Blue Hour (Sasusaku)

‧ ₊✜˚. Sakura menghela nafas panjang, berusaha menekan rasa lelah sekaligus kesal ketika mendapati kondisi ruangan yang lebih mirip bangkai kapal terdampar. Lantas segera menyingsing lengan bajunya dan mulai memungut barang yang berceceran di lantai. Mengembalikan ke tempat semula satu per satu dengan segenap sisa kesabaran. Sejenak berfikir telah terjadi peperangan sebab buku-buku yang tersusun rapi dalam rak ikut berserakah di lantai.

Rasa lelah sepulang kerja dihiraukan sejenak guna membereskan kekacauan yang tengah terjadi. Wanita bersurai merah muda itu mengulas senyum kala melihat coretan asal di atas lembaran kertas, membentuk kurva dan bidang abstrak, hingga maniknya tak sengaja mendapati buku bersampul biru dengan cetakan huruf tebal dan stempel khas, membuat wanita itu terhenyak sesaat. Dengan ragu, diambilnya buku tersebut dan menepuk-nepuk pelan sampulnya, menghalau debu yang bersarang.

Maka dengan satu kali hentakan pada dirinya, Sakura mulai memberanikan diri membuka lembar demi lembar. Mencermati lamat-lamat setiap foto dan tulisan yang tercatat. Pun tersenyum simpul kala teringat akan setiap goresan tinta yang dirinya buat. Tepat pada halaman ke lima, tangannya berhenti bergerak, maniknya merangkum sosok gadis berambut gulali yang tengah tersenyum lebar ke arah kamera, berpose semanis mungkin tanpa terganggu ekspresi kaku yang tersemat pada kedua pemuda disampingnya.

Sakura tersenyum getir kala teringat pintasan memori mengenai insiden sebelum pengambilan gambar tersebut. Lagi. Rasa sesak mendadak hadir dalam dada, seolah jantungnya dipaksa terhimpit oleh bebatuan besar. Hingga tanpa dipersilahkan, setetes air lolos dari manik emerald miliknya. Mungkin seharusnya dirinya membuang saja buku ini bersama yang lainnya kala itu, dengan begitu tidak ada satupun hal yang mampu mengingatkan Sakura akan masa lalunya yang kelam.

Tidak dapat dipungkiri, jika perlahan rasa lelah tetap menggerus kewarasannya yang hampir habis. Kedati dirinya paham jika semesta tidak akan lelah mengujinya, kerap kali wanita itu berteriak dalam hati, meminta sedikit keadilan bagi kisahnya. Namun, baik takdir maupun dunia seolah pura-pura tuli dan bisu untuk menjawab semua doa nya. Jika seperti ini, bolehkah dirinya bersikap egois sekali saja?

Deru pendingin ruangan yang tadinya menjadi satu-satunya kebisingan, kini berganti dengan isakan kecil oleh wanita yang tengah berusaha menekan emosinya. Hingga sekelebat bayangan dua buah hatinya mendadak hadir seolah menegur sang ibunda. Diusapnya pipi yang telah basah oleh air mata, diikuti garis muka yang kembali seperti semula. Menciptakan sosok kuat yang mampu merobohkan segala penghalang layaknya tokoh pahlawan dalam serial televisi yang tayang setiap minggunya.

Mengesampingkan suasana sendu yang sempat hadir, dengan segera Sakura memungut kembali benda-benda yang ada didepannya. Memasukkan dalam keranjang dan menyimpannya dalam lemari di sudut ruangan. Namun, belum sempat tungkai kakinya melangkah, suara deritan pintu terbuka diikuti lengking tangis gadis kecil yang berlari menuju arahnya.

Maka dengan sigap wanita itu menangkap tubuh gadis tersebut dengan air muka khawatir yang ketara. Tak ada sepatah kata yang terlontar dari bibirnya, hanya tepukan penenang pada bahu mungil dalam dekap yang dirinya berikan sebagai tindakan utama. Hingga kedua matanya menangkap sosok lain yang tengah berdiri dibalik dinding. Mengintip kecil ke dalam ruangan dengan raut muka tak terbaca.

“Haruka, kenapa menangis?” Ditengah kebingungan suara keibuan nampak mengalun lembut, mengulas senyum teduh disana.

Sedangkan yang ditanya masih terseguk–sisa tangisan yang mulai reda. Meremat kuat kaos sang ibu demi menyalurkan emosi yang tersisa.

“Bertengkar dengan kakak?” Tanya Sakura dengan sabar yang hanya dibalas gelengan lemah oleh Haruka. Gadis kecil itu hanya diam dengan kelopak mata basah sisa air mata. Menggosok pipi tembam kemerahannya pada bahu sang ibu demi mencari kehangatan lebih.

Sakura menghela napas tenangnya untuk kesekian kali. Sudah paham jika sang buah hati seringkali memilih bungkam ketika ditanya hal-hal seperti ini. Tidak hanya sekali dua kali wanita itu mendengar dari anak tetangga lainnya mengenai kondisi dua kakak beradik tersebut ketika bermain di luar.

“Tidak ingin bercerita?” Lagi-lagi hanya dibalas gelengan. Tampaknya Haruka membiarkan ibunya berspekulasi sendiri atas situasi yang tengah terjadi. Sungguh, jika seperti ini Sakura juga ingin menangis saja rasanya.

Sadar akan situasi yang belum stabil, wanita itu kembali tersenyum, “baiklah, ibu tidak memaksa.” putusnya, hingga sepersekon kemudian dirinya melanjutkan, “Haruka mau pudding?”

Bocah lima tahun itu sontak menegakkan badan. Melepas pelukan sang ibu lantas menatap dengan binar mata antusias. Mengangguk dengan semangat hingga kedua buntalan pipinya memantul gemas, “mau!”

Penuturan polos sang buah hati sukses membuat Sakura tergelak diliputi kegemasan. Dengan sisa tawa, wanita itu mengulurkan tangan demi mengusap sisa air pada sudut mata Haruka dengan kehati-hatian yang luar biasa. “Pergi temui nenek di dapur,” ujarnya disertai kerlingan kecil.

Dengan antusias Haruka mengecup pipi sang ibu lantas berjalan dengan semangat menuju dapur disertai sorakan riang menyebut sang nenek.

Setelahnya, ibu dua anak tersebut lantas berdiri menuju lemari, menarik kotak obat dan membawanya ke lantai beralaskan karpet. Mencari sosok yang sedari tadi tak berani menampakkan diri.

“Hiroto, kemari sayang” panggilnya dengan nada membujuk.

Dibalik dinding pemisah ruang, seorang bocah lelaki terjingkat pelan sebab ketahuan. Rasa gugup mendadak menyelimutinya persis seperti tertangkap basah kala lupa membawa buku PR ketika pelajaran dimulai. Maka, dengan menyeret langkahnya Hiroto mendekati sang ibu dengan ragu. Kedua tangannya disembunyikan dibelakang tubuhnya agar tidak terlihat.

Sedangkan Sakura sendiri menatap lembut si sulung yang tak berani mengangkat wajahnya. Di usapnya kepala sang anak dengan perasaan haru yang tak bisa disembunyikan. Bangga. Wanita itu jelas takjub terhadap anak-anaknya yang luar biasa.

“Duduk dulu,” tanpa banyak protes bocah lelaki itu menurut. Membiarkan sang ibu mengamatinya dengan ekspresi sendu yang begitu ketara.

Seolah benar-benar kehilangan rasa lelahnya, dengan telaten sakura membersihkan wajah dan tangan Hiroto dengan tisu basah. Berlanjut mengambil obat merah untuk dioleskan pada beberapa luka yang tercetak di tubuh Hiroto. Bocah itu hanya diam membisu, sesekali meringis pelan kala lukanya bersentuhan dengan kapas berantiseptik. Tidak ada satupun yang bersuara, hanya bunyi pendingin ruangan dan kicauan burung di luar jendela, serta sayup sayup celotehan Haruka dari arah dapur yang menjadi iring-iringan adegan.

Semua sesi itu berakhir kala satu plester telah tertempel sempurna di dahi Hiroto. Usapan lembut pada pucuk kepala dengan senyum keibuan tercetak kedati tatapan nanar yang tak bisa disembunyikan menjadi penutup aktivitas. Hiroto masih bungkam tanpa berniat membuka mulut sedikitpun.

“Ibu paham, paham sekali. Tapi ibu juga perlu penjelasan barang satu sampai dua hal.” Ucapnya lirih sebelum menutup kotak obat dengan satu hentakan.

Sedangkan pribadi yang tengah diajak berbicara masih enggan melontarkan kata. Pikirannya masih dipenuhi oleh dilema. Dilema antara mengungkapkan kejadian yang sebenarnya atau tetap bungkam demi menjaga hati sang ibunda. Hiroto jelas paham satu sampai dua hal, secukupnya saja. Yang penting dapat dicerna oleh otaknya yang masih belia.

“Hiroto, dengarkan ibu. Ibu tidak akan marah atau menyalahkan siapapun. Jadi, tolong beritahu ibu, ada apa?” Pintanya sungguh-sungguh dengan menangkup wajah sang putra agar mau menatap dirinya. Sakura tahu, anak-anaknya tidak pernah berbohong padanya. Maka pilihan terakhir ada pada si sulung untuk saat ini, karena si bungsu telah enggan.

Sungguh, lebih dari apapun hal ini jauh menyayat hati Sakura. Melihat kedua anaknya yang rela menahan perasaannya demi dirinya, seolah menyadarkan Sakura jika ia telah gagal menjadi orang tua. Baik Haruka maupun Hiroto dapat dikatakan kelewat cerdas dibanding anak lain seusianya. Mampu memahami situasi secara sempurna pun sesuai dalam kapasitasnya tanpa tahu kejadian secara keseluruhan. Entah gen dari kedua orang tuanya ataupun kehendak tuhan yang menciptakan keduanya seperti itu, tapi terkadang Sakura juga ingin anaknya rewel seperti teman-teman sebaya mereka. Tidak terus diam seolah tidak ingin menambah kesulitan sang ibunda.

“Kalau kakak juga memilih diam, lalu ibu harus bertanya pada siapa?” ucap Sakura parau, sukses menarik atensi Hiroto hingga mau mengangkat wajahnya.

Maka bersamaan dengan hembusan angin menerpa ranting pohon di sebelah jendela, suara Hiroto mengalun pelan merangsek runggu Sakura. “Bukan aku yang mulai, Izuku yang mengejek dan mendorong Haruka lebih dulu.”

Walaupun sudah menerka situasi terburuk lebih jauh, tetap saja hati sakura merasa teriris atas penuturan sang putra. Sakura ingat dirinya selalu berpesan pada Hiroto untuk menggantikan dirinya menjaga sang adik kala bermain di luar, tapi Sakura juga tak bisa membiarkan si kakak terluka hanya karena amanat darinya. Seharusnya cukup sakura saja yang menerima cacian maupun cemoohan dari orang luar, tak perlu anak-anak mendapatkan hal serupa. Hati sang ibu tak dapat menerima hal tersebut.

“Mengejek soal apa?” dengan hati-hati Sakura melontarkan pertanyaan. Dengan mengetahui situasi secara rinci, dirinya akan tahu bagaimana menasehati anak-anaknya nanti.

Namun Hiroto kembali merapatkan bibir. Mengalihkan pandang pada objek lain untuk menghindari tatapan penuh harap dari sang ibu. Lantas menghembuskan napas dengan bibir mengerucut lucu. “Kalau aku mengatakannya, apa ibu akan marah?”

Baiklah, sepertinya Sakura harus mengais kesabarannya lebih jauh lagi. Putra putrinya memang tidak pernah rewel atau merengek untuk hal apapun, kecuali tentang buah tomat tentunya. Mereka selalu bersikap layaknya orang dewasa tanpa ingin memberatkan keadaan keluarga. Namun, sakura juga kesulitan dengan sikap anak-anaknya yang selalu menyimpan perasaan mereka di umur yang begitu belia. Sangat jarang kedua anaknya mengadu padanya, bahkan untuk bercerita kegiatannya ketika bermain saja Sakura harus memaksanya.

” Justru ibu akan marah kalau kau tidak mengatakannya,” ucapnya dengan keseriusan di dalamnya.

Hiroto mengerjap lucu, seolah protes akan ucapan yang dilontarkan sang ibu. Memiringkan kepala dengan kerutan dahi yang terpampang jelas, bocah itu seolah mencari celah untuknya melarikan diri. Namun tetap saja gagal, dirinya tidak akan bisa melawan kata-kata sang ibu dengan mudahnya. Setetes air lolos dari maniknya ketika dirinya mencicit pelan tanpa berani menatap muka sang ibu, “Izuku bilang, kami anak cacat karena tidak punya ayah”

Seketika dentuman besar menghantam relung hati Sakura. Sukses merobohkan bendungan yang sejak tadi telah dibangunnya dengan sempurna. Meloloskan air mata dari maniknya secara paksa hingga rasa pusing kembali menyerang kepalanya. Pun rasa perih lebih terasa seolah sebilah belati sengaja menusuk jauh ke dalam aorta.

“Maaf, kaa-san. Hiroto salah.” matanya menatap sendu pada emerald sang ibu, menciptakan sengatan sendiri yang membuat sakura merasakan nyeri pada ulu hatinya. Jelas dirinya tidak kuat, ketika maniknya menatap onyx sang putra yang begitu persis dengan ayahnya. Mengingatkan pribadi semampai tersebut akan masa lalu kelamnya, seolah mencekik lehernya kuat hingga rasanya begitu sulit sekali untuk melakukan respirasi. Pun menciptakan dilema sendiri dalam benak antara membenci maupun mencintai. Keduanya seolah bersinergi ketika Sakura melihat kedua buah hatinya.


Helaan napas lelah keluar dari satu-satunya laki-laki penghuni ruangan. Sekilas dilihatnya tatanan rapi buku-buku pada rak didepannya. Nyatanya setelah ditelusuri apa yang telah dicarinya tidak menemukan hasil sama sekali. Catatan mengenai wanita sepantarannya yang berhubungan dengan kakaknya-Itachi sama sekali tidak tercantum dalam buku ataupun jurnal di rak tersebut. Sejenak Sasuke merebahkan punggungnya, mengistirahatkan punggungnya sejenak dari beban tugas dari sang kakak.

Itachi sialan, kenapa aku harus mencari selingkuhannya hanya demi mendapatkan hak penuh atas perusahannya

Mendengus pelan Sasuke mulai mencari kontak di ponselnya dan menghubungi satu-satunya sahabat yang dirinya miliki.

“Naruto, kau senggang malam ini?”


Lagi-lagi Sasuke mendengus keras. Mood-nya sudah kacau sendari kemarin, namun hari ini dirinya dibuat lebih kesal oleh Naruto. Bagaimana tidak? Sasuke menghubungi teman karibnya itu demi mengajaknya untuk bersenang-senang menghilangkan beban pikiran. Namun yang ada malah Naruto tiba-tiba menyeretnya untuk pergi bersama ke Yokohama. Terlebih lagi tanpa ada persiapan sama sekali. Rasa-rasanya Sasuke ingin menendang kepala Naruto agar sirkuit otak temannya itu berjalan dengan benar sedikit.

“Ayolah Sasuke, aku tahu kau sibuk. Tapi ini kan akhir pekan. Bersenang-senanglah sedikit”

Wah, Sasuke menjadi berhasrat untuk menggelindingkan Naruto ke dasar laut. Apanya yang bersenang-senang? Mereka justru sedang mengunjungi rumah sakit sekarang ini. Memangnya apa yang bisa dibuat bersenang -senang? bermain dengan biaya administrasi pasien? memecat para suster dan menggantinya dengan para pegawai kantoran? Yang benar saja.

“Lebih baik kau segera menyelesaikan urusanmu disini. Aku ingin segera pergi”

“Tenanglah Sasuke, lagipula ini rumah sakit milik ibuku. Kalau kau lelah, kau bisa tidur di bangsal manapun,” kata Naruto asal sambil mengutak atik ponselnya.

Maka tanpa butuh waktu lama lagi, Sasuke langsung menendang sebelah kaki Naruto membuat pemuda bersurai pirang itu mengaduh sakit. “Sekali lagi kau membuatku kesal, kuhancurkan ponselmu” ucap Sasuke kemudian.

Naruto bersungut dan mencibir pelan, lantas mencoba menghubungi sang ibu melalui ponselnya. Hingga pada panggilan ketiga, Kushina-Ibu dari Uzumaki Naruto masih belum menjawab.

“Kurasa Ibuku masih di dalam ruang operasi. Bagaimana kalau kita menunggu disana” Kata Naruto sembari menunjuk suatu ruangan. Entahlah Sasuke tidak begitu paham struktur bangunan rumah sakit. Karena laki-laki bersurai hitam tersebut cukup membenci bangunan ini.

“Kau yakin? Bukankah lebih baik kita kembali saja?”

Naruto mendengkus, lantas mengangkat sebelah tangannya yang memegang tas kertas berwarna ungu berisi bekal makan siang. “Ibuku harus segera menerima hasil resep baru Hinata ini. Sebentar lagi kan waktu makan siang”

Terkadang Sasuke juga heran bagaimana bisa pasangan jenius seperti Namikaze Minato dan Uzumaki Kushina melahirkan anak seperti Naruto. Lelaki bersurang pirang itu terkadang bisa bertingkah lebih bodoh dibanding dengan kukang. Kendati tidak begitu paham, tapi Sasuke jelas tau jika seorang dokter jarang sekali makan dengan teratur apalagi tepat waktu.

“Kita titipkan saja di meja resepsionis, lalu kita pul- akh!”

Belum sempat Sasuke melanjutkan kalimatnya, mendadak ada gadis kecil yang menabrak kakinya. Seketika gadis itu terjatuh ke belakang dengan posisi terduduk. Naruto yang terkejut dengan posisi jatuh gadis yang seumuran dengan putranya itu langsung menghampirinya. “Hei, nak. Apa kau baik-baik saja? Ada yang sakit?” tanya Naruto dengan khawatir.

Namun, gadis kecil itu hanya diam dengan terengah. Kedua pipi tembamnya memerah dengan mata berkaca seperti menahan tangis. Mau tak mau Sasuke ikut berjongkok, “Kau terluka?”

Sia-sia saja, gadis itu tetap diam membisu entah ketakutan atau memang sedang menahan sesuatu. Sebab Sasuke merasa gadis kecil itu bukanlah anak yang tidak dapat bicara atau semacamnya.

Maka tanpa disuruh Sasuke segera menggendong gadis kecil itu yang anehnya tidak memberontak sama sekali. Lantas mendudukannya di atas kursi di pinggir lobby. Sasuke kembali berjongkok di hadapan gadis itu, “Biar aku bertanya lagi, Apa kau terluka putri kecil?”

Kali ini gadis itu menggeleng pelan, membuat Sasuke tanpa sadar tersenyum kecil merasa lega. Entah dorongan darimana sebelah tangannya terangkat untuk mengelus kepala gadis kecil itu, “Syukurlah”

Wah, tiba-tiba Naruto merasa momen ini sangat amat perlu untuk diabadikan. Sebab sejarah telah tercetak ulang, seorang gunung es seperti Sasuke tersenyum dan memperlakukan dengan lembut anak kecil. Padahal seingatnya putra bungsu Uchiha itu biasanya terlihat tidak tertarik dengan hal semacam ini. Astaga, Naruto merasa tersanjung dapat menyaksikan momen semacam ini di kehidupannya. Baru saja berniat mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen stersebut, ponselnya mendadak berdering.

“Sasuke, maaf. Aku harus segera menemui ibuku. Kau disini saja dulu menjaga putrimu” ucap Naruto asal dan langsung melesat pergi.

Melihat itu Sasuke hanya menggeleng kecil. Putri apanya? Memangnya aku pernah memiliki seorang anak?

Sasuke kembali menunduk, mecoba menatap netra bening gadis didepannya. “Dimana orangtuamu? Biar kuantar pada mereka”

Mendengar kata orangtua, sontak gadis itu mendongak menatap tepat kedua netra onyx yang mirip miliknya dengan heran. Sedang Sasuke justru terkejut melihat kedua manik bening di depannya. Begitu mirip dengannya namun lebih menggemaskan karena lebih bulat dihiasi bulu mata lentik.

“Orangtua itu.....ibu, iya?”

Oh, Astaga suaranya juga tidak kalah menggemaskan. Sasuke jadi tersenyum sendiri sembari mengangguk membenarkan. “Iya, Ibu dan Ayah”

Mendengar jawaban Sasuke, gadis itu mengerutkan dahi serius. Sedikit kebingungan lantas menjawab dengan polosnya disertai gelengan, “Haruka itu tidak punya ayah, paman”

Mendadak hati Sasuke mencelos begitu saja. Rasanya lebih sakit ketika gadis itu menjawab dengan polosnya. “Begitukah? Lalu bagaimana dengan ibumu?”

“Haruka!”

Sebuah teriakan membuat dua manusia beda ukuran itu menoleh ke sumber suara. Seorang anak laki-laki dengan kontur muka dan tinggi badan yang mirip dengan Haruka berlari menghampiri mereka dengan deru napas terengah. “Kenapa disini? Sudah kubilang, tunggu di depan pintu!”

“Aku takut tahu! Hiroto lama sekali sih, tadi ada paman menyeramkan jadi aku lari saja”

Hiroto