Should i stay or should i give up?

Rumah Bright 12:10 Pm

Mobil Winata sampai di sebuah rumah, rumah yang terakhir kali ia kunjungi namun menemukan fakta yang pahit bahwa dunia Bright mungkin tak akan sama lagi setelahnya.

Namun bagaiamanapun Winata mencoba menerima semuanya, mencoba mengulangi semuanya dari awal lagi.

Didalam mobil ia mencoba menyingkirkan semua keraguan dan semua dinding ego yang ia punya.

“okay Win, u can do it

Ucapnya pada dirinya sendiri, setelahnya ia mengambil kado yang sudah ia beli dan ia pilihkan untuk Bright di dashboard.

Dengan langkah yang mantab karena telah menguatkan hatinya, ia berjalan menuju ambang pintu, sesampainya di sana Winata tak langsung mengetuk pintu ataupun menekan bel yang ada di pintu, ia mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya.

“hufftttt”

TING TONG

Tidak ada jawaban

TING TONG

TING TONG

“iyaa sebentar”

Samar-samar, Winata bisa mendengar suara Bright dari dalam sana, rasa gugupnya semakin besar, ia akan bertemu dengan Bright sebentar lagi, hanya pintu ini yang menjadi pembatas mereka.

Ditengah Winata yang mencoba meyakinkan dirinya untuk terus berdiri disini atau berlari menuju mobi, Bright lebih dulu membukakan pintu itu untuknya.

CEKLEKK

Mereka berdua sama-sama mematung ketika mata mereka saling memandang satu sama lain.

Ada bahasa hati yang tidak bisa mereka artikan sendiri.

“h-hai mas” ucap Win terbata.

Bright pun sama, ia terkejut mendapati Winata yang sudah ada di depan pintu rumahnya. Ia memaksakan sebuah senyuman pada orang di depannya itu.

“hai Win, long time no see, kemana aja?”

Win menundukkan kepalanya dan memainkan kukunya, ia gugup dan malu di saat yang sama, Bright semakin tampan dan menawan dimatanya sejak terakhir kali ia merawatnya di rumah sakit tanggal 26 desember lalu.

can we talk 'bout it di dalam aja mas?”

Bright tersenyum lagi menanggapinya, bisa melihat Winata lagi saja ia sudah bersyukur dalam hatinya.

sure, come in

Ujarnya seraya membentangkan pintu rumahnya lebar-lebar, seakan sebagai pertanda kalau Winata akan selalu di terima disino.


Ruang Tengah

Mereka berdua duduk berhadap-hadapan di sofa, Winata yang menundukkan kepalanya kebawah tak berani menatap mata Bright.

“jadi.....apa yang membawamu kemari win?”

Suara Bright samar-samar terdengar dari dapur, ia membawa dua gelas air minum disana dan menyerahkan satu gelas itu pada Winata.

“makasih mas” ia tersenyum sembari menerima segelas minuman itu.

Setelahnya Winata meminum beberapa tegukan untuk menghargai apa yang dilakukan Bright untuknya.

glek

glek

glek

Selama ia minum, mata Bright tak pernah lepas untuk memandangnya dan itu disadari oleh Winata.

“m-mas...”

Sadar kalau Winata baru saja menegurnya, Bright langsung mengedarkan pandangannya ke arah lain.

“eh.... Maaf Win”

“mas.... i-ini ada kado dari Win buat mas...”

Ia menyerahkan kado itu ke tangan Bright sambil tersenyum canggung.

“ah....kamu tak perlu melakukan ini Win, tapi...”

Bright menatap mata Winata dalam, mencari jawaban dan harapan yang masih ia harapkan.

“terimakasih”

Winata hanya tersenyum sebagai respon perkataan Bright, lalu diam itu menyambangi mereka berdua, tak tahu apa yang akan mereka bicarakan hingga keduanya memilih diam dan menjadi canggung beberapa saat.

“selamat ulang tahun yang ke 28 ya mas, semoga semua hal yang mau dicapai bisa terwujud”

Ucapnya tiba-tiba karena tak memiliki topik apa yang akan ia bahas.

“dan jika kalau aku mau meraihmu? Apakah bisa?”

Balas Bright menatap Winata dengan tatapan serius, pun Winata yang sadar kalau Bright tak sedang bermain-main memutuskan untuk mengatakannya sekarang juga.

“tapi ada satu hal yang harus mas tahu, mas harus jujur sama aku, can you?”

Mendengar jawaban Winata memberikan sepercik harapan di hati Bright, bahwa semuanya masih mungkin diulang lagi, masih bisa diputar ulang lagi.

Ia mengangguk menanggapi pertanyaan Winata.

Yang lebih muda mengambil nafas sebanyak mungkin ia bisa hirup, lalu ia hembuskan semuanya bersama keraguan dan kegundahan yang merajai hati dan pikirannya beberapa hari terakhir.

“sudah berapa lama?”

“apanya?”

“dory syndrom”

Jawab Winata pelan, namun matanya masih tak lepas dari tatapan mata Bright.

Sedangkan Bright yang terkejut hanya bisa terdiam, ia tak menyangka kalau Winata tahu hal ini sebelum ia memberitahunya sendiri.

“itu.... Ummm.... S-sebenarnya”

“kenapa mas gak bilang sama Win? Kenapa mas?”

Mata Winata mulai berair, ia bisa saja menangis detik ini juga.

“aku cuma mau mas bilang, bukan di sembunyikan kayak gini mas.... Hiks.... A-aku takut mas...”

Jatuh sudah air matanya, ia tak bisa menahannya lagi, sesuatu yang ia tahan selama beberapa hari nyatanya meledak detik ini juga.

“aku takut kalau suatu hari mas lupa..... win takut mas... Hiks”

ia menundukkan kepalanya di dada Bright, dan yang lebih tua langsung memeluknya erat, ada rasa bersalah dan rasa bahagia yang ia rasakan.

Bersalah karena tak memberitahu Winata tentang hal ini, dan senang mendapati kenyataan bahwa Winata masih mencintainya hingga takut kehilangan dirinya.

“ssshhhh....iya Win iya.... Jangan nangis ya, mas nanti sedih juga”

Ia membelai rambut Winata, menenangkannya agar tangis yang lebih muda mereda.

“mas minta maaf Win, tapi sejujurnya walaupun mas mau memberitahumu, mas sendiri gak yakin waktunya tepat, ingat kan?”

Winata mengangguk, ia ingat betul bahwa dirinyalah yang menolak Bright saat itu di lantai 7, ia ingat sekali.

“jadi ini alasanmu gak datang ke rumah sakit? Kamu baca surat yang ada di nakas?”

Winata mengangguk lagi, terlihat seperti sedang bermanja di dada yang lebih tua, sedangkan Bright dengan sabar menenangkan dan membelai rambutnya.

“mas juga mau bilang terimakasih, kamu kan yang rapiin kamar mas waktu itu?”

“i-iya..... Mas”

Panggil Winata lirih.

“iya? Kenapa hmm?”

Dalam keadaan sedekat ini, Winata bisa merasakan suara Bright yang terdengar lebih keras melalui telinga yang menempel di dada yang lebih tua.

“cincinnya masih ada?”

DEGGGGG

Jantung Bright berdetak cepat setelah mendengar apa yang dikatakan Winata.

“masih kok, kenapa?”

“mas masih ingat? Hari itu Win bilang kalau mas tak bosan menunggu maka Win akan kembali lagi?”

Winata memegang tangan Bright dan menggenggamnya erat.

“dan jika mas masih menunggu....”

Ia menjeda beberapa saat dan merasakan detak jantung Bright semakin cepat, ia bisa mendengarnya dan Winata hanya bisa tersenyum karenanya, debaran itu masih ada ternayata, tak pernah benar-benar pergi.

“maka penantian itu sudah selesai mas”

“hah? Maksudnya Win?”

Ia langsung memegang kedua pundak Winata dan membuat yang lebih muda duduk berhadapan dengannya, ia menatap mata Winata lekat-lekat.

Winata memberikan senyuman manisnya, dan berkata.

“mana cincinnya?”

Rasa senang itu membuat Bright melalukan sesuatu diluar kendalinya, ia langsung membawa Winata dalam gendongannya dan ia bawa menuju kamarnya.

“m-mas ma... Mau ngapain?”

Win tak bisa tenang, apa yang akan dilakukan Bright padanya.

Sesampainya di atas ranjang, Bright menurunkan Winata diatasnya dan mengambil cincin diatas nakasnya.

“ini win, ini cincinnya”

Ia meraih jari manis Winata dan memasangkan cincin yang terukir namanya sendiri, Bright Vachirawit terukir di cincin itu dan melingkar manis di tangan Winata. Sangat pas seakan memang ditakdirkan untuk melingkar dijari manis Winata.

“terimakasih Win, terimakasih udah ngasih mas kesempatan lagi”

Ia tersenyum lebar, hatinya luar biasa bahagia, pun itu yang dirasakan oleh Winata.

“maaf Winata gak bisa ngasih apa – apa mas”

Ujarnya seraya menatap wajah Bright yang tepat ada didepannya.

“tapi kamu bisa ngasih mas sebuah ciuman bukan? Dan kali ini sudah resmi kan?”

Jawab Bright dengan antusias.

“tunggu apa lagi? Kemarilah mas”

Dan Bright semakin mendekat, namun Winata semakin mundur hingga Bright terus bergerak seakan sedang mengungkungnya.

CUPPP

ciuman itu terjadi, kali ini penuh cinta dan perasaan.