Without

nohyuckbase fic fest

title

Summary Rekaman momen kedua insan menyelamatkan satu sama lain. Mungkin di tengah kisahnya, keduanya ikut meraih segenggam sukma lain.

highly inspired by a song: Paul Kim – Every Day Every Moment complete playlist

Rating General Audience

Category M/M

Character Lee Jeno, Lee Donghyuck, Lee Seol (original character)

Tags major character(s) death, nohyuck in their 30s-40s, doctor!jeno, ceo!donghyuck, seol is their daughter not their cat, angst but not really trust me, at this point i've given up on tags byeee.

Words Count 3.7k+

Notes Welcome to my messy writing (i've warned you~)

divider

“Apakah anda menyukai musim panas?” Pertanyaan itu terbisik dari arah kanan Jeno.

Jeno menoleh perlahan mencari sumber desiran itu. Awalnya ia enggan tuk membalas tapi rasanya tega jika mengabaikan lelaki di sampingnya begitu saja, “maaf?” lirihnya.

“Musim panas,” lelaki itu pun membalas pandangan Jeno. Perangainya begitu hangat bak musim itu, laksana magnet Jeno merasakannya dirinya tertarik oleh auranya, entah mengapa. “Apa anda menyukainya?”

Di sisi lain, Jeno justru membeku seolah ia terlempar ke musim bersalju.

Tak lama lelaki itu tersenyum kecil, “maaf jika pertanyaan saya menyinggung.”

Jeno membalas senyumannya, rasanya senyuman pertama pada hari itu, “tidak juga. Hanya saja jarang orang asing menanyakan hal itu kepadaku sebelumnya.”

“Lalu, apakah pernah ada orang asing yang memuji senyumanmu?”

“Memuji?”

“Iya. Sejujurnya saya cukup terkesima tadi.”

Kereta cepat bawah tanah yang berlalu di hadapan keduanya menghembuskan udara dan menyapu beberapa helai rambut keduanya. Seolah dunia berhenti berotasi, maka begitulah musim panas keduanya beranjak.

divider

Di penghujung tahun yang sama, serpihan es kecil berjatuhan dari langit membungkus buminya.

“Lee Donghyuck!”

Donghyuck melepas game console dari kedua genggamannya dan berlari keluar dari kamar Jeno.

“Ah, kamu dan sifat geminimu, sungguh!”

Donghyuck tertawa dari arah dapur, “ah~ kamu dan sifat taurusmu, sungguh menggemaskan!” candanya.

“Sudahlah, Lee Jeno. Menyerah saja. Toh, sekarang sudah waktunya makan. Kasihanilah perutmu itu” sahut Donghyuck sembari membuka kedua pintu kulkas.

“Apa yang perlu dikasihani?” Jeno pun mengeluarkan kepalanya dari balik pintu.

“Bentuknya berkotak-kotak gitu, emangnya dia spongebob.”

“Cih, padahal kamu menyukainya.”

“Siapa bilang?”

“Kamulah.”

“Sejak kapan?”

“Sejak kamu berbicara dalam tidurmu.”

“Jangan ngasal kamu, Jeno.”

“Aku punya buktinya loh. Sebentar.. dimana kutaruh handphoneku tadi. Bahkan rekamannya menangkap suara bajuku yang kamu usap-usap di bagian perutku. Dimana yah—”

“Ah, Lee Jeno! Menyebalkan!”

Jeno tertawa lepas.

divider

“Profesor Lee, ke IGD sekarang.” ucap pria paruh baya dibalik pengeras suara handphone milik Jeno. Jeno tanpa membuang waktu lagi mengayunkan kakinya cepat dengan raut cemas.

Nyaris separuh hidupnya ia lalui dengan jubah putihnya menggantung dari kedua bahu bidangnya tapi tak pernah sekali pun ia terbiasa, malah bahunya kian terasa berat. Hari-harinya ia jumpai hidup dan mati sesering daun yang jatuh dari dahannya di musim kemarau, membuatnya hidup tuk sepenuhnya, mensyukuri hari kemarin, hari ini, dan esok. Ia tak main-main akannya dan tak segan tuk menunjukkan.

Dan Donghyuck begitu paham akannya. Bagaimana Jeno bisa kehilangan akal sehatnya jika saja Donghyuck tak mengangkat telepon darinya, atau tak membaca pesan singkat darinya di sela-sela jam operasinya. Bukan sekali dua kali Jeno berlari ke kantor Donghyuck tanpa berpikir panjang dan menemui pria itu sedang dalam pertemuan penting. Jeno menerobos masuk dan menghela napas lega mendapati Donghyuck berpijak dengan gagahnya dibalik pancaran cahaya projector tanpa mengindahkan puluhan pasang mata yang melayang ke arahnya.

Donghyuck tersenyum. “Mohon maaf hadirin sekalian. Pacar saya tampaknya khawatir saya tidak mengangkat panggilan darinya beberapa jam belakangan karena pertemuan ini. Mohon waktunya sebentar sembari saya mengantarnya keluar.” Donghyuck meraih lengan Jeno dan keluar dari ruangan.

“Ada apa, Jeno?” tanya Donghyuck setelah membawa masuk Jeno ke dalam ruangannya dan menutup pintu.

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya khawatir.” Jeno memilih duduk di atas meja kerja Donghyuck.

Donghyuck menyeka peluh dari kening Jeno dan Jeno pun membalas tatapan Donghyuck lembut.

“Maaf aku membuatmu khawatir.”

“Tak apa, sungguh. Aku suka khawatiran gini ke kamu.” Donghyuck tertawa seraya melemparkan sapu tangannya ke arah Jeno, “apa-apaan.”

Sebagai gantinya, Jeno meraih tangan Donghyuck, “Aku menikmati waktuku mengkhawatirkanmu. Sungguh. Tak habis pikir jika kelak ada waktu dimana aku akan berhenti mengkhawatirkanmu, Donghyuck-ah. Maka biarkan aku.”

“Cih, siapa juga yang menghentikanmu.”

divider

“Astaga, Lee Jeno! Kucing kita dari tadi mengeong minta makan dan kamu tidak hiraukan?” Donghyuck yang baru saja tiba di apartemen sepulang kerjanya disambut ketiga kucing yang sibuk menyapu kedua kakinya.

Donghyuck melepas setelan jasnya dan sejurus kemudian meletakkan butiran coklat ke dalam tiga mangkok berbeda yang diserbu ketiga kucing berbeda warna itu dalam diam. Tak mendengarkan balasan dari Jeno meninggalkan tanda tanya di benaknya. Ia menyisir seluruh apartemennya dan menyisakan satu ruang di ujung koridor, kamar tidur keduanya.

“Ya! Lee Je—”

Kamar kosong. Sosok Jeno tak terlihat dimanapun. Kemana perginya anak itu.

Donghyuck meraih kantong celananya. Handphonenya ternyata dalam keadaan mati. Ia beranjak ke meja kecil di samping ranjang dan meraih kabel charger dan mulai menyalakan benda canggih di tangannya.

Tidak ada notifikasi dari Jeno. Telepon, pesan, atau bahkan voice mail. Tak biasanya Jeno seperti ini. Kini giliran Donghyuck yang khawatir akan pasangannya. Donghyuck menyisir helaian rambutnya ke belakang sembarangan sambil memainkan jemarinya cepat di atas layar, mencoba tuk memilah nomor telepon siapa yang ia harus hubungi lebih dahulu.

Jeno, kamu dimana?

divider

Malam itu IGD tampak tenang, nampaknya hari yang telah larut telah memulangkan sukma yang berlalu-lalang. Jeno memijat pelan keningnya mencoba menikmati ketenangan itu selagi ia mampu.

“Prof tadi ke kantornya Pak Donghyuck yah?” tanya dokter residennya sambil menyerahkan berkas pasien ke suster di hadapannya.

Jeno tertawa pelan, “iya. Bocah itu tidak mengangkat teleponnya lagi.”

“Prof, bolehkah saya mengakui satu hal? Saya cemburu, Prof. Seandainya saya punya kekasih seperti Prof.”

“Bukannya kebanyakan orang akan risih dengan perilaku saya tadi?”

“Hm, bisa saja, Prof. Tapi, kalau kebanyakan orang itu kenal baik dengan Prof, seperti saya dan Pak Donghyuck, pasti mereka bakal paham.”

“Begitukah?”

“Jangan terlalu menyalahkan diri, Prof. Prof berhak merasakan perasaan apa pun itu.”

“Terima kasih.”

Seketika petugas 119 berlarian memasuki ruangan IGD bermain dengan keempat roda brankar segenapnya mengambil perhatian seluruh petugas kesehatan di ruangan itu, termasuk Jeno.

“Pasien TA, umur 33 tahun, hamil dan luka paling parah ada di bagian belakang kepala karena benturan dengan aspal. Vitalnya terus menurun.”

Jeno memeriksa kondisi pasien perempuan yang sudah tak sadarkan diri itu.

“Panggil dokter OB-GYN dan bawa pasien ke ruang operasi sekarang.”

The calm before the storm kata orang banyak dan tuk kesekian kalinya Jeno membenarkan adanya. Di atas meja operasi, ia kembali berhasil menyelamatkan satu nyawa dengan bayaran yaitu melepaskan satu nyawa lainnya.

divider

Bayi itu terlelap di dalam inkubator, napasnya teratur dibantu oleh berbagai macam selang yang tertancap di badan kecilnya. Malaikat kecil itu tak sepatutnya bertemu dunia hari ini, belum masanya. Jeno menundukkan kepalanya dalam. Ibunda si bayi yang tinggal sebatang kara itu akhirnya meninggalkan malaikat kecil itu di dunia ini seorang diri.

Donghyuck memperhatikan dalam diam dari luar PICU. Itulah alasan mengapa ia tak mendapati Jeno di apartemen, atau bahkan tak membalas panggilan telepon darinya. Sudah tak bisa dihitung jari lagi berapa kali ia telah menyaksikan Jeno dalam keadaan seperti ini. Kenapa pekerjaan mulia ini begitu membebani batin Donghyuck.

Sebelum ia meninggalkan rumah sakit memenuhi panggilan meeting, ia memutuskan tuk meninggalkan pesan singkat kepada Jeno.

Jeno, bagaimana jika kita mengasuhnya? Nama apa sebaiknya kita berikan untuk bayi cantik itu?

divider

“Ayah!”

“Seol-ah, jangan berlari. Kamu bisa terjatuh nanti.” Anak perempuan bagai matahari itu berlari ke pelukan Jeno.

“Ayah, ini apa?” Jemari telunjuk kecilnya menunjuk ke arah game console yang dipegang Jeno.

“Ini untuk bermain game di komputer, nak. Sudah lama sekali Ayah tidak memainkannya.”

“Apa masih bisa untuk dimainkan, Yah?”

“Tentu saja. Ayahmu ini ahlinya menjaga sesuatu dengan baik.”

“Berarti Ayah akan menjaga Seol selamanya?”

“Tentu saja” balas Jeno tanpa pikir panjang.

Jeno mengusap pelan kepala Seol. Anak ini sudah besar sekarang, Donghyuck-ah. Waktu benar cepat berlalu. Semesta mengizinkannya tumbuh besar sepertimu, bagaimana kalau dia justru mirip diriku, tak kusangka bagimana malang nasibnya, meskipun dia juga anakku, tapi Seol-ah tolong jangan seperti Ayahmu yang satu ini.

divider

Hembusan angin yang cepat bermain di kulit Seol membuatnya tertawa kecil sembari mengayun kedua kakinya tuk memacu sepeda beroda tiganya berjalan. Menjelang pulangnya mentari, taman dekat Sungai Han begitu ramai dan Seol senang mendapati dirinya dikelilingi orang asing. Tipikal Donghyuck, pikir Jeno.

Helaian rambut Jeno yang bermain di atas keningnya tak bisa memecahkan perhatiannya dengan anak kecil yang sedang mengayuh sepeda yang didoronginya. Di ujung pandangannya, Jeno melihat kedipan warna hijau dari lampu lalu lintas yang cukup jauh dari tempatnya berdiri, kebisingan kota tak begitu terdengar meskipun Sungai Han tepat berada di tengah hiruk piruknya kehidupan yang membelah distrik metropolitan itu. Mungkin karena itulah Jeno suka ikut serta membawa Seol menikmati petang hari seolah dunia baik.

“Seol-ah, kita istirahat sebentar yuk” Jeno menyamai level pandangannya dengan Seol yang duduk manis di jok sepedanya.

Seol menyapu keringat dari kening Jeno, “beli ice cream, Yah.” Jeno meraih jemari kecilnya, “Ayo.”

Keduanya pun beranjak mengunjungi minimarket terdekat dan berpapasan dengan sekumpulan ibu yang juga sedang mengawasi anaknya bermain di taman, Jeno yang hanya menyapa singkat ditepis cepat oleh mereka.

“Pak Lee! Bagaimana kabar Seol-ie? Pasti berat membesarkan anak gadis yang rumahnya hanya dihuni lelaki.”

“Tidak juga, Bu. Seol anak penurut.”

“Euy, tentu saja Seol anak baik. Iya kan, ibu-ibu?” Perempuan paruh baya lainnya ikut mengiyakan, “tapi bukan masalah anaknya penurut atau tidak, bagaimanapun Seol itu perempuan, apa sebaiknya dia juga diasuh oleh perempuan—seorang ibu?”

Jeno mematung. Ia tak menyangka pertanyaan itu bisa gamblang dilontarkan kepadanya, terlebih dengan Seol yang ikut mendengarkan di pelukannya. “Saya rasa saya cukup tahu apa yang terbaik untuk Seol,” Jeno memperbaiki posisi Seol di pelukannya, “saya pamit dulu.”

Jeno melangkah keluar dengan kaki jenjangnya yang mampu membawa keduanya menjauh tanpa mengizinkan para wanita itu tuk mengeluarkan sepatah kata.

divider

Selepas operasi selama kurang lebih enam jam lamanya, Jeno beranjak ke ruangannya setelah memberikan penjelasan ke keluarga pasien. Operasi berjalan lancar dan yang tersisa adalah waktu yang akan mengembalikan pasien dari tidurnya.

Jemari Jeno berlarian di atas layar dan menata kata Donghyuck di pencarian kontaknya lalu menekan tombol panggil. Sambungan terhubung tapi tak kunjung dibalas di ujung sana. Jeno mengernyitkan dahinya. Jam segini seharusnya dia tak begitu sibuk pikirnya.

Jeno menghubungi Donghyuck sekali lagi. Ia menyapa singkat orang-orang yang ia lalui dan menghentikan langkah sebentar di ruang tunggu ruang operasi.

memakan korban kurang lebih tujuh orang. Korban dengan keadaan kritis dilarikan ke rumah sakit terdekat— samar-samar Jeno mendengarkan announcer berita dari cuplikan breaking news stasiun televisi nasional. Refleks Jeno berputar arah menuju IGD setelah menyadari rumah sakit terdekat yang dimaksud bisa saja gedung ia tepaki sekarang. Ia membuka pintu IGD dengan sigap, masih dengan handphone di telinganya dan berpapasan dengan dokter residen tahun ketiganya.

“Prof...” lirihnya.

“Ada apa? Ada pasien urgent?”

“Terjadi kecelakaan beruntun dan korban dilarikan ke sini. Beberapa korban sudah tiba dan beberapa darinya adalah karyawan perusahan pak Donghyuck. Apa Prof. bisa menghubungi pak Donghyuck?”

Handphone Jeno terjatuh dari genggamannya. “Apa? Apa yang baru saja kamu bilang?”

“Tidak,” Jeno menepis, “tidak mungkin.”

Tidak seperti ini, Donghyuck. Tidak akan kubiarkan.

divider

A few winter ago.

Lift itu sunyi, bahkan suara hembusan napas tak tertangkap hingga kedua bilah besi di hadapan dua pria itu terbuka dan membawa keduanya ke halaman parkir di lantai terbawah gedung pencakar langit itu.

“Berikan aku kuncinya.” Tanya Donghyuck kepada lelaki yang masih berdiri tegak di dalam lift.

“Maaf, Tuan Muda, tapi untuk apa?”

“Saya ingin pulang sendiri. Tolong berikan aku kuncinya dan kamu silahkan pulang sekarang.”

“Saya bisa kehilangan pekerjaan kalau Pak Presiden mengetahui hal ini.”

“Kecuali kamu sendiri yang memberitahukan beliau” balas Donghyuck tenang.

Lelaki itu tak kuasa lagi beradu mulut dengan Donghyuck pun meraih kantong celananya.

“Hati-hati di jalan, Pak.”

Donghyuck tersenyum, “Kamu juga. Terima kasih untuk hari ini.”

Donghyuck berpacu dengan keempat roda yang berputar dalam diam. Kerlap kerlip cahaya kota Seoul malam ini mengalahkan semesta di atas kepalanya. Rutinitasnya dari terbitnya mentari hingga tenggelamnya mengerus energinya cepat, ditambah lagi semua itu sangat membosankan. Dasi yang terlingkar ia longgarkan asal, rambutnya yang tersapu ke belakang dengan rapih pun dia acak berjatuhan asal di keningnya.

Seoul malam itu begitu padat dan penuh kehidupan. Mobil Donghyuck tak berhenti membelah jalanan kemudian menepi tepat di depan stasiun subway. Sedetik kemudian ia mematikan mesin dan keluar dari kotak beroda itu. Ia bawa serta setelan jasnya dan mengambil langkah ringan menuruni rentetan anak tangga.

Jangan tanya apa tujuannya karena Donghyuck ingin sekedar berada dan tak bertujuan walau hanya sementara.

Di sisi lainnya, pria yang tak ikutan kalah lusuhnya berdiri dengan pikiran kosong di antara puluhan manusia lainnya. Name tag bernamakan Lee Jeno bergelantungan dari jemarinya. Rel saat itu kosong dan pintu otomatis di hadapannya tertutup rapat dan memancarkan bayangan lusuhnya.

Realita hidupnya akhir-akhir ini enggan berbaik hati kepada Jeno. Bumi menghangat tapi tak begitu dengan sukma Jeno. Tak bisa berdamai dengan sekeliling serta batinnya itu menyulitkannya untuk berbaik-baik saja. Jubah putihnya makin berat dimakan waktu. Ruang operasi yang ia habiskan berjam-jam tiap harinya dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini makin terasa asing dan menyesakkan. Di pertengahan tiga puluhannya, Jeno kehilangan arah.

Dan dua insan itu bersua di ujung ruang mencatat takdir yang tak kuasa dituliskan sejarah.

divider

Lembaran bunga menyapa dunia. Matahari terbit kini berhasil menyalurkan hangatnya ke bumi. Secercah cahaya yang berhasil masuk di balik jendela ruangan kerjanya menyadarkan Jeno dari tidurnya. Sofa yang terlalu kecil untuk tinggi badannya itu tetap saja berhasil memeluk tubuh Jeno yang kelelahan. Refleks Jeno langsung meraih handphone di kantong celananya. Pukul jam mengisyaratkan pagi telah tiba dan tentu saja notifikasi dari Donghyuck. Apa lagi yang Jeno harus harapkan.

Lima panggilan tak terjawab Empat pesan masuk

Hai, sedang operasi, kah? 11:36 PM Masih lama~? 00:11 AM Selamat pagi pria asing. Jika waktumu memungkinkan tuk dihabiskan bersamaku, apakah dirimu bersedia? Sebentar saja tak apa. Beritahu aku kapan kamu bisa. 06:06 AM Cuaca hari ini begitu sayang tuk dilewatkan. Keluarlah bersamaku sebentar. Hm? 06:08 AM

Jeno mengukir senyum pertamanya di hari itu. Ada damai yang jatuh di sukmanya rapuh. Ia mengusap wajah dan berjalan ke jendela besar di ruangannya dan memperhatikan kehidupan di luar. Benar kata Donghyuck. Paginya indah sekali.

Jemput aku sore ini, Pangeran. 07:06 AM

“Apakah aku harus mengembalikanmu tepat sebelum tengah malam?” sapa Donghyuck sambil menunggu Jeno duduk nyaman di sampingnya.

“Tidak juga. Aku milikmu selama engkau mau” balas Jeno sambil mengunci sabuk pengamannya.

“Bahaya sekali. Bisa saja aku tak akan mengantarkanmu pulang.”

“Bukannya pulangku itu ke kamu, Donghyuck-ah?” Donghyuck menoleh tak percaya, “Dari siapa kamu belajar hal seperti itu?”

“Apa kita akan menghabiskan waktu di sini? Apa perlu aku yang mengemudi?”

Donghyuck mengatur gigi mobil, “tentu saja tidak, Pangeran.”

Seluruh ornamen kehidupan tampak berbalik pulang. Mentari di ufuk timur beranjak dari tempatnya. Kota Seoul diselimuti warna orange lembut.

“Lee Jeno” panggil Donghyuck mengambil perhatian pria di hadapannya.

“Ada apa? Kenapa memanggil dengan nama lengkapku?”

“Kalau aku ditanya orang kantor siapa itu Lee Jeno, apakah boleh aku menjawabnya dengan dia kekasihku?” Segelas kopi di genggaman Jeno nyaris lepas. “Terserah kamu.”

“Kok terserah aku?”

“Yah… terserah kamu aja.”

Donghyuck tertawa pelan. “Kamu tuh lucu banget.”

“Makasih.”

Makin keras tawa Donghyuck.

“Berhentilah tertawa, Donghyuck. Aku sedang malu, apa kamu gak lihat?”

Kedua kaki Donghyuck menyerah dan ia hanya bisa menopang badan ke lututnya. “Pertanyaannya aku ganti, boleh?”

“Silahkan.”

Donghyuck kini meluruskan punggungnya tegap dan memperhatikan Jeno yang tertunduk di depannya, “tak peduli dengan kata pengganti apa yang aku harus sematkan untukmu, tapi” Donghyuck meraih kedua tangan Jeno, “bolehkah aku menemukan hakikat hidup dan cinta bersamamu?”

Jeno akhirnya meraih arah pandangan Donghyuck, membuatnya kembali melunjang tinggi di atas kepala Donghyuck.

“Bolehkah aku meneduhkan hati dan pikiranku yang runyam padamu—tentu saja kamu boleh melakukan hal yang sama kepadaku,” lanjut Donghyuck.

“Bolehkah aku tidak lagi menyembunyikan kerinduanku yang mengangkasa? Bolehkan aku menjalani kerumitan hidup dengan kamu di sampingku?”

Semesta termenung bersama Jeno. Tidak disangkanya di penghujung usih tiga puluhannya ia masih bisa merasakan apapun itu yang ia rasakan detik itu.

“Sungguh, aku tak lagi berada di jenjang mencari cinta, yang tersisa hanyalah memberi. Maka dari itu, izinkan aku masuk ke dalam kehidupanmu, Lee Jeno. Berbagilah beban bersamaku, tanpa rasa sungkan. Berjalanlah di sampingku, tuntaskan sisa hidup bersama. Kita tak perlu mengubah dunia, kita hanya perlu mengubah dunia kita. Bagaimana?”

Jeno tak luput menahan senyumannya, “tentu saja, jawaban apa lagi yang bisa aku beri.”

“Entahlah. Kamu bisa saja menolakku mentah-mentah di sini dan aku pulang patah hati.”

“Tidak akan kubiarkan.”

“Baguslah. Karena aku pun.”

Ah, karena musim semi sialan ini pikir Jeno.

“Lee Jeno, teganya dirimu” sambung Donghyuck. Jeno bergumam heran dan memiringkan kepalanya.

“Cih, aku udah berpidato panjang lebar membuatmu bak keliling dunia tujuh putaran, membuat duniamu berhenti tuk sepersekian detik,” Donghyuck memautkan kedua bibirnya, “Lantas mana balasanku?”

Jeno menghela napasnya, “Ketahuilah aku payah soal begitu.”

Keduanya hanya bisa saling membalas pandang dalam sunyi. Jeno mengeratkan genggamannya dengan segelas kopi yang sudah tak lagi hangat di tangan kanannya, sejurus kemudian ia menarik dagu kecil pria di hadapannya dan menutup jarak duniawi di antara keduanya.

“Apakah dengan ini cukup?” bisik Jeno.

“Hm,” Donghyuck tampak berpikir sejenak dengan nada menggoda, “Tidak. Belum cukup” jawabnya sambil menarik Jeno lebih dalam.

Ah, Donghyuck dan musim semi sialan ini pikir Jeno.

divider

Jeno meninggalkan dokter residennya yang terpaku di tempatnya. Kedua matanya bergerak cepat menyisiri seluruh ruangan IGD malam itu. Riuhnya ruangan itu jelas tak memperkenannya tuk mencari sosok yang ia harap tak ditemuinya. Asanya terputus ketika lelaki yang ia kenal didorong masuk ke dalam IGD dengan seorang petugas 119 sedang mengkompresi dadanya.

“Pak Kim!” teriak Jeno dengan suara tertahan. Pandangannya seketika kabur mendapati sopir pribadi Donghyuck berlumuran darah tak sadarkan diri.

Donghyuck.. Lee Donghyuck.. Dimana dia..

Brankar Pak Kim secepat kilat melewati Jeno yang hanya bisa mematung di tengah medan perang ruang IGD malam itu. Dunia Jeno seolah berhenti, ia bisa mendengar detak jantungnya yang berlari dengan kencangnya, hiruk pikuk sekelilingnya meredam dan pandangan Jeno diselimuti kabut putih.

Sampai akhirnya, ia mendapati seseorang menekan perban di kepalanya berlari ke arahnya. Jeno seolah tak mempercayai penglihatannya.

“Dimana pak Kim? Apakah dia bisa bertahan?”

Jeno rasanya ingin menangis saat itu juga.

“Lee Jeno! Bagaimana pak Kim?!”

Jeno pun tak kuasa menahan lalu menarik pria itu ke dalam pelukannya. Bendungan air matanya pun lepas.

“Syukurlah, Donghyuck. Syukurlah.”

Badan Donghyuck seketika rileks di dalam balutan kedua lengan Jeno. Kepala Jeno tersembunyi nyaman dibalik bahu Donghyuck. Donghyuck mengusap belakang Jeno tanpa banyak bicara.

“Jeno, aku baik, aku baik-baik saja” bisik Donghyuck berulang kali seolah mantra tuk menenangkan.

Detak jantung Donghyuck terdengar begitu jelas di kuping Jeno membuatnya makin tak bisa berhenti menangis.

“Iya, aku tahu.”

divider

햇살처럼 빛나고 있었지 꿈이라고 해도 좋을 만큼 Bak mentari kamu bersinar Seindah sebuah mimpi

how do you write an ending to a story you wish never finished?

Donghyuck-ah, lucukah rasanya di usia lewat setengah abad ini aku justru takut mati?

Tidak, Jeno. Karena aku pun.

Mengapa juga kita harus bertemu di penghujung umur kepala tiga. Menyedihkan sekali bahkan tak sampai setengah hidupku kuhabiskan bersamamu.

Lee Jeno, apakah kamu ingin menantang takdir sekarang?

Donghyuck-ah, bisakah kamu membujuk penulis kisah kita tuk tak mengakhirinya?

Bicara apa lagi kamu ini.

Sungguh, aku rasa jika kamu mengeluarkan aegyo andalanmu, mungkin.. bisa saja..

Jeno-yah, akhir itu sudah pasti. Sepasti aku yang akan mencintaimu sampai akhir.

Sudahi dulu gombalannya dan coba turuti perkataanku.

Sudah hilangkah akal sehatmu? Atau ia justru tertinggal di badan pasien kamu di meja operasi? Umur segini juga aegyo apaan

알 수 없는 미래지만 네 품속에 있는 지금 순간이 영원 했으면 해 Meskipun hari esok tak ada yang tahu Seperti aku yang berada di pelukanmu sekarang, kuharapkan ini tuk selamanya

Perempuan itu memandu langkah kakinya pelan di antara hamparan rumput hijau yang cerah diterpa cahaya mentari. Sudah lewat siang tapi kota Seoul hari itu tak segan memamerkan kehangatan cuaca musim panasnya.

“Anak Ayah dan Papa datang!” Perempuan itu menurunkan kacamata hitam dari wajahnya agar melihat dengan jelas pemandangan di hadapannya.

“Hari ini cuaca begitu terik. Sungguh, puluhan tahun kuhabiskan di sini tapi tak pernah terbiasa dengan musim panasnya. Bahkan aku bisa mencium aroma samgyeopsal keluar dari tubuhku jika terlalu lama terjemur di bawah matahari” candanya.

Ia kini memilih tuk duduk beralaskan bumi di antara dua kumpulan tanah yang sedikit menjulang.

“Apa kabar, Yah, Pa? Kalau sudah pergi meninggalkan anak gadismu seorang diri di sini sudah seharusnya kalian berbahagia di sana. Awas saja kalau kalian bersedih atau semacamnya, aku kan ikut menyusul!” ancamnya.

“Melihat matahari begitu menyilaukan mengingatkan Seol akan Papa, atau mungkin ini taktik Papa agar aku datang ke sini? Kalau begitu, Papa berhasil!” Perempuan bernama Seol itu melirik ke arah kanannya, tepat di batu nisan Donghyuck.

“Bagaimana? Sudah cukupkah hidup bersamaku selama 15 tahun? Pasti sudah terasa cukup karena kalian dengan teganya meninggalkanku sendiri, tapi bagiku tidak. Tidak pernah cukup rasanya.”

Seol lalu mengarahkan pandangannya ke sisi kirinya, tempat peristirahatan terakhir Ayahnya, Jeno. “Aku yang lahir di muka bumi tanpa pelukan seorang Ibu tapi kekosongan itu Ayah isi dengan hangatmu. Badanku yang terlalu kecil dan rapuh, meskipun tak erat pelukanmu tapi kuyakin kehangatanmu mampu membuat jantung kecilku berlarian di balik dadaku yang mungil. Kehangatan yang kau beri semoga tak pernah hilang sampai detik Ayah pergi. Pergilah dengan hati terhangat, sehangat kasihmu.”

“Ayah, Pa, kehilanganmu mungkin telah membuatku jatuh terpuruk, tapi hidupku harus tetap berjalan, hari demi hari kulalui tanpamu, kejam dan begitu dingin, berulang hingga aku terbiasa.”

“Lihatlah, anak gadismu kini sudah menjadi wanita keren berjubah putih seperti Ayah!”

“Meskipun takkan pernah ku maafkan bagaimana Ayah dan Papa meninggalkanku tuk menjadi seorang yatim piatu tuk kedua kalinya, tapi terima kasihku tak kunjung berhenti bagaimana justru kalianlah yang menyelamatkanku tuk kedua kalinya, ah ralat, tuk kepuluh bahkan ratusan kalinya.”

Seol memperbaiki duduknya dan menatap langit yang sedang berganti warna mengikuti perubahan letak matahari.

“Ayah, Pa, ketahuilah pada hari ini akhirnya negara ini melakukan satu hal yang benar. Hukum pernikahan sesama sex akhirnya disahkan. Seandainya, para pembuat hukum itu lebih cepat dua puluh tahun, setidaknya kalian berdua bisa meninggalkanku sepotong foto pernikahan kalian. Bukannya menyenangkan melihat Ayah dan Papa mengenakan jas rapih nan tampan, dengan si kecil aku yang menggenggam kedua jemari Ayah dan Papa yang tersenyum ke arah kamera. Oh, mungkin aku bakal pakai gaun juga yah? Ditambah bunga! Kalau memungkinkan aku ingin bunga baby's breath! Kudengar makna bunga itu begitu bagus. Apa yah.. sebentar aku lupa,” Seol tertawa kecil sambil meraih handphone di kantong jaketnya, “apa gunanya gelar doktorku tapi hal sepele seperti ini aku lupa, pasti Papa bakal ngomel seperti itu, kan?” tanya Seol sambil menatap sesaat ke batu nisan Donghyuck.

“Lalu, Ayah mungkin akan membelaku dengan tabahnya berkata menjadi dokter telah memenuhi kapasitas penyimpanan memoriku maka bisa saja aku melupakan hal-hal kecil seperti ini, ya kan, Yah?”

Anyway, back to topic bapak-bapak sekalian, menurut internet baby's breath adalah bunga yang melambangkan ketulusan, kemurnian, cinta sejati, dan abadi. Bagaimana? Indah, bukan? Persis seperti Ayah dan Papa.”

Seol beranjak dari duduknya, menghempaskan daun dan tanah dari jaket panjangnya.

“Cukup sekian sesi curhat bersama kedua bapak di sini. Aku bisa mati cemburu kalau terlalu berlama-lama berada di antara kalian berdua.”

Seol memasuki handphonenya kembali ke kantong jaketnya. Seol menegakkan tubuhnya sembari menatap ke kedua batu nisan di hadapannya.

On this very delightful and historical day, now I pronounce you partners for life and death, a husband to each other. You may kiss the groom.

Congrats for your wedding, Ayah dan Papa. Terima kasih telah memberiku kasih dan mengajarkan hakikat cinta dan hidup yang sesungguhnya.

Seol meletakkan segenggam bunga di masing-masing kedua batu nisan sebelum beranjak meninggalkan tempat itu.

With or without you, i'm both glad and happy as ever. Hope to meet you in my next life, with much better story to be told.

그 모든 순간은 눈부셨다 모든 날 모든 순간 함께해

End.

Notes /grabs a mic 븝이: mic check 1 2 aight

Pertama-tama, i hate myself a lot while writing this Kedua-dua, if you read until this very point, thanks! (and i wonder why.....) Ketiga-tiga, have a nice day, love ya, jendong stay cute and lovey dovey @ each other Keempat-empat, shout at me on my secreto pretty please hehe Kelima-lima, mengapa sedari tadi aku ngomong pakai bahasa Inggris, Tuhan tolong..