Lupakan.

***

Jika aku diberi satu buah permintaan, aku hanya ingin terus mengingatnya. Membawa setiap memori yang kuhabiskan bersamanya hingga pandanganku menghitam. hingga otakku tak lagi bisa bekerja. Tidak, aku tak lagi bermimpi untuk memilikinya. Aku tahu aku tak pantas. Untuk itu, aku hanya meminta. Untuk bisa terus mengingatnya.

*** Kamar Bright 21:00 Pm

Ia tak bisa tidur, pengaruh kopi sangat luar biasa padanya, setelah membaca pesan dari gawin, ia menoleh pada sebuah surat yang ada disana, meski sudah membacanya, ia ingin membaca sekali lagi dan memastikan sekali lagi.

Untuk itu ia mengambil surat itu, ia keluarkan isinya lalu ia baca baik-baik tiap kalimat dan tiap katanya.

Air mata itu jatuh dengan sendirinya menyadari bahwa memang harus ia akui semua gejala dan kriteria itu semakin ia rasakan akhir-akhir ini.

“win.... Mas tak meminta banyak pada tuhan, mas tahu jika memilikimu kembali itu mustahil, mas juga bukan makhluknya yang suci, namun jika mas diberikan sebuah keajaiban, mas hanya ingin terus mengingatmu win......”

Bright menangis dalam sepinya malam, ia ditemani oleh sunyi yang menyergapnya dari segala arah. perih dihatinya berbondong-bondong meledakkan tangisnya.

“mas akan pastikan, disaat tak ada lagi yang bisa mas ingat, mas akan selalu mengingatmu, disaat satu persatu memori mas hilang, mereka tak akan bisa mengambilmu dari ingatan mas....”

“biarlah..... Mas lepaskan kamu win, kamu berhak bahagia dengan siapapun orang diluar sana.... Hiks... Mas akan kasih izin kamu untuk pindah dosbing... Mas kasih izin win.....”

Bright benar – benar menagis sejadi-jadinya saat ini, hidupnya hanya berpatok pada notes yang selalu mengingatkannya tentang apa saja yang harus ia lakukan, namun ternyata dalam notes itu hanya ada jadwal-jadwal yang ia buat untuk winata, hanya ada Winata disana. Didalam notesnya yang menjadi pegangannya, semua jadwal itu ia buat untuk winata.

Sedangkan sisanya? Semua gawin yang membantunya, gawin yang selalu mengingatkannya kegiatan apa apa saja kedepan. Sungguh winata sudah menjadi pusat dunia bagi Bright.

“sekarang mas paham, bahwa mencintai memang tak harus memiliki, melepas juga salah satu cara untuk mencintai seseorang, untuk mencintaimu win....”

“mas lepaskan....”

“karena mas sadar, sama halnya seperti menggenggam pasir. Semakin erat genggaman itu, semakin sadar diakhir mas tak mendapatkan apa-apa”

“bahagialah win”

“perpisahan bukanlah duka, meski harus menyisakan luka, bukankah begitu?”

Ia bertanya pada dirinya sendiri, dan mendapati kalau dirinya juga terluka dari perpisahan ini.

Malam itu menjadi malam terburuk dalam hidup Bright, selain kisahnya yang telah berhenti berotasi, kini diagnosa itu adalah hal yang mutlak dan tak bisa ia bantah.

***

Bright dan tangisnya. Semarang, 20 Desember 2019 21:10 Pm