Tabula Rasa

***

Huft, gimana kabar kalian hari ini? Kuharap sehat-sehat ya? Semenjak ramainya TL semalam aku memilih untuk kembali berkutat di depan laptop yang mungkin saja akan menghasilkan sesuatu yang bisa kalian baca. Aku tahu ini gak mudah buat ku, buat kalian, dan gak mudah bagi siapapun. Tapi aku tahu kita bisa melalui semua ini.

*** Introduction:

¬Thyme 25 Tahun ¬Solo Traveler

¬Kavin 22 Tahun ¬Guide Tour

***

Aku membenci gay sebanyak jumlah rambut yang ada di badanku. Mengapa mereka harus melawan takdir? Tak bisakah mereka patuh pada hukum alam? Lebih dari segalanya, aku tak mau bersinggungan dengan mereka.

***

Aku sampai di Semarang, bukan keinginanku untuk terdampar di kota ini, ayahlah yang membelikanku tiket pesawat untuk bisa kesini.

Sejujurnya aku benci wisata domestik, aku lebih suka berwisata ke paris atau ke London, bukan apa-apa, memangnya apa yang menarik dari wisata domestik? Kau hanya akan melihat sampah dimana-mana dan asap kendaraan yang dengan lancang masuk ke paru-parumu.

“siang tuan, saya Kavin yang akan menjadi Guide Tour anda”

“Siang”

“Tuan....?”

“Ya?”

“Maaf, maksud saya, Boleh saya tahu nama tuan?

“Kenapa kau harus tahu? Kerjaanmu hanyalah untuk mengantar dan berbicara bukan?”

“Maaf tuan, mari saya antar menuju hotel”

Aku mengekor di belakang pemuda ini, masih muda mengapa harus jadi Guide Tour? Bukankah pekerjaan itu identik dengan orang usia 30-40 an? Bukankah dia terlalu muda untuk bisa jadi Guide Tour?

Didalam mobil aku hanya diam, tak ingin berinteraksi dengan pemuda bernama Kavin ini, bukan apa-apa, aku memang tak mudah akrab dengan orang asing, apalagi orang asing yang memang bekerja dibayar untuk terus berbicara dan mengoceh.

“Jadi objek wisata mana yang ingin tuan kunjungi?”

“gak tau”

“apakah tuan sudah pernah ke kota lama?”

“never”

“wisata alam di ungaran mungkin?”

Aku memutar mata, bukankah sudah jelas kalau aku belum pernah kemari?

“lalu apa yang membawa anda kemari? Apakah ingin berwisata? Atau sekedar tugas kantor saja?”

“kamu banyak bicara ya vin, pantas memang jadi Guide Tour”

“ahahahaha terimakasih pujiannya tuan, ya begitulah”

Pujian? Apakah itu terdengar seperti pujian? Bahkan aku tak mengucapkannya dengan nada memuji.

“berapa lama anda akan stay disini tuan?”

“tiga hari kurang lebih, sebelum saya pergi ke belanda”

Ia mengangguk, masih fokus pada jalan yang mulai padat.

“untuk hari ini anda bisa beristirahat di hotel, baru besoknya saya akan menemani anda mengenal Semarang lebih jauh”

“mengenal Semarang huh?”

“yup, saya akan memperlihatkan anda kalau wisata domestik juga tak kalah indahnya dengan wisata mancanegara........”

“bahkan banyak turis dari berbagai belahan dunia yang jauh-jauh hanya ingin kemari”

“terserah, sekarang bisakah kamu fokus untuk lebih cepat membawaku ke hotel? Jujur saja kepalaku agak pusing semenjak dibandara”

“aku-kamu? Baiklah, aku akan menyesuaikan kemauan anda tuan...... Thyme?”

Dia membaca nametag yang aku taruh di dashboard mobil.

“iya, panggil aja Thyme”

Ia tersenyum, cerah sekali bahkan rasa – rasanya ia memberikan senyum itu dengan tulus, ah tidak. Ia memang dibayar untuk itu, untuk tersenyum dan selalu ramah dengan pengguna jasanya.

Mobil memasuki pelataran hotel, nuansa vintage kuat sekali disini, aku merasakan sentuhan arsitektur Belanda, bahkan rasanya seperti dibawa ke amsterdam.

“sudah sampai tuan, mari saya antarkan”

“bisa bawakan barang-barangku ke kamar sekalian?”

“tentu, sini kubawakan”

Kacau, sangat kacau sekali penggunaan saya-anda dan aku-kamu saat ini, tapi siapa peduli? Aku hanya akan disini tiga hari dan mungkin di hari keempat aku sudah lupa dengan semua yang ada disini.

Aku berjalan menuju kamar nomor 309 sesuai dengan nomor yang ada di kartu. Selama di dalam lift aku hanya diam. Ia pun sama tak seaktif ketika di dalam mobil.

“kamu pendiam sekali Thyme, atau memang sikapmu yang dingin?”

“hmm? Begitukah? Itukah kesan pertamamu padaku? Bagus”

“apanya yang bagus? Sesekali cobalah lebih ramah pada orang lain, maksudku bukan ke aku, ke orang-orang lain yang baru kamu temui”

“memangnya apa untungnya?”

“entah, lupakan yang aku katakan barusan, beristirahatlah setelah ini, aku akan menunggumu di lobi hotel besok tepat jam 9 pagi”

Aku mengangguk

“lebih baik kau tepat waktu”

“sure”

TINGGGGGG

Kami berjalan beriringan, matanya mencari-cari kamar denga Tag nomor 309.

“nah ini dia, udah sampai. Silahkan istirahat, kamu bisa hubungi aku di nomor ini”

Ia memberikanku sebuah kartu, disana tertulis nama dan nomor telfonnya.

“baiklah, lebih baik kau tak mengoceh kalau aku butuh bantuanmu tengah malam”

“memangnya bantuan seperti apa yang kamu minta tengah malam? Ada-ada saja hahahhahaa.....”

“udah ya, aku mau turun ke lobi, selamat istirahat”

Setelahnya ia pergi belalu, menghilang dalam lift yang mengantarnya kelantai dasar.