AUN : morning

‧ ₊✜˚. Langit masih terlihat gelap diluar sana. Bahkan suhu diluar masih mencapai angka rendah. Kendati lampu-lampu rumah mulai berpedar sinarnya, menyaingi jalanan yang telah disinari lampu otomatis semalaman. Jarum jam menunjukkan pukul 04. 45 yang artinya masih terlalu dini untuk manusia melakukan aktivitasnya. Namun bagi Naura inilah waktu yang tepat untuk menikmati sepi dengan ketenangan yang didapat sebelum hiruk pikuk roda dunia mulai bergerak. Entahlah, Naura sendiri masih sulit untuk menjabarkan bagimana, yang pasti dirinya sangat menyukai waktu waktu ini.

Segelas coklat hangat dan juga tak lupa sebuah bantal boneka berukuran sedang sudah dalam genggaman. Gadis itu segera menaiki tangga di lantai dua rumahnya yang terhubung langsung dengan atap. Rasanya seperti rumah tempat tinggalnya memang dibuat hanya untuk dirinya. Maka ketika pintu di ujung tangga yang menjadi satu-satunya pemisah dengan atap terbuka, ia mengedarkan matanya meniti lantai sedimen yang sekiranya dapat ia digunakan untuk duduk. Seperti biasanya, sebelum matahari terbit Naura akan naik ke atas demi menikmati langit serta menanti kemunculan mentari pagi. Atau jika beruntung, saat mendung Naura akan mendapati awan gelap mengelilingi langit esok hari. Tenang dan indah menurutnya.

Terkadang Naura bingung bingung, mengapa dirinya begitu tertarik dengan langit atau awan gelap. Sifatnya begitu bertolak belakang dengan Fadhil, saudara kembarnya itu kurang suka dengan awan hitam atau abu-abu yang bergelung di atas langit. Kedati demikian Fadhil sama sekali tak membenci ketika tetesan-tetesan air jatuh menyiram permukaan bumi. Hanya saja pemuda itu sering mengomel pada Naura jika gadis itu terlalu lama menatap awan.

Gadis berlesung pipi itu duduk bersila tanpa alas dengan sebuah boneka di pangkuan. Sesekali menyesap coklat hangat yang menjadi kegemarannya tanpa peduli dibawahnya hanyalah lapisan sedimen tak beralas. Kedua matanya terpejam, menikmati semilir angin pagi yang segar menyentuh permukaan kulit wajahnya. Memeluk boneka dengan erat, dengan sesekali mengelusnya secara naluri. Sebenarnya Naura sendiri tidak tau mengapa ia selalu melakukan aktivitas monoton ini secara rutin. Ia hanya menjalaninya karena sedikitnya hal tersebut dapat membuatnya merasa nyaman dan tenang.

Tak mengherankan karena suasana pagi di atap rumahnya cukup menyegarkan dan indah secara bersamaan. Sedikit dingin lantaran kemarin sore hujan mengguyur dengan derasnya. Beberapa genangan kecil serta embun pagi di dedaunan tanaman menambah kesan segar udara disekitar. Ditambah susana yang begitu tenang karena di jam-jam sekarang, sebagian orang belum melakukan aktivitas. Kebanyakan dari mereka mungkin masih bergelung di dalam selimut yang hangat.

Gadis itu menengadah ke atas langit pagi buta yang berwarna biru tua membentuk gradasi hitam di arah barat. Senyuman kecil terlukis di bibirnya ketika mendapati beberapa bintang kecil yang masih terlihat. Sebelah tangannya terangkat ke arah satu bintang. Gadis itu terkekeh geli kala membayangkan jari telunjuknya menyentuh benda bersinar tersebut. Lantas menggeleng kecil atas tingkah bodohnya.

Tiupan angin pagi yang menerpa secara beruntun membuat Naura merapatkan hoodie yang dikenakan. Kulit dan tubuhnya memang tak kuat dengan suhu dingin. Bahkan ia sering sakit jika menjelang pergantian musim, disaat itulah tubuhnya akan bekerja keras untuk menyesuaikan suhu lingkungan sekitar. Di saat seperti ini, seringkali ingatan Naura terlepar jauh pada momen tak terlupakan yang masih segar di ingatannya. Bahkan kepingan memori mengenai sebuah kejadian yang barangkali tak pernah gadis itu alami seringkali muncul dengan cara berbeda. Entahlah, dirinya juga tak pernah memusingkannya. Bisa saja hal tersebut berasal dari cuplikan film yang pernah ia tonton sebelumnya. Atau kilasan kejadian yang tidak sengaja diciptakan oleh saraf otaknya begitu saja.

Suara ayam berkokok bersamaan terdengar nya sayup-sayup bunyi yang berasal dari rumah di sekitarnya menyentak nya. Seolah tanda jika tak lama lagi gadis itu harus turun demi melaksanakan aktivitas paginya. Langit yang tadinya masih gelap ini berangsur memudar digantikan oleh warna biru yang cerah. Sepertinya matahari pagi ini tak langsung muncul lantaran tertutup oleh awan. Hanya awan putih tebal, bukan awan hitam yang selalu ia nantikan kemunculannya. Pantas saja suhu udara masih tetap dingin walaupun pagi telah menyingsing.

“Ra!”

Mau tak mau Naura menoleh ke arah suara, mendapati seorang pemuda tetangga samping rumahnya sedang berdiri di balkon kamarnya. Kamar pemuda itu memang berada di lantai dua, sehingga dapat melihat dirinya yang sedang ada di atap rumah lantai paling atas. Tak mengherankan jika setiap hari pemuda tersebut sering mendapati Naura sedang beraktivitas di kamarnya. Balkon kamar pemuda itu memang menghadap ke samping, berhadapan langsung dengan balkon kamar miliknya.

“Ngapain?” Sebuah pertanyaan yang retorik dari pemuda itu seketika membuat Naura memutar bola matanya malas.

“Tidur” Jawabnya asal. Ia sudah terbiasa dengan kelakuan tetangganya, atau lebih tepatnya malas menanggapinya. Hampir setiap hari fikri menanyakan hal yang sama yang tentu saja membuat gadis itu jengah.

“Kok masih napas?”

“Serah!” Timpal Naura sewot membuat Fikri tertawa pelan. Memang menggoda Naura dengan berbagai pertanyaan rancu sudah menjadi kebiasaannya. Maka ketika gadis tersebut mulai marah dan mengomel justru menjadi hiburan tersendiri baginya.

“Gua kesana ya? Ntar lo pingsan lagi” tutur pemuda itu.

Naura diam tak menjawab, sedangkan fikri sudah menghilang di tempat. Sepertinya pemuda itu serius ingin datang ke rumahnya. Naura hanya menghela nafas mencoba tak peduli lagi. Sudah terbiasa mendapat kalimat demikian, padahal semua temannya juga tahu Naura hanya sering ambruk ketika keseimbangan tubuhnya hilang secara tiba-tiba bersamaan dengan pandangan yang mengabur.

Oh ayolah, itu hanya masalah kecil. Yah, setidaknya sebelum Naura pernah mengalaminya secara tiba-tiba lalu pingsan di jalan raya saat kepulangannya dari minimarket, yang menyebabkan dirinya hampir tertabrak sebuah kendaraan besar beroda empat dari arah samping. Semua jadi khawatir dan sedikitㅡerr berlebihan mungkin.

Sebuah tepukan di bahu mengagetkan Naura, hingga ia terperanjat kecil. Fikri telah sampai dan ikut duduk di sampingnya. Sepertinya pemuda itu naik melalui tangga samping rumahnya yang langsung menghubungkan dengan atap lantai dua.

sebuah kotak persegi berwarna putih terulur dari tangan pemuda itu. yang mana membuat gadis itu mengernyit skeptis, mencoba menerka nerka apa yang ada di dalamnya. Melihat reaksi Naura yang cukup berlebihan, pemuda itu memutar bola matanya lantas meletakkan kotak tersebut di atas pangkuannya. Tanpa menunggu lagi gadis itu segera membuka kotak tersebut. Ia terkejut lantaran menemukan isinya merupakan beberapa donat dengan berbagai rasa. Terlihat menggiurkan karena terdapat berbagai macam topping yang disusun sedemikian rupa dengan cantiknya.

“kok-”

“bilang makasih dulu kek,” sebelah tangan fikri mengacak kepala Naura gemas. barangkali Gadis ini benar-benar perlu di ajari sopan santun sesekali, tak peduli sekalipun gelar keluarganya yang lebih tinggi.

“makasiihh” ucapnya disertai cengiran, fikri hanya mengangguk menanggapi. “tapi kok tumben banget? Sebanyak ini lagi? Ada apaan emang?”

Pemuda itu menggeleng, “ga ada, cuma acara biasa”

memiringkan kepala tanpa sadar, gadis itu mulai dibingungkan dengan beberapa kejadian belakangan yang mungkin memiliki suatu keterkaitan. lantas senyuman jahil terpampang ketika suatu pemikiran konyol hinggap di kepala. “ Dijodohin, ya?” katanya dengan enteng membuat fikri spontan langsung memukul kepala gadis itu pelan berharap sirkuit otaknya berfungsi kembali. semoga saja.

Pemuda itu menghela nafas pelan, mengalihkan pandang ke atas dimana langit luas tanpa awan. Kedua tangannya diletakkan di belakang tubuhnya sebagai sandaran. “acara keluarga nanti jam sembilan, kue nya kebanyakan makanya disuruh mama anter” sungutnya.

Naura tertawa lantas menggeleng lirih melihat ekspresi fikri yang kesal, gadis itu jelas tahu pemuda itu baru tidur dua jam tapi dipaksa bangun mengingat fikri yang selalu tidur saat jarum jam sudah melewati pukul dua belas. Jika akhir pekan seperti ini, ia akan tidur di atas jam dua pagi. Pemuda itu bermain game sampai selarut itu tentu saja.

Secara sengaja sebelah tangan Naura terangkat mengusap kepala belakang fikri dengan tambahan ekspresi muka yang berlebihan dan sangat jelas di buat-buat. berlagak bersimpati atas yang dialami oleh fikri. Sangat menyebalkan untuk dilihat “semoga panjang umur, ki.”

Fikri menepis tangan Naura kesal. Wajahnya yang kusut lantaran tak cukup tidur menjadi semakin membuat pemuda itu terlihat mengerikan. Ia menepuk-nepuk boneka Naura pelan, lalu memiringkan tubuhnya dan bersandar pada bantal boneka di pangkuan Naura, sedetik kemudian menutup matanya mencoba tidur.

Hal itu sontak membuat Naura terkejut, ia berdecak pelan. Sempat berfikir untuk menarik rambut pemuda itu dengan gemas, tetapi ia urungkan segera setelah melihat garis lingkar hitam tipis di bawah mata fikri. Naura mendengus pelan, “ ki, balik sana! pengecut banget pake acara kabur segala” bujuknya. Tapi pemuda itu diam tak berkutik sedikitpun, mungkin sebentar lagi dirinya akan benar-benar terlelap.

Baiklah, meskipun Naura tak tega tetapi tetap saja, akan sangat merepotkan jika pemuda ini tak segera pulang. Mamanya akan frustasi mencari keberadaannya karena acara tersebut harus menghadirkan seluruh keluarga besar terlebih lagi acaranya diselenggarakan di rumah fikri. “Kiki, balik ih nanti ada acara kan katanya”

“Brisik, gua gamau balik”

Naura mendengus dengan keras, dirinya sedang mencoba mengalah membiarkan Fikri untuk sejenak. Gadis itu memilih mengambil satu donat di kotak, mengamati toppingnya dengan mata berbinar seolah itu perpisahan terakhir sebelum makanan itu lenyap ke dalam perutnya. Senyumnya seketika mengembang merasakan makanan manis itu menyentuh permukaan lidahnya.

“Ra” panggil fikri dengan mata yang masih terpejam.

“Hmm”

“Lo suka ya sama gue?” tanyanya yang sontak membuat Naura hampir tersedak. Gadis itu lalu menyentil keras dahi Fikri, membuat pemuda itu mengaduh.

“Gausah halu. Lo bukan Choi Beomgyu, ngapain gue suka sama lo.”

Naura kembali memakan donatnya dengan sedikit kesal. Sedangkan Fikri kembali diam entah sedang tidur atau berpikir ulang.

“Kalo gue yang suka sama lo, gimana?”

Demi apapun yang melintasi permukaan bumi, rasanya Naura ingin mendorong tubuh jakung fikri ke jurang kematian. Pertanyaan Fikri membuatnya mengingat kejadian kelam ketika sekolah menengah pertama. Maka dengan cepat gadis itu menjawab, “Terdengar tidak mungkin”.

Fikri mengguman seolah sedang berpikir lebih jauh lagi, “Kalo gua suka sama dita?”

“Bisa aja sih... Kalo lo mau berantem sama temen sendiri”

Jawaban Naura membuat pemuda itu menghela nafas, lalu tanpa berpikir panjang melontarkan pertanyaan terakhir, “Kalo sama Mina? “

“Mina nya yang nggak suka.”

Setelah itu keduanya diam tak bersuara sedikitpun, yang satunya sibuk mengunyah dan yang satunya lagi setengah terlelap. Tanpa mereka berdua sadari, seorang wanita paruh baya tengah menghela nafas di tempat. Menggeleng pelan melihat kelakuan anak bungsunya di atap rumah tetangganya. Beliau sedikit mengerti jika rasa sakit yang tersemat tidak akan menghilang begitu saja dengan cepat. Mungkin fikri masih memerlukan sedikit waktu lagi. Setidaknya pemuda itu tak akan selamanya membenci keluarganya.

“lo lagi frustasi apa gimana?”

“hah?”

“ada yang lagi suka sama lo? atau lo abis ditembak”

“nggak”

” dih, gausah bohong”

guasah sok tau

denger, gua paham banget sama sikap lo. dulu juga pernah kan?

apaan?

serius? lo lupa? dulu waktu SMP ada cewek yang suka sama lo.

siapa?

kalo itu sih gua juga lupa siapa namanya, tapi gua inget itu cewe sering banget tiba-tiba nanya ke gua soal lo. ini lah itu lah, gua jawab malah pundung anaknya ngira gua punya hubungan khusus ke gua. najis bener

emang iya?

iya astaga, memori lo jelek bener deh. jangan jangan lo juga ga inget gua dimusuhi semua cewek di kelas gegara ada anak kelas sebelah nembak lo tapi lo tolak. mereka ngira gua yang jadi penghalang. kan sialan.

ga lo doang kali

gua juga sering dibilang cupu, alasannya karena gua ga pernah berani nembak lo

dan paling parah gua pernah berantem sama anak lain sampai diskors, alasannya? karena mereka bilang bakal ambil lo dari gua, dan rencanain nyebar rumor aneh aneh soal kita

bohong ya? seinget gua lo di skors gegara mecahin kaca di aula deh.

iya emang bohong