Tentang Rasa


Selamanya, adakah ia? Benarkah ia eksis? hingga manusia memakai ‘selamanya’ untuk filosofi cinta mereka. Selamanya, nyatakah ia? Ataukah cara manusia menghibur diri dari kepastian akhir. Rasa-rasanya manusia tak perlu mengenal kata ‘selamanya’ Karena manusia sendiri tak tahu bagaimana hidup ini menemui ujungnya Selamanya bagaikan dua buah garis sejajar yang tak akan bersilangan hingga akhir manusia menutup buku cerita, kehidupan masih berlanjut bahkan tanpa ada dirinya didalamnya. Lalu mengapa manusia harus mengenal kata selamanya? Kalau ia sendiri tak nyata. Kalau ia sendiri adalah fana. Dan kita dapati bahwa selamanya hanyalah buaian belaka. Kalau ia hanyalah sebuah fatamorgana.


Selama berjam-jam Winata habiskan untuk memilih kue ulang tahun untuk Bright, orang terkasihnya yang sedang berulang tahun hari ini, ia ingin semuanya berjalan lancar, semuanya berjalan sesuai rencana yang sudah ia susun, jadi setelah memutuskan kue dengan topping strawberry diatasnya, Winata segera membayarnya dengan e-money, ia akan mengambilnya sesegera mungkin setelah ia mengambil beberapa pakaian dirumah Bright.

Winata terlebih dahulu menuju rumah bright sebelum menuju rumah sakit, ia akan mengambil beberapa potong pakaian untuk ia bawa kesana dan saat ini winata sudah ada didepan kamar bright, pintunya tertutup namun tak terkunci, dengan mantab ia memutar kenop pintu dan membukanya.

CEKLEK

Pemandangan pertama yang dilihat Winata ketika membuka pintu adalah kamar yang berantakan, gelas bekas kopi ada dimana-mana, kemasan mie instan juga ada dibawah bed tak dibuang, benar-benar kacau, Winata menghembuskan nafasnya, sepertinya ia tak hanya akan mengambil beberapa pakaian saja disini, namun juga akan memakan waktu lebih lama karena Winata berniat untuk membersikan semua kekacauan ini.

“kotor banget sih mas….ini kalau mas bright udah jadi suamiku udah aku marahin ahahahah” win terkekeh membayangkannya.

“huffff….okay win, ayo semangat, kita bebersih siang ini, hitung-hitung gladi bersih kan? ahahahhahah”

Ia mulai melangkah masuk dan mengambil satu persatu gelas kotor bekas kopi itu untuk ia bawa ke dapur, banyak sekali kurang lebih ada 12 gelas yang tak dibersihkan sampai winata geleng-geleng sendiri, kopi inilah yang menjadi pemicu kambuhnya asam lambung yang diderita Bright, juga dengan beberapa cup mie instan di atas meja yang tak dibuang, winata membuangnya ke sampah dan membersihkan semuanya.

“jadi ini yang kamu makan sama minum terus mas? Ya pantes kalau asam lambungnya mas kumat lagi, hufffffff mas….mas”

Winata mencuci gelas gelas tadi di dapur, samar-samar ia teringat ketika pertama kali kemari dan membuatkan Bright bubur dan merawatnya, ia ingat ketika makan satu mangkok berdua disini dan Bright menyuapinya, ia tersenyum mengingatnya.

“awas aja kalau besok win lihat mas minum kopi lagi, win marahin pokoknya”

Win mendumal sendiri, melihat banyaknya gelas yang ia cuci dan semuanya bekas kopi.

Setelah semuanya gelas itu bersih, winata kembali menuju kamar Bright, ia berencana mengubah suasana kamar ini dengan mengganti sprei dan korden yang semuanya berwarna gelap, winata ingin mencari warna yang lebih cerah sedikit untuk merubah atmosfer kamar ini, jadilah ia mulai membuka lemari bright, membentangkan 4 pintu lemarinya, ia tersenyum melihat isinya, dari sinilah winata bisa mengetahui beberapa hal tentang Bright yang selama ini belum ia sadari.

“mas bright suka kemeja warna cerah ya mas? Kontras sama suasana kamar ini yang dominan warna gelap ya mas”

Winata menyentuh koleksi kemeja yang bright punya, warnanya cerah semua, ada warna gading, burgundy, anggur dll.

Tanpa sadar matanya menangkap sekelibat tag ukuran yang membuatnya terkejut tempo hari, ia tahu bright hanya melawak namun tetap saja rasa terkejut yang ia rasa tak bisa ia kendalikan.

“hahahaha….mas bright kenapa sih? Win gak pernah mempermasalahkan ukuran kok, dan…….ya, punya mas diatas rata-rata hihihi”

Win terkekeh dengan sekelibat pikiran-pikiran nakalnya. Lalu ia melanjutkan mencari sprei berwarna cerah, semoga saja Bright memilikinya dan ketika matanya menangkap warna sprei yang tak terlalu gelap, ia langsung mengambilnya lengkap dengan selimut dan sprei bantal guling yang sudah menjadi satu paket itu.

“nahh…okay, ayo kita mulai”

Winata mulai melepas satu persatu spei yang ada diranjang, dari bed, bantal hingga guling ia mengambil semua sprei warna gelap itu lalu winata membawanya menuju arah dapur untuk ia laundry dalam mesin cuci.

Lalu ia kembali menuju kamar dan memasang satu demi satu sprei hingga tertata rapi semua, tak lupa ia mencari korden yang juga berwarna cerah untuk mengganti korden hitam di kamar ini, semuanya winata kerjakan sendiri, meski lelah namun ada perasaan senang dibenaknya. Winata menghempaskan tubuhnya keatas ranjang, menghela nafas dari lelahnya membersihkan kamar ini, ia melihat langit-langit kamar ini.

“huffftttt, capek….bangethhh…huuffff”

Ia tak bergeming disana selama 15 menit, membiarkan dirinya terbawa oleh kantuk yang semakin datang terasa menyambanginya, winata ada ditengah alam sadar dan tak sadarnya, ia berada antara akan terlelap dan terjaga.

Dan kantuk memenangkan perselisihan itu, membawa winata dalam lelapnya tidur, semuanya terasa indah, dalam mimpinya ia melihat bagaimana ia menghabiskan 3 bulan terakhir dengan Bright, juga saat ia diantar dan dijemput, saat mereka berpegangan tangan di lampu merah, saat Bright menggeser kursi untuknya di Hero kafe, saat mereka menghabiskan waktu ditiap minggunya, semua terasa indah, namun sekali lagi, itu hanyalah sebuah mimpi, yang winata punya saat ini hanyalah kepingan-kepingan kenangan yang harus ia satukan kembali, harus ia susun dari awal lagi.

Winata melihat dirinya dan Bright di dusun semilir, pun ia melihat bagaimana Bright menghapus jejak es krim di bibirnya, rasanya ada jutaan kupu-kupu yang menemaninya saat itu, lalu semuanya berubah menjadi mendung hitam jelaga, seperti badai hebat yang akan menghantamnya bertubi-tubi dari segala arah, disana ia melihat Bright yang berlutut di kakinya memohon kesempatan lagi, winata melihat bagaimana Bright sungguh-sungguh meminta maaf dengan air mata yang bercucuran itu, air mata yang bercerita padanya bahwa itu adalah patah hati terhebat seorang Bright Vachirawit, Winata dihantam rasa bersalah yang luar biasa ketika melihat dirinya melangkah dan menjauh dari Bright yang terduduk kaku di ubin fakultas.

Winata berjalan menuju Bright yang masih memunguti kepingan hatinya yang hancur, menata kembali kesungguhan hatinya yang telah dibanting hancur melihat kotak cincin itu yang dikembalikan winata, namun saat winata akan menyentuh Bright ia seperti ditarik menjauh, ia seperti jatuh dari tempat yang tinggi, dengan tiba-tiba jiwanya kembali menuju raga yang tengah nyenyak dibuai mimpi, seperti dibanting dari langit menuju dasar bumi, membuat winata terkejut hingga ia terbangun dengan nafas tersegal-segal, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Lalu ia sadari bahwa mimpi itu adalah manifestasi dari alam bawah sadarnya yang terus-terusan ia tekan, yang selama ini terus-terusan ia tolak untuk muncul di alam sadarnya, bahwa dirinya juga masih mencintai Bright, namun mengapa ia memilih untuk pergi? Memang benar Bright juga melakukan kesalahan, namun secara tak langsung Winata juga menambah luka yang telah mereka berdua rasa, luka yang kini menjadi sebuah jurang curam bagi mereka berdua.

Jam di dinding menunjukkan pukul 15:10, sudah cukup sore dan jam untuk menjenguk pasien akan dibuka sebentar lagi, winata segera bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju lemari, memilih dan memilah baju serta celana mana saja yang akan ia bawa dan ia masukkan kedalam ranselnya, setelah memantabkan pilihannya ia sesegera mungkin merapikan kembali bed yang tadi ia gunakan untuk tidur, entah kapan lagi ia bisa menghabiskan waktu bersama Bright seperti dulu lagi, saat hujan menjebaknya malam itu ada ia bermalam disini, dalam pelukan Bright. Winata tersenyum sendiri mengingatnya.


Backsong [astrid-tentang rasa] [https://open.spotify.com/track/73PIm6P5ruqBmcEVtzcop2?si=JuMaJaEgTiq2IdqDa2XzOA]

Aku baru saja akan melangkahkan kakiku keluar kamar ini, kamar mas Bright sudah rapi sekarang, namun ketika aku akan menutup pintu kamar aku melihat sesuatu diatas nakas, disana ada kotak cincin, ponsel mas Bright dan sepertinya sebuah surat?

Aku tak jadi melangkah keluar, aku ingin melihat cincin itu lagi, jadilah aku menuju nakas dan mengambil kotak coklat itu, aku membukanya dan ternyata cincin itu masih tersimpan rapi disana, cincin yang terukir namaku dan nama mas Bright disana, cincin yang harusnya hari itu sudah melingkar dijari manisku, aku tersenyum kecut mengingat hari dimana aku menolak dan meninggalkannya di gedung fakultas hari itu, mengapa aku menyakitinya? Aku tahu ia juga salah, namun ….ah aku tak tahu mana yang benar mana yang salah saat ini, semuanya begitu membingungkan bagiku.

Kututup kotak itu dan aku kembalikan keatas nakas.

“mungkin nanti mas, iya…saat semuanya sudah tepat, saat kita sudah sama-sama yakin untuk melangkah bersama lagi menghadapi dunia”

Ada sebuah surat diatas meja, tepat dibawah ponsel mas Bright, sebenarnya aku tak tertarik namun logo RS Elizabeth lah yang membuatku ingin mengentahui apa isi dari surat ini, ku ambil dan ku keluarkan, lalu aku baca setiap kalimat dan setiap kata yang tertulis didalamnya.

Aku tak tahu harus berkata apa, aku yakin kalau ini tak nyata, tak mungkin ini terjadi padanya, tidak, ini tak nyata. Hatiku sakit membaca tiap kalimat yang tertulis dalam surat itu, ini tak mungkin terjadi, aku menangis disana, mendapati bahwa diagnosa ini adalah tepat 2 hari setelah aku meninggalkannya, aku sudah jahat pada mas Bright, aku meninggalkannya saat dia membutuhkanku, saat dunianya sudah terkoyak malah aku melangkah pergi, manusia macam apa aku ini, mengapa? Mengapa semuanya terjadi.

mas, jika saja saat itu mas bilang sama win

mungkin aku gak akan pergi ninggalin mas

mas Bright, jika semuanya belum terlambat dan jika masih sempat

mari kita ulang semua memori yang pernah kita ukir bersama

Hatiku perih mendapati kenyataan pahit seperti ini, Dory syndrome? Aku takut, aku takut jika suatu hari nanti mas Bright akan lupa padaku, aku teringat pada mimpiku hari itu, dimana mas bright tak lagi mengenaliku, itukah sebuah pertanda? Pertanda yang tak bisa aku baca dan tak bisa aku mengerti hinga semuanya dihadapkan didepan mukaku seperti saat ini.

Juga aku teringat kemarin mas Bright mengulang kalimat yang sama,aku takut, aku takut kehilangannya, tuhan, cobaan seperti apa yang kau berikan saat ini? Apakah kau ingin aku menentukan pilihan sekarang? Aku belum bisa, aku harus meyakinkan diriku sendiri, aku ingin mencintainya dengan segenap jiwa dan ragaku bukan karena rasa iba.

Mengapa harus jadi begini? Saat diriku sudah mencoba membuka hati untuknya lagi? Apakah ini hukuman untukku? Aku mengambil ponsel mas Bright, kuseka air mataku yang masih berlinang dipelupuk mata, aku mengetahui sedikit tentang dory syndrome, aku membuka menu notes, aku ingin tahu selama ini apa saja yang selalu mas bright simpan didalam sana agar tak lupa.

Dan lagi-lagi aku menangis, hanya ada namaku disana, semuanya yang ia tulis berkenaan denganku, kenyataan bahwa mas Bright selalu mencoba mengingatku membuatku merasakan rasa bersalah yang luar biasa, aku tak bisa, aku tak sanggup, sepertinya aku akan menelfon kak michelle untuk membawa baju dan kue ulang tahun ini ke rumah sakit, aku tak akan sanggup untuk saat ini. Aku akan pulang dan merenungi semuanya, semua yang terjadi, semua kebenaran yang baru saja aku dapatkan didepan mataku, hingga aku dapat menerima dan kembali mencinta.


tentang cinta yang datang perlahan membuatku takut kehilangan takutkah aku? Aku tak tahu, karena aku sendiri tak tahu jawabannya, jika saja selamanya itu ada, rasa-rasanya aku tak perlu takut. andai selamanya adalah sebuah fakta, namun ia bukan, ia hanyalah sebuah fatamorgana. Selamanya adalah kalimat penghibur manusia dari keputusasaan sebuah akhir. aku tak tahu butuh waktu berapa lama untuk meyakinkan diriku, aku mencintainya namun disaat yang sama aku merasakan sakit karena hal ini. haruskah kuteruskan? Haruskah aku berhenti disini? Entah, biarlah diriku berfikir sekali lagi.


JeJe