Magic Land

_

Sebenarnya cukup lucu bagaimana judul yang terbentuk tidak mengandung kreativitas sama sekali. Yah, bagaimana lagi. Aku tidak terlalu pandai merangkai sebuah judul apalagi menyusun kalimat. Begitu saja sudah cukup kurasa.

Ada kalanya kita ingin pergi dari dunia tempat kita berada. Masuk portal ke dimensi lain, atau terbangun dari tidur lalu memulai kehidupan baru yang jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Kiya sempat berfikir jika hal tersebut bersifat wajar walaupun terdengar cukup menyedihkan. Tapi siapa yang tahu kehidupan asli dari manusia itu sendiri?

Sempat terlintas dalam benaknya jika dia harus mengakhiri semua secepatnya. Namun tetap saja gadis itu tidak memiliki kepercayaan diri untuk melakukannya. Keraguan masih menyelimuti dirinya yang lemah. Sering bertanya-tanya, apakah dirinya sanggup? Apa tidak boleh jika pribadi itu melanjutkannya. Kewarasannya seringkali mengingatkan agar ia harus berhenti. Tapi entah mengapa Kiya menolak. Bahkan untuk menjadi gila sekalipun dirinya bersedia. Memangnya siapa yang salah? Tentu saja tidak ada.

Semilir angin malam yang dingin menghentikan langkahnya. Tersenyum tipis kala kedua bingkai maniknya mendapati taman komplek perumahan yang sepi. Gadis itu melangkah dengan bersemangat bak mendapati oasis di gurun pasir. Memasuki area taman lalu duduk di salah satu ayunan dengan raut sumringah.

Menghiraukan kondisi sekitarnya yang begitu sepi, gadis itu duduk di area yang biasanya anak balita bermain disana. Mengayunkan diri sembari tertawa sebab betapa menyenangkannya rasanya mengayun kesana kemari seolah mengendarai angin malam yang dingin.

Iya, dirinya kembali membawa gulungan kecamuk dalam pikiran. Sesak kembali dirinya rasakan dan genangan air mata mulai terkumpul. Mudah saja, sebenarnya kiya hanya merasa lelah. Tidak ada sesuatu yang spesial, hanya saja barangkali guncangan yang dirinya dapat sedikit lebih sulit dibanding biasanya. Tujuan utamanya hanyalah pulang untuk sekedar merehatkan pikiran, namun rencana telah berubah secara mendadak mengingat dua hari yang lalu dirinya sudah datang dan Kiya paham jika sang kakak tidak akan menyukai dimana dirinya begitu cengeng atau lemah. Sebab Athar juga tidak ingin Kiya terlalu bergantung pada dirinya. Tidak perlu selamanya Athar ada untuk Kiya, sebab suatu hari adiknya akan berjalan sendirian tanpa bayangannya dibelakang.

Tapi lelehan mata lolos begitu saja bersamaan dengan seguk yang berusaha Kiya tahan. Gadis itu juga membenci situasi semacam ini tentu saja. Berkali-kali dirinya menepuk dada untuk meredam sesak. Namun memang tempat inilah dirinya dapat mengistirahatkan pikiran tanpa takut ketahuan.

“Tidak dingin?”

Kiya sontak menoleh ke arah suara, menemukan sosok sang kakak yang berdiri tak jauh darinya. Gadis itu segera mengusap kedua pipinya lantas menatap Athar dengan sorot kebingungan.

Menyadari itu Athar menghela napas sembari mengangkat tas belanja di tangan kanannya. Membuat Kiya mengangguk paham jika Athar hanya tidak sengaja lewat.

“Kau itu mudah sekali sakit, kenapa tidak memakai jaket, sih?” omel Athar begitu saja sembari menyampirkan kemeja flannel miliknya ke punggung sang adik menyisakan dirinya yang hanya memakai kaus putih polos.

“Hari ini aku ingin sakit, biar saja besok tidak perlu pergi” sungut Kiya membela diri. Bukan alasan yang sebenarnya, mudah saja, gadis itu enggan mengiyakan jika dirinya lupa sebab kecerobohan.

Athar menggeleng begitu saja lantas duduk di ayunan samping Kiya, “Iya, lalu selamanya kau akan menjadi pengecut. Bersembunyi dan merengek padaku”

Bukannya merasa tersindir dengan kalimat satir dari sang kakak, Kiya justru tertawa lantas mengangguk tanpa beban seolah mengiyakan ucapan Athar. Lagipula kemana lagi Kiya bisa pergi untuk sekadar bertemu dan mengadu nasibnya lantas merengek lalu meminta dekapan. Diluar sana Kiya dianggap sebagai manusia saja sudah bersyukur sekali, tapi disini dia adalah menusia seutuhnya tanpa adanya keraguan sama sekali.

“Pusing?” tanya Athar yang menyadari Kiya cukup menjadi pendiam. Gadis itu hanya mengangguk mengiyakan lantas tersenyum dengan kepala yang masih menunduk.

Sebelah tangan Athar terangkat mengusap kepala sangat adik membuatnya semakin menunduk. “Capek?”

Kiya tertawa mendengar pertanyaan Athar, gadis itu lantas menoleh menatap tepat netra sang kakak.

“Kakak sendiri gimana? Capek nggak?”