KENAPA, YA?

Rasanya Ghavin mau mati saja. Ikut pergi bersama jiwa Raisha yang telah berada di persimpangan jalan menuju keabadian. Hatinya hancur, pikirannya kabur, bingung harus bagaimana lagi. Sebab, bahagia belum cukup ia beri kepada seorang Raisha. Masih terlalu banyak sembilu yang ia tancap sangat dalam pada hati perempuan yang tabah. Entah dimaafkan atau dilupakan, barangkali ikhlas saja tak mampu dicapai.

Jika waktu bisa diputar kembali, 1 tahun yang lalu adalah tujuan waktu Ghavin. Atau, singkatnya saja 1 bulan yang lalu. Atau lagi, lebih singkat sekali 1 hari yang lalu saja. Berapa pun waktunya yang penting disaat detik terakhir hidup Raisha, Ghavin ada. Sekedar memberi kalimat penyemangat atau membelai lembut punggung tangannya.

Kalau tahu akhir ceritanya akan seperti ini, ia ingin memberi banyak bahagia pada perempuan yang kuat hatinya. Ia ingin memberi banyak rasa kepada perempuan yang paling kokoh kakinya. Sebab, sebuah kata saja tak akan mampu menggambarkan satu rasa, apalagi banyak abai yang diberi. Dulu, menurut Ghavin, abai adalah salah satu bentuk rasa. Digambar dengan sedemikian rupa sehingga hanya mereka yang peka saja yang mempu menangkap detail rasa dibalik abai tadi. Mau dibungkus seapik apapun, yang namanya abai bukanlah bentuk dari rasa. Ia adalah salah satu sakit yang paling terbaik diantara semua rasa.

Jaket Levis yang ia taruh sembarang, dengan cepat ia sambar. Menepis kalut, membawa kesadaran. Sebisa mungkin jangan sampai ia kehilangan akal. Apa sih yang bisa diperbuat seorang pengecut kala orang yang ia sayang dalam kesusahan? Pasti membantunya walaupun dengan cara yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Lalu, apa sih yang bisa diperbuat seorang berengsek kala orang yang ia lukai secara terus menerus meninggal? Menyesali perbuatan pastinya.

Dengan gerakan secepat kilat, ia bersiap-siap. Setelah mendapatkan kunci motor di meja ruang tamu, layaknya Superhero yang bernama Flash, ia pergi bersama motor yang memiliki banyak kenangan bersama Raisha itu. Membelah jalanan ibukota sambil meracau, “Jangan pergi dulu, aku belum datang, Cha.”

Gedung-gedung tinggi ibukota jadi saksi bisu, tangis dan racauan penuh putus asa mengisi ruang kosong yang ada di dalam helm Ghavin. Teriakan penyesalan memenuhi kepalanya, memohon pada Tuhan untuk tidak mengambil 'dia' yang ia sayang, meminta semesta untuk memutar waktu kalaupun hal yang tak diinginkan benar terjadinya.

Setelah menempuh perjalanan yang dirasa sangat panjang, Ghavin sampai di lobi Rumah Sakit Barata Setya. Dengan tergesa, kaki dipaksa melangkah secepat irama jantung berdebar. Pandangannya sedikit kabur karena air mata yang tak hentinya mengalir tanpa diberi aba-aba. Di tengah keheningan, suara-suara yang tadinya menghantui berubah menjadi asap. Hanya kosong yang tersedia kala badan dipaksa kuat untuk berdiri. Pada detik ke-9 setelah badannya masuk ke dalam lift, sebuah notifikasi pesan masuk.

Sedingin-dinginnya Kutub Utara dan Selatan, masih kalah dingin dengan suasana di dalam lift. Tubuh Ghavin menegang, bibirnya kelu, otaknya membeku. Hanya satu yang bersuara, “Tuhan, jika memang terjadi. Izinkan aku bertanya sebentar saja. Kenapa ya, penyesalan selalu berbentuk kehilangan?”