Luka 3

Hitam, sarat dengan duka dan kesedihan. Hitam, pertanda kehilangan. Jerit tangis dan isakan bisa menjadi pelampiasan. Namun New pernah melewati itu semua sendirian, dalam diam.

Kevin terduduk lesu melihat peti mati sang istri, hatinya hancur berkeping-keping melihat jasat yang tak lagi utuh dilahap api, tak ada hal yang bisa menggambarkan suasana hatinya.

Matanya tak lagi bisa mengeluarkan air mata, ia kering kerontang, sudah habis sejak mendampingi sang istri di dalam ambulance, sudah mati rasa sejak menyadari Citra pergi untuk selama-lamanya.

Jika diibaratkan, ia adalah sebuah botol kosong di tengah gurun pasir yang menunggu datangnya hujan, ia tahu kalau selamanya akan menjadi musim kemarau baginya, dalam kesepian dan kesendirian.

“Vin…”

Seseorang menepuk pundaknya, mengembalikan jiwanya yang sesaat tadi hilang entah kemana.

“Tay….”

“Yang sabar Vin”

Tanpa pikir dua kali, Dokter itu memeluk sahabatnya erat-erat, membiarkan Kevin rapuh dalam rengkuhnya. Rasanya baru kemarin sepasang suami istri itu kehilangan si buah hati, siapa sangka kalau hari ini Citra pergi dan tak kembali.

“Citra gak sayang gue Tay, dia pergi duluan…”

Lirih Kevin gemetar, ini adalah fase terendah dalam hidupnya, kejadian bertubi-tubi yang membuatnya terpukul.

“Sssshhh jangan bilang gitu Vin, justru tuhan sayang banget sama Citra”

“Tapi gue juga sayang Citra Tay…tuhan gak adil sama gue”

Tawan hanya bisa menghela napas mendengarnya.

Kekecewaan terhebat adalah saat seseorang menggugat tuhan, padahal kematian adalah sebuah hal yang sudah digariskan.

Namun Kevin ragu, karena kematian istrinya tak terjadi begitu saja, ada seseorang yang menyebabkannya, ada motif dibalik meninggalnya Citra. Ia yakin kalau ini bukanlah kasus kematian yang wajar, namun ini adalah kasus pembunuhan.

Kevin berjanji di lubuk hatinya yang terdalam, atas nama sang istri dan si buah hati bahwa ia akan mengejar dan menemukan siapa pelakunya meski orang itu lari ke ujung dunia. Rasa sakit yang ia rasa berubah menjadi dendam yang menuntut untuk dibalaskan, perih itu bertransformasi menjadi benci.

Beberapa orang termasuk teman dan sanak saudara sudah hadir di rumah duka untuk mendoakan dan mengantar kepergian Citra, mereka duduk di kursi sembari melantunkan doa-doa yang disahuti oleh isak tangis keluarga.

Namun ada seseorang yang berdiri di depan sebuah buffet yang berisikan minuman anggur merah yang memabukkan, botol-botol minuman fermentasi itu sengaja dipajang menjadi sebuah koleksi yang mahal.

Jari-jemari orang itu menyentuh sebuah botol anggur bermerk ‘Merlot’ yang diproduksi tahun 1998, ia tersenyum dan menggenggamnya, meneliti setiap detil botol dan mencocokan apa yang tersisa diingatannya. Iya, orang itu adalah New.

“Tidakkah lo tahu kalau tingkah lo gak sopan sama sekali, udik!!!”

Mild merampas botol merlot dari tangan New dan mengembalikannya ke buffet, tatapan tak suka itu jelas ada di sana, di wajah Mild yang menatap New layaknya sebuah hama yang harus segera disingkirkan. Sebuah senyum melengkung di bibir New, tak menghiraukan apa yang baru saja Mild katakan padanya.

“Senang bertemu denganmu lagi Mild” Sapa New ramah sambil menaikkan kedua alisnya.

“Sudah berapa bulan?”

Tangan kanan New bergerak ingin menyentuh perut Mild yang mulai membola.

“Jangan pegang-pegang, gue jijik sama lo” Mild menampiknya, matanya menyipit menatap New lekat-lekat.

“Tak apa….hanya rasa-rasanya aku familiar dengan merlot ini” tunjuknya pada sebuah botol wine.

“Bukankah ini milikmu Mild? Milik keluargamu lebih tepatnya, bukankah begitu?” ia memegang lagi botol merlot yang menjadi pusat perhatiannya “Diproduksi tahun 1998, rasa-rasanya aku mengingat sesuatu” New tersenyum miring sembari menatap Mild dengan tatapan menyelidik.

“Itu bukan urusan lo”

“Dan sepertinya kamu tahu kalau seseorang sedang hamil tak boleh minum merlot hingga beberapa botol” New mengusap perut bagian bawahnya beberapa kali.

“Gue gak minum”

“Aku tak sedang membahasmu, kenapa kamu takut sekali? Atau…ada hal yang kamu sembunyikan dari Dokter Tawan?” Tukas New cepat disaat jemarinya mengambalikan botol anggur itu di tempatnya.

“Udah gila lo ya, ngelantur gitu omongan lo…gue rasa tempat yang tepat untuk lo adalah rumah sakit jiwa”

Mild berbalik berencana meninggalkan New.

“Sepertinya neraka juga menjadi tempat yang sengat tepat untuk kamu” ada tawa kecil bersama ucap lirih dari cara New merespon.

PLAKKKKKK!!!

Sebuah tamparan sangat keras mendarat begitu saja di pipi New, nampaknya Mild sudah kehabisan kesabaran hingga langsung melayangkan sebuah tamparan sebagai jawaban.

Merka berdua menjadi pusat perhatian, puluhan pasang mata melihat ke arah Mild dan New dengan bisik-bisik heran sebenarnya apa yang tengah terjadi di tengah suasana duka ini.

“Mild kenapa? Jangan kasar gitu, mas gak suka” Tawan datang menengahi, perasaannya tak menentu melihat sang istri menampar seseorang yang pernah berbagi kisah dan lembaran hari bersamanya.

“Jangan belain nih orang udik mas! Emang nih orang suka cari muka, lo balik lagi kerja di Rumah Sakit karena mau ngrebut mas Tay dari gue kan? masih punya muka lo setelah selingkuh dari mas Tay? Ckck gak punya harga diri lo”

Mild mengacung-ngacungkan jari telunjuknya kepada New, menuduhkan semua sumpah serapah dan kebenciannya terhadap seorang lelaki yang berdiri di hadapannya. Bisikan demi bisikan itu semakin jelas terdengar di rumah duka setelah Mild membuka luka lama, luka yang terasa perih tiap kali New mengingatnya, luka yang tak akan sembuh meski New mencoba melupakannya.

“Mild udah sayang…itu masa lalu” Tay melihat New terdiam dengan muka tanpa ekspresi, kedua tangan perawat itu mengepal kuat-kuat, dadanya mengembang dan mengempis, amarahnya ingin meledak.

“Ha…hahaha” New tertawa dan memberikan sebuah tepuk tangan kepada Mild “Jangan sering menunjuk seperti itu Mild, ketika kamu menunjuk satu jari untukku tanpa sadar jari-jari yang lain menunjuk dirimu sendiri”

“Lo….aaaarrghhh”

Istri Tawan itu sudah kehabisan kata-kata menghadapi New, matanya melotot penuh kebencian, tangannya ingin bergerak dan melayangkan tamparan tanpa henti di wajah New yang bengis menatapnya.

“LO LAGI LO LAGI!!!”

Kevin menyeret New keluar, tak ada yang bisa Tawan lakukan selain diam, taka ada yang Mild lakukan selain tersenyum penuh kemenangan.

“Kenapa lo ada di sini huh?”

Todong Kevin melempar New di batas pintu hingga ke teras.

“Bukankah kita berteman baik Kevin? Aku dan Citra bahkan sudah seperti saudara haha, jadi aku juga datang untuk mengantar kepergiannya”

“Kehadiran lo gak diharapkan di sini! dan lo bukan bagian dari kelurga gue, jangan pernah nginjakin kaki lo di rumah gue lagi…ingat itu baik-baik, murahan!!!”

Kevin tersenyum puas dengan caci makinya, kedua tangannya bersedekap di dada, memperlihatkan kepada New siapa yang menjadi tuan rumah dan pemegang aturan di sini.

New mengambil napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mengontrol emosinya yang sempat tersulut bara api dari mulut-mulut kotor yang mencemoohnya.

“Kamu tahu kenyataannya Vin, tapi kamu diam kan? kamu tahu tak sedetikpun aku berpikir untuk selingkuh dari mas Tay”

Tubuhnya agak gemetar ketika memanggil Tawan dengan panggilan yang ia gunakan ketika masih menjalin hubungan, ulu hatinya serasa ditusuk-tusuk dan terasa sangat menyakitkan, luka hatinya belum sembuh kini ia membukanya kembali.

“Kamu tahu kalau semua yang dikatakan Mild itu tidak benar, tapi lagi-lagi…” New menunduk, merasakan kekecewaannya melebur menjadi debu di lantai “Kamu hanya diam” sebuah tatapan nanar menghujam kevin dalam-dalam, membuat lelaki itu mulai goyah dan disambangi keraguan.

“Dan kamu tahu kalau saat itu aku tengah hamil” New tersenyum mengerikan, suasana di teras benar-benar sepi nan sunyi, tak ada hembusan angin yang membuat dahan pohon bergoyang, semuanya diam seolah sedang mendengar apa yang New katakan.

“K-kemana arah omong kosong lo ini”

“Semoga kita bisa menyelesaikan masalah ini tanpa melukai satu sama lain” Perawat itu tak bergeming, tangannya mengepal kuat-kuat.

“Jadi merlot itu milik siapa? Keluarga Mild kan?”

Kevin diam, tak mau menjawab sepatah katapun setelah bermenit-menit lamanya.

“Tapi sepertinya percuma saja aku bertanya dengan cara baik-baik, apa yang membuatmu bungkam dan diam? Uang? Berapa banyak mereka membayarmu untuk tutup mulut? Kevin, ingat ini baik-baik…..kamu hanyalah seekor babi tua yang tunduk pada perintah tuannya, berbeda denganku yang bebas, aku bebas menentukan takdirku sendiri”

Suami Citra itu tak lagi bisa tinggal diam setelah harga dirinya diinjak-injak di depan seorang perawat yang dulu pernah ia hancurkan. Ia bergerak cepat melayangkan sebuah bogem tepat di wajah New namun tangan perawat itu tak kalah lincah untuk menangkap kepalan tangan Kevin yang mengarah ke wajahnya.

“Apa kamu pikir aku sama dengan New yang dulu huh?” senyum itu melengkung di dua sudut bibir New, lengkap dengan satu alisnya yang mengernyit ke atas dan kepalanya yang bergerak miring.

Does a scorpion sting when fighting back? They strike to kill and you know i will

BRAKKKKK!!!

Kevin terjatuh di lantai begitu New mendorongnya kuat-kuat, perawat itu berbalik dan bersiap menuruni tangga teras untuk pergi, meninggalkan Kevin yang tersulut emosi di lantai rumahnya sendiri.

“Oh iya Kevin….” New berhenti setelah menuruni tiga anak tangga dan menoleh ke belakang, melihat Kevin yang menatapnya penuh dengan kebencian.

“Aku lupa membawa saos BBQ dan jangan sampai dagingnya gosong”

Tubuh Kevin gemetar, amarah sudah memuncak dan membuatnya gelap mata ketika mendengar New merendahkan istrinya yang mati terbakar, penghinaan yang New lakukan tak lagi bisa ia terima.

“Jangan lama-lama bersedih, masih ada Nivea dan Vaseline kok sebagai pengganti Citra haha”

“KEPARAAATTT!!!”

Kevin berlari tunggang langgang menubruk tubuh New hingga keduanya bergulingan di tangga, ia tak terima istrinya disamakan dengan daging panggang dan merk sebuah lotion, kebencian di hatinya sudah menuju titik lebur tertingginya.

PRAKKK!!

BUKKK!!

“MATI LO BANGSAT! MATI DI TANGAN GUE!!”

Kevin membabi buta memberikan pukulan demi pukulan, ia sudah gelap mata, tak peduli apa yang akan terjadi asalkan ia bisa memastikan New meninggal di tangannya.

“Vinnnn, astaga Vin lo kenapa?” Tawan yang menyadari kawannya yang tak kunjung masuk ke dalam dan menyusulnya di luar.

“MATI LO…MATIIIII”

“Vin sadarrr!!!” Tawan buru-buru menyadarkan Kevin dan membawanya kembali ke teras.

“Vin lo kenapa? Kenapa lo nonjokin tangga sih? Lihat, tangan lo berdarah semua”

Sedetik kemudian Kevin tersadar, ia seperti orang linglung, kedua tangannya berdarah memukuli tangga hingga kulitnya terkelupas, tapi ia ingat betul bahwa tadi New ada di sana, tersungkur di lantai dan ia memukulinya membabi buta.

“Lo kenapa jadi kayak bingung gini astaga…ayo masuk, kita obatin luka lo dulu”

Dari kejauhan Kevin bisa melihat New yang sudah ada di luar gerbang tersenyum ke arahnya tepat sebelum New berbalik badan dan berjalaan menjauh.


Jane, New dan Metawin berjalan menembus malam yang dingin, mereka bertiga kebetulan bekerja di shift yang sama, rasa canggung luar biasa ada di sana, membuat Jane dan Metawin enggan bersuara. Hanya suara langkah mereka yang menginjak aspal basah karena hujan menemani perjalanan ketiganya.

“Tadi seharian lo kemana New? Kok gak kelihatan di kos?” Jane buka suara juga akhirnya, ia penasaran dengan perbedaan New yang teman-temannya ceritakan.

“Ke rumah Kevin, kalian tahu kan kalau istrinya meninggal dunia”

“HAH?” Metawin terkejut bukan main, pasalnya ia sempat melihat Kevin yang mendorong kursi roda Citra ketika pulang dari Rumah Sakit tempo hari.

“Yang bener lo New?”

“Iya beneran, kalian gak denger berita ada mobil terbakar di SPBU emangnya?”

“Ohhhh yang itu? Itu Bu Citra? astaga turut berduka cita” Metawin masih tak percaya, rasanya kehilangan terus menyambangi keluarga kecil itu.

“Umur gak ada yang tahu ya” Celetuk Jane memperhatikan kanan dan kiri, mereka akan menyebrang jalan menuju pelataran Rumah Sakit.

BUKKKKKK

“AAAAAA”

Jane berteriak begitu ada seekor merpati yang tertabrak mobil dan tergeletak di pinggir jalan, burung itu kejang-kejang, sepertinya berada antara hidup dan mati.

Mereka bertiga berkerumun dan berjongkok di pinggir jalan melihat merpati itu kejang-kejang.

“Apa masih hidup?” tanya Jane pada Metawin yang menyentuh sayap burung yang nampak patah.

“Kayaknya masih deh, masih bisa sembuh kayaknya”

I’ll help you little bird

New berdiri dan berlalu begitu saja, entah apa yang ia lakukan di saat kedua temannya dengan hati-hati mencoba memindahkan merpati itu ke rerumputan ujung jalan.

Tiba-tiba….

BUKKK!!!

Kedua mata Jane dan Metawin hanya bisa melotot melihat apa yang dilakukan New, sebongkah batako dilemparkan begitu saja mengenai kepala burung hingga hancur tak berbentuk, tak ada lagi kejang di tubuh si merpati cantik, tak lagi bergerak, ruh hewan itu sudah pergi, tak lagi di sini.

“New apa yang lo lakuin? Burungnya mati” Jane berdiri, heran dengan apa yang New lakukan.

“Bantuin burung itu kan?” jawabnya percaya diri.

“Itu gak membantu sama sekali New, padahal dia bisa kita selamatin dan rawat bareng-bareng”

That’s the point, dengan kalian biarin burung ini tersiksa antara hidup dan mati bukankah lebih baik kalau dia langsung mati dengan cepat dibanding harus tersiksa terlebih dulu?”

New mengambil bangkai merpati dan melemparnya ke selokan, tanpa empati, tanpa perhatian dan tanpa kasihan.

“Udah yuk jalan lagi, udah sepi nih”

Ujarnya meninggalkan Jane dan Metawin yang saling melirik satu sama lain, bahwa rumor tentang New yang telah berubah itu benar adanya, bukan hanya sebuah desas-desus belaka.


Ada seseorang yang berjalan sendirian di perlataran rumah sakit, menyembunyikan sebuah benda tajam dengan maksud melakukan pembunuhan terhadap salah satu perawat. Orang itu adalah Kevin, ia merasa sakit hati dan tak terima dengan hinaan yang New lontarkan terhadap istrinya, ia sudah gelap mata, tak lagi berfikir dengan akal sehat dan logika.

Ia berjalan lorong demi lorong mencari keberadaan New, matanya lapar dan jelalatan, haus akan membunuh seseorang, api dendam berkobar dengan ganas di ulu hatinya.

Anehnya seperti tahu kalau Kevin akan datang, seakan paham kalau Kevin akan balas dendam, sosok New berdiri membelakangi Kevin di ujung lorong yang gelap, perawat dengan seragam putih itu hanya diam tak bergeming sedikitpun.

Saat Kevin melangkah untuk mendekat, maka satu langkah juga New ambil untuk menjauh, semakin Kevin berlari maka semakin cepat juga New menghindar. Perawat itu menuju ke salah satu lorong, lorong sepi nan sunyi yang jarang dilewati oleh orang awam.

Dengan perasaan yang menggebu-gebu, Kevin terus berlari mengejar kemana New membawanya pergi, menaiki satu demi satu anak tangga dengan tangan yang mengepal erat-erat, tak sabar untuk ia hantamkan tanpa ampun.

Nafasnya terengah, dadanya mengembang dan mengempis, keringat sebesar biji jagung menghiasi keningnya, tak ia sangka kalau kakinya sudah menginjak lantai rooftop rumah sakit.

Ia melihat New yang berdiri di ujung bangunan, membelakangi dirinya dan sedang mendongakkan kepala melihat bulan purnama.

Saat ia melangkahkan kaki mendekat, sosok New hanya diam dan tak lagi berlari untuk menghindarinya, maka tanpa menyia-nyiakan kesempatan emas, Kevin berlari secepat mungkin dengan mendodongkan pisau tepat di area jantung.

“AAAAAA MATI KAU IBLISSSS”

JLEBBBB!!

Kevin langsung mendorong tubuh New hingga terjatuh dari rooftop, ia merasa puas karena dendamnya terbalaskan membuatnya lega.

“HAHAHAHAHA”

Ia tertawa terbahak-bahak dengan tangan yang menengadah ke langit, purnama yang bersaksi kekejaman Kevin yang terulang untuk kedua kali. Sebuah senyum kemenangan melengkung di bibirnya, perlahan ia berjalan mendekat keujung untuk melihat tubuh New yang mungkin saja sudah menjadi pusat kerumunan di lantai dasar.

Namun apa ini? ia tak melihat New ada di sana, sepi, tak ada badan yang tergeletak di lantai karena terlempar dari rooftop. Matanya mencari ke sana dan kemari namun tak juga ia dapati, ia bingung namun ia yakin sekali sudah mendorong badan New hingga terjatuh dari sini, bahkan ia juga menusukkan pisau tepat di jantungnya.

Suara tepuk tangan yang berasal dari belakang mengagetkan Kevin, jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat sosok New sudah berdiri di sana, di dekat pintu menuju rooftop.

“Bagaimana? Sudah puas huh?”

New tersenyum mengerikan sembari memberi tepuk tangan.

“Lo…..” Kevin yang kebingungan hanya bisa melihat New yang berjalan mendekat dan lantai dasar secara bergantian, ia tak percaya dengan apa yang kedua bola matanya saksikan.

“Iblis hmm?” New bergumam, jarak mereka sudah sangat dekat dan saling berhadap-hadapan. “Aku ingin membantahnya…tapi itu benar haha” tawa yang mengerikan terdengar dari mulut sang perawat, ada seekor burung hantu dengan kedua bola mata merah yang hinggap di jari New, perawat itu membelainya beberapa kali sebelum membiarkan makhluk nokturnal itu terbang membelah purnama.

Dengan sekali gerakan New berhasil mencekik leher Kevin dan mengangkat tubuh laki-laki itu ke udara, membuat kedua kaki Kevin tak lagi menyentuh lantai.

“Aaaakkhhh lepaskannn”

“Bukankah aku sudah bilang? Lebih baik kita bekerja sama, katakan siapa orang yang ada di balik semua ini!!” ucap New tegas tanpa keraguan, ia menatap Kevin layaknya burung hantu yang menatap mangsa.

“Jika kamu lupa, maka akan aku ingatkan” kedua rahang New bergemeletukan, amarahnya memuncak hingga mencekik Kevin erat-erat “Aku tak memintamu untuk berbicara tapi aku memerintahkanmu untuk berbicara!!! Kamulah iblis yang sesungguhnya”

New bergerak terus ke depan hingga tubuh Kevin tak lagi ada di bangunan ini, jika saja New melepaskan cekikannya sudah pasti Kevin akan mati dengan badan hancur menghantam bumi dari bangunan tinggi.

“Jika kamu tetap tak mau berbicara dan mengaku maka akan aku gunakan caraku sendiri…lagipula nyawamu tak begitu berarti”

“Aaakkhh to..long.. am…puni…a….ku”

Kevin sudah lemas, nyawanya sudah ada di batas tenggorokan, ia pasrah jika harus merenggang nyawa, ia pantas mendapatkannya atas semua yang pernah ia lakukan kepada New.

“Ha….hahaha lihat baik-baik wajah orang yang pernah kehilangan segalanya!! Ingat baik-baik siapa dia!!” New berteriak, tak memberi ampun “Aku orangnya”

BRAKKKK!!!

“Aaaakkhh uhukk-uhukkkk”

New membanting Kevin di lantai rooftop, sangat keras hingga terdengar tulang-tulang yang patah.

“Aku mohon….ampuni aku New….ampun”

Kevin sangat menyedihkan, ia hanya sedang membayar dan menuai apa yang telah ia perbuat.

“Ikut aku…kamu akan mengaku dan memberitahuku semua yang kamu ketahui”

Tanpa belas kasihan, New meremas rambut Kevin dan menyeret kepala laki-laki itu, tak membiarkannya berjalan karena ia tahu tulang kaki Kevin sudah patah dan ia remukkan.