Sesal Sabtu, 14 Desember 2019 11:10 Am

Bright dan Gawin ada di depan Gedung, seluruh tamu undangan sudah masuk dan menempati tempat duduknya masing-masing.

Sebuah kehormatan besar bagi Bright yang menjadi narasumber dalam acara penting ini, reputasinya sebagai psikolog PIO benar-benar bagus di kalangan Himpsi.

“mana handphone nya, gue bawa aja”

Gawin menengadahkan tangannya di depan Bright, meminta HP untuk ia simpan.

“biar adil, HP lo juga, simpen aja di loker deh, ambil lagi kalau udah selesai acaranya”

“oke, deal”

Gawin memasukkan kedua ponsel mereka dalam handbag yang selanjutnya ia simpan di dalam loker yang tersedia di luat Gedung ini.

***

Acara berjalan khidmat, baik Narasumber dan peserta larut dalam topik perbincangan yang menarik untuk di bahas dan di kupas bersama. Seminar itu sudah layaknya seperti forum diskusi untuk saling bertukar isi kepala.

Tanpa sadar langit yang semula cerah kini sudah menghitam, rintiknya mulai jatuh, entah itu sebuah pertanda atau memang sudah memasuki musim penghujan.

Tepat pukul 6 sore acara itu telah selesai, peserta satu persatu mengosongkan ruangan, hanya tersisa beberapa panitia dan anggota Himpsi saja. Disana juga ada Bright dan Gawin yang tersenyum cerah karena menyadari acara hari ini berjalan lancar dan menyenangkan.

Bright berjalan menuju jendela Gedung, disana ia melihat Semarang yang sedang diguyur hujan dengan derasnya, ada satu perasaan yang janggal di benaknya, entah itu apa, ia tak bisa mengingatnya dengan jelas.

Hujan itu membuat kaca jendela berembun, mengaburkan pandangannya pada dunia diluar kaca.

“pak Bright, mari pak acara dinnernya akan segera di mulai, mari saya antarkan”

Ujar seseorang yang membuyarkan Bright dari lamunan, ternyata saat ini hanya dirinya yang tersisa di ruangan ini, Gawin pun sudah tak ada.

Bright tersenyum, ia paham kalau menolak jamuan makan malam itu tidak sopan, apalagi dalam forum sesama rekan sejawat. Jadilah ia mengikuti acara dinner itu.

Disana sudah ada Gawin yang sudah duduk manis seraya berbincang – bincang dengan rekan psikolog lainnya, ternyata Bright adalah orang terakhir yang datang di meja ini.

Tak terasa memang, berbincang dalam acara makan malam ditemani suara hujan di luar sana yang semakin menggila membuat beberapa orang memutuskan untuk stay lebih lama dari pada memilih opsi untuk pulang dan undur diri, karena sadar langit sedang murka malam ini. Bright dan Gawin salah satu dari orang – orang itu.

Tepat pukul 09:15 malam mereka semua sepakat untuk mengakhiri acara hari ini, mereka sepakat untuk segera pulang dan beristirahat.

“Thanks Bright, lo hebat hari ini”

Gawin memuji rekannya itu, memang fakta bahwa Bright memiliki metode dan cara sendiri untuk membawa peserta seminar ikut serta dalam kegiatan itu adalah ciri khas Bright yang sudah dikenal banyak kalangan.

“makasih juga lo udah mau nemenin Gue”

Gawin memberikan jempolnya.

“yaudah gue pulang dulu, udah larut juga” Bright undur diri kali ini.

Ia segera masuk dalam lift dan meninggalkan Gawin disana.

Ketika pintu lift sudah tertutup mengantarkan Bright menuju lantai dasar, Gawin tersadar kalau kedua ponsel mereka ada dalam loker, dengan buru-buru Gawin mengambil ponsel mereka dan menyusul Bright yang sudah duluan turun di lantai dasar.

Gawin berlari sekencang mungkin menyusul Bright, berharap kawannya itu belum meninggalkan pelataran gedung ini, disana Gawin mendapati Bright sedang berada di luar Gedung.

“Bright ponsel lo nih, untung gue inget”

Gawin menyerahkan ponsel milik Bright.

“thanks, gue juga lupa tadi ahaha lo tau sendiri gue suka kelupaan kalo udah fokus sama sesuatu”

“kurang – kurangin deh lo, udah kaya bapak – bapak pikun aja” canda Gawin sebelum ia berpisah dengan Bright.

***

Di dalam mobil, Bright merebahkan punggungnya, hujan masih deras diluar sana membuat suasana semakin dingin menusuk kulit.

Di bukanya ponsel yang ada di genggamannya, ia belum sempat mengecek ponselnya yang tadi diserahkan Gawin padanya.

Mata nya terbelalak, jantungnya berdegup kencang melihat notifikasi dari winata, banyak panggilan tak terjawab dan puluhan pesan singkat disana. Bright meruntuki diri sendiri yang lupa dengan janji yang ia punya pada winata di hero cafe.

Dengan segera ia menghidupkan mesin mobil untuk menuju kafe tersebut, berharap win masih ada disana untuk menunggunya.

Mobil itu memecah derasnya hujan di kota Semarang, Bright mengendarainya dengan kecepatan diatas rata-rata, ia di dera rasa bersalah yang luar biasa saat ini, pikirannya kalut membayangkan winata yang berjam-jam menunggunya tanpa kepastian.

Tak lama, dari Gedung seminar menuju hero cafe hanya di tempuh Bright selama 15 menit, ia sampai disana, di depan cafe tempat mereka berjanji untuk bertemu melepas rindu. Saat ini sudah pukul 09:30 malam, hanya sepi dan sunyi yang tersisa di dantara derit bangunan tua.

Bright segera turun dan mendapati kalau kafe ini sudah tutup, pintunya terkunci rapat-rapat, tak ia dapati sosok winata di sekitar kafe ini, tak ada si manis yang menunggu kedatangannya yang luar bisa terlambat ini.

Ia mengacak rambutnya, ia pasrah dan kalut menyadari lagi-lagi ia membuat kesalahan, dilihatnya hujan yang semakin deras menemaninya dalam rasa bersalah dan sesal, jika saja tadi ia berusaha mengingatnya lebih keras lagi saat di jendela gedung seminar, jika saja ia sadar dengan acara dinner itu, jika saja ia bisa menolak ajakan itu, jika saja dan banyak jika saja di kepala Bright saat ini, mereka berlomba-lomba membuat pikiran Bright kacau dan terus didera rasa bersalah.

Hingga terlintas sebuah ide untuk segera menyusul winata pulang, menemuinya di kediamannya, sekali lagi mencoba meminta maaf, sekali lagi meminta kesempatan yang seharusnya sudah ia dapatkan

Jika saja tidak berakhir seperti ini, cincin yang ada di saku Bright mungkin sudah melingkar di jari manis winata. Dan jika saja ia tak terlambat, namun Bagaimanapun waktu tak bisa diputar bukan?

Semarang, 14 Oktober 2019 Bright dan sesal 09:30 Pm