#Nabastala dan khayalannya.
Contains m/m : Aki x Denji. Ditulis dalam bahasa baku
Cantik.
Sosok dengan surai pirang itu mendongak. Menatap hamparan luas nabastala yang terbentang di depan aksanya dengan sebuah senyum lebar.
Warna jingga terang yang begitu mengesankan, kian merenggut seluruh atensinya.
Aksa bonekanya berbinar, bak kumpulan galaksi yang sedang terang-terangnya.
“Indah, kan?”
Lalu, sebuah suara lembut menginterupsinya, membuat perhatiannya segera teralihkan menuju pemilik suara itu.
Pemilik surai pirang, mengangguk. Dengan senyum lebar yang masih terulas halus di wajahnya yang begitu anindita.
Senja.
Di sebuah taman yang menghadap ke arah danau, keduanya merebahkan diri, di atas rumput halus yang menjadi alasnya. Dengan 2 pasang mata yang enggan melepaskan diri dari pemandangan indah di atasnya.
“Kamu suka?” Sosok dengan surai hitam, menoleh ke arah si pirang. Aksa tajamnya nampak teduh, sebisa mungkin menatap sosok di depannya dengan lembut.
Sosok pirang, menoleh. Balas menatap sosok di depannya tak kalah teduh. Aksanya yang cantik nampak berkaca-kaca entah karena apa. “Suka sekali.”
Sosok dengan surai hitam panjang itu bernama Aki. Dan sosok pirang yang baru saja dipanggilnya itu bernama Denji.
Sepasang kekasih?
Bukan.
Mereka hanya sepasang pemuda yang tengah mendalami apa itu rasanya mencinta dan dicinta.
“Kalau kamu suka, aku akan membawamu kesini lagi lain kali.” Aki, tersenyum ke arah Denji.
Sudut bibir Denji, segera terangkat, membentuk sebuah senyum manis yang mampu menarik Aki dari semua lelahnya pada buana.
Aki mengubah posisinya, yang awalnya terlentang, kini menjadi telungkup, dengan tangan kiri yang menopang setengah wajahnya dan tangan kanannya yang bergerak di atas permukaan wajah Denji. Memeta seluruh inci, menangkapnya selamanya untuk disimpan di dalam hati.
Denji, yang menerima afeksi itu, memejamkan matanya, dengan jantung yang bergemuruh, karena cintanya yang melimpah-ruah nampak tak bisa terbendung lagi.
“Denji.”
“Hm?”
“Kamu harus tahu, bagi dunia, mungkin kamu hanya satu orang. Tapi bagi aku, kamu adalah dunia itu sendiri.”
Denji, lantas membuka matanya seketika, menatap Aki, dengan pandangan yang sulit diartikan.
Kenapa? Kenapa Aki, menatapnya dengan tatapan penuh luka seperti itu? Kenapa aksa kelam yang selalu menarik Denji, itu kini tengah kehilangan binarnya? Hanya sorot suram, penuh putus asa yang membuat Denji, segera menangis tanpa sadar.
“Kenapa tiba-tiba?”
Denji, bertanya dengan suara yang mulai parau. Tenggorokannya terasa mencekik, tertahan oleh sesuatu yang sakit, menyesakkan, dan Denji tidak mengerti itu apa.
Aki tak menjawab, terus menatap wajah Denji, dan mengelusnya dengan pelan. Benar-benar berniat meninggalkan cinta yang dalam di sana.
Saat Denji, akan membuka suaranya lagi. Sebuah teriakan keras dari ujung jalan, menyapa indra pendengarannya.
“DENJI!!!”
Ia segera mendudukkan dirinya, menatap sosok baru, perempuan dengan surai pirangnya yang panjang kini tengah berlari ke arahnya.
“Power?”
Denji, bingung. Sosok perempuan di depannya, kini bersimpuh di hadapannya, dengan nafas yang terengah karena lelah, serta air mata yang entah kenapa terus menganak-sungai di wajahnya.
“Kenapa menangis?” Denji, bertanya. Tangannya bergerak secara spontan, mengusap air mata dari sahabatnya itu.
Power, perempuan yang baru saja datang itu justru semakin terisak. Kedua tangannya berbalik menangkup kedua wajah rupawan Denji, mengelusnya dengan tangan yang gemetar hebat.
“Sudah cukup,” ucap perempuan itu.
“Huh?”
“Sudah cukup, ya? Denji sayang Aki, kan?” Perempuan itu kembali bertanya dengan isakan yang masih mengikutinya.
Dengan linglung, Denji mengangguk.
Detik berikutnya, seakan tersadar oleh sesuatu, aksa bonekanya segera bergerak liar. Mencari setiap sudut yang ada di depannya, berusaha mencari sosok Aki, yang baru saja memberinya sebuah cinta yang begitu indah, nyaris seperti sebuah ilusi.
Nihil.
Aki, tidak ada.
Aromanya, tatapan teduh khasnya, suara lembutnya. Benar-benar tidak ada dijangkauannya.
“Kalau sayang, sudah cukup. Aki sudah bahagia di atas saja, Denji.”
Seakan terpukul oleh kenyataan, Denji, terpaku di tempat. Memukul dadanya yang tiba-tiba sesak, tepat ketika potongan-potongan memori menyakitkan memasuki otaknya dan menyerangnya secara membabi buta.
Gelap, tersisa warna merah gelap di ufuk barat sana. Menandakan jika malam akan segera datang.
Dan Denji, hanya bisa menangis keras di sana.
Saat sadar, sosok yang menemaninya memandang nabastala tadi hanyalah sebuah khayalannya.