Take me home Slawi 12 oktober 2019 08:00 Pm

Winata terbangun dengan keadaan kepala yang masih nyeri, sekelibat wajah bright dan day masih ada dipikirannya kian membuatnya pusing sendiri, ia terbaring di sebuah kamar dan di sofa sana ada orang yang ia kenal namun ia ragu untuk mengenalinya, apakah itu bright atau day?

Jam menunjukkan pukul 8 malam, selama itu winata tak sadarkan diri karena shook yang ia alami, jika bisa ia sudah berlari dan pulang menggunakan taksi saat ini, namun tubuhnya masih lemas bahkan sekedar menggerakkan kaki rasanya masih berat.

Winata mencoba mengingat kembali apa yang terjadi, samar-samar yang muncul di ingatannya adalah bagaimana day menipu dan memanipulasinya ketika di kamar mandi, ia merasa terbodohi, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri, ia merasa tak pantas untuk siapapun, jadilah ia menangis disana, diatas ranjang winata menangis dan menertawai takdir yang terus mempermainkannya.

Winata terisak, isakannya kian terdengar meski ia mencoba menangis dalam diam, rasa sakit dan perihnya seakan menjadi luka baru lagi, Bright yang tertidur disofa samar-samar mendengar isakan itu, membuatnya terbangun dari tidur dan langsung sadar kalau itu adalah isakan winata.

“win? Win udah bangun? No, don’t cry”

ucap bright yang langsung bangkit dari sofa dan mendekat ke ranjang, diambilnya kursi di sebelah nakas dan ia duduk disebelah ranjag, tepat disamping winata.

Win yang tengah berairmata itu melirik pada Bright, hanya jas hitam itulah caranya membedakan antara bright dan day.

“mas…”

“iya win, iya mas ada disini”

jawab Bright seraya membawa tangan winata dalam genggamannya. Namun yang terjadi selanjutnya membuat Bright tercengang, winata menarik tangannya yang tengah ada dalam genggaman bright, menarik dan menepis kembali ketika bright akan menyentuh tangannya.

“win mas bisa jela….”

“take me home mas” ujar winata membuang pandangannya kearah berlawanan dengan bright.

“win kita bisa pulang besok”

“no, take me home right now” jawab winata dengan isakan disana.

Rasa sakit dan perih itu terus menghancurkannya hingga berair mata. Bright mengangguk, ia paham kalau ia telah melakukan kesalahan fatal. Kesalahan yang ia tak tahu bagaimana menebus dan meminta maafnya.

***

Perjalanan pulang itu terasa sangat lama, berbanding terbalik dengan perjalanan mereka ketika berangkat, perjalanan kali ini tak ada tawa dari bright maupun winata, tak ada obloran-obrolan hangat, hanya tersisa sunyi dan diam diantara mereka berdua serta dinginnya suasana.

Ada winata yang membuang pandangannya kearah jendela dan ada bright yang tak tahu menjelaskan dari mana. mobil mereka melaju kencang dari Slawi menuju Semarang, mengantarkan winata untuk segera pulang sesuai keinginannya.

Pukul 10:20 malam mereka sampai di pelataran Graha Estetika, mesin mobil dimatikan dan tertinggal sunyi yang menggantung diantara mereka berdua.

“sejak kapan?” suara win memecah kesepian diantara keduanya.

“maaf win, mas gak bermaksud untuk nutupin ke kamu soal i….”

“but you did it mas, sejak kapan? Just tell me the truth even it hurts for me mas, just tell me”

winata menahan air mata yang terbedung di pelupuk matanya, ia memandang keluar jendela dan enggan menatap bright yang kini menatapnya dengan tatapan bersalah.

“sejak sebulan lalu win, maaf mas gak berani ngasih tahu kamu, mas hanya takut kalau kamu menjauh ketika kamu tahu mas bright kakaknya Day, maaf win” bright mencoba meraih tangan kanan winata, namun lagi-lagi winata menepisnya.

“I should know it at the first place, kalian sama, kalian identik, dan harusnya win udah tahu sejak awal but I don’t know why im still surprised mas, this shit really fucked me up” win berairmata disana, isakannya membuat Bright semakin teriris dan rasa bersalah itu kian dalam, wajah penyesalan bright yang tak berani menjelaskannya dari awal, wajah penyesalan bright mengapa ia tak mendengarkan perkataan Gawin hari itu.

Bright terdiam dalam duduknya, ia tertunduk lesu menyadari ia lah penyebab dari kekacauan hari ini, penyebab kekacauan hubungan yang sudah mereka berdua bangun dua bulan terakhir.

“udah ya mas, win pulang”

ucap win pamit, ia membuka pintu dan siap melangkah keluar, namun ketika kakinya baru saja akan melangkah keluar mobil tanganya di genggam dan ditahan oleh bright.

“win kita harus bicarain ini berdua win, mas butuh kamu buat dengerin penjelasan mas”

ucap bright lemas, sedangkan win tak mau repot-repot melihat kearah bright yang terlihat memohon padanya.

“its so funny how we thought the future seem so bright right?, but now? I don’t know how to said it”

“win please, mas bright butuh kita bicarain ini berdua baik-baik win”

Air mata win jatuh juga, air mata dan isakan yang sedari tadi ia tahan-tahan kini mengucur keluar, hatinya terasa semakin tersayat tak bisa membedakan rasa sakit karena membenci day dan rasa sakit karena mencintai bright.

“win kira ketika mas bilang untuk sama-sama saling mengenal satu sama lain itu benar adanya mas, ternyata win salah, ternyata Cuma win yang mencoba terbuka dan jujur sama mas ya? Ternyata selama ini win berjuang sendirian ya mas? hahahahhah”

isakan itu bercampur tawa yang perih untuk didengar, seperti sedang menertawai takdir yang bermain-main dengan mereka.

“win udah kasih waktu untuk mas bright sebanyak mungkin yang mas mau, namun nyatanya sampai sekarang tak ada kejelasan diantara kita kan mas?” lanjut win susah payah menyelesaikan ucapannya karena hanya isakan saja yang kini terdengar.

“win bukan gitu maksud mas win, mas Cuma ma…”

“no, I can’t. untuk sekarang gantian win ya yang minta waktu sama mas? Win minta waktu buat nenangin diri dan nenangin hati win dulu”

tangis campur isakan itu semakin menjadi jadi. Membuat hati bright semakin sakit ketika mendengarnya dan semakin menyakitkan ketika ialah penyebab dari tangis itu.

“win mas mohon jangan gini, kita bisa perbaiki semuanya ya?” mohon bright yang masih meminta dan menggenggam pergelangan tangan winata.

“makasih mas”

ucap win yang langsung menepis tangan bright yang meggenggamnya, membuat kekosongan itu semakin nyata.

Setelahnya win berjalan dalam isak dan tangis yang semakin sakit ia rasakan, dingin dan sepi itu kini mereka rasakan bersama, membaginya sama rata dan sama perihnya untuk mereka ratapi sendiri-sendiri, dibawah langit semarang kini terasa dingin dan asing bagi bright maupun winata.

Bright rasanya ingin meledak atas kebodohan yang ia perbuat, andai saja dari awal ia jujur pada winata, andai saja dari awal ia berani menceritakannya, andai saja ia tak bodoh seperti ini, melihat winata berjalan dan semakin jauh dalam jangkauannya adalah sebuah perih tersendiri bagi bright, menyadari winata berjalan dengan isak tangis dan airmata karenanya.

Semarang,12 oktober 2019. dibawah langit semarang yang menjadi saksi antara bright dan winata.