Unconscious (Sasusaku)

‧ ₊✜˚. Menunggu memanglah suatu kegiatan yang cukup membosankan. Terlebih lagi jika tidak mengetahui secara pasti kapan hal ditunggu akan datang. Apabila benar-benar bukan suatu keharusan barangkali kebanyakan orang akan malas melakukannya. Batas kesabaran tiap manusia tentu berbeda kapasitasnya. Tapi jika itu menyangkut keselamat suatu nyawa, apa boleh dihiraukan begitu saja?

Jelas manusia apatis seperti Sasuke membenci kegiatan ini, rasa peduli pun tak pernah dirinya sasarkan. Sekadar duduk dan mengamati siswa lain yang menerobos gerbang setelah dering lonceng pulang sekolah saja dirinya enggan. Selain sibuk dengan pikirannya yang kian bercabang, kecamuk dalam hatinya sukar sekali dipadamkan. Rasa pening diam-diam menyerang diantara kerumunan manusia berlalu lalang di depannya. Mengumpat pelan sebagai bentuk protes mengapa tempatnya menunggu harus berada di lobi sekolah. Sayup-sayup telinganya menangkap suara panik dan langkah tergesa dari para siswa yang melewatinya.

“sial, sepertinya akan hujan lagi” “cepatlah, aku tidak membawa payung” “lihat awannya, gelap sekali” “kau bawa payung?” “mengapa harus hujan sih, menyebalkan” “oh, kau sendirian?”

memangnya kenapa kalau hujan? bukankah itu hanyala tetesan air dari langit? dasar orang-orang berlebihan

Suara deting notifikasi pesan mengudara lirih bersinergi dengan tetesan air yang mulai jatuh dari langit secara perlahan. Memaksa Sasuke untuk memutuskan pandangan dan memberi atensi pada kotak hitam pipih dalam saku jaketnya. Dengan malas pemuda itu membuka aplikasi obrolan. Lantas mengernyit skeptis lantaran pesan yang didapat hanya sebuah kalimat sapaan dari sahabat satu satunya. Agaknya Naruto belum sepenuhnya paham jika Sasuke tidak menyukai hal yang bernama basa basi.

Belum sempat ponselnya dimasukkan ke dalam saku kembali, suara dering telepon memecah kesunyian beriringan dengan suara rintik hujan yang kian deras. Mau tak mau Sasuke mengangkat panggilan itu. Meletakkan benda persegi panjang tersebut dekat dengan telinga.

“Hn,” sebuah konotasi khas Sasuke memulai obrolan.

“teme, kau masih menunggunya?”

Sasuke mengalihkan pandangannya ke arah pintu UKS yang masih setia tertutup, “iya”

“pulanglah, kupikir dia tidak ada disana”

Pemuda bersurai raven itu jelas heran. Pasalnya ia ingat mendengar kabar jika gadis itu sedang mengalami masalah pencernaan yang mengharuskan dirinya absen pelajaran.

“Terserah”

Terdengar helaan nafas pasrah di seberang. Naruto sebenarnya paham dengan jelas situasi yang dialami Sasuke lebih dari apapun. Tapi tetap diam menunggu di pijakan tanpa melakukan apapun bukankah sama saja seperti seorang pengecut. Pun pribadi bersurai pirang tersebut hampir menyerah jika berhubungan dengan sikap keras kepala si anak bungsu Uchiha itu.

“kau tahu kan? Apa yang akan terjadi, teme?”

Sasuke berdecih pelan seolah abai dengan peringatan tersebut, “Berisik”

Sambungan pun ditutup sepihak. Berdebat akan hal itu tidak akan pernah selesai. Sikap keras kepala Sasuke dan kepekaan naruto memang seringkali menuai perseteruan diantara keduanya. Walaupun demikian, sebuah hubungan erat bernama persahabatan tak bisa renggang hanya dengan kepribadian yang bertolak belakang, bukan?

Pribadi dengan seragam lengkap berbalut jaket hitam itu menyenderkan punggungnya ke kursi. Seolah menyerahkan beban pada tumpuan lain selain bahunya yang cukup bidang. Barangkali siswa lain berfikir pemuda itu tengah mengalami masalah umum remaja yang cukup menggelikan yakni percintaan. Nyatanya apa yang tengah Sasuke alami bukanlah hal remeh dan simpel seperti yang tengah digosipkan. Sulit untuk dijabarkan, tetapi siapa yang tau jika harapan terakhir Uchiha tersebut tengah mengalami hal yang tak pernah orang lain bayangkan sebelumnya.

Yah, Sasuke sendiri tidak pernah peduli angggapan sekitar. Menjalani kehidupan sesuai aturan dan takdir yang telah tercipta saja sudah meenguras fisik dan batinnya. Seringkali bertanya mengapa semesta seperti tidak memberikan belas kasihan padanya. Tapi jika ingin memberontak pun rasanya percuma.

Sasuke hanya bisa mengela nafas mengeluarkan karbondioksida dari rongga dadanya yang tiba-tiba penuh sesak. Lantas memejamkan matanya mencoba fokus mendengar tetesan air yang jatuh menimpa bumi. Pun tersenyum tipis kala semilir angin musim gugur yang bercampur aroma tanah basah menerpa wajahnya dengan lembut.

Suara debum pintu terbuka sukses membuat sasuke kembali membuka mata. Lantas menoleh ke samping dimana sumber suara tersebut tercipta. Jauh dalam benak sasuke, pemuda itu berharap jika sosok yang tengah dirinya nantikan akan muncul dibalik pintu itu.

Namun ketika siluet lain muncul, garis muka Sasuke mengendur secara perlahan. Harapan yang tadinya berusaha berdiri kokoh bak karang pun perlahan retak. Nyatanya membuat sugesti sebesar gunung pun tidak ada gunanya. Kenyataan memang selalu mencekik lehernya seolah tak membiarkan dirinya melakukan respirasi dengan benar.

“Sasuke-kun!”

Panggilan dengan imbuhan sufix di belakang mengambil atensi sepenuhnya. Bukan apa, tapi nada ragu yang merangsek masuk ke indra pendengaran Sasuke sedikit mengingatkan dirinya akan suatu hal entah apa. Maka ketika mata onyx miliknya bertemu dengan hijau emerald milik gadis yang tengah berdiri tak jauh darinya, membuat pemuda itu sedikit paham.

“Boleh aku duduk di sini?” tanya gadis itu dengan telunjuk tangan yang mengarah ke bangku.

“Hn”

Sasuke jelas membuang mukanya ke samping secara kasar. Benar-benar pertanyaan yang aneh. Apakah dia terlihat seperti pemuda angkuh yang menganggap seolah semua adalah miliknya? Yang benar saja. Justru pemuda itu merasa kamisama sedang menghukumnya habis habisnya hingga pergerakaannya begitu diatur agar tak melewati batas.

Sasuke kembali menatap percikan air yang mengenai teras lobi sekolah. Jika diingat-ingat kembali, kapan terakhir kali ia memandang hujan dengan begitu intensnya. Biasanya hanya decakan atau dengusan yang ia keluarkan sebagai ungkapan kesal akan jatuhnya air langit.

“Sasuke-kun” panggil gadis itu lagi membuat Sasuke kembali membuyarkan lamunannya. selembar tisu tersodor ke arahnya membuat pemuda itu mengernyit heran. Ditambah tangan gadis itu terlihat sedikit gemetar memegang selebar tisu yang mungkin massanya tidak mencapai satu gram.

Menyadari ekspresi kebingungan yang tersemat jelas pada wajah Sasuke, gadis itu spontan mengulurkan tangan mengusap bagian bawah mata pemuda itu dengan tisu. Jangan ditanya betapa bingungnya pemuda itu, tapi masih terlalu terkejut hingga tubuhnya berhenti bergerak bak dikutuk menjadi batu. Namun sepersekian sekon kemudian, Sasuke tersadar dari keterpakuannya.

“siapa kau?”

Gadis bersurai merah muda itu tersentak, lantas mundur ke belakang. menarik tanggannya berganti jadi menunjuk dirinya seperti orang bodoh yang kehilangan akal, “aku?”

Tidak ada jawaban sama sekali. Barangkali gadis itu bingung atas nada ambigu yang Sasuke keuarkan. Jadi sebenarnya pemuda itu ingin tahu namanya atau hanya memperingatkannya? Sadar akan kebingungan yang tercetak jelas dalam raut gadis itu, Sasuke berdehem pelan. Lantas melontarkan pertanyaan lagi, kali ini lebih jelas.

“Iya, kau siapa? Maksudku namamu. Iya, namamu siapa?”

Mendadak Sasuke diliputi kegugupan, entah mengapa bungsu Uchiha itu menjadi mengulang ulang ucapannnya. Membuat gadis dihadapannya terkekeh pelan. “sungguh Sasuke-kun? Kau tidak tahu aku? Woah” gadis itu malah bertepuk tangan mengejek Sasuke. Jelas pemud itu jadi mengernyit penuh heran, lantas menantang dengan sombongnya, “ memangnya kau siapa? Jelas kau bukan orang penting hingga aku tidak mengenalimu, bukan?”

Senyum lembut tercetak oleh bibir tipis sang gadis, lantas mengulurkan tangan dihadapan Sasuke dengan berani. “baiklah, namaku Haruno Sakura, dan aku teman sekelasmu”

Sakura jelas hampir terbahak oleh ekspresi yang dibuat oleh pemuda dihadapannya. Lantas menarik tangan Sasuke dengan paksa agar bertaut dengannya. Sedangkan Sasuke masih dalam keterkejutannya, seolah baru saja dibeberkan fakta akan adanya perang dunia ketiga dalam kurun waktu terdekat. “sebagai informasi tambahan, aku duduk di depan mejamu. Jadi, salam kenal ya, teman sekelasku”ucapnya bersamaan melepas tautan keduanya. Bungsu dari keluarga Uchiha tersebut akhirnya tersadar. Mengalihkan pandang guna menutupi mukanya yang kini merah padam. Memandang sejenak tetesan hujan yang kini mulai mereda. Pun abai ketika gadis bernama sakura itu kembali terkekeh pelan.

“kau hebat sekali, jadi semenjak awal semester baru kau tak pernah mengenaliku?” racau gadis itu yang hanya dibalas deheman oleh sasuke. Pemuda itu mana peduli tentang siswa lain di sekolah ini. Suara mereka berisik sekali ketika dirinya meraih skor kala bermain basket di jam istirahat. Selama Naruto tidak absen, dirinya masih bisa mengobrol dengan manusia di lingkungan ini tanpa pujian berlebihan demi formalitas yang ketara.

Sakura tiba-tiba memekik pelan seolah tersadar akan satu hal, “ah iya, karena kau sudah tahu siapa diriku, jadi bisakah kau kembalikan semua pulpen yang kupinjamkan padamu? Aku juga butuh untuk menulis asal kau tahu”

Sasuke diam sejenak, mencerna semua kalimat yang gadis itu lontarkan. Lantas berdehem pelan sebelum menjawab, “hm, besok akan kubelikan yang baru. Kau mau berapa?”

Bersamaan hembusan angin dingin menerpa keduanya, sakura memutar bola matanya malas. Mendengus kasar dengan bibir mengerucut sebal.

“kau tak perlu membelikanku yang baru, cukup kembalikan saja yang kupinjamkan”

“tidak bisa”

“kenapa tidak bisa?”

Sasuke mengalihkan muka, sebelah tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Matanya menatap kosong pada dedaunan basah pada ranting pohon yang menjuntai. Sejenak berfikir untuk memilah kata yang tepat untuk dilontarkan. sedangkan gadis di depannya masih menatapnya dengan heran.

Maka Sakura bisa apa selain berspekulasi dan menarik pemahamannya sendiri. Gadis tersebut merasa geli bahkan sengaja merapatkan bibirnya berusaha menahan senyumnya. “Kau tidak menghilangkan semuanya, bukan?”

Sasuke menoleh spontan, lantas menjawab dengan penekanan kuat. “Tentu saja tidak.”

Ayolah sasuke, ekspresimu sudah mengatakan semuanya. Sakura bahkan hampir terbahak kala melihat sasuke bersifat kekanakan seperti ini.

Sungguh, dirinya tidak pernah mengira akan menyaksikan sisi lain dari salah satu siswa paling ditakuti di sekolahnya. melihat sasuke begitu kebingungan untuk menjawab pertanyaan sederhana darinya merupakan hal yang baru. bagaimana tidak? keseharian sasuke adalah memasang kontur muka paling datar juga tatapan dingin. seolah julukan pangeran es benar tersemat padanya karena alasan yang masuk akal.