Marba dan spiegel

Semarang, 20 Desember 2019 Kota lama-05:35 Pm

Brian Pov

Tempat ini masih sama, seperti terakhir kali aku menapakkan jejakku disini bersamamu. Indahnya tetap abadi bersama dirimu di hatiku.

Dua hari lalu aku kembali ke kota ini, kota kecil yang mengisahkan dua remaja yang berjanji untuk melawan dunia bersama – sama. Rasanya setiap sudut kota ini sudah terukir oleh semua kenangan kita, rasanya aku bisa melihatmu dimana-mana.

Kamu ada di Hero cafe, ada di gereja, atau sekedar mengantarku untuk berkeliling kota. Semuanya masih terukir indah dalam memoriku, tak sedetikpun ia mengabu dan hilang, ia masih saja sama, semua masih berwarna meski sudah bertahun-tahun lalu kamu meninggalkanku.

Dulu, ketika aku mengambil studi di New York, aku kira aku akan kembali dalam pelukmu, aku kira kita akan mewujudkan mimpi kita bersama di kota ini, kota kecil yang menjadi saksi bisu kisah kita.

Nyatanya tak juga, hariku menjadi badai yang setiap hari menghancurkanku sampai titik terlemah, setiap detiknya terasa semakin berat dan semakin sesak, kini aku, kesepian.

Hidup ini sangat lucu, jika 3 tahun lalu aku tertawa bersamamu disini, ditempat yang sama aku menatap kosong semua tempat berharga saat ini, hari ini terasa asing dan dingin.

Dulu kamu menggambarkan cinta sejati seperti dua bangunan disana, marba dan spiegel, dua bangunan tua yang terus abadi tak lekang oleh zaman, adakah kita disana win? Adakah marba dan spiegel untuk kita? Apakah ternyata kita hanyalah bangunan tua yang kosong? Yang ditinggalkan pemiliknya sehingga terasa dingin dan asing?

“pesanan anda tuan”

“americano, ice cream mix mint dan plan yogurt”

“terimakasih”

Ku pandangi tiga menu yang aku pesan, tidak aku tak makan es krim apalagi plan yogurt, itu makanan kesukaanmu kan? Iyakan win? Aku memesankannya untukmu sore ini.

Es krim itu terus meleleh dan menjadi air, Begitukah? Seperti itukah sebuah rasa? Ia akan berubah seiring perbedaan yang semakin terasa, namun nyatanya rasaku tak pernah berubah apalagi berbeda, rasa itu tetap ada disini, bertahta selamanya dalam hatiku.

Senja sudah digeser oleh malam, semburat indahnya kini menjadi gelap yang sangat petang, jika saja kamu masih disini, pasti kamu sudah mengajakku keliling kota lama kan? Pasti kamu sudah sibuk mengoceh dan menceritakan sejarah setiap jengkal bangunan nya.

Aku tersenyum kecut disana, dimana aku tak akan bisa mengulang waktu yang sudah berlalu, dimana aku masih memilikimu, dimana kamu masih ada disini, bersamaku.

Kamu pernah bilang padaku kalau setiap bangunan disini menyimpan kisahnya masing-masing kan? Namun bagiku, setiap sudut kota ini menyimpan cerita tentangmu, tentang kita berdua yang berjanji melawan dunia bersama.

Ahhhh, suasana disini membawaku bernostalgia ke masa bertahun-tahun lalu, bohong jika aku tak rindu kota Semarang, maka dari itu aku kembali kesini.

Maaf aku belum sempat berkunjung dirumahmu, tenanglah di keabadianmu kekasih, maaf jika perih ini masih terus aku akrabi, maaf jika kisah kita masih aku ingat dan aku jaga, karena bagiku cintaku tak akan beralih, aku sudah menjatuhkan hatiku padamu, Winata adiyasa.

Semakin malam semakin terasa dingin dan sunyi, bangunan tua ini seperti mengingatkan dan mengejekku karena kesendirian yang aku akrabi dari beberapa tahun lalu.

Es krim itu kini sudah kehilagan dinginnya, ia berubah total menjadi air gula, pun yogurt itu yang sudah mengembun tak lagi dingin, sepertinya susah waktunya untuk pulang.

Aku berjalan ke kasir untuk membayar pesananku dan segera keluar kafe ini, aku berjalan cepat sambil memasukkan dompetku dalam handbag hingga aku tak memperhatikan didepan pintu

BRUKKKKK

“awwwwww”

Aku kenal suara itu

“mas kalau jalan hati – hati dong, sakit nih kepalaku”

Iya, aku mengenal suara itu, tapi tidak mungkin itu dia, dia sudah tenang disana.

“Wi..... Win?”

“ya? Kenapa? Bukannya minta maaf kok malah panggil-panggil sih”

“winata adiyasa? Kamu Winata adiyasa?”

tanyaku memastikan, kakiku lemas melihat sosok ini, ia sama, sama persis tak berbeda sedikitpun seperti terakhir kali mentantarku pergi ke bandara.

“hah? Siapa? Maaf salah orang mungkin”

“kenapa taa? Kok gak masuk?” seorang pria muncul dibelakang nya, siapa dia? Ada hubungan apa?

“ini kak luke, tadi meta kedorong mas ini nih, jalan gak lihat-lihat” meta? Meta siapa? Bukannya namanya winata? Winata adiyasa?

“mas kalau jalan hati – hati ya, kasian pacar jatuh gini....”

Pacar? Mereka berstatus pacar?

“sini sini kak luke bantu berdiri, yuk katanya mau makan eskrim mint sama yogurt kan? Yuk”

Eskrim mint? Yogurt? Aku mengenal makanan itu, mengenal dengan segenap hati dan pikir ku.

Setelahnya mereka melewati dan meninggalkanku dalam kecamuk pikiran yang satu persatu muncul pertanyaan tak masuk akal.

Apakah itu winata? Atau meta? Seperti yang diucapkan lelaki bernama luke tadi?