membola, bisa ia rasakan si jabang bayi yang bereaksi dengan menendang-nendang menjelang persalinan, sensasi ruh yang dihembuskan terasa sangat sakral di jemarinya meski ia memakai sarung tangan medis.

“Sudah tiga kali ini”

Perempuan itu tersenyum, nampak kalau ia tak sabar dengan kelahiran anak pertamanya.

“Berarti kontraksinya bagus dan normal, kalau meningkat sampai lima kali akan saya panggilkan Dokter karena bayinya akan lahir malam ini juga” papar New duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang.

“Gue tinggal bentar ya, mau prepare ruang operasi, lo jagain dulu” Metawin berucap tanpa suara, namun gerak bibir rekannya itu bisa New mengerti dan membalasnya dengan anggukan.

Sunyi dan menyisa sepi, hanya ada dua orang di sini, tiga dengan si jabang bayi.

“Sejujurnya saya takut karena ini pertama kali saya melahirkan, walau secara caesar namun tetap saja rasanya deg-degan ….hufffttt” Citra menghela nafasnya, ia gugup sampai telapak tangannya terasa dingin.

“Tak perlu takut Bu Citra, melahirkan secara caesar tak mengurangi derajat anda sebagai seorang calon Ibu”

New menenangkan pasiennya, namun tangan kanannya meraba sesuatu yang ada di saku celana, sebuah alat suntik dengan cairan yang sudah ia rencanakan. Dengan terus mengalihkan perhatian Citra, ia menyuntikkan cairan itu melalui selang infus, sesegera mungkin, secepat mungkin tangannya bergerak menampik kecurigaan Citra.

Angin berhembus kencang di luar, membuat pohon-pohon bergoyang menghalangi cahaya rembulan. Terlihat seekor burung hantu hinggap di sana, dengan kedua mata merah bulat, menatap New lekat-lekat.

“Yang membuat menjatuhkan martabat anda adalah saat anda melakukan fitnah dan hal keji demi mendapatkan uang” celetuknya sembari berjalan menuju jendela, ia membelakangi Citra dan menatap bergantian antara merahnya cahaya purnama dan seekor burung hantu yang bertengger melihatnya, pantulan sosok Citra juga bisa New lihat dari kaca.

“Apa maksud kamu? Jangan menuduh saya dengan sesuatu yang tidak pernah saya lakukan” Citra tersinggung, kemana arah pembicaraan perawat lekaki yang bernama New ini?

New menggeleng dan tersenyum bengis, matanya melihat Citra dari pantulan kaca, ingin saja ia menjawab kalau bukan Citra yang melakukan hal keji itu, namun Kevin, sosok ayah dari jabang bayi yang ada di dalam kandungan perempuan yang tengah tak berdaya menjelang persalinannya.

“Lebih baik bu Citra mencoba tidur, saya tidak akan pergi kemana-mana” kedua tangannya membuka jendela, membiarkan angin bertiup masuk ke kamar, wangi melati bisa Citra rasakan, padahal ia yakin itu bukan berasal dari pewangi ruangan.

“Saya bisa bersenandung untuk anda”

New berbalik dan tersenyum kepada Citra, kuku di jemarinya mengetuk-ngetuk dinding menciptakan bunyi aneh seperti sedang mencakarnya.

“Matahari terbenam, hari mulai malam…”

Hanya suara perawat laki-laki itu saja yang menggema di seluruh sudut ruangan, ributnya angin seolah direnggut entah kemana, hanya menyisa sepi nan sunyi, bahkan suara jam dinding yang berderak bisa Citra dengar.

“Terdengar burung hantu, suaranya merdu…”

Kepalanya sakit, suara lantunan lagu dari bibir New seperti dipantulkan dari dinding ke dinding ruangan ini dan berakhir meledak di kepalanya, suara itu menggema, bersenandung di dalam kepala tanpa henti.

“Aaaaakkkhhh sakiiittttt”

Citra meringis kesakitan memegangi kepalanya yang serasa diinjak-injak, matanya kehilangan fokus, ia mencoba melirik ke arah New yang berdiri membelakangi jendela, sepasang bola mata merah ada diantara pepohonan, belum lagi saat ia melihat kedua mata New yang menyisakan bagian putihnya saja, juga tubuh perawat laki-laki itu memucat seperti direndam di dalam air selama berjam-jam, ia ketakutan setengah mati.

“Tolonggg berhentiii..ahhhh sakittt”

Raung kesakitan itu terdengar seperti lagu pengantar tidur di telinga New, istri Kevin itu tak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, tubuhnya terasa dingin, perutnya tiba-tiba terasa seperti ditusuk ribuan jarum.

“Ku ku…ku ku…ku ku kuku kuku…” burung hantu itu seolah ikut bernyanyi, melanjutkan bait yang dinyanyikan lelaki yang membelakanginya.

“AAAAAA HENTIKAN AHHHH SAKIIITTTT”

New menirukan suara burung hantu yang bertengger di belakangnya, seolah hewan itu sedang menyaksikan bagaimana Citra mencoba bertahan dari sakit yang menyergapnya tanpa henti.

“TOLONG PANGGILKAN SUAMI SAYA AAAHHH SAKITTT”

Citra merintih, kedua tangannya memegang kepala dan perutnya secara bergantian, si jabang bayi menendang lebih keras, lebih sering hingga rasanya seperti dirobek dengan paksa.

“Ku ku…ku ku…ku ku kuku kuku”

Bait terakhir berhasil New selesaikan dengan mengabaikan permintaan tolong dari pasiennya, mulutnya berair mengeluarkan liur, ia menggigit bibirnya sendiri saat melihat dengan tajam ke perut Citra yang terus bergerak-gerak, seperti burung hantu yang melihat mangsa.

“MAS KEVINN” Citra ketakutan, ia mendengar New tertawa terbahak-bahak, kedua matanya membelalak saat melihat New melempar sesuatu padanya, sebuah janin yang berlumuran darah dan menangis kencang bersahutan dengan tawa mengerikan New yang tiada henti menghantuinya.

“AAAAHHHH MAS KEVIN TOLONGGGG”

“MAS KEVINNN AAAAKKKHHH”

“MAS TOLONGIN CITRAAAA”

“Dek bangun dek, dek Citra bangun sayang”

Citra langsung terduduk di ranjangnya, dadanya mengembang dan mengempis, matanya melotot menyapu ruangan, tubuhnya gemetar hebat dan berkeringat dingin.

Tidak ada New di sini, kemana perawat yang menemaninya itu pergi, jendelanya juga tertutup rapat-rapat, tak ada noda darah di perutnya, sebenarnya ada apa ini?

“Kamu mimpi apa sayang? Cerita sama mas” Kevin memeluk istrinya erat-erat, sepeninggal New dari ruangan ini mengapa istrinya tiba-tiba berteriak dalam tidurnya? Juga mengapa bukan Metawin yang menjaga Citra? Mengapa malah New, orang yang amat sangat ia hindari saat ini.

Citra terlalu bingung, sedetik yang lalu kejadian itu seperti nyata dan benar adanya, namun logikanya membantah dan menolaknya mentah-mentah dengan fakta bahwa semua itu hanyalah mimpi buruk.

“Enggak…gapapa mas” lirih Citra kebingungan, ia mencoba menenangkan degub jantungnya yang berdetak tak beraturan.

Di luar pintu New yang berdiri mengintip sembari menghapus liurnya dengan tissue lalu berjalan menjauh dengan sebuah senyum, ketika melewati tempat sampah, ia melempar sesuatu ke dalamnya, sepasang sarung tangan medis dan sebuah suntikan yang ia sembunyikan.


Suasana gaduh, Kevin memojokkan New ke dinding dan mencekiknya. “GUE TAHU KALAU INI PERBUATAN LO!!! IBLISSS!!!”

Kevin meledak, amarahnya memuncak tak terkendali, orang pertama yang ia curigai adalah New, orang yang menemani istrinya sebelum jalannya operasi persalinan.

“APA YANG LO LAKUIN KE CITRA? BANGSATTT!!!”

“Ughhhh” New meringis memegangi tangan Kevin yang mencekik lehernya.

Beberapa orang yang menyaksikan tak berani mendekat, Kevin sudah diluar kendali hingga beberapa perawat lainnya terkejut dengan kejadian yang mereka semua saksikan.

“GUE AKAN PASTIKAN LO MATI DI DEPAN MATA GUE SEKARANG JUGA!!!”

Saat tangan Kevin mengayun untuk memberi sebuah bogem mentahnya…

“Hentikan!!!”

Tawan menahannya, menggenggam tangan Kevin erat-erat hingga suami Citra itu melepaskan cekikannya.

“Kendalikan diri lo Vin, lo gak bisa nyalahin orang yang bahkan gak bersalah dalam hal ini”

Iya, bayi yang ada di dalam kandungan Citra meninggal. Terlahir dengan tanpa tangis dan kondisi badan yang membiru, seakan bayi itu sudah meninggal beberapa jam sebelum operasi dilakukan.

Segala upaya medis sudah diupayakan namun nyatanya tak bisa mengembalikan nafas si jabang bayi, ruhnya sudah pergi, tidak di sana lagi.

“Uhuk-uhukkk” New terbatuk dan terjatuh di lantai.

“Gue tau kalau bangsat ini yang bunuh anak gue Tay, anak pertama gue”

Kevin menangis frustrasi, beberapa jam yang lalu ia masih bisa merasakan kehadiran si buah hati melalui tendangan-tendangan kecil di perut sang istri dan sekarang Tay berkata kalau bayinya sudah meninggal? Bagaimana bisa? Tidak masuk akal.

“New ada di dalam ruang operasi, bantuin istri lo melahirkan, gimana bisa lo nuduh dia Vin?”

Kevin terbungkam seribu bahasa, ia tak memiliki bukti, namun ia ingat kalau istrinya menjeritkan namanya tepat saat ia datang dan mendapati New duduk menjaga Citra.

“Tenangin diri lo dulu oke? Gue tahu ini berat buat lo, gue tau kalau ini gak mudah lo terima dengan lapang dada”

Tawan memeluk rekannya, menepuk-nepuk punggungnya beberapa kali, Kevin menangis di sana dengan kehilangan buah hati yang belum sempat terlahir di dunia.

“Metawin, Kit dan yang lain boleh bersiap pulang dan berganti shift

Dokter itu mendapati New yang sudah berlalu pergi menuju ruang loker, di lantai ada sebuah cincin yang tertinggal, cincin ini milik New.

Cincin yang pernah ia berikan semasa mereka berdua masih menjalin hubungan, cincin yang bersaksi betapa bahagianya seorang New ketika ia menyatakan cinta dan berjanji menghadapi dunia berdua.

Kevin terduduk lesu meremasi rambutnya, si buah hati yang sudah ia nantikan kelahirannya kini telah pergi tanpa alasan dan sebab yang pasti.


“Mas yuk pulang”

Mild memeluk sang suami, melepas rindu dengan calon ayah dari bayi yang ada di perutnya.

“Halo jagoannya Papa, kangen gak sama Papa?” Tawan menunduk dan mengajak bayi yang ada di dalam perut Mild berbicara.

“Kangen dong mas, kata debay-nya nanti di rumah mau dielus perutnya sampe bobo” jawab Mild manja.

Dari kejauhan ada New yang melihat betapa harmonisnya keluarga kecil sang mantan, harusnya dia yang ada di sana menggantikan posisi Mild. Bibirnya tersenyum dan berlalu pergi keluar Rumah Sakit melewati lobi.

“Eh New, bisa bicara sebentar?”

Panggil Tawan yang menyadari New baru saja akan melewatinya.

Terlihat raut wajah Mild yang kurang suka, tentu saja bagaimana Mild bisa suka kalau fakta bahwa New adalah mantan kekasih suaminya.

“Ya Dok?”

New tak mau mengakrabkan diri dengan memanggil nama Tawan, Dokter adalah sebutan paling tepat, rasanya ia seperti membangun tembok yang maha tinggi untuk Tawan gapai, juga sebagai pengingat kalau alasan kedua orang tua Tawan tak setuju dengan hubungan mereka adalah karena profesinya yang hanya sebagai seorang perawat.

“Ini…” sang Dokter merogoh sesuatu di sakunya, namun ia tak mendapati apapun di sana.

“Ada apa ya? saya buru-buru” tegas New sekali lagi.

Tawan kebingungan, kemana perginya cincin yang ia temukan? Saat ia sedang sibuk merogoh semua saku yang ia punya, kedua saku celana dan kemejanya. Matanya menangkap kilau di jemari New, cincin itu sudah melingkar rapi di sana, namun bagaimana bisa? Ia ingat sekali kalau menemukan cincin itu di lantai dan menyimpannya di dalam saku.

“Kalau tidak ada apa-apa, saya pamit pergi dulu. Selamat malam Dok” New berlalu pergi, berjalan seorang diri menembus malam yang sepi nan sunyi, meninggalkan Tawan dengan sejuta pertanyaan.

“Cih, sok penting banget tuh orang” Cemooh Mild pada New yang terus berjalan menembus kabut.

“Dokkkk, lihat New gak?”

Metawin, Gun dan Kit berlari bersamaan tunggang langgang menuju lobi.

“Oh New, ada kok itu…”

Lagi-lagi Tawan terdiam, New sudah hilang entah kemana, padahal seharusnya punggung perawat itu masih terlihat dengan jarak pandang sedekat ini.

“Mana pak?”

“Itu tadi di sana” Dokter itu menunjuk pelataran rumah sakit yang kosong, tak seorangpun ada di sana selarut ini.

“Udah yuk mas pulang”

Mild menarik lengan suaminya menuju mobil.

“Maaf ya, saya duluan dulu, selamat malam”

“Ahh iya Dok, selamat malam” jawab Kit canggung.

Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Tawan memikirkan, bagaimana cincin itu bisa berpindah tangan padahal jelas-jelas ada di dalam sakunya, juga bagaiman New bisa menghilang secepat itu padahal harusnya masih ada di sekitar jarak jangkauannya.