be nice :)

‧ ₊✜˚. Lo orang jahat, Ki. Gitu kata mereka.

Memangnya kenapa? Apa salahku? Kesalahan yang begitu banyak seperti itu....apakah ini balasannya? Apa tidak boleh sehari saja? Mereka tetap membuangku pada akhirnya. Bukan bermaksud untuk melebih-lebihkan cerita. Memangnya ini salah siapa? Aku sendiri masih begitu sulit mencerna semuanya. Jika waktu begitu berharga, mengapa kadang aku merasa tak pernah ada artinya. Manusia memang menyedihkan.

Its like a worst reality

Barangkali memang aku yang salah mengerti. Entahlah, aku tidak berfikir semua butuh untuk dipahami. Torehan luka, apa itu perbuatanku? Setidaknya bukan secara langsung. Namun kubangan rasa bersalah seolah melambai ke arahku, menunggu untuk kuterjuni dengan segala mimpi buruk.

Biar aku bertanya satu hal, tidak pantaskah aku? Semua kembali rumit kala keputusan yang kuambil melirik ke arah yang begitu sukar untuk ditarik. Tidak mengerti? Aku sendiri tidak butuh akan pengertian. Hanya saja bolehkan aku menghindari realitas yang begitu menggelikan. Sejenak berfikir pun rasanya tidak akan cukup.

Tapi mengapa? Tuhan selalu mempercayai diriku yang lemah ini. Melebihi apapun aku sendiri tidak yakin akan mampu. Terdengar egois mungkin, tapi bisakah bukan aku yang menerima? Aku yakin banyak orang lain diluar sana yang mampu atau bahkan dengan mudah melewatinya. Apa mungkin akan bertolak pada konsep yang ada?

Bukannya aku menyombongkan diri, tapi aku sudah berusaha semampuku. Mungkin lebih dari kemampuan yang kumiliki. Tapi hantaman yang lebih kuat selalu saja hadir tanpa permisi. Tidakkah itu kelewat kejam? Untukku yang masih berusaha untuk mempertahankan kewarasan. Setiap saat aku selalu ingin percaya akan mukjizat 'kun faya kun'. Aku tidak pernah berfikir untuk meragukan hal itu, sedikitpun.

Aku memang bukan manusia paling taat, atau istimewa dalam ibadahnya. Aku juga sering melakukan dosa. Kerap kali mengeluh pada hal yang ada. Atau berandai pada hal yang mungkin tak bisa kudapatkan, di dunia ini. Mengabaikan semuanya, aku juga selalu mendamba akan kenikmatan surga. Bukan jilatan mengerikan dari panasnya api neraka.

Tapi apakah itu sebanding? Apakah pantas bagiku mendapatkan semuanya? Dosakah aku mempertanyakan semua itu? Aku memang tidak akan pernah mengerti akan matematika Tuhan. Aku sendiri, tidak pernah mampu membayangkan. Memang pula siapa diriku? Hanya manusia hina yang masih mengharapkan ridho-Nya.

Hatiku kembali hancur, oleh kenyataan pahit yang harus kutelan. Sesak selalu hadir untuk memberi tanda akan kelemahanku. Tidakkah mereka begitu kejam? Nyatanya yang lebih membuatku hancur adalah ketika dua manusia paling berpengaruh dalam hidupku, harus ikut menyaksikan diriku yang dipermainkan realita. Tidak dapat kubayangkan sakitnya mereka, bertambahnya beban yang dipikul keduanya. Aku sudah lelah menangis, aku juga sudah lelah memberikan kenyataan pahit pada mereka. . . . .


Them

Hmmm, what should I call them? parasite? pest? or any else? Sungguh, adakah kata lain yang lebih sopan untuk mendeskripsikan mereka? Rasanya kesopanan tidak pantas mereka dapatkan juga. Sudahkah hilang akal, sampai berani melontarkan penyataan konyol demi kepuasan diri. Sudahkan merasa hebat sampai dengan bangga mengolok layaknya lolongan serigala di malam hari? Merasa surga sudah dalam genggamanmu, heh?

Tidak habis pikir, memangnya dengan memiliki mulut lemas seperti itu akan membuatmu disenangi? Terlihat akrab? Menyedihkan, jadi kau hidup selama ini dengan pola pikir sependek itu? Tidak heran jika apa yang terucap tidak pernah berbuah kebaikan. Karena otak pun jarang dipakai.

Pikirmu dirimu lebih hebat? Pikirmu dirimu lebih mulia? Menjijikkan. Dunia serasa mudah heh? Tidakkah itu terlalu berlebihan? Mengatur kehidupan orang lain seolah kehidupanmu sempurna? Kisahmu tidak menarik atau memang dirimu iri melihat struktur kehidupan lain? Rasanya aku ingin mengguyurkan larutan asam ke siapapun yang bermulut sampah seperti itu.