Melepas kenangan

Pagi ini aku jatuh di pematang sawah, lumpur mengotori baju dan celanaku hingga terlihat kotor dan menghitam.

Lalu apa yang aku lakukan? Menggerutukah aku dengan kebodohan dan kecerobohanku? Ah tidak, nyatanya aku malah tertawa terbahak-bahak seperti orang gila karena mengingat inilah hal yang dulu selalu kita lakukan.

Berlarian dan berkejaran di pematang sawah hingga lumpur mengotori badan dua anak manusia yang tawanya direnggut senja.

Aku tertawa hingga air mata memenuhi pelupuk mataku, rasanya seperti kamu masih di sini untuk mengejarku hingga kita terjatuh dan sama-sama tertawa karenanya. Iya, rasanya senyata itu.... seakan kamu ada di sini...bersamaku.

Lalu aku terdiam sejenak, melihat sosok dua anak manusia yang berlarian dengan bunga alang-alang yang beterbangan diantaranya, mereka nampak seperti kita, seperti aku dan kamu.

Setelahnya aku kembali tertawa hingga berair mata, nafasku terasa sesak, rongga dadaku terasa terbakar, pikiranku melayang hanya karena aku tak kuasa melepas kenangan.

Saat seperti inilah ingatan tentangmu menjajah pikiranku tanpa ampun, aku dan kamu.... adalah sebuah perpisahan tanpa kata selamat tinggal.

Bagaimana bisa aku bercita-cita untuk bisa melupakan bahkan membencimu jika ingatan dan kenangan tenangmu masih sehidup itu di hati dan fikiranku?

Jika aku meneriakkan namamu apakah kamu akan kembali? Andai saja kita tak pernah tumbuh dewasa, mungkin saja kita masih berada di sini berbagi cerita, mungkin saja aku tak perlu sendiri.... berteman dengan sepi.

Katakan jika aku agois karena nyatanya aku benci menjadi dewasa, aku benci bagaimana dia mengubah kita yang dulu sedekat nadi kini menjadi orang asing yang tak pernah bertegur sapa, aku benci bagaimana ia mengubah musim panas yang hangat menjadi musim dingin yang membuatku menggigil lalu mati dalam dingin.

Kembalilah aku masih menunggumu, Kembalilah... Aku selalu merindukanmu.