Luka 6

Burung camar sedang berkoloni terbang di langit senja, semburat jingga membuat lengkungan di kedua bibir New semakin melebar, angin Dermaga membelai wajah manisnya yang sudah lelah menangis dan berderai air mata.

Ia sedang duduk dengan kedua kaki yang menjuntai menyentuh air, melihat refleksinya sendiri di sana, ia merasa bebas dari seluruh beban yang selama ini menghimpitnya tanpa ampun.

Esok akan menjadi hari baru untuknya, sebuah lembaran di mana dirinya dan Tawan tak lagi saling bersinggungan, simpul yang terikat kuat kini sudah terlepas, mereka berdua adalah dua garis lurus yang tak akan bersilangan meski ditarik sepanjang apapun, langkah keduanya resmi saling berlawanan tak lagi berjajar dan beriringan.

“Besok kita pergi, gapapa ya nak? kalau kita ada di sini terus, nanti kita dianggap nyusahin Ayah, kamu masih punya Papa yang gak akan ninggalin kamu” ucap New pelan mengusap perutnya.

“Jangan minta yang aneh-aneh ya? Papa mulai kesusahan karena kamu cepet banget tumbuhnya” lanjutnya dengan senyum yang melengkung di bibirnya, tak sabar menyambutnya lahir di dunia.

“Abis ini kita jalan-jalan yuk? Papa mau lihat-lihat perlengkapan bayi buat kamu” New menarik diri dari ujung dermaga, berjalan menjauh di pembatas senja yang sedang mematangkan warnanya.


Sosmed Au New beli perlengkapan bayi di mall, ya keluh kesahnya dl.


Hari ini adalah hari pernikahan Tawan, bersamaan dengan New yang akan pergi dan mungkin tak akan kembali, tak akan bisa melihat senyum Tawan lagi, tak bisa mendengar suaranya dan tawanya lagi, ia pergi ke pengasingan seorang diri.

New sudah mengemasi semua barang-barangnya, tak ada yang tertinggal di sini hanya saja ingatannya tentang Tawan masih tersimpan rapi di setiap sudut kamar mungilnya.

Tawan yang mengantarnya pulang, Tawan yang menggendongnya ke atas ranjang, Tawan yang membelai rambut hitamnya sembari bersenandung sebelum pulang.

Ahhhhh rasa-rasanya seperti baru kemarin dan kini ia sudah harus pergi, begini ternyata pahitnya cinta tak direstui.

When i enter this room, i always have to control my tears because i still feel you very deeply and now…..i leave

Ia gemetar merasakan bagaimana kenangan bisa terasa semenyakitkan ini, semuanya seperti divisualisasikan dan diputar ulang di depan mata kepalanya bagaimana Tawan bersenandung untuknya hingga kejadian yang disebabkan oleh Kevin dan Mild yang membuat Tawan tak lagi percaya kepadanya.

I want to say i miss you, but it wouldn’t change anything…” New menghela napasnya yang terasa berat “So i keep pretending like i don’t

Lirihnya putus asa, memang pada akhirnya apapun yang ia katakan tak akan bisa membuat Tawan percaya, pada akirnya apa yang terucap dari bibirnya hanya dianggap sebagai pembelaan semata.

New sampai harus mendongak untuk menahan air matanya, ia tak mau menangis apalagi ini adalah hari bahagia untuk orang yang sangat ia cinta.

Seseorang yang berhasil merubuhkan dinding yang ia bangun setinggi langit dan menariknya dari senyapnya kesepian, seseorang yang memperkenalkan warna hidup bahwa dunia ini tak hanya menyisa hitam dan putih saja.

Namun sayang, orang itu juga yang menghancurkan ulang dinding yang ia bangun hingga hancur berkeping-keping dan berubah menjadi abu yang menyesakkan dadanya, orang itu juga yang membantingnya balik ke jurang yang bernama kesepian dan keputusasaan, dan orang itu juga yang menarik semua warna dari hidupnya hingga tertinggal hitam dan putih saja, lebih gelap dari sebelumnya. Orang itu adalah Tawan.

Pada akhirnya New tak akan kuat, ia berderai air mata sebagai cerminan perihnya hati dan kejamnya dunia yang sedang ia tapaki. Kisahnya dengan Tawan layaknya sebuah buku, di mana ia selalu ketakutan membuka setiap lembar demi lembar, khawatir bagaimana kisah mereka akan berakhir dan ternyata ia sadari tak ada akhir bahagia untuknya, menyisa sebuah akhir yang perih dan penuh air mata.

Dengan dada yang terasa sesak, ia mencoba tersenyum dan membelai janin yang ada di perutnya, setidaknya ia tak benar-benar sendiri, ia punya bagian dari Tawan yang tertinggal pada tubuhnya dan kedepannya ia akan membesarkannya, meski seorang diri.

I told you what hurt me the most…” sebuah napas panjang ia ambil dan kemudian ia hembuskan secara perlahan ketika menyapu seluruh sudut ruangan dengan tatapan mata nanarnya “And you did it perfectly*”

lanjutnya melihat cincin yang masih melingkar di jari manisnya.

Sebuah cincin pemberian Tawan ketika sama-sama menyataka rasa, New tak mau melepasnya, hanya dengan ini ia merasa Tawan tak pernah meninggalkanya meski kenyataan berkata sebaliknya.

“Gapapa ya sayang? Kita pergi jauh dari ayah, biar ayah punya kehidupan yang lebih baik” lirihnya menghapus air mata.

“Mau kemanapun Papa pergi, asal Papa punya kamu….Papa masih baik-baik saja dan itu artinya Papa masih punya segalanya”

Samar-samar New mendengar suara mobil di pelataran, pasti Kevin sudah datang karena tak ada seorangpun yang ada di sini selain dirinya sendiri. Semua perawat sedang pergi karena diundang untuk menyaksikan bagaimana Tawan mengucap sumpah dan janji pernikahan.

Hanya dirinya saja yang tersisa, mungkin saja kehadirannya memang tak diinginkan seperti apa yang dikatakan Tawan tempo hari, ah sial itu cukup menyakiti hatinya.

New mematung di jendela kamarnya melihat Kevin keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju ke arah kamarnya, ia sedang menghitung detik demi detik kepergiannya.

“Udah siap semua kan? jangan bikin gue nunggu”

Lontar Kevin begitu sampai dan mematung di depan pintu kamar New.

“Udah kok”

“Yaudah cepetan”

“Vin tunggu…” New menahan Kevin pergi dengan menggenggam pergelangan tangan suami Citra itu.

“Kenapa?” jawabnya dengan melepas genggaman tangan New dengan paksa.

“Ummm boleh minta tolong bawain tasnya? Agak berat kalau aku bawa semuanya sendirian”

Kevin melihat beberapa tas ransel yang ada di atas ranjang dan melihat New bergantian, matanya menyipit.

“Kali ini saja Vin...” New memelas.

“Bahkan lo masih bisa nyusahin orang lain? Ckck sini cepetan”

New tergopoh-gopoh membawa dua ransel besar di atas ranjang, satu untuk ia bawa sendiri dan satu lagi meminta bantuan Kevin.

“Ini”

Sebuah ransel besar sudah ada di genggaman tangan Kevin.

“Ini?” suami Citra itu mengangkat satu ransel tepat di depan New.

Sebuah anggukan sebagai jawaban mengiyakan.

“Bawa sendiri bangsat…”

BUKKKK

“Aaaakkhhhh” New meringis kesakitan.

Ransel itu dilempar begitu saja mengenai tubuhnya hingga tumbang dan jatuh ke lantai.

“Lo kira gue mau bantuin? Tsk! Gue bukan babu lo, lo yang akan jadi gembel di sini kenapa gue yang susah anjrit!” cemooh Kevin melenggang pergi menuju mobil meninggalkan New yang masih kesakitan di lantai kamar.

“Hufff…yaudah deh, yuk bantuin Papa bawa ransel ini, jangan cengeng ya sayang” ujarnya pada diri sendiri dan janin yang ada di kandungannya.

“Kira-kira kita perlu pamit ke Ayah gak ya?”

New terdiam menerawang kepergiannya yang sudah ada di depan mata, lalu ia tersenyum kecut “Nanti Papa coba minta tolong ke Kevin, tapi gapapa ya kalau kita cuma lihat dari luar? Yang penting judulnya kan pamit sama ayah kalau kita mau pergi jauh” dengan hati yang kosong ia membawa dua ransel besar keluar dari kamar.

Ia berjalan pelan dan kepayahan menuju pelataran, menaruh kedua ranselnya di bagasi tanpa bantuan sama sekali.

“Vin, aku ada satu permintaan terakhir…” New duduk di sebelah Kevin, menghempaskan punggungnya yang terasa sakit.

“Ck, apalagi sih?”

“Kali ini aja Vin, aku janji setelah ini aku akan pergi dan gak akan kembali”

Kevin terdiam menatap kedua mata New dalam-dalam.

“Untuk yang terakhir kalinya, apa kamu bisa bawa aku ke resepsi mas Tay? Cuma berhenti di pinggir jalan aja kok, aku janji gak akan kemana-mana”

Pada akhirnya Kevin memilih tak menjawab permintaan New, namun ia langsung mengemudikan mobilnya menembus jalanan yang lenggang.

Di hati kecilnya ia merasa iba dan kasihan dengan New, namun bagaimana lagi? Ia mendapat uang dan posisi yang ia inginkan sesuai apa yang sudah dijanjikan oleh kedua orang tua Tawan dan Mild jika berhasil menyelesaikan ini.

“Makasih Vin”

New tersenyum, diamnya Kevin ia artikan sebagai jawaban ‘iya’. Setidaknya dirinya pamit sebelum pergi meski pamit itu tak akan pernah sampai kepada Tawan, meski kepergiannya tak mengubah fakta apapun kalau sekarang ia sendirian.

Mobil mereka berhenti di depan sebuah gereja, banyak mobil berjejer sepanjang jalan, mereka semua adalah tamu undangan dan New bukan satu diantara mereka.

New memandang nanar ke arah altar, ia melihat Tawan di sana sangat tampan dengan senyum yang mungkin akan ia rekam baik-baik dalam ingatannya dan akan ia simpan baik-baik dalam kenangan di sisa umur hidupnya.

“Itu Ayah nak…” lirihya menahan tangis, matanya berkabut.

Seandainya Tawan mau mendengar penjelasannya, mungkin hubungan mereka masih baik-baik saja.

Seandainya kedua orang tua Tawan menerima keadannya, mungkin saja saat ini ia sedang berdiri di altar bersama Tawan, dan masih banyak seandainya yang malah membuat New merasa sesak di dada.

“Kita pamit dulu sama ayah…”

New menangis sambil berbisik kepada darah dagingnya, tubuhnya gemetar hebat mengucapkan pamit yang mungkin tak akan tersampaikan “Bye-bye Ayah….kita pamit pergi ya…”

“Kamu harus bahagia mas karena aku mengalah dan pergi agar kamu bahagia di sini” lanjutnya dengan tangis yang amat sangat perih, hatinya terasa diiris-iris.

I saw you laughing and happy again…and it made me realize that you’ll do well anyway…even without me” “Congratulations mas, i’m happy for you

Finalnya berbohong sebelum Kevin kembali mengemudi dan memupus pandangannya kepada Tawan yang sedang mengecup Mild setelah mengucap janji, New menutup kedua matanya dengan derai air mata.

Ia tak bahagia sama sekali, ia hancur hingga tak lagi bisa memungut kepingan hati yang melebur menjadi debu dan menyesakkan napasnya.

Hatinya serasa remuk redam, tak pernah ia sangka kalau perpisahan bisa sesakit ini, namun setidaknya ia masih menghirup udara yang sama dan hidup di langit yang sama dengan Tawan.

Dengan begitu ia bisa menghibur diri dan berpura-pura kuat menapaki kehidupan yang kejam, dan mungkin dengan begitu ia tak akan pernah menuntut apapun kepada semesta.


Gelap, sepi nan sunyi hanya semak belukar dan pepohonan sejauh mata memandang. Mobil mereka masuk menempus hutan, menjauh dari kota dan keramaian.

New melihat sebuah papan kayu di pinggir jalan yang sudah keropos dimakan rayap, ALASTUA begitulah yang berhasil New baca. Dalam bahasa jawa ALASTUA berarti hutan rimba yang sudah amat tua dan dimakan usia dan sepertinya makna itu memang benar adanya.

Terbukti dengan jalan setapak yang sempit dan berlumpur, tak ada penerangan hanya kunang-kunang di semak belukar yang menerangi pandangan. Suara hewan-hewan malam mulai terdengar saling bersahutan, seolah mereka semua mengawasi sebuah mobil yang mengusik rumah mereka.

“Vin ini di mana?” New mulai tak tenang, ia gelisah di tempat duduknya.

“Udah tenang aja” Jawab Kevin sembari mengecek ponsel beberapa kali, entah siapa yang terus mengirimkan pesan hingga Kevin harus membalas disaat mengemudi.

Bagaimana New bisa tenang kalau suasana gelap gulita? Hutan ini seakan menggaungkan agar mereka cepat pergi karena semakin mereka masuk maka semakin dekat dengan mara bahaya.

Terlihat seekor burung hantu bertengger di sebuah ranting dan tersorot lampu mobil mereka, binatang itu memutar kepalanya 180 derajat ke belakang hingga menatap New dan Kevin sebelum berlalu terbang. Dari kejauhan New melihat sebuah sebuah mobil seolah menunggu kedatangannya, ada dua orang lelaki yang berdiri di sana.

Mobil yang Kevin kemudikan berhenti di ujung jalan, tepat di sebelahnya ada jurang yang amat dalam sampai-sampai New ketakutan.

“Vin mau kemana?” New langsung menjangkau pergelangan tangan Kevin begitu melihat Kevin bergerak keluar meninggalkannya.

Bisa saja kedua orang itu adalah orang jahat kan? lalu mengapa Kevin malah keluar?

“Lo tunggu di sini sebentar” Kevin meninggalkan New sendirian di dalam mobil, entah apa yang dibicarakan mereka karena New tak bisa mendengarnya. Suasana tambah mencekam saat kabut mulai mengaburkan titik pandang, dinginnya membuat tulang dan gigi saling bergemeletukan.

GREEEBBBBBBB

New dikejutkan dengan suara semua pintu mobil yang dibanting keras-keras, lalu ia sadari kedua orang bermasker dan Kevin sedang mengelilingi mobil dan mengganjal pintu-pintu mobil hingga dirinya tak bisa keluar.

“Vinn…Kevinnn ini ada apa?”

Panik dan cemas menyergap New dari segala arah, saat ia mencoba membuka pintu untuk keluar namun gagal karena pintu mobil diganjal membuat dirinya terjebak di dalam. Tak hanya itu, New semakin ketakutan saat meliat ke tiga orang itu mengguyur mobil ini dengan cairan dari jerigen.

Sekeras apapun ia berteriak nyatanya ketiga orang itu tak peduli

“Cepat Vin, kita lenyapkan di sini saja” ujar salah satu lelaki mengguyur cairan bensin dari dalam jerigen hingga tak tersisa meski setetespun.

“Siap Tuan…”

“Simpan semua barang kita pakai di dalam mobi, hapus barang bukti” ucap lelaki yang lain menimpali.

“Kamu yang selesaikan ya Vin, pastikan dia lenyap di depan kita”

Kevin hanya terdiam melihat bagaimana New berteriak dan memanggil-manggil di dalam mobil.

“Mas Tay aku takut…..” New gemetar hebat, ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seakan nasibnya tak bisa lebih menyakitkan setelah merelakan Tawan, kini hidupnya akan dilenyapkan, apa salahnya? Apa salah bayi yang ada di dalam kandungannya? Adakah dia berdosa meski belum terlahir ke dunia?

Sejak awal harusnya ia tahu kalau ini semua hanya kebohongan belaka, harusnya ia paham kalau Kevin yang selalu mereka tugaskan untuk menyiksanya, lalu ia sadar kalau ini semua memang sudah direncanakan.

“Mas Tay tolong…aku takut” New menangis dalam keadaan tangan yang bercucuran darah karena mencoba memecahkan kaca mobil secara paksa.

“Sekarang Vin” perintah salah satu diantara kedua laki-laki yang memakai masker.

“Maafin aku New” lirih Kevin memantik api.

“Vin aku mohon….jangan Vin, ampun….aku minta ampun” New menyedihkan sekali, memohon sebuah belas kasihan dari seorang iblis yang melakukan segalanya demi uang.

Kedua mata New membulat menyaksikan bagaimana api merambat dan membakar mobil di mana ia terjebak di dalamnya.

“MAS TAYYYYYY…..SAKIIIITTTT AAAAAAAAAKKHH”

New berteriak histeris kesakitan merasakan bagaimana api melahap dirinya hidup-hidup, luka yang ia rasakan kini lengkap sudah, luka fisik dan batin yang mengantarnya kepada kematian.

“AAAAAAAHHHH SAAKIIITTTT” Di sana ada ti

ga iblis yang sedang menyaksikan New terbakar dan merenggang nyawa dengan jeritan kesakitan di tengah kobaran api yang menyambar-nyambar langit.

“M-mas Tay….to….long”

Lirihnya kesakitan ketika menyadari dua orang yang bermasker hitam itu adalah ayah Tawan dan Mild, ia menangis dalam perih diantara hidup dan mati.

“Dorong mobilnya ke bawah Vin”

Perintah ayah Tawan yang membantu mendorong mobil yang masih berkobar agar terjatuh ke dalam jurang.

New tak lagi bisa merasakan tangan dan kakinya, ia sudah pasrah dengan nyawa yang sudah sampai di pangkal tenggorokan. Kedua tangannya menutupi perut bagian bawahnya, di ambang kepasrahan ia masih berharap bisa menyelamatkan janinnya, diantara hidup dan mati ia menjeritkan nama cinta hidup dan matinya, Tay Tawan orangnya.

Mobil yang membakarnya kini bergerak dan terjatuh ke dalam jurang, berguling-guling membuat tubuh New terhimpit tak karuan dengan bara api yang samakin panas. Ia terpelanting dan terlempar keluar dari kaca mobil yang pecah karena tak bisa menahan panas, naasnya ia menghantam di sebuah batu yang memiliki permukaan yang tajam hingga menusuk perutnya.

Di jurang yang gelap nan berkabut ini ternyata memiliki dasaran sungai yang deras dengan bebatuan tajam, New merasakan sakit di sekujur tubuh, perutnya berlubang menganga tertusuk batu hingga ia tak bisa merasakan tubuh bagian bawahnya.

New menangis, mengadu kepada semesta mengapa hidupnya semenyedihkan ini, ia memuntahkan darah dari mulutnya, ia tahu kalau ia tak akan bertahan.

“M-mas Tay, aku tak pernah membencimu….uhukkk” lagi, hanya darah keluar dari mulutnya.

But please when i die don’t say how much you love me and how much you miss me…..” New sedang menghitung sisa waktu yang ia punya, detik demi detik terakhirnya “Because those are the words i want to hear while i’m still alive

Perlahan namun pasti rasa panas dan sakit itu seperti menghilang, pandangan matanya mulai mengabur dari menatap kabut dan purnama, hal terakhir yang ia saksikan adalah seekor burung hantu yang tadi menyambutnya datang kemari kini bertengger di bebatuan, tepat di depannya sebelum ia tewas dan menghembuskan napas terakhirnya.