Mama Waduk Sempor 07:00 Am

Winata dan sang mama ada disana, di pinggir sebuah waduk indah. Padahal win tak meminta untuk dibawa kemari, namun itulah sang mama, ia paham tiap kali sang putra tengah menghadapi masalah maka ia akan bawa ke pinggir waduk ini.

“Ma, win gapapa kok, win gak ada masalah ma”

Mereka sama-sama memegang pagar dan menghadap pada derasnya air yang mengalir dibawah sana.

“nak, pikiran itu seperti parasut, kalau ia tidak terbuka sempurna, maka sia-sia” sang mama tak menanggapi ucapam winata namun langsung memberinya nasihat.

Win hanya diam, sebayak apapun ia berkata kalau ia baik-baik saja, ia tak akan bisa membohongi sang mama yang sudah sangat mengenalnya.

“hidup ini memang kejam dek, tapi di tengah dunia yang kejam ini, jadilah orang baik ya?” sang mama menoleh dan melihat Winata yang menatap ke arah air yang mengalir deras.

Win masih diam, dicernanya tiap kalimat sang mama.

“mama tahu adek lagi ada masalah kan? Iya nak, bukan hidup kalau isinya cuma bahagia saja, hidup itu tentang waktu......”

sang mama membelai rambut anaknya yang di terbangkan angin dan mengacaknya, baginya Winata tetaplah anak balitanya yang masih harus ia jaga dan ia rawat sepenuh hati.

“hidup itu tentang waktu sayang, waktu yang adek habiskan untuk berbagi ataupun menyimpan rasa, waktu yang adek habiskan untuk memberi atau menerima dan waktu yang adek habiskan untuk membenci atau mencintai”

Sang mama memeluk anaknya dari samping, dan winata reflek membalas pelukan itu, pelukan ini adalah rumah bagi winata setelah lelahnya menghadapi pesoalan hidup, pelukan ini adalah tempat kembali bagi winata setelah lelahnya menapaki perjalanan. Begitu damai, begitu menenangkan, pelukan ibunda bisa mengobati segalanya.

“ma, kalau kita dihadapkan di situasi yang sama dua kali, apa yang haris kita lakukan ma?”

tanya winata dalam peluk sang mama, sedangkan sang mama tersenyum dan membelai rambut hitam sang anak, tersenyum karena akhirnya sang putra menceritakan dan membagi beban hidupnya.

“kalau dua kali, berarti adek pernah dihadapkan disituasi yang sama kan?”

Win mengangguk

“coba jujur sama mama, di situasi pertama keputusan apa yang adek ambil?”

“win benci orang itu ma, win benci sama dia ma” win mulai terisak di pelukan sang mama, pikirannya berkecamuk mengingat kembali apa yang day lakukan padanya.

“lalu? Kira-kira anak mama yang manis ini bisa gak maafin dia?”

Win menggeleng dan sang mama tersenyum melihat respon anaknya, ia paham win masih harus dibimbing dan diberi tahu tentang gambaran hidup.

“win sayang, dengerin mama ya?”

Win mengangguk, air mata sudah ada dipelupuk matanya.

“maaf itu gunanya bukan buat mereka sayang, maaf itu gunanya buat adek, buat kamu, buat diri kamu sendiri. Kenapa begitu? Maaf itu bukan tentang melupakan kejadian yang sudah terjadi sayang, maaf itu untuk merelakan apa yang sudah terjadi dan karena kamu pantas mendapatkan ketenangan, kedamaian hidup. Coba jujur sama mama, dengan membenci apa yang adek dapet? Gak ada kan? Yang ada hanya rasa benci dan dendam semakin besar kan? “

Win sudah berairmata dipelukan sang mama, ia mengangguk.

“nah sayang, mulai sekarang jika adek dihadapkan pada hal yang sama kira-kira apa yang harus adek lakukan?”

Win tak menjawab, ia menangis dalam diam, sehancur apapun ia, sekuat apapun ia menyembunyikan masalah, nyatanya sang mama adalah orang nomor satu yang akan menyadarinya meski tak ada satu patah kalimatpun yang terucap.

“sini lihat mama sayang”

sang mama melepaskan pelukannya dan membuat dirinya berhadap-hadapan dengan sang putra, mata sembab winata berbicara semuanya padanya, tak perlu sang putra menceritakan semuanya padanya karena mata tak akan pernah berdusta.

“mama tanya sama adek, adek udah tahu kan kalau membenci itu gak ada gunanya dah bahkan bisa jadi penyakit hati, nah karena adek udah pernah dihadapkan disituasi yang sama, kira-kira keputusan apa yang adek harus ambil sekarang?”

Ia membelai rahang sang putra, ia seperti berkaca sekarang, Winata yang sekarang adalah dirinya ketika masih muda dulu, begitu muda dan rapuh hanya karena masalah hidup yang sebenarnya tak seberat itu.

“maaf ma, win akan maafin untuk kali ini” jawab win seraya menghapus airmata yang masih tersisa.

Sang mama tersenyum dan melebarkan tangannya sebagai tanda untuk kembali memeluk anaknya.

“winata sayang, iya mama paham kalau memberi maaf itu berat dan sulit, tapi bukan berarti tidak bisa.....”

“mama sudah hidup lebih lama dari adek, mama sudah menghadapi manis pahitnya kehidupan. Mama mau dari nasihat mama tadi, kamu gak pernah salah untuk ambil keputusan”

Winata kembali terisak, ia menangis dalam pelukan sang mama.

“iya sayang, kamu anak hebat, kamu anak mama paling kuat dek, makasih udah bertahan sejauh ini ya sayang, makasih sudah bertahan di dunia yang kejam seperti ini, kamu punya mama”

Tangis winata semakin pecah dan menjadi jadi mendengar perkataan sang mama. Perkataan sederhana yang bisa menguatkan dan melapangkan dadanya.

“adek gak harus memberi maaf itu sekarang, bisa nanti seiring berjalannya waktu. Setikdanya untuk saat ini adek sudah tahu kan keputusan apa yang harus di ambil agar tak terulang lagi hal yang sama?”

Winata mengangguk.

“jadi sayang, dengerin mama baik-baik, meski susah dan meski tak mudah, tetaplah jadi winata yang mama kenal ya? Jadilah anak mama yang riang dan pemaaf, mama tahu winata anak baik, mama tahu winata anak mama paling kuat dan paling tegar, adek gak harus pendam semua masalah sendiri sayang, ada mama ada siwi ada kak mesa dan masih banyak lainnya kan” ucap sang mama

“memang win, terkadang ketika manusia mendapat masalah ia akan menyalahkan orang lain atau bahkan menyalahkan keadaan tanpa mau melihat pada dirinya sendiri, lalu gimana cara mama evaluasi diri ketika dulu masih seumuran kamu?”

“mama akan pergi melihat alam dan akan merenung disana, lihatkan dek waduk besar yang ada di depan kamu”

perintah mama dan di turutin winata, ia mengalihkan padangannya pada waduk yang membentang luas didepannya. Begitu indah ciptaan yang maha kuasa.

“lihat dan amati sayang, betapa kecil dan tidak berharganya kita di hadapan alam semesta, jadi? Untuk apa sih hidup untuk membenci, gak ada gunanya kan? Mulai sekarang kalau anaknya mama paling manis ini ada masalah, dibicarakan berdua, di selesaikan dengan kepala dingin”

nasihat itu didengar dan direkam oleh otak winata baik-baik, ia menyimpannya sebagai memori yang tak akan pernah ia lupa.

Win tersenyum melihat dirinya yang begitu kecil dihadapan semesta, ia pernah menyalahkan takdir atas kejadian ini, namun sekarang ia sadar bahwa ialah satu-satunya yang bisa mengubah takdir itu.

“makasih ma” ucap winata dan kembali memeluk sang mama tercinta.

Begitulah, kita memang begitu kecil dan tak berharga dihadapan alam semesta, lalu mengapa memilih untui membenci dari pada saling mencintai dan saling memiliki?

Waduk Sempor Senin, 13 oktober 2019 07:30 Am

.