Que Sera Sera


Please listen to:

“Loh kok kakak belum bobo?” Wisnu baru saja mengintip dari celah pintu kamar Ronan, ia mendapati si buah hati masih terjaga padahal jarum pendek menunjuk angka sepuluh.

Ronan hanya menggeleng, matanya mengikuti tiap gerakan Wisnu sampai duduk di atas ranjang.

“Pipi juga belum bobo” alih-alih menjawab, Ronan malah balik bertanya, ia bangun dan duduk bersila.

Wisnu tersenyum, kedua tangannya membingkai wajah putra semata wayangnya “Iya sayang, Pipi lagi nungguin Papa pulang”

Jemari mungil Ronan ikut memegang tangan Wisnu “Kok sekarang Papa pulang malam terus ya Piiiii” ucapnya penuh penakanan di akhir sampai memamerkan deretan gigi susunya.

Sekarang Wisnu terkekeh “Papa kerja sampai malam biar kakak sama Pipi bisa jalan-jalan, kakak suka jalan-jalan ke taman kan?” kedua jempolnya mengusap pipi bulat yang ada di tangkupan tangannya.

Ronan mengangguk “Pipiiii…”

“Iya kak, kenapa?” dibawanya tubuh mungil itu dalam peluknya.

“Pipi udah kasih nama adeknya kakak belum?” jemari Ronan meraba perut Wisnu yang semakin membola.

“Hmm…belum deh kayaknya kak, kenapa? Kakak mau kasih nama adek? Iya?” Wisnu menyambut tangan Ronan untuk ia tempelkan ke perutnya untuk merasakan bagaimana gerakan-gerakan kecil si buah hati yang kegirangan disapa sang kakak.

“Kakak kerasa nggak?” imbuhnya nyaris berbisik.

Ronan tersenyum lebar, dari sudut bibir kiri dan kanan, matanya melengkung seperti bulan sabit “Adek suka main bola ya? kakak juga suka, adek jangan lama-lama di dalam yaaaaa? Kakak udah nggak sabar mau main sama adek, nanti kita main bola di taman yaaaa?”

Hati Wisnu menghangat melihat bagaimana Ronan yang asik bermonolog.

“Kakak sayang ya sama adek?” dibawanya kepala Ronan untuk bersandar di dada, lalu tangan kanannya membelai rambut hitam Ronan berkali-kali.

“Sayang banget Piiii, kakak udah buat nama buat adek”

“Oh iya? Pipi boleh tau siapa namanya?”

“Tapi jangan kasih tau Papa ya Pii?”

“Eh? Kenapa?”

“Rahasia”

Wisnu tertawa pendek “Iya, Pipi promise nggak ngasih tau Papa, biar jadi rahasia kecil kita, okey?”

Jari kelingking mereka bertaut.

“Jadiiiiii kakak mau kasih nama adek tuh Gemini”

Alis Wisnu mengernyit “Gemini?”

Anggukan menjadi pilihan Ronan untuk memberi jawaban, lalu ia menguap tanda kantuk tak benar-benar lepas dari benak anak empat tahun itu.

“Yaudah, nanti Pipi simpan namanya ya? sekarang kan kakak udah ngantuk, bobo yuk?” Wisnu mencoba membujuk meski ia tau kalau Ronan sedang menunggu sang Papa untuk pulang.

“Mau Pipi nyanyiin pakai piano?”

Ronan mengangguk, sepertinya bocah itu sedang bertahan mati-matian dari serangan kantuk, dari tadi hanya menggeleng dan mengangguk.

“Tapi janji sama Papi ya, abis itu kita bobo, okey?”

“Promise” kelingking mereka bertaut, lagi.

Wisnu turun dari ranjang, kaki telanjangnya melewati ceceran mobil balap dan dinosaurus plastik pemberian Nattawin sebagai hadiah ulang tahun Ronan, ia sampai di sudut ruangan di mana piano yang dulunya diberikan Jeffano berada.

Jemari itu mulai menekan-nekan tuts piano, Wisnu memainkan lagu yang biasa ia lantunkan sejak Ronan masih ada di dalam kandungan.

When i was just a little boy, i asked my father what will i be…” dan jari-jari Wisnu bergerak lincah.

Will i be handsome? Will i be rich…

Here’s what he said to me…

Que sera sera

Whatever will be, will be…

The future’s not ours to see…

Que sera sera

What will be, will be…

Now i have children of my own…

They ask their father, what will i be…

Will i be handsome? Will i be rich?

I tell him tenderly…

Que sera sera

Whatever will be, will be…

The future’s not ours to see…

Que sera sera

What will be, will be…

The future’s not ours to see…

Tuts terakhir telah Wisnu tekan, saat menoleh ke ranjang ia dapati Ronan sudah tertidur pulas, lalu samar-samar suara mobil menggema di halaman.

Pukul setengah sebelas malam, Wira membuka kenop pintu dengan sangat perlahan, mencoba tak membuat suara yang dapat membangunkan Wisnu dan Ronan.

“Baru pulang mas?”

“Eh…kamu belum tidur?” Wira tersenyum canggung dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Tadi abis nemenin Ronan” jawabnya sembari berjalan mendekat ke Wira “Sini aku bantuin ngelepas jas”

Wira hanya diam, memboarkan Wisnu melepaskan jas yang ia kenakan.

“Mas udah makan? Aku tadi masak lauk kesukaan mas” jas itu sudah tersampir di tangan Wisnu.

“Udah kok sayang, aku mau mandi dulu deh, gerah”

“Eh mas tunggu” Wisnu mencegah Wira pergi, ia menatap sang suami dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“K-Kenapa?”

“Ini kenapa ujung kemejanya keluar gini? Tumben loh mas kamu nggak rapi, ini kemejanya juga agak kusut”

“O-Oh ini tadi pagi kan aku buru-buru, jadi kelupaan gitu, biasa lah” kelitnya mencoba merapikan kemeja ke dalam celana.

“Terus ini? resleting celana kamu turun setengah loh mas? Jangan bilang kelupaan dari pagi juga? Enggak kan mas” Wisnu menarik resleting celana Wira yang setengah terbuka sampai tertutup sempurna.

“Enggak kok, e-enggak…tadi tuh pas perjalanan pulang mas kebelet pipis, mungkin tadi abis dari toilet terus cepet-cepet balik ke mobil lagi”

Wisnu menyipitkan mata, lalu mengangguk “Yaudah sana mandi, aku siapin pakaian gantinya”

Wira tersenyum dan mengecup puncak kepala Wisnu “Makasih sayang” ujarnya sebelum berlalu pergi.

Ekspresi wajah Wisnu langsung berubah ketika Wira meninggalkannya sendiri, seyum palsu yang ia pasang perlahan mulai memudar, pikirannya penuh dengan kemeja lusuh, ujung kemeja acak-acakan dan resleting celana suaminya yang terbuka.

Lalu aroma parfum menguar dari jas yang ada di genggamannya, ia tidak mengenali aroma ini, untuk memastikannya, Wisnu mencium kemeja itu sekali lagi, ada tanda tanya besar di dalam benaknya karena wangi parfum ini bukan miliknya dan bukan punya Wira.

⸺love actually

©bbrightmewin