the moon and the stars

***

Jika sebuah kepercayaan diibaratkan sebagai sebuah gelas kaca Ketika gelas itu terjatuh dan pecah apakah bisa kembali seperti semula? Dan jika aku memaksakan untuk memungutnya apakah pecahan kaca itu akan menggores dan menyakitiku? Jika sebuah nasib selalu di ibaratkan sebagai sebuah bubur yang tak akan bisa kembali menjadi bulir beras Bisakah aku mengembalikannya? Namun sepertinya mustahil Biarlah…. Biarlah tuhan yang menentukan sebuah akhir untukku

***

Padang dandelion Minggu-05:40 Pm

Aku sampai disini, entah, aku tak tahu mengapa aku bisa sampai disini, alam bawah sadarku kah yang memerintahkan taksi itu untuk membawaku kemari? Aku tak tahu, aku bingung, aku kehilangan arah untuk menemukan jalan pulang.

Padang dandelion ini masih sama seperti terakhir dulu aku mengunjunginya, masih indah dan menyimpan jutaan memori di tiap mataku memandang, aku melihat diriku disana bersamanya, berlari kesana kemari dengan tawa ditiap langkahnya, aku melihat dirinya menggendongku ketika kakiku sudah terlalu lelah untuk berjalan, aku melihat diriku dan dirinya berbaring di tengah padang dandelion melihat senja bersama setiap harinya. Aku melihat diriku dan Day disana.

Lebih dari segalanya, sekarang aku tak bisa mengenali diriku lagi, aku tak bisa menemukan senyum dan tawa itu pada diriku sekarang ini, sungguh aku tak bisa menemukannya.

Mengapa diriku harus menangis? Mengapa aku harus merasakan sakit dan kehilangan ini lagi? Aku pernah merasakan kehilangan ketika bersama Day dulu namun kenyatannya kehilangan saat ini benar-benar menyakitkan, kau dihianati oleh dua orang yang dekat dalam hidupmu, kira-kira bagaimana rasanya? Aku tak bisa menjelaskan bagaimana hancurnya diriku sekarang, aku tak sanggup.

Aku lelah menangis, bahkan ketika aku tak sedang ingin menangis air mataku jatuh dengan sendirinya, dasar lemah, mengapa aku harus kecewa? Mengapa aku harus peduli? Mengapa? Dan mengapa aku harus mencintainya? I have enough but I can’t stop and I don’t know why.

Aku berencana membawa mas Bright kemari, disinilah pertama-kalinya Day mengucapkan janji itu padaku, janji untuk terus bersama dan saling menjaga, namun sekarang? Janji itu sudah berkarat dan sudah tertinggal dibelakang, tidak, aku tidak menganggap mas Bright sebagai bayang-bayang Day, aku berencana membawanya kemari 7 hari terakhir dibulan desember dan menikmati senja bersama seraya menghitung detik demi detik yang terus berganti menuju penghujung tahun, dan mungkin saja aku akan memberikan kejutan di hari ulang tahunnya, iya, mungkin saja, dan sekarang? Semuanya sudah sirna sejak aku tahu semua kebenaran itu sesaat di kopipedia tadi.

Angin disini menerbangkan bunga dandelion, mereka terbang keseluruh penjuru arah kemanapun angin membawanya, seperti itukah takdir? Hanya pasrah kemana kita akan dibawa dan menuju kesebuah akhir. Tak bisakah aku memilih sebuah akhir untuk diriku sendiri? Tak bisakah aku menciptakan sebuah happy ending dari lelahnya perjalananku hingga ke titik ini? Iya, aku tahu, aku tak bisa.

Aku hanya ingin tahu mengapa ia memilih untuk mengancurkan sebuah kepercayaan dan kesempatan yang aku beri sekali lagi? Dan aku juga ingin tahu mengapa Afi melakukannya? Menyenangkan kah melihatku seperti ini lagi?

Aku melangkan menyusuri padang dandelion ini menuju bangunan perkantoran tua di tengah sana, sebuah bangunan tua renta yang sudah tak lagi di gunakan dan ditinggalan, ia tak berpenghuni dan tak memiliki tuan rumah, beginikah rasanya? Kesepian yang mendera dari segala sudut.

Mungkin orang biasa akan takut dengan gedung tua itu, dulu aku juga begitu, namun semuanya berubah sejak day menjadi pusat duniaku, ia mengajarkanku banyak hal, dari mencintai, bersabar hingga arti sebuah kehilangan.

Aku melangkahkan kakiku pada tiap pijakan tangganya, terasa sangat sakit di hati tiap kali aku menapakkan kakiku satu persatu pada anak tangga disini. Semua memori itu seperti sedang di putar satu persatu dikepalaku, memaksaku merasakan suasana nostalgia dua tahun lalu.

Aku melihat diriku disana, ketika aku kelelahan menapaki anak tangga, Day dengan sabar menggendongku menuju lantai paling atas, aku tersenyum kecut dalam perih saat ini. Aku tahu kalau semua itu tak akan pernah berulang bukan? Aku paham hal itu.

Mengapa semua memori itu kembali di otakku? Seolah semuaya baru terjadi kemarin.

Angin di lantai paling atas menerpa wajahku, cahaya senja matahari yang akan terbenam ada di ufuk barat.

Aku menuju ujung bangunan ini, duduk di lantai dan membiarkan kakiku menjuntai kebawah, jika kalian bertanya apakah aku takut? Iya dulu aku pernah ketakutan, namun Day dengan sabar dan selalu memegang tanganku bersamanya ketika duduk disini hingga aku tak takut lagi.

Sungguh lucu hidup ini, jika dulu aku dan Day duduk bersisian disini namun hari ini hanya tersisa aku sediri disini bersama semua memori yang semakin terasa di setiap sudut bangunannya. Aku melihat ke ufuk barat, disana matahari sedang menghitung detik-detik tenggelam dan menggeser senja menjadi malam.

***

“mengapa?”

“mengapa harus selalu aku?”

“bahkan disaat aku sudah bisa menerima kepergianmu, kini dirinya membuat luka yang lebih sakit dari sebelumnya”

“tak pantaskah aku dicintai?”

“mengapa…hiks…”

Ucap winata lirih, air matanya tak lagi bisa ia tahan. Ia keluarkan semua sakit dan perih yang ia rasakan saat ini, matanya nanar melihat matahari yang sebentar lagi tenggelam. Selanjutnya ia berdiri, tak lagi ada diujung bangunan, angin yang kencang sore ini bisa saja menjatuhkannya ke lantai dasar.

“KENAPAAAAA…..”

Jerit Winata Frustasi, tangannya meremas rambutnya sendiri, megacaukan surai hitam yang dulunya selalu dibelai oleh Day dan Bright.

“KENAPAAAAAAAAA”

Winata meluapkan semua emosinya, ia menjerit histeris dan berairmata di atas bangunan tua bersama malam yang sudah menggantikan senja, hanya ada gelap dan sepi disana. Ia sendiri, kesendirian itu menyergapnya dari segala arah, membuat sakit itu semakin menjadi-jadi.

“KENAPA HARUS AKU…..hiks…..kenapaaaaa…kenapa… hahahhaha”

Tangis yang semakin perih itu bercampur dengan tawa tragis, ia menertawai dirinya sendiri, menertawai nasib dan takdir yang mempermainkannya.

Setelahnya Winata tertunduk dilantai, kepalanya ia sembunyikan diantara dua lututnya, tangannya memeluk kaki yang terasa semakin lemas.

Detik berganti menit, dan menit berganti di tiap putaran equaternya merubah malam menjadi lebih larut, saat ini jutaan bintang sedang unjuk gigi dilangit semarang.

Disaat diluar sana banyak manusia yang berpasang-pasangan menikmati indahnya langit semarang, disinilah winata, sendiri bersama sepi diatas bangunan tua yang gelap gulita, ia menangis sendiri disana. Menikmati setiap sayatan perih yang Bright dan Afi berikan padanya, meratapi nasibnya yang selalu saja berujung sama.

Ditengah tangisnya Winata, dari arah jalan raya sana ada sebuah mobil yang masuk menembus kegelapan malam, melewati padang dandelion dan menerbangkan bunga itu dibawah cahaya bulan yang sedang purnama. Winata tak menyadari kalau ada dua anak manusia yang dibawah sana.

“kakak disini aja, biar mix yang keatas”

“emangnya yakin winata ada di tempat kayak gini dek?”

“sepertinya iya kak, mix naik dulu keatas, kakak disini aja”

“kakak temenin ya, gelap disana dek”

“enggak kak, Cuma mix yang bisa tenangin winata saat ini, mix mohon ya? Mix pake senter ponsel kok”

Dan yang lebih tua memberikan senyumnya meski ia ragu dan khawatir, ia menunggu di dalam mobil di tengah padang dandelion yang bersimbah cahaya purnama dibawah jutaan bintang dilangit semarang yang menyihir mata.

Dengan langkah tergesa-gesa, mix berlari menuju bangunan tua ditengah padang ini, gelap gulita disana. Dengan senter di ponselnya Mix memberanikan diri dan mengumpulkan nyalinya demi memastikan apakah sahabatnya ada diatas sana, tiap pijakan kakinya menaiki tangga Mix merasakan suasana kesedihan, seakan setiap anak tangga ini bercerita kalau ada kisah Winata yang tersimpan bersama derit bangunan yang semakin tua.

Padahal ia belum sampai dilantai atas, namun hati mix serasa sakit di tiap pijakan kakinya, bangunan ini bercerita padanya ada seorang anak manusia yang sedang menangis diatas sana.

Ia sampai, diatas gedung ini tak segelap yang ia kira, cahaya rembulan yang sedang purnama membuat pemandangan diatas gedung yang berada ditengah padang dandelion ini semakin terasa melelehkan hati dan rasa.

Kencangnya angin di lantai atas ini menerpa wajah Siwi, disana ia melihat karibnya terduduk dan tertunduk sambil terisak dalam tangisnya.

Siwi menangis, tiap langkahnya ia merasakan duka yang winata rasa, ia ingin winata membagi sakit dan perih itu bersamanya, sama seperti dulu ketika ia jatuh terpuruk, hanya winata yang setia menemaninya dan membagi sakit dan perih itu bersama.

“win”

Panggil Mix pelan dan ketika winata menegakkan duduknya, Mix melihat karibnya yang sedang berairmata, mata winata merah dan sambab, pipi dan bajunya basah karena airmata itu.

Tanpa menunggu jeda, Mix langsung mendekat dan memeluk tubuh winata, dengan posisi setegah berdiri, ia memeluk badan dan kepala winata ia belai di dadanya, membiarkan winata menangis sepuasnya, mencurahkan semua sakit yang selama ini winata tanggung dan winata rasakan.

“mix……hiks….mix”

“iya win…iya…gu…gue….gue disini win….gue disini”

Ia menangis bersama winata, ia merasakan sakit ketika winata berairmata seperti ini.

“kenapa mix….kenapa……kenapa harus aku”

“sshhhhh….iya win, sakit pasti rasanya….”

Ia menempuk-nepuk punggung dan mengusap kepala winata yang ada di pelukannya, menenangkan sang karib yang tak stabil emosinya.

“lo punya gue win, loe punya gue….hiks…”

Mix tak bisa menyembunyikan tangisnya di depan winata, ia tak bisa menjadi sosok yang berpura-pura tegar, hanya winata yang bisa melakukannya.

“bagi sakitnya sama gue win, disaat gak ada yang ngulurin tangan buat lo raih, genggam tangan gue win, disaat gak ada yang nemenin lo, gue akan tetep stay disini sama lo win dan disaat dunia berkhianat sama lo, gue akan setia disini win, disisi lo…..hiks….”

Win yang mendengar itu tangisnya semakin menjadi-jadi, mengingat dari dulu memang hanya Siwi lah yang selalu ada bersamanya bahkan ketika dirinya ada di titik 0 hidupnya.

Dibawah jutaan bintang dilangit semarang ditemani sinar sang luna yang tengah purnama ada dua anak manusia yang saling berpelukan dan menguatkan, derit bangunan tua yang terkena angin menjadi teman mereka, menjadi saksi bahwa ada tangis bahkan ketika langit sedang menunjukkan pesonanya, ada perih yang winata rasakan dan tak bisa ia suarakan pada seluruh dunia, ada sakit yang winata pendam dan saat ini sedang mencoba ia ungkapkan.

Tigapuluh menit mereka bertahan dalam posisi itu, Siwi dengan sabar menemani Winata dalam peluknya hingga tangis itu tak terdengar lagi.

“it’s okay not to be okay win, gue tau lo nangis bukan karena lo cengeng, tapi karena lo terlalu kuat buat pendam semuanya sendiri, please don’t pretend like it’s ok when it’s not, bagi semuanya ke gue ya?”

Tanya Siwi pada Win yang masih dalam peluknya, tak ada jawaban, tak ada tangis, nafas Winata juga berhembus tenang, aneh, ini aneh sekali bagi siwi.

Ketika ia melerai pelukan itu dan memegang kedua pundak Winata baru ia sadari kalau Win sudah jatuh pingsan dalam pelukannya tadi, mungkin saja kelelahan menangis atau bahkan terlalu lelah mengeluarkan semua beban yang selama ini ia rasakan.

Dengan sigap Siwi menarik kembali dalam pelukannya, ia panik bagaimana mereka akan turun dari rooftop bangunan tua yang tangganya gelap gulita seperti ini, sampai Siwi memiliki ide.

“KAAAAAKKKKKKKKKKK”

Teriak Siwi dari atas, berharap Earth akan mendengarnya walau dari dalam mobil.

“KAK EAAARTTTHHHHHH TOLONGIN KAKKKKKKK”

Jerit Siwi lebih keras lagi, tak ada jawaban. Mungkin teriakan Siwi kabur dibawa kencangnya angin di atas sana, ditambah lagi Earth sedang berada di dalam mobil, jadilah Mix mengeluarkan ponselnya dan berusaha menghubungi Earth dibawah sana.

Dengan langkah memburu, Earth berlari menuju gedung dan langsung ke atas untuk membopong winata dan untuk mereka bawa pulang menuju Graha Estetika.

Semarang di Bawah Rasi Bintang Siwi dan Winata di Gedung Tua Minggu, 15 Desember 08:15 Pm