Je suis désolé

‧ ₊✜˚. Ketika kubuka mataku, hanya hal yang sama terulang kembali. Menghembuskan napas pelan sembari melangkah dengan prediksi sempurna akan situasi kedepannya. Aku tidak bermaksud untuk berilusi menjadi peramal atau sejenisnya. Hanya saja bukankah sudah jelas jika bianglala akan selalu berputar namun tetap pada porosnya. Mengapa tidak ada satu sampai dua hal yang menarik selain bergelung kembali dengan pikiran yang semakin bercabang setiap harinya. Kurasa aku mulai kehilangan irama. Atau memang sejak lama namun terlambat bagiku untuk menyadarinya?

Entahlah. Aku benci perasaan gelisah yang menekan kuat dadaku hingga sulit bagiku untuk melakukan respirasi. Tubuhku seperti terhepas oleh sesuatu hingga perih itu selalu hadir. Memangnya kegagalan apa yang sudah aku terima hingga kakiku menjadi kehilangan kekuatannya. Rasa pening berkali kali menyerang hingga terbesit dalam otakku untuk membelah saja kepala ini. Bekas air mata yang sudah mengering membuatku tak ingin melihat wajahku sendiri. Mengerikan? Tidak juga. Tapi begitu menyedihkan hingga penghinaan kembali kulayangkan pada pribadi di depan cermin.

Entah mengapa aku mulai sulit untuk memaafkan diri ini. Diriku yang menyedihkan dan selalu menjadi beban orang lain. Aku bertanya tanya kapan aku akan menjadi pribadi yang berguna setidaknya sedikit saja. Aku hanyalah pecundang yang makan tiga kali sehari. Lagi. Aku selalu saja ingin bergantung pada orang lain. Kurasa mereka sudah terlalu muak padaku tapi manusia memang penuh dusta. Mereka selalu menyembunyikannya seolah olah aku bukanlah apa-apa.

Kubilang aku mulai lelah terjebak di ruangan sepi ini. Terlalu senyap hingga hanya deru napasku yang menjadi satu satunya kebisingan. Kurasa aku memang belum terbiasa dengan ini. Aku selalu merasa semua ini kesalahan. Bukan aku yang seharusnya ada disini. Menjadi beban lagi hingga tatapan cela pun kudapatkan kembali. Mengapa semua tak pernah berjalan lancar sesuai kemauanku? Tak layakkah diriku yang bodoh ini? Atau memang benar jika- ah tidak tidak. Aku tak boleh sejauh itu melampaui batas. Atau bencana besar akan kembali menerpa.

Menjadi melankolis ternyata susah juga ya. Hingga sesuatu mendorongku untuk melakukan hal diluar keinginanku. I hate being forced. Tapi sifatku yang tak ingin orang lain kecewa membuatku memaksakan diri kembali. Itu sulit. Bahkan aku sama sekali tidak merasakan ketulusan saat membacanya kembali. Tidak ada desiran seperti yang biasa kudapat. Kurasa kemampuanku selalu menurun tiap hari.

Lagipula lupakan saja itu. Tidak ada gunanya juga. Aku hanya muak, itu saja. Bentangan sempurna hingga deretan gigi yang muncul di sela menjadi tameng untukku. Percayalah aku tidak bermaksud mengikuti alur cerita klise dimana tokoh utama tetap ceria kala ujian tengah menerpa. Tidak ada sama sekali dalam kamusku hal hal semacam itu. Katakanlah aku benci. Tapi bukankah kita dilahirkan untuk menjadi nyata, bukan menjadi sempurna. Memangnya sejauh apa manusia tetap bertahan jika gunung meletus pun badan akan menjadi arang? Memang kurang tepat klausa yang kukatakan. Tapi aku benar-benar tidak percaya Cinderella yang di agung agungkan ada dalam dunia nyata. Nyatanya tokoh wanita yang diberi keajaiban oleh ibu peri pun membutuhkan orang lain agar mampu melakukan sesuatu. Butuh sosok pangeran untuk menyelamatkannya. Heol, bukankan itu begitu menggelikan sampai aku ingin muntah begitu saja.

Memangnya manusia tidak bisa bersikap nyata sedikit saja ya? Kedati hanya sebuah cerita, tapi bisakah untuk tidak berusaha mencuci otak manusia dengan sugesti demikian? Begitu menjijikkan.