Daisuki (Sasusaku)

Sakura tersenyum getir menatap sosok di depannya. Semua skrip telah dirinya persiapkan demi mengahadapi situasi ini. Bahkan tanpa diketahui, dirinya telah berkali kali memperagakan tiap detail adegan dengan kiraan. Juga menyiapkan puluhan improvisasi apabila terjadi sesuatu diluar keinginan. Benar-benar persiapan yang matang untuk ukuran gadis pemalas yang hobi menghamburkan waktu luang.

Kendati demikian, alur kehidupan lebih mengejutkan dibanding rekaan dalam film. Semuanya tidak bisa dilakukan begitu saja sesuai naskah teks yang berisi perintah aksi bagi aktor maupun aktris. Karena apabila dijalani secara nyata, rasanya berkali-kali lipat dari yang dibayangkan. Seluruh sarafnya menjadi lambat memeta situasi yang tengah terjadi. Menjadikan semua persiapan yang telah dilakukan seolah tidak berguna sama sekali.

“Kau akan pergi?”

Dirasakannya suara rendah merangsek ke dalam rungu Sakura seolah mengoyak gendang telinganya. Nyeri dan pusing dirasakannya seketika. Pun ketika dirinya mencoba menimpal, mendadak lidahnya terasa kelu. Sial baginya, seolah telah menelan puluhan pil pahit ke rongga mulutnya. Merapatkan bibirnya, gadis itu mengangguk sekilas sebagai jawaban.

Kerutan dahi terpampang jelas, wujud aksi nyata bentuk keberatan dari pemuda di depan Sakura. Sebab Sasuke, merasa bahwa kewarasannya seolah mengatakan ada yang tidak beres dengan situasi ini. Mengingat kejadian belakang maka sudah pasti, Sakura tengah mencoba lari untuk kesekian kali. Secara bergantian pemuda itu menatap gadis itu dan koper yang tengah dibawa. Tanpa sadar memiringkan kepala sedikit sebagai gestur bertanya, “sendirian?”

Lagi-lagi Sakura hanya mengangukkan kepala disertai ringisan kecil menutup sandiwara. Merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan, Sasuke kembali melanjutkan. “Kemana?”

“Kemana saja,” timpal Sakura acak. Pertanyaan yang terlontar sesuai dugaan–iya, Sakura dan keakuratannya memang cukup mengerikan. Kerap kali menuai curiga apabila dirinya merupakan wujud asli seorang peramal di tengah kemajuan zaman. Namun gadis itu jelas paham, pujian yang dilempar hanyalah sekadar basa-basi atau bentuk kegaguman akan instingnya yang begitu tajam.

“Kemana saja?” ulang Sasuke yang hanya dibalas anggukan mantap. Seolah berpihak pada pemilik pijakan, tensi ruangan ikut menggempur ketegaran Sakura. Susah payah dirinya menahan kecamuk yang bersarang dalam rongga dada. Merasakan sesak mulai membumbung memenuhi ruang batinnya. Pun kelopak matanya yang mulai memanas sama sekali tidak menguntungkan gadis itu.

“Tidak bisa” putusnya tanpa ragu.

ah, tentu saja sakura, tentu saja “Mengapa?”

“Bukankah sudah jelas? Tidak kuijinkan.”

Sejatinya pemuda di depannya bukanlah sosok pengekang ataupun pribadi yang egois. Hanya saja, dirinya memiliki kewajiban penuh atas setiap tindakan yang Sakura lakukan. Memiliki otoritas sendiri yang sulit untuk dirobohkan, atau dapat dikatakan tabu untuk dilawan. Namun, situasinya memang sedikit berbeda kali ini, Sakura dan sikapnya bukanlah perkara yang enteng.

Bersamaan dengan bunyi semprotan pengharum ruangan otomatis memecah hening, Sakura memalingkan muka lantas menghela napasnya susah payah. Sesuai dugaan, ini tidak akan mudah. Maka, menatap tepat netra sang lawan bicara dengan sorot setajam mungkin pun garis muka kelewat kaku, lontaran gemas mengalun datar,

“Aku tidak peduli, aku tetap akan pergi”

Sasuke menatap tak suka atas bantahan Sakura. Seharusnya dirinya paham, jika Sakura memiliki sifat keras kepala yang merepotkan. Dengan sisa kesabaran, pemuda itu mencoba mempertahankan keputusannya melarang sang istri pergi darinya, untuk kesekian kali.

“Kau tak perlu repot-repot menahanku. Kau hanya perlu memberiku ijin, sebagai suamiku.” ucap Sakura dengan tegas.

Namun Sasuke bukanlah lawan yang mudah, lihat saja walaupun telah berucap kelewat tegas, nyatanya usaha Sakura tidak membuahkan hasil. Kali ini dirinya lah yang mendapatkan gelengan lemah. Sorot bertanya tercetak jelas dari manik sang lawan bicara. Kendati demikian, Sakura terlampau jengkel hingga setelah bunyi hentakan gagang mengisi kebisingan ruang, dirinya menarik koper dan berjalan cepat melewati sosok jakung di tengah ruangan.

Persetan dengan aturan, yang jelas dirinya harus pergi sekarang. Tidak nanti ataupun besok, hatinya tidak akan bertahan walau mengambil jeda barang semenit pun. Rasa muak telah tertanggal pada posisi tertinggi dengan emosi sebagai pengendali. Kehidupan rumah tangga dengan alur pasaran juga rentetan peristiwa ekspetasi yang sudah tertera dalam imaji.

“Aku ikut”

Sakura sontak menghentikan langkahnya, juga mengesat kembali air mata yang hampir menetes tanpa aba-aba. Wah, sangat menjengkelkan memang. Memiliki pasangan hidup dengan kegigihan tinggi ternyata cukup merepotkan. Maka habis sudah sisa kesabaran yang dimiliki. Dengan manik mata yang senantiasa memancarkan sorot dingin, lirihan satire mengalun memecah kesunyian ruang “Untuk apa?”

Terkekeh pelan, Sakura membalikkan badan, menatap sang suami dengan sorot remeh yang ketara. “Sasuke, dengar, aku hanya butuh waktu. Tidakkah kau terlalu egois kali ini?”

“Kalau begitu jelaskan, aku tidak berpikir kepergianmu kali ini adalah sesuatu yang normal. Apa aku melakukan kesalahan yang begitu fatal?”

Bodoh, tidak seharusnya kau bertanya, sialan

Bukannya menjawab, Sakura malah melempar tujuan awal, “Jangan memperumit hal semacam ini, biarkan aku pergi, dan kau bebas melakukan apapun yang kau inginkan”

Terdengar helaan nafas kasar dari Sasuke yang kini beralih bersender pada dinding pemisah ruang dibelakangnya. Jujur saja dirinya ingin segera beristirahat setelah dua hari belakang tidak dapat terlelap dengan benar. Seluruh tubuhnya begitu lelah hingga tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk meladeni Sakura.

Jika biasanya Sasuke masih memiliki intensitas dalam memutuskan sesuatu, kali ini Sakura benar-benar terlihat tidak akan menyerah. Maka Sasuke bisa apa selain membiarkan sang istri begitu saja. Dalam sisa kesadaran yang Sasuke kumpulkan, suara serak mengalun pasrah “Berapa lama?”

” ....Hal itu tidak dapat kupastikan”

Merapatkan bibir, Sakura mengalihkan pandang. Mencoba mencari obyek lain untuk dipandangi selain tubuh lemas sang suami. Jauh dalam benak, rasa iba diam diam menggelayuti dirinya. Seolah dirinya dibebankan oleh rasa bersalah yang begitu besar. Tetapi dirinya tidak ada pilihan lain, nyatanya kesabarannya memang sudah menipis, sudah begitu lelah dipermainkan sedemikian rupa. Terlihat menyedihkan memang, dan Sakura benci hal itu.

“Biarkan aku bertanya satu hal?”

Ditengah kalut, suara serak sasuke mengalun serampangan dengan senyuman kecil juga kerlingan menggelikan, “Kau kesal karena suamimu tidak pulang dua hari belakang?”

Hah? Apa yang? Tunggu-

“Apa itu masuk akal? Yang benar sa-”

“Katakan Sakura, Kau merindukanku bukan? Apakah kau mulai mencintaiku sekarang?”

Wah, memangnya bisa begitu ya? Dengan cepat Sasuke mampu mengubah atmosfer ruang hingga Sakura merasa tidak siap. Sudah pasti level percaya diri pemuda itu tengah meningkat sekarang. Lihat saja senyuman menyebalkan yang tersemat apik pada mukanya. Memang sangat menawan, tapi juga memuakkan secara bersamaan, setidaknya bagi sakura. Rasanya pribadi yag masih setia memegang gagang koper ini hampir mengguyur Sasuke dengan air dari aquarium agar kewarasannya segera kembali.

Oke, kali ini Sakura mengaku jika tebakannya juga bisa meleset. Entah mengapa ungkapan konyol Sasuke tidak terduga dalam pikirannya. Akal sehatnya memberontak ingin menyangkal, namun dirinya tidak memiliki kosa kata yang tepat untuk dilontarkan. Astaga, Sakura benar-benar menahan diri untuk tidak memukul suaminya sekarang. Maka setelah menarik sadar akan dunianya juga menenangkan degub jantung yang menggila secara spontan, Sakura tertawa sumbang seperti tokoh penjahat dalam cerita lantas menukas dengan sorot mata kelewat datar. “Memangnya aku layak untuk hal itu?”

Senyuman tipis memudar cepat bersamaan gurat muka yang kembali seperti biasanya. Dingin dan kaku. Sasuke mengalihkan pandang sejenak, menghindari tatapan sinis dari Sakura. Memang bukan suatu rahasia lagi kerumitan diantara keduanya, namun tensi ruangan yang sejenak melonggar kini kembali dingin dengan sempurna hanya dengan satu kalimat istrinya. Maka dalam satu kali tarikan napas, bibir kering Sasuke melontarkan kata. “Kau yakin ingin membahas hal itu? Tidakkah kau lelah?”

Sakura paham, Sasuke tengah memberinya sebuah pengertian lain dari ucapannya, seperti 'ayo berhenti membahas hal ini berulang kali, aku sudah lelah asal kau tahu'. Entahlah, Sakura membenci untuk mengakuinya. Tapi bertingkah layaknya aktor setiap hari cukup membuatnya lelah. Toh dirinya juga tidak merasa keberatan selama ini menjadi boneka manusia bagi siapapun. Sakura benar-benar terlihat menyedihkan.

“Mari kembali ke tujuan awal, jangan memaksaku berdebat, Sasuke.”

Memang bukan suatu hal lucu yang patut untuk ditertawakan. Tapi utasan kalimat yang istrinya lontarkan cukup menggelitik ruang batinnya. Hingga kekehan kecil tak mampu dirinya tahan. Menciptakan kerutan bingung dari satu-satunya gadis di dalam ruangan.

“Baiklah, aku menyerah untuk saat ini.” putus Sasuke pada akhirnya. Menekan ego sekuat tenaga, hingga menutup rapat perasaan aneh yang merambat tiba-tiba. Ingatkan kembali jika Sasuke memegang hampir seluruh kendali yang ada pada istrinya. Menarik ulur untuk sementara sudah menjadi keahliannya.

“Kau boleh pergi”

Sakura mendecak kesal. Mengapa tidak dari tadi, sih. Mencibir pelan sembari membalikkan badan, gadis itu mengucapkan kalimat pamit. Mulai melangkah dengan kondisi hati yang berantakan, pun rembesan air mata yang tak bisa lagi dibendungnya.

“Lima hari, dan tidak lebih dari itu. Kau tahu aku juga membutuhkanmu, bukan?”

. . . . . . . . .


“Kau itu monster ya?” Ungkap Ino yang tengah menatap tak percaya pada Sakura yang baru saja mengigit batang ke tiga coklat almond.

Sakura sendiri hanya mengangguk mengiyakan tanpa peduli lebih jauh, membuat Ino jengah lantas mendekatkan posisinya pada gadis bersurai pink di hadapannya dan berbisik pelan.

“Jadi? Kau benar-benar melakukannya?”

Sakura mengangguk sekilas sebelum menggigit dan mengunyah kembali batangan coklat manis di tangannya. Sedangkan sang lawan bicara tampak terngaga beberapa saat atas jawaban enteng dari gadis yang tiba-tiba menggedor pintu rumahnya tiga puluh menit yang lalu. Kendati bukan suatu hal yang aneh, tetapi koper yang dibawa Sakura menjadi pertanda akan kejadian tidak biasa.

“Astaga... Kalian benar-benar membuat semuanya begitu rumit” Ino memijit dahinya yang mendadak diserang pening. Memang masalah yang dialami Sakura bukanlah perkara yang menjadi tanggung jawabnya, tapi tetap saja gadis dengan surai pirang ini tak bisa untuk hanya diam sambil menonton drama yang diciptakan oleh sahabatnya sendiri.

“Jangan berlebihan, kau tahu sendiri seperti apa hubungan kami.” timpal Sakura tidak peduli sembari merobek bungkus coklat keempatnya dan menggigit ujung makanan manis tersebut.

“Kau ini benar-benar ingin mendobrak steorotip romansa ala novel, ya?”

Sakura menggedikkan bahu ringan, mengunyah pelan makanan di mulutnya, lantas menjawab dengan kalimat kelewat datar. “Memangnya ada begitu? genre romansa dalam alur kehidupanku?”

Ino memutar bola matanya malas, lantas spontan mencubit gemas lengan Sakura yang mana membuat gadis itu berteriak mengaduh.

“Kau ini ya, tidak berubah sama sekali. Tidak bisakah kau ubah pola pikir menyebalkanmu itu, Nyonya Uchiha?” ujar Ino frustasi.

Sakura sontak terkekeh, menatap tepat pada netra sang lawan bicara. Lantas menarik sisi pipi Ino hingga melar sembari melontarkan kata, “Berhenti memanggilku dengan sebutan aneh seperti itu. Rasanya begitu konyol”

Ino yang sempat mengaduh akibat pipinya yang ditarik tiba-tiba kini mendengus. Setidaknya gadis sepantaran Sakura ini hampir memahami keseluruhannya. Toh apa yang dialami oleh Sakura juga terjadi pada dirinya. menjalankan amanah tanpa adanya kesempatan atau hak untuk menolak dan memberontak. Hampir gila rasanya.

“Setidaknya bertindaklah seperti manusia pada umumnya. Bukannya malah menghabiskan cemilan di rumahku seperti ini. Kau itu gorila atau apa sih?”

Sakura terkekeh, “jadi, aku harus menangis secara dramatis begitu? Aku sudah cukup lelah melakukannya asal kau tahu?”

Mendadak Ino terdiam untuk sesaat, lantas menghembuskan nafas yang terdengar begitu pasrah. Sadar akan arah pembicaraan Sakura yang berubah juga makna yang tersirat. Secara perlahan dirinya memeluk tubuh sahabatnya dari samping. “baiklah, baiklah, aku mengerti. Berhenti merusak suasana, dasar jelek. Aku tahu kau ingin menginap disini, bukan.”

Sakura yang risih sentuhan langsung melepas lingkaran lengan Ino di tubuhnya. Lantas memberi tatapan sinis sebelum melanjutkan, “Tidak usah mengarang, aku tidak butuh hal itu asal kau tahu”.

Seolah habis ditolak mentah mentah, Ino menurunkan garis mukanya. Berdecih kecil lantas mengalihkan muka bak anak kecil yang tengah merajuk tidak diberikan permen. Membuat Sakura terkekeh lantas menandaskan air dari gelasnya.

“Lalu kau akan pergi kemana dengan barang dan kopermu?” tanya Ino mengingat koper besar yang dibawa Sakura amat mencurigakan. Gadis bersurai merah muda itu bisa saja pergi berminggu-minggu dengan barang sebanyak itu. Kendati tentu saja Sakura bisa menginap dimana saja di tempat yang diinginkan, tetapi mengingat karakter satu-satunya menantu Uchiha itu rasanya tidak mungkin. Sakura sukar berdiam diri di tempat baru dan asing dalam kurun waktu yang cukup lama.

“Aku akan pergi sebentar,” jawab Sakura sekenanya lantas memberi jeda sebelum melanjutkan dengan lirih, “setidaknya sampai semuanya tuntas”

Seperti bermain tebak tebakan tanpa kesempatan, rasanya Ino tidak terlalu mengerti apa yang ada dalam kepala Sakura. Gadis bersurai pink dengan mata emerald yang menawan itu tak pernah memberi penjelasan pada apapun. Tidak, sampai semuanya telah diselesaikan, dengan begitu tiap perkara akan terjabar dengan sendirinya tanpa perlu untuk dikuak lebih jauh. Seolah menegaskan jika orang lain tidak diperbolehkan untuk masuk dan sadar akan batasan yang dimiliki.

Entahlah, Sakura dan dunianya sedikit lebih memusingkan dibanding mendengar ocehan tetangga yang iri dengan kehidupan kita. Melebihi apapun, dirinya tak menyangka Sakura tumbuh menjadi gadis dewasa dengan karakter kuat yang tak tertebak. Ino akui dirinya kerap kali kebingungan untuk mengenali sahabat kecilnya itu. Sesekali memastikan bahwa sakura bukanlah sosok misterius yang mengerikan layaknya psikopat yang ada dalam serial film.

“Hei, bagaimana kau dan Sai? Sepertinya kalian ada sedikit perkembangan, bukan?” tanya sakura tiba-tiba untuk mengalihkan pembicaraan secara langsung, juga menghindari suasana suram yang sempat hadir mengisi ruang.

“Benarkah? Kurasa tidak ada”

Sakura tertawa pelan atas jawaban Ino, lantas menunjuk seperangkat alat menggambar di meja sudut ruangan kamar Ino dengan tatapan mata yang seolah mengatakan 'kau pikir aku buta, heh?'

“Ah... Itu hanya kebetulan, ini bukan seperti yang kau pikirkan” ujar Ino mencoba bersikap biasa yang justru membuat Sakura ingin meledakkan tawanya saat itu juga.

Wah, pantas saja Ino selalu gagal dalam mengikuti tes untuk memilih pemeran utama dalam drama ketika sekolah. Ekspresi dan cara berbicara gadis itu kelewat jujur kendati selalu mengikuti latihan mimik muka dan intonasi suara selama berminggu-minggu. Yah, setidaknya sekarang sahabatnya itu mampu mengatur kalimatnya untuk tidak terlalu ketara ketika berbohong.

“Baiklah, kebetulan yang amat menakjubkan” ujar sakura dengan kekehan kecil. Jelas sekali Sakura sedang mencoba berakting sebaik mungkin.

Perlahan pipi Ino memerah, sontak membuat tawa Sakura meledak seketika.

“Astaga.. Kau ini benar-benar menyebalkan, Sakura”

Di sisa tawa, Sakura diam diam merasa lega. Kedua temannya itu memiliki kemajuan besar dalam hubungan. Walaupun pada awalnya dirinya juga tidak yakin apakah keduanya mampu untuk menjalani kisah konyol layaknya opera sabun kebanyakan. Sebab Sakura tahu, karakter keduanya sangatlah berkebalikan layaknya dua sisi koin. Berbeda dengan Ino, Sai merupakan manusia super kaku yang tidak banyak mengeluarkan ekpresi menjadikan orang lain kesulitan untuk menebak apa yang sedang dipikirkan pemuda itu, sedangkan Ino justru kelewat ekpresif dan bersemangat layaknya hangatnya keceriaan mentari.

“Oh ayolah, aku hanya merasa senang kalian baik-baik saja,” ujar sakura dengan tulus, “mungkin saja hubungan kalian bisa sebaik Naruto dan Hinata”

“Yah, semoga saja” kata ino sedikit menunduk, namun sepersekon kemudian dengan kompak Ino dan Sakura tertawa renyah setelah berserobok tatapan. Memang ikatan batin keduanya amat menarik. Dengan dua pribadi yang berbeda, keduanya mampu memikirkan hal yang sama dalam satu kali waktu layaknya saudara kembar.

Menjadi seperti Hinata dan Naruto apanya, kisah pasangan yang sedang berbulan madu sekarang ini memang sudah memiliki guratan yang apik dan menarik. Tidak seperti milik Sakura maupun Ino yang semuanya terjadi diluar kendali juga tanpa adanya kemauan. Kisah Naruto dan Hinata seolah sudah menjadi ikon pasangan paling bahagia dan menjadi impian para remaja.

“Jadi bisakah kau katakan padaku? Sudah sejauh apa kalian?” pertanyaan ambigu kembali melayang dari bibir sakura, membuat ino mendesah frustasi.

Gadis keturunan Yamanaka itu menggaruk pelan kepalanya sebelum menjawab dengan ragu, “hanya berbagi ruangan untuk tidur juga terkadang mengobrol mengenai beberapa hal. Kurasa hanya itu.”

Sakura mengangguk paham, untuk permulaan keduanya cukup bagus. Baik Ino maupun Sai memang belum mengenal satu sama lain sebelumnya, kendati keduanya merupakan sosok yang dekat dengan Sakura. Ino hanya tahu jika Sakura memiliki tetangga sekaligus sahabat yang kikuk dan agak misterius. Sedangkan Sai memang tidak terlalu peduli dengan apapun dan siapapun, pemuda itu hanya terfokus pada dunianya saja. Namun untuk sekarang situasinya tidak buruk juga, setidaknya mereka masih ada banyak kesempatan untuk melangkah lebih jauh. Bukan seperti hubungan antara Sakura dan suaminya yang lebih mirip bentangan lautan dengan ombak samudra yang kerap kali bergejolak.

“Jadi tidak berbagi tempat tidur ya?” tanya sakura yang hanya diangguki oleh Ino dengan polosnya. Sontak Sakura meledakkan tawanya kesekian kali akibat kepolosan Ino yang jarang sekali ditunjukkan. “Astaga Ino-chan...kenapa kau imut sekali sih...apa Sai memberikan efek sejauh ini?” Sakura tidak tahan untuk tidak menguyel pipi tembam Ino, memainkannya layaknya adonan pastry.

“Hentikan Sakura, kau membuatku geli” elak Ino menjauhi aksi brutal sahabatnya. Di momen seperti ini justru sifat keduanya seperti tertukar saja. Ino yang suka meledak-ledak dan kekanakan dengan Sakura yang kalem tapi memiliki selera humor yang setara. Keduanya sama-sama sudah memiliki pasangan hidup masing-masing dengan kepribadian yang amat signifikan. Sai yang kaku dan kikuk walau terkadang menggemaskan juga-setidaknya itulah yang ada di pikiran Ino. Sedangkan suami Sakura yakni Sasuke memiliki banyak sekali topeng, terkadang begitu kasual, sesekali juga manja dan kekanakan, namun paling sering adalah Sasuke yang dingin dan serius.

Ditengah kegaduhan dalam ruangan, terdengar suara rendah milik pemuda yang tiba-tiba muncul berdiri bersandar di sisi pintu.

“Sakura, kau mencariku?”

Sakura menghentikan aksinya lantas menoleh ke sumber suara, mengangguk dengan senyuman manis disana.

“Ikuti aku” kata Sai sebelum melenggang pergi. Sakura segera berdiri dan mengikuti pemuda itu setelah berpamitan pada Ino. Mantan tetangganya itu membawanya menuju ruang kerjanya. Menyalakan lampu ruangan lantas duduk di sofa dengan ekpresi kosong. Sakura hanya mengikutinya tanpa banyak bicara walau ingin sekali dirinya mengomeli kondisi ruangan Sai yang sangat tidak teratur.

“Jadi, kau sudah memutuskan?” tanya Sai tanpa basa-basi lagi.

“Begitulah, aku harus melakukan sesuatu, bukan?”

Sai menggulirkan pandangannya, mencoba memilah kata yang tepat sebelum melayangkannya. “Apakah ini karena Karin?”

Sakura terkekeh pelan, lantas menggelengkan mukanya seolah tak percaya akan pertanyaan yang terlontar. Pasalnya Sai begitu mengenali Sakura, hingga terkesan tidak mungkin untuk bertanya pada hal yang sudah tentu pemuda itu ketahui, “Mengapa bertanya begitu?”

“Bukankah Sasuke bersama karin beberapa hari belakang ini?” ujar Sai cuek dengan sorot mata malas yang begitu ketara. Yah, Sai memang tidak terlalu peduli mengenai beberapa hal.

Sakura memicingkan matanya dengan dahi berkerut, menatap dengan ekspresi curiga yang sempurna. Dan tentu saja sangat dibuat-buat agar mendalami perannya. mencoba menjadi karakter super kritis dengan segala instuisi yang mengejutkan. “Hei, bagaimana kau tahu?”

Sai mendesis sebal dengan muka datarnya. Pemuda itu lantas berdiri dan berjalan menuju jendela dan membuka tirainya. Mempersilahkan cahaya matahari diluar untuk masuk melewati kaca dan memperlihatkan rindangnya pohon tabeyuya yang sedang berbunga. Sakura spontan mengikuti gerak gerik pemuda itu dengan fokus seolah tak mau melewatkan barang satu adegan.

“Sasuke memintaku mengurus semuanya, juga memegang kendali apabila bayi dalam kandungan karin lahir nantinya. Apakah itu menjawab semuanya?”

Sakura terkejut? mungkin tidak. Gadis itu malah tersenyum miring sebelum bertepuk tangan remeh dan menjawab dengan nada takjub yang berlebihan “Wah, kau benar-benar setia kawan sekali, ya?”

Sai menoleh ke arah Sakura, tersenyum sekilas sebelum berkata dengan air muka tak terbaca “jadi benar? kau mulai menyerah pada sasuke?”

Menghela napas pendek, gadis bersurai pink itu berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah Sai lantas tersenyum remeh sebelum menyentil keras kepala Sai membuat pemuda itu sontak berteriak mengaduh, “berhenti melemparkan pertanyaan aneh, jangan mencoba memancing diriku”

Mengelus dahinya pelan, Sai menjawab dengan sengit. “aku hanya mencoba. Lagipula, tidak berguna kau berusaha menutupinya dariku”

Diam-diam Sakura setuju dengan ucapan Sai. Pemuda itu memang memiliki tingkat kepekaan yang lebih tinggi kendati memiliki kontur muka yang selalu datar, Sai dapat begitu paham tanpa dijelaskan secara gamblang. Tidak heran sendari dulu keduanya selalu mengobrol dengan acak tanpa adanya inti yang saling berkaitan. Tapi anehnya pembicaraan keduanya selalu lancar walau tentu saja hanya mereka berdua yang paham. Tidak mengejutkan sebenarnya, sebab dibanding Naruto dan Ino bahkan Sasori sendiri, Sai jauh lebih memahami Sakura dalam beberapa aspek. Menjadikan Sakura lebih sering mencari Sai ketika dalam situasi yang tak bisa dirinya kendalikan.

“Jadi kali ini kau yang pergi?”

Sakura mengangguk mantap, setelahnya menatap Sai dengan sorot mata penghakiman yang sempurna. “Kau tidak berfikir aku pergi karena patah hati bukan?”

“Bukankah itu cukup manusiawi?” jawab Sai sekenanya sembari menatap dua ekor burung diluar jendela yang bertengger di kabel listrik. Membayangkan apabila sebuah percikan api muncul secara tiba-tiba yang akan membuat kedua binatang itu mati mengenaskan.

Sontak Sakura tertawa remeh, “yang benar saja? bukankah itu cukup menggelikan? memangnya manusia bodoh seperti dirinya layak untuk hal semacam itu? saking gemasnya aku selalu ingin memukul otak jeniusnya.”

Sai terkekeh dengan ucapan menggebu dari Sakura, lantas mengangguk membenarkan sebelum menyahut dengan kalimat membingungkan. “kau tidak berfikir Sasuke sedang menguji dirimu?” tanya Sai penuh teka-teki. Bagaimanapun Sai memiliki tingkat kepekaan yang cukup tinggi akibat pekerjaan yang digelutinya. Yah, walau terkadang membuat Ino jadi kesulitan sendiri karena kemampuan sang suami.

“Memangnya apa untungnya? Dia lebih terlihat seperti psikopat gila yang hilang kewarasannya. Kapan lagi dirinya bisa bebas dengan kekasih konyolnya itu” gerutu Sakura sebal.

Entah apa yang akan terjadi apabila Sakura dan suaminya menemukan titik temu yang sebenarnya. Terkadang Sai juga gemas sampai ingin membeberkan fakta yang ada, tapi selalu ditahan sebab tidak ingin melewati batas dan posisinya. Seperti saat ini, pemuda berkulit pucat tersebut hanya bisa merapatkan bibirnya tanpa berniat menanggapi lebih jauh. Menggeleng sekilas sebelum mengambil berkas dari lemari di sampingnya dan menyerahkan pada Sakura. “baiklah, semua ada dalam keputusanmu”

Sakura tersenyum sembari menerima berkas pemberian Sai, membukanya dengan hati hati dan mulai meniti isinya. Gadis itu sedikit mengerutkan dahi kala memilah kertas dalam map. Sesekali melirik Sai, mencoba melihat ekspresi dari wajah pucatnya.

“kau bertindak sejauh ini ternyata”, ujar Sakura tenang sebelum memasukkan kembali kertas-kertas pada map coklat. Sedangkan Sai hanya mengendikkan bahu seolah hal itu bukan apa-apa. “bukan hal sulit bagiku” Kata Sai ringan membuat keduanya terkekeh memecah keheningan ruang.

# # # # # # # # #


Sakura benci ini, sangat. Bukankah kesepakatan telah terbentuk? Lantas mengapa sampai membuat situasi ekstrem hanya untuk menarik dirinya kembali. Berulang kali Sakura menyumpahi nama Sasuke dalam kepalanya. Dirinya bahkan tidak memiliki waktu untuk bersiap diri atau sekedar menyantap sarapannya kali ini. Pagi-pagi sekali Sakura mengemasi barangnya dan langsung memesan tiket kereta menuju Tokyo setelah tahu sang keponakan sedang bersama Sasuke sekarang.

Wah, rasanya Sakura hampir menangis saja. Menitipkan balita yang berumur tiga setengah tahun dengan Sasuke seolah mempercayakan nyawa seseorang pada pembunuh berantai. Terdengar berlebihan memang, namun Sasuke itu sangat ceroboh dan tidak peka sama sekali, juga merasa anak kecil itu merepotkan. Sakura bahkan hampir tertawa saat mengetahui Sasuke akan menjadi ayah dari bayi dalam kandungan Karin.

Kendati demikian Sakura jelas paham jika sang suami tengah mencoba untuk membuat dirinya pulang tanpa bersusah payah membujuknya. Yah, Sasuke tetaplah Sasuke. Maka disinilah Sakura sekarang, memutar kenop pintu utama rumah setelah sebelumnya menarik napas berulang kali untuk menetralkan emosinya.

“Tadaima..”

“auntyy” seruan riang dengan aksen cadel yang khas sontak memenuhi hunian setelah pintu tertutup. Derap langkah mungil dengan susah payah menghampiri Sakura dengan senyuman sejuta gemas. Pipinya yang gembil bahkan bergoyang kesana kemari seirama dengan langkah kaki yang mencoba berjalan sebaik mungkin.

“Yukiiiii” seru Sakura yang tak kalah riang. Membuka bentangan tangannya sempurna dan menangkap tubuh mungil sang keponakan hingga keduanya tertawa riang setelah berpelukan layaknya teletubbies.

“kau datang, Sakura?”

Suara serak dengan intonasi rendah itu mengagetkan Sakura. Sontak gadis itu melonggarkan pelukannya dan menoleh ke arah sumber suara. Tak jauh dari tempatnya, terlihat Sasuke tengah terbaring lemas di atas sofa dengan sebelah lengan yang menutup mukanya.

“Kenapa aunty baru datang sekarang?” Ucap Yuki dengan kerutan dahi bentuk kebingungan dan penghakiman kecil. Membuat Sakura kembali menaruh atensi pada gadis mungil di depannya sembari menahan diri untuk tidak menjerit gemas melihat keponakannya berekspresi kecewa. “Paman muda rindu sekali sampai demam begitu” lanjutnya dengan polos hingga Sasuke terbatuk kecil mendengarnya. Bagaimana ya, salah Sasuke juga yang menjawab asal pertanyaan sang keponakan pagi ini.

“Paman muda, kenapa mengantuk begitu?” “Paman tidak mengantuk” “Benarkah?” “Iya, Paman hanya pusing” “Kenapa bisa pusing pusing begitu?” “Mendadak paman tidak enak badan” “Sakit, iya? Seperti panas karena hujan?” “Iya, sepertinya demam” “Karena terkena hujan?” “Bukan” “Lalu kenapa bisa demam begitu?” “tidak tahu” “kenapa tidak tahu? kan yang sakit paman” “tidak tahu ya tidak tahu” “ish, paman muda tidak keren. Coba saja ada aunty, pasti aunty tahu” “Aunty-mu itu tidak ada sekarang” “Sedang pergi?” “Iya” “kapan pulangnya?” “mungkin nanti” “Paman muda tidak rindu? Yuki rindu sekali dengan aunty” “Iya” “boleh tidak ya Aunty tinggal bersama Yuki” “tidak boleh” “kenapa begitu?” “Nanti paman sakit kalau tidak ada aunty-mu” “karena rindu?” “iya”

Sedang Sakura tidak terlalu tertarik pembahasan mengenai Sasuke dan hanya tersenyum hingga bulatan matanya menghilang, “Yuki juga merindukan Aunty?”

Ditanya begitu sontak Yuki mengangguk dengan kuat dua kali. Menjawab dengan keseriusan penuh khas anak kecil “Um! Rindu banyak-banyak”

Bagaimana ya, Yuki tidak terlalu bisa mengungkapkan seberapa besar rasa rindunya. Rasanya ingin bertemu dengan sang bibi, ingin makan pancake hangat bersama Sakura, menyelesaikan sepiring penuh buah melon dengan Sakura, atau menggambar beruang kecil warna warni bersama Sakura, Juga mendengarkan cerita Sakura mengenai 'tiga kupu-kupu dan buaya' sebelum tidur. Intinya banyak sekali hal yang ingin Yuki lakukan bersama dengan istri pamannya.

“Aunty juga merindukan Yuki sekali” gemas Sakura sembari mencubit pelan kedua pipi sang keponakan. Keduanya tertawa riang hingga memenuhi kebisingan ruang. Merubah suasana canggung, dingin, dan kaku yang biasa hadir ke hunian satu lantai ini menjadi musim panas yang ceria dan hangat.

“Tapi, Aunty sedih...” ucap Sakura tiba-tiba di ujung tawa. Memasang raut melas dengan posisi duduk sempurna juga kepala yang menunduk dan bahu layu ke bawah. Sungguh tidak natural memang namun cukup untuk membuat keponakannya kebingungn.

Melihat itu seolah alarm dalam diri Yuki berbunyi. Merasa ada sesuatu yang salah sehingga sang bibi kehilangan semangatnya seperti ultraman yang membunyikan peringatan bahwa dirinya kelelahan. Bagaimana ya, intinya sang bibi seperti puncak eskrim yang meleleh. Tidak enak untuk dilihat.

“Lho? Sedih kenapa?” tanya Yuki polos dengan raut khawatir yang ketara.

(the text was missing)

“Aku tidak bermaksud menyuruh, tapi bisakah kau menidurkan Yuki? Pukul satu siang nanti dia akan dijemput”

Sasuke itu manusia jenis apa, sih? Mengapa tidak ada rasa peka ataupun bersalah sama sekali. Memangnya semua yang terjadi sekarang adalah hal yang normal? Setidaknya beri reaksi yang sesuai dengan kondisi dan situasi, bukannya menciptakan topik baru yang mengabaikan segalanya seperti ini.

Tanpa membalas atau sekadar mengiyakan lewat gestur, Sakura langsung menggendong Yuki. Membawa gadis kecilnya menuju kamar. Tidak ada obrolan ataupun sekadar 'aku akan menidurkannya di kamar' dalam interaksi. Sakura dengan kekesalannya, juga Sasuke yang masih memiliki sisa lelah yang menyita ruang geraknya. Namun Sakura tetaplah Sakura, memiliki caranya sendiri dalam menanggapi sesuatu.

“kau juga,” ujar Sakura sebelum menutup pintu kamarnya, “masuklah ke kamarmu, tidurlah dengan benar jika kau ingin cepat sembuh”

Diam-diam Sasuke tersenyum tipis, tanpa disadari perasaan lega menyeruak dalam batinnya seolah guyuran air yang melepaskan dahaga. Sakura dengan cara dan sikapnya sudah cukup bagi Sasuke kendati sang istri berucap kelewat ketus. Tidak apa, Sasuke sudah paham, tidak perlu dijelaskan secara gamblang. Setiap orang punya cara dan sikap tersendiri dalam menjalani segala sesuatu. Tidak perlu perlakuan kelewat manis atau bentuk kekhawatiran yang berlebih, melebihi apapun Sasuke tau Sakura sudah berusaha sebaik mungkin dalam perannya.

#####

Sakura sadar, kisahnya tak layak untuk diceritakan atau dibagikan. Terlalu menggelikan untuk alur kehidupan, atau dapat dikatakan cukup pasaran seperti opera sabun kebanyakan. Orang yang menyaksikan kerap kali menebak-nebak kelanjutan kisahnya hingga Sakura sendiri kebingungan mengenai beberapa hal. Tapi ketahuilah, Sakura tidak bermaksud untuk menjalani hidup dengan kisah konyol dengan bumbu romansa yang menggelikan. Guratan takdirnya ia ciptakan sendiri dengan coretan abstrak yang sukar untuk dipahami.

Sejatinya Sakura merupakan pribadi yang cerdas juga penuh ketelitian. Semua keputusan atau langkahnya selalu dalam perhitungan sendari dalam usia belia. Hingga pada sebuah pilihan yang mampu untuk merengut masa depannya, dirinya mampu membuat keputusan dengan mantap dengan kiraan mampu menjalaninya dengan sempurna. Dibesarkan dalam lingkungan yang tak pernah orang lain kirakan membuat gadis bersurai pink itu tumbuh sebagai sosok yang penuh misteri.

Namun sebagai seorang manusia biasa, Sakura tentunya memiliki titik lemah atau ketidakpahaman akan beberapa hal. Sama seperti apa yang tengah Sakura hadapi saat ini. sesekali dirinya menyesali keputusan yang pernah dibuat di masa lampau. Gadis itu tak pernah mengira jika mencampurkan urusan hati pada suatu persoalan akan membuatnya menjadi frustrasi. Logikanya tengah digempur oleh kelembutan hati nurani yang selama ini dirinya tekan untuk tidak hadir. Belum sepenuhnya paham mengapa tubuhnya kerap kali bergerak diluar nalar apabila menjalani sesuatu yang berhubungan dengan sang suami.

Layaknya rintik hujan yang tengah dirinya pandangi. Jatuh dalam wujud kecil namun dengan tempo yang konstan, mampu menciptakan perubahan perubahan tertentu dalam permukaan bumi. Nyatanya kewarasannya pun ikut terkikis kala menghadapi situasi yang sama berkali-kali, namun dengan campuran emosi yang berbeda. Saling bersinergi penuh demi menguji kelayakan Sakura dalam menjalani semuanya.

“Sakura.. ” panggil Sasuke di ambang pintu kamarnya. Memperhatikan Sakura yang tengah duduk di sofa dengan sebelah tangan memangku wajahnya, menatap lurus pada tetesan air hujan di luar jendela di samping sofa. Gadis itu benar-benar mengabaikan kondisi sekitar bahkan tidak menyadari panggilan Sasuke padanya. Seperti lukisan, atau pahatan yang memang dibuat sedemikian rupa. Tidak tahu mengapa terasa begitu elegan dan manis. Bagi Sasuke sang istri begitu elegan, ditambah helaian tipis rambutnya turun menutupi sebagian muka, menjadikan sosoknya begitu manis secara bersamaan. Jangan ditanya mengapa, Sasuke sendiri tidak bisa menemukan jawaban atau alasan yang tepat.

“Sakura, kau dengar aku?” panggil Sasuke sekali lagi. Namun Sakura tetap diam dalam posisi. entah benar-benar terhanyut pada lamunannya atau memang sengaja mengabaikan sang suami.

Merasa panggilannya tidak ditanggapi, Sasuke terpaksa menghampiri. Dengan pergerakan yang cepat namun lembut secara bersamaan, Sasuke berbaring di sofa yang sama dengan kepala yang menyandar pada kedua paha istrinya. Sasuke tahu dirinya bertindak begitu berani, tapi diabaikan begitu saja juga membuatnya kesal setengah mati. Namun tetap saja, Sakura benar-benar tidak bereaksi kali ini. Bahkan sang istri tak berusaha menghindar seperti biasanya ketika dirinya dekati. Kendati Sasuke juga sadar, tubuh istrinya sempat gemetar ketika dirinya mendekat.

Demi apapun, ini pertama kalinya Sasuke dapat benar-benar mengikis jarak keduanya. Melihat kontur muka Sakura dari sisi bawah ternyata tidak terlalu buruk juga. Sasuke baru sadar sang istri memiliki bulu mata yang lentik dan panjang, kendati hidungnya tampak begitu mungil dan menggemaskan. Aroma lembut dan manis vanilla mampu dirinya rasakan menguar dari tubuh sang istri, menjadi candu tersendiri sekaligus menenangkan hati.

“apa kau mencoba menjadi istri yang durhaka dengan mengabaikanku seperti ini?” tanya sasuke tenang.

Bukannya menjawab pertanyaan Sasuke, Sakura justru melontarkan pertanyaan satire tanpa berminat menengok ke arah sang suami “Tidakkah kau begitu keterlaluan kali ini, Sasuke?”

“Hm?”

Menghela napas pendek, Sakura menjawab dengan kesal. “Yuki tidak perlu ikut andil dalam permasalahan kita. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?”

Mendengar jawaban sang istri, Sasuke tersenyum lembut penuh ketenangan, “Memang tidak”

Mau tak mau Sakura menoleh sengit ke arah Sasuke atas jawabannya yang begitu ringan. Maka, menatap tepat netra onyx sang suami, Sakura menjawab dengan penuh teYukin. “Lantas? bukankah kau sengaja membawa Yuki kemari agar aku kembali?”

“kau benar, tapi bukan itu permasalahan utamanya” balas Sasuke santai.

Sontak Sakura mengerutkan dahi kebingungan dengan tatapan mata yang menuntut jawaban. Sasuke jadi gemas sendiri, terlebih istrinya itu seolah melupakan posisi keduanya yang sangat dekat. Padahal apabila diingat kembali, ini adalah kali kedua mereka mengikis jarak selain di altar pernikahan.

“Itachi ada urusan di luar selama seminggu, dan dua hari ini Ibu ada jadwal juga. Jadi kubawa kemari”

“kau itu sedang sakit Sasuke!”

Mendapati Sakura setengah berteriak begitu membuat Sasuke tersentak. Nyatanya Sakura tetaplah Sakura, gadis itu sering bertingkah berlebihan dalam menanggapi suatu hal. Yah, setidaknya lebih baik daripada didiamkan seperti sebelumnya.

“tenanglah, aku membawanya ketika sudah sembuh. kau pikir aku sakit selama apa?”

Hening cukup lama, hingga dengan ragu Sakura mulai berucap “jadi, kau sudah sudah sembuh?”

“sekarang belum”

Sakura jelas mengerutkan dahinya bingung, Sasuke itu bagaimana....Kenapa cara bicaranya cukup memusingkan. Tadi bilang sudah sembuh, sekarang bilang belum.

Menyadari kebingungan sang istri, Sasuke jadi terkekeh geli. Kapan lagi dirinya membuat Uchiha Sakura kebingungan seperti ini. “Demamku sempat turun kemarin, tapi naik lagi semalam” ucap Sasuke menjelaskan membuat sang istri menghela napas lantas kembali memandangi rintik hujan yang mengenai kaca jendela disamping. Suatu kebiasaan istrinya yang Sasuke hafal, Sakura seringkali bertingkah berbeda ketika hujan. Sasuke tidak bermaksud berlebihan, tapi istrinya itu seolah memiliki dunianya sendiri. Bukan dunia ajaib seperti dalam film-film fantasi, entahlah dirinya juga sulit untuk menjelaskan, intinya dirinya lebih menyukai Sakura ketika menikmati hujan.

Lagipula siapa yang tidak terhanyut dalam melodi butiran air yang jatuh dari langit itu. Suasana dingin dan sejuk yang dihasilkan begitu nyaman. Kendati terkadang juga menjadi menyebalkan dalam beberapa situasi.

Cukup lama keheningan diantara keduanya. Hanya rintik hujan yang mengenai kaca juga detikan jam yang mengisi kebisingan ruang. Hingga setelah hembusan keras angin diluar mulai menyadarkan Sasuke.

“Kau tidak kedinginan, Sakura?”

“Kau sendiri bagaimana? Bukankah kau sedang sakit sekarang?” timpal Sakura tanpa mengalihkan pandangannya.

Wah, Sasuke sendiri jadi heran. Bukankah Sakura dan teman-temannya sering mengeluhkan sikap dingin Sasuke? Tapi ketika berdua justru Sakura lah yang memiliki sifat itu. Terkadang dirinya juga bingung, sejak kapan istrinya begitu jutek. Padahal dulu Sakura adalah anak yang supel dan ceria, yah cukup ceria untuk mencairkan sikap dinginnya.

“Hm, aku memang kedinginan” ucap Sasuke begitu saja, kemudian aksi pemuda itu selanjutnya membuat Sakura menahan napas dan melebarkan mata. “Jadi tolong, pinjam tanganmu sebentar” dengan kalem Sasuke mengambil tangan Sakura dan melingkarkan ke lehernya seolah lengan sakura adalah syal.

Tidak, situasi ini...membuat seolah Sakura memeluk Sasuke begitu saja. Dirinya mampu merasakan napas Sasuke yang hangat. Juga jari-jarinya yang menempel pada anak rambut dan cuping telinga pemuda itu. Astaga.. Bagaimana ini. Walau kecil, namun mengapa Sakura merasa posisi ini begitu manis. Sasuke yang berbaring diatas pahanya, dan Sakura yang memeluk suaminya. Untuk beberapa saat Sakura menjadi kesulitan melakukan respirasi.

Astaga, kau bodoh Sakura. Mengapa baru menyadari sekarang? Sial, tenanglah bodoh, jangan gugup hanya dengan hal semacam ini

Diam-diam Sakura merutuki dirinya sendiri. Mendadak menjadi lemah hanya dengan perlakuan kecil dari sang suami. Padahal tadi dirinya sangat kesal pada Sasuke. Ya Tuhan, tolonglah jangan beri aku situasi mengerikan semacam ini.

“Terima kasih Sakura.... ” ucap Sasuke tiba-tiba, “kau selalu membantuku”

Sakura merapatkan bibirnya, sejenak dirinya bingung dengan ucapan Sasuke. Pemuda itu benar-benar terlihat tulus. Namun mengapa begitu tiba-tiba? Sakura mulai memberanikan diri menatap kedua mata Sasuke. Mengakibatkan keduanya saling memandangi satu sama lain.

Sadar keheningan diantara keduanya terasa begitu menggelikan, Sakura berdehem pelan mengalihkan wajah. “Kau sudah meminum obatmu?”

“Sudah” ujar sasuke memberi jeda, “Yuki sudah dijemput?”

“Iya, sudah”

Keduanya kembali diam, hanya suara hujan diluar jendela yang menjadi kebisingan. Suhu sejuk ruangan menambah kesan dingin adegan keduanya. Hingga tiba-tiba terdapat kilatan cahaya diikuti suara guntur besar menyambar mengangetkan keduanya. Sasuke reflek memejamkan matanya dan memegang erat lengan Sakura yang melingkar di lehernya.

“Kau baik-baik saja, Sasuke?” tanya sakura sadar akan tingkah Sasuke. Pemuda itu hanya mengangguk masih dengan kedua mata yang tertutup.

Menyadari hal itu, Sakura mengusap kepala sasuke dengan lembut, berharap pemuda itu dapat sedikit tenang. Sasuke itu bagaimana ya, Sakura sempat mengira suaminya memiliki trauma terhadap petir dan suara gemuruh langit. Namun dalam beberapa situasi Sasuke Uchiha dapat terlihat baik-baik saja bahkan gestur ketakutan tidak ada sama sekali. Intinya pemuda itu memiliki rasa takut terhadap petir kendati tidak seluruhnya. Hanya dalam situasi khusus saja.

Sasuke sendiri masih memejamkan mata dengan bibir tertutup rapat. Pemuda itu mencoba menetralkan degub jantungnya sembari menghitung dalam hati. Sesaat mencoba menikmati usapan lembut Sakura di kepalanya yang terasa hangat dan menenangkan.

Sialnya gemuruh petir dan kilatan cahaya tidak ingin behenti begitu saja. Terdapat sambaran susulan yang sama kerasnya. Sakura reflek menoleh ke arah jendela, berharap tidak terjadi kecelakaan atau peristiwa yang buruk akibatnya. Sedang Sasuke kembali meremas lengan tangan Sakura dengan kuat hingga gadis itu merasakan sedikit nyeri pada pergelangannya.

Maka tidak ada pilihan lain, Sakura tahu suaminya dalam kondisi yang tidak stabil. Untuk itu tidak ada pilihan lain baginya, “Sasuke, kemarilah” ujar Sakura dengan sedikit mengangkat kepala berat suaminya.

Sasuke yang paham dengan cepat beranjak dari posisinya berbaring dan langsung menghadap sang istri. Seketika Sakura menarik Sasuke untuk berserobok dengan tubuhnya. Pemuda itu terkejut? tentu saja. Namun Sasuke tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Dengan erat dirinya memeluk sang istri sembari berhitung dari satu sampai sepuluh secara berulang kali.

Sedang Sakura tengah berusaha meyakinkan untuk tidak menyesali keputusannya. Sembari menepuk dan mengelus punggung sang suami, Sakura diam-diam masih menata hati mencoba membiarkan pemuda itu bersandar pada dirinya kali ini. Petir yang menyambar kembali beraksi, kali ini disertai derasan hujan yang menambah temponya.

Waktu serasa lambat bagi Sakura. Entahlah, semuanya begitu baru memang. Helaan napas hangat Sasuke yang mengenai punggung dan bahunya, juga pergerakan kecil dari kepala pemuda itu yang berusaha mencari posisi nyaman di bahunya. Lingkaran lengan Sasuke pada pinggangnya yang erat juga detak jantung pemuda itu yang dapat dirasakan secara nyata. Sedekat itu, terlalu dekat mungkin. Tanpa disadari Sakura merasakan nyaman, sebuah kehangatan dari satu satunya orang yang memiliki peran besar pada hidupnya. Hingga lirihan Sasuke seolah memberhentikan dunia Sakura begitu saja. “Kumohon, jangan tinggalkan aku, ra” . . . . . . . . . .


Bagi Sasuke, satu-satunya rekan yang paling ditakutinya adalah Sasori. Kakak kembar Sakura bukanlah pebisnis yang mengerikan atau memiliki kuasa penuh yang mampu menggulingkan perusahaan manapun. Namun, aura tak biasa dari Sasori bisa membuat siapapun merasa enggan ataupun segan dalam beberapa situasi. Pemuda itu seolah memiliki bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Terlebih sikap segan terhadap kakak ipar juga berpengaruh meskipun secara teknis Sasori merupakan teman Sasuke sejak sekolah menengah. Entahlah, rasanya begitu enggan untuk mengusik pemuda berambut merah yang tengah mencoba melebarkan sayap bisnisnya untuk terus maju. Pemuda itu terlalu misterius kendati juga ramah secara bersamaan.

“Jadi, mengapa tiba-tiba mengajakku bertemu di Minggu pagi seperti ini” Ucap Sasori lugas sebelum menyesap americano miliknya, tersenyum simpul menatap sang adik ipar di depannya.

Sasuke tau pemuda di depannya pasti paham dengan maksudnya. Namun tidak disangka Sasori juga memiliki ketenangan yang mampu membuat otak Sasuke blank seketika. Keluarga Haruno memang begitu ya? Suka sekali memprovokasi orang lain?

Menyadari kediaman Sasuke yang hanya menatap lurus padanya, Sasori menjadi jengah juga. “Kita itu sama-sama lelaki, Sasuke. Aku paham kau ingin membahas Sakura padaku. Jadi langsung saja.” tembak Sasori tepat.

Meneguk ludahnya, Sasuke mulai memberanikan dirinya, “Jujur saja, aku juga bingung memulai darimana,” ujarnya memberi jeda “jadi menurutmu apakah aku dan Sakura dapat bertahan?”

Menghela napas, Sasori mencoba menahan diri sebab sendari awal pun dirinya telah memprediksi hal ini. Membahas Sakura bersama Sasori itu seperti berjalan di atas lapangan penuh dengan ranjau. Sekali salah langkah maka semua bisa kacau. “Seperti biasa, kau tidak menyukai basa-basi” Ucapnya tenang sebelum terkekeh begitu saja.

Rasanya begitu konyol, hingga Sasori sendiri sedikit berfikir untuk memilah kata yang tepat. Maka setelah mempertimbangkan, dirinya mulai membuka suara, “Aku akui, diriku tidak memiliki hak apapun dalam mencampuri urusan rumah tangga kalian. Aku juga tidak bisa sembarangan memutuskan sesuatu yang menyangkut urusan hati.” ujar Sasori memberi jeda. Berusaha bersikap biasa saja tanpa menyudutkan pihak manapun.

“Hubunganmu dengan Karin juga sudah menjadi rahasia umum, jadi aku tidak perlu menutup mata lagi dan hanya berfokus pada adikku. Disini ada dua wanita yang terlibat, jadi pikirkan dengan baik sebelum semuanya menjadi lebih sulit” ucapnya sembari tersenyum samar. Bagaimanapun Sasuke paham, Sasori tengah berusaha menjadi penengah saat ini. Salah satu hal yang Sasuke kagumi dari kakak iparnya. Pemuda itu jarang menyikapi suatu hal dengan emosi sebagai pengendali.

“Keputusan ada padamu. Jangan serakah dengan dua perempuan sekaligus. Jika Karin yang menjadi fokus utamamu, lepaskanlah adikku” Ucap Sasori serius hingga sukses membuat Sasuke terhenyak sesaat. Secara tersirat Sasori ingin Sasuke memutuskan hubungan dengan Sakura. Cukup wajar memang, tapi semua pernyataan Sasori begitu tepat menembak Sasuke. Tidak bertele-tele, tegas dan jelas. Salah satu alasan Sasuke amat menghormati kakak ipar sekaligus sahabatnya itu.

“Aku memang tidak sesukses dirimu, tapi menghidupi Sakura sendiri jelas aku masih mampu. Dia itu memang sedikit bodoh dan keras kepala. Tapi bagaimanapun dia tetap adikku dan perempuan yang terdidik, jangan diberi kesulitan semacam ini. Kasihan.” Ucap sasori lebih jauh.

Sontak Sasuke merasakan rasa bersalah yang luar biasa. Seperti mendapat dentuman kuat yang menyesakkan bukan main. Rasanya semua menjadi sulit hingga Sasuke kehilangan kata untuk sesaat.

“Aku mencintai Sakura” Ucap Sasuke tiba-tiba.

“Aku tahu,” balas Sasori tenang “tapi idealisme cinta yang kau katakan tidak akan berguna jika realitanya seperti ini”

Sasuke menahan napas sesaat, sejatinya dirinya paham jika Sasori begitu keras untuk memposisikan dirinya. Bukan hanya seorang kakak, namun sahabat dari Sasuke juga. Kendali emosi dari pribadi bersurai merah didepannya memang luar biasa.

“Jujur saja aku juga terkadang ingin memukulmu bahkan membunuhmu dengan tanganku. Kita sama-sama lelaki, kurasa satu atau dua pukulan tidaklah buruk. Tapi aku mencoba paham akan situasimu, lagipula Sakura itu tidak akan senang jika aku mencampuri urusan kalian.” ujarnya sebelum terkekeh miris, “Bukankah aku kakak yang buruk? Bahkan aku membenci diriku yang tidak dapat bertindak lebih jauh” ucap Sasori getir dengan ringisan kecil.

Sasuke menggeleng lemah, dirinya merasa malu bahkan tidak berani menatap langsung netra sang lawan bicara. “kumohon beri aku waktu” ujar Sasuke memohon.

Sasori terkekeh kemudian menimpal dengan keseriusan disana, “Tidak peduli berapa banyak yang aku beri, semua keputusan berada di tangan Sakura. Aku selalu menghargai keputusannya, jika dia ingin bertahan maka aku hanya perlu mengawasi kalian. Namun jika dia ingin pergi, lepaskanlah”

Sasuke mengangguk patuh, tanpa banyak kata. Memangnya apa lagi yang dapat dirinya lontarkan? Sebab semua jelas bahwa dirinyalah yang brengsek disini.

Melihat itu Sasori jadi mengulum bibirnya sesaat, lantas berujar dengan kemirisan disana, “Jangan terlalu ketara lemah begitu, kau itu lelaki.”

Mendengarnya membuat Sasuke terkekeh sesaat, lantar melontarkan kekalutannya sebelumnya. “Aku takut Sakura pergi dariku. Apa kau pikir Sakura juga mencintaiku?”

Sasori sedikit terkejut akan pertanyaan yang telontar dari bungsu Uchiha itu. Mungkin karena heran? atau lebih tepatnya rasa geli “Kau itu kalau bertanya jangan padaku, kau kira Sakura mudah untuk dimengerti?”

Benar juga, sampai sekarang pun Sasuke tidak terlalu paham tentang istrinya. Kendati tidak bersikap misterius dengan jelas seperti Sasori, ada banyak hal yang Sakura sembunyikan entah disengaja atau tidak.

“Walaupun aku tidak begitu yakin, tapi melihat dirinya bertahan sejauh ini, kurasa diam-diam adikku juga peduli terhadapmu.”

Perkataan Sasori sukses membuat Sasuke menatap lurus padanya. Dengan kilau mata penuh harap Sasuke memandang Sasori, hingga pemuda itu jengah sekaligus jijik. Menghela napas, Sasori berucap lebih jauh. “Aku tidak akan menyerahkan adikku pada sembarang orang. Dia sendiri yang menyetujui dinikahi olehmu, tanpa adanya campur tangan siapapun. Walaupun ceroboh, adikku tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan”

“Jadi, untuk sekarang kuharap kau menjaganya baik-baik. Kau tahu aku pernah hampir kehilangannya, bukan? Kuatkan dirinya untuk tetap bersama kita. Aku tidak siap kehilangan sosok lain dalam hidupku”


Dengan langkah pasti Sakura berjalan di lorong gedung bercat putih dengan aroma khas antiseptik dan obat. Melewati ruang pediatri dan berjalan lurus menuju kamar inap dengan satu pasien khusus ibu hamil di dalamnya. Seorang perawat menyapa membuat Sakura mau tak mau tersenyum hangat ke arahnya sebelum melanjutkan tujuan.

Bunyi ketukan sepatu Sakura terhenti di kamar inap dengan nomor pintu 403 yang tercetak jelas. Menarik napas sejenak sebelum memutar kenop pintu hingga papan pemisah itu terbuka sempurna. Lantas menenggelamkan dirinya di dalam ruangan bersih dengan tirai berwarna coklat keemasan yang tersibak setengah.

Kehadiran Sakura yang tiba-tiba tentu membuat sang penghuni ruangan tak mampu menyembunyikan rasa kejutnya. Wanita cantik dengan surai merah yang indah melepaskan earphone dari telinganya. Lantas menatap lurus pada Sakura yang tengah tersenyum padanya.

“Halo, Karin”


Sasuke jelas tidak terlalu memahami sebanyak apa masalah yang dihadapi pada masing-masing pribadi. Sekuat apa mereka berusaha untuk menghadapi atau sekeras beberapa dari mereka mencoba untuk menghindari. Kendati demikian pribadi bersurai hitam tersebut tetap berusaha mempertahankan sebuah kewarasan di kala terkukung pada ruang yang mampu menjebak pada setiap pergerakan. Karena Sasuke yakin, apa yang tengah dihadapi bukan pilihan sederhana seperti jika kau minum air dingin di malam hari maka kau akan terserang flu. Nyatanya dihadapannya dikerahkan dua pil pilihan dengan beda warna, namun dengan efek yang sama saja.

Cukup membuat frustasi sehingga Sasuke menjadi kebingungan untuk sekarang. Yang pasti dirinya belajar, jika menjadi brengsek terkadang bukan suatu pilihan, tetapi keadaan yang memaksamu untuk terlihat demikian. Sempat terpikir jika dirinya telah dijebak dengan sedemikian rupa atau memang sebuah karma telah datang padanya. Sasuke nyaris tidak peduli jika hal tersebut tidak menganggu kesibukannya untuk tetap bernapas setiap hari. Namun sedingin apapun seseorang dirinya tetaplah manusia yang memiliki hati nurani kendati Sasuke jelas beranggapan telah melenyapkan semua itu sejak lama.

Atau memang benar kata orang, kehidupan akan berbeda sekeras apapun kau berusaha untuk terus menjalani hal yang sama. Prinsip yang umum memang, hal yang biasa dan tak perlu dikuak sebab setiap pribadi jelas paham akan maksudnya. Barangkali jika alur sebuah kisah kehidupan mampu direvisi layaknya sebuah karangan tulisan, jelas Sasuke akan merubah setiap strukturnya tanpa terkecuali masa-masa kelam yang kerap kali datang mengusik kala malam. Namun kenyataan selalu pahit untuk ditelan maupun dicerna secara perlahan. Menjadikan pribadi dengan balutan jaket abu dan celana santai ini mendatangi satu-satunya sahabat yang paling dirinya andalkan.

“Kau baik-baik saja Sasuke? ” Naruto jelas melihat sosok tuan muda yang biasanya dirinya kenali tampak berantakan. Surai hitam yang disisir asal dengan bulatan mata yang hampir meredup sinarnya hingga hampir seluruh elemen pada wajah Sasuke tampak begitu menyedihkan.

“Menurutmu?” Sasuke tampka asal sebab pertanyaan yang terlontar memang tidak terlalu penting untuk mendapatkan sebuah jawaban. Yah, Sasuke tetaplah Sasuke.

Sejenak Naruto tersenyum maklum sebelum menyodorkan soda kaleng dingin dihadapan Sasuke hingga pribadi itu menerimanya begitu saja. Suara desisan air soda membumbung setelah tutup kaleng dibuka dengan satu kali aksi lantas keduanya meloloskan cairan pekat tersebut melewati tenggorokan.

“Aku hanya akan bertanya sekali, jadi dengarkan baik-baik” ujar Sasuke setelah menatap tepat pada netra biru didepannya. Hingga mau tak mau Naruto menatap fokus seolah kalimat selanjutnya dari Sasuke tidak boleh dilewatkan barang satu kata “Kau akan memilih siapa jika jadi diriku?”

Sasuke menatap cukup sangsi bagaimana ekspresi serius yang Naruto bangun. Cukup menggelitik memang bagaimana pribadi bersurai pirang tersebut menjadi serius dengan dahi yang berkerut dalam “memangnya siapa yang memberimu pilihan?”

Demi air ombak yang tidak pernah lelah menerpa bibir pantai, rasanya Sasuke menjadi lebih frustasi setelah kalimat tanpa beban itu lolos dari bibir Naruto. Baiklah, ingatkan Sasuke jika cara berfikir Naruto jauh lebih sederhana dibandingkan dirinya. Hingga tatapan tajam dari Sasuke mengarahkan tepat pada pribadi didepannya seolah siap untuk membelah tubuh itu menjadi dua. Oke, maaf, itu cukup mengerikan memang.

“Serius?” Ujar Sasuke penuh penghakiman disana, “Kau malah-”

“Sejak awal kau itu tidak ada pilihan” potong Naruto tanpa beban. Lantas terkekeh lirih membuat tatapan Sasuke semakin memincing padanya.

Mungkin bukan suatu hal yang perlu dibeberkan, tapi sendari awal Naruto tidak pernah menganggap suatu perkara menjadi lebih sederhana apabila dirinya melibatkan orang lain ikut andil didalamnya. Tapi satu hal yang Naruto ketahui, dirinya cukup paham akan tanggung jawab yang dipikul sahabatnya secara bersamaan.

“Tidakkah kau keterlaluan saat ini? Menciptakan dua pilihan sendiri seolah mereka berdua hanyalah objek yang bisa kau jadikan opsi?” satire Naruto begitu saja “Kau itu menganggap dirimu manusia tidak sih?

Sasuke cukup terhenyak mendengar kalimat Naruto yang tepat sasaran hingga menembus ulu hati.

Tersenyum tipis, Naruto kembali membuka suara. “Karin itu sepupuku, sedangkan Sakura adalah temanku. Mereka berdua terlalu berharga jika kau perlakukan sedemikian hinanya” lanjut Naruto tenang. Atmosfer ruang mendadak meninggi membuat Sasuke lelah sendiri selalu menjadi pihak yang dihakimi. Kendati juga menyadari jika dirinya memang sosok yang bersalah di situasi ini.

“Lalu aku harus apa? Katakan padaku Naruto, apakah semua ini harus kuhadapi?” jeda Sasuke menahan sesaknya sendiri. Bagaimanapun Sasuke hampir gila jika hal-hal konyol kerap kali menimpa dirinya, “Aku sudah lelah.. ” lirihnya kemudian.

Melihat Sasuke yang frustasi setengah mati menciptakan dilema tersendiri dalam diri Naruto. Bagaimanapun pemuda tersebut jelas paham apa yang Sasuke alami memang cukup untuk menghancurkan sisi manusiawi. Seolah menjadi brengsek adalah satu-satunya pilihan.

“Pernahkah kau bertanya pada Sakura?” tanya Naruto tanpa diduga. Sebagai seorang yang juga memiliki pasangan hidup, bagi Naruto kehidupan rumah tangga memanglah demikian. Terbuka satu sama lain dan berjuang bersama-sama. Meskipun istrinya adalah sosok yang sedikit pemalu, namun Naruto berani menjamin jika Hinata adalah sosok yang senantiasa terbuka dan berpemikiran luas. “Cobalah untuk mendiskusikan ini dengannya.

Sedang Sasuke mendadak bungkam ketika nama sang istri disebut begitu saja. Sakura ya? Rasanya untuk berhadapan dengannya saja Sasuke tidak memiliki nyali sama sekali. Gadis itu terlalu baik untuk menjadi pasangannya selama ini. Kehadirannya yang tiba-tiba merangsek masuk ke dalam kisah Sasuke seolah hadiah terbesar dari Tuhan yang dirinya dapatkan. Sakura seperti namanya, bunga yang indah mekar ketika musim semi datang. Juga menciptakan musim semi tersendiri dalam pribadi Sasuke di tengah badai yang senantiasa menerpa.

“Aku tidak berfikir dia harus mengetahui hal ini? Entahlah rasanya aku tidak berani melihat reaksinya”

“Tunggu, Sasuke. Apakah kau benar-benar menganggap Sakura itu istrimu?”

Untuk kesekian kali Sasuke menatap begitu sangsi seolah kedua netranya dapat menjawab pertanyaan retorik Naruto seperti, kau-bercanda-atau-memang-ingin-kupukul?

Mengerti dengan tatapan tidak biasa dari sahabatnya, Naruto menghela napas lelah. Kau tahu? Rasanya seperti Naruto mengajari Sasuke bagaimana kehidupan rumah tangga yang sebenarnya. Meskipun kecerdasan Uchiha itu tidak bisa diragukan lagi, tapi Naruto merasa jika Sasuke mendadak jadi bodoh ketika suatu perkara menyangkut perihal istrinya.

“Kau datang kemari dan bertanya padaku, rasanya seperti kau memihak pada Karin. Aku tidak tahu apakah Sakura berfikiran demikian mengingat watak istrimu. Tapi yang jelas, sedari awal pilihanmu hanya satu, hanya Sakura. Kau tidak lupa pernah bersumpah atas nama tuhan untuk menjaga dia bukan?”