While, you are cross the line (Daisuki Sequel)

‧ ₊✜˚.

Sisi kehidupan lain dimana alur yang tercipta akan melebihi ekpetasi dalam bercerita. Kisah yang tidak dibagikan ataupun rahasia yang tersimpan, menciptakan jalan yang dituju menjadi penuh dengan gelombang. Aku tidak pandai menuangkan pikiran ataupun menyelesaikan konflik diantara dua insan. Intinya, Ibra tahu, dirinya bersalah akan segalanya. Namun Naura tetap harus mempertanggungjawabkan semuanya.

. . . . Ibrahim Gazali Al-Fatah X Naura Adzkiya Shaqueena . . . . Prakata : Didalamnya hanya seutas pikiran dengan kecamuk sebagai acuan. Tidak ada istimewa yang terkandung, hanya rentetan kejadian yang membuat perut seperti diaduk ratusan kali. Kapal yang berlayar mengalami kebocoran, tapi nahkoda tetap tidak ingin tenggelam.


Interlude

i don't know when it's going on. I lost my mind

Gulita tengah menyapa ketika sang matahari menyembunyikan sinarnya tepat dua jam yang lalu. Detakan yang berbunyi lirih juga dengungan mesin pendingin ruangan menjadi kebisingan diantara kesenyapan di ruang yang hanya diselimuti remang, juga Hembusan napas tenang yang nyaris tidak terdengar.

Jarum pendek pada jam dinding nyaris menyentuh angka 9 sebelum pintu kamar terbuka menampilkan pemuda bersurai hitam yang tengah makai baju kasualnya. Tersenyum tipis, Ibra menutup pintu kembali dan berjalan menuju ranjang dengan pasti. Diatasnya terbaring gadis yang telah sah menjadi istrinya tiga tahun belakang. Kiya, bagaimana kerap kali gadis itu disapa.

Entah berapa banyak hal yang telah dilewati gadis itu sepekan ini, hingga pada penghujung hari Kiya selalu terlelap lebih dulu di kamar tanpa ucapan selamat tidur yang hangat atau utasan senyuman di wajah kecilnya. Bukan sesuatu yang spesial, namun Ibra paham istrinya tengah lelah akhir-akhir ini. Tidak terlalu paham juga apa yang tengah Kiya hadapi atau lalui sebab gadis itu selalu enggan untuk berbagi.

Dengan pelan tanpa berniat membangunkan, Ibra menarik kursi meja belajar disamping ranjang lalu duduk sembari tersenyum kecil. Jangan ditanya mengapa, sebab hal ini tidak mungkin dilakukannya apabila pada hari biasa. Karena Kiya selalu menolak untuk dirinya dekati apalagi masuk ke kamarnya yang merupakan wilayah teritori.

Perlahan pemuda itu mengambil tangan sang istri, menggenggamnya dengan senyuman bangga sekaligus mengejek pada gadis yang masih terlelap. Sebab pada akhirnya Ibra telah berhasil menautkan kedua tangan mereka tanpa aksi defensif yang selalu hadir, risih-katanya. Dipandangnya wajah Kiya yang damai, begitu tenang hingga Ibra dapat menikmati waktu ini. Berlebihan memang atau bahkan menyebabkan mual, tapi apa salahnya? Toh mereka sudah menjadi suami istri.

I did it, Ki. Without your permission, sorry...” ucapnya lirih lantas terkekeh geli membayangkan bagaimana tatapan galak istrinya ketika tahu apa yang dirinya lakukan saat ini. Pipinya yang merona hingga kernyitan dahi tidak terima membuat sang istri terlihat menggemaskan mirip dengan karakter Anpaman dalam serial televisi. Wah, rasanya Ibra ingin menggelindingkannya Kiya saja saking gemasnya.

Ditempelkan punggung tangan Kiya ke pipi, lantas satu kecupan mendarat ke punggung tangan yang lebih kecil dibandingkan miliknya, “Sleep well, Ki. I know you always did great

Barangkali aksi yang dilakukannya begitu manis ditambah panggilan kecil 'ki' pada istrinya, cukup manis hingga Kiya kerap kali merasa mual mendengarnya. Sebab ini Adzkiya, gadis yang besar dalam lingkungan teratur tanpa mengenal apa itu hubungan spesial andatar dua insan lawan jenis. Setidaknya pengetahuan kecil dimilikinya dari hasil membaca novel atau film romansa. Namun keredibilitas pengetahuan Kiya dicampur dengan logika gadis itu, perlakuan kelewat manis justru menjadi hal yang menjijikkan baginya. Sebab sebuah pemikiran telah tersemat dalam sanubarinya jika manusia adalah makhluk paling hina dengan sejuta kekurangan dimiliki. Baiklah, kurasa itu berlebihan. Kiya hanya tidak terbiasa dengan romansa juga memiliki kepribadian yang agak kaku.

Ibra beranjak dari duduknya setelah mengoleskan obat luka pada ibu jari Kiya dan memplesternya dengan hati-hati. Pemuda itu nyaris tidak rela meninggalkan sang istri namun sadar apa yang akan terjadi jika Kiya mendapatinya di wilayah yang sakral baginya.

cc : bunga tidur yang kerap kali hadir dalam ingatan


Rindu, katanya?

Sudah hampir tiga minggu berlalu semenjak Kiya meninggalkan rumah untuk menuntaskan sisi kehidupan lain miliknya. Bukan suatu hal yang aneh, namun tidak biasanya gadis itu hanya diam tanpa kabar seolah melupakan Ibra begitu saja. Bukannya pemuda itu tidak memiliki niat untuk menghubungi lebih dulu, namun sisi otoritas dan gengsinya tengah melejit pada posisi atas kali ini.

Baiklah, menengahi kedua insan dengan kesadaran diri yang kurang memang agak melelahkan. Kiya yang tidak terlalu peduli, dengan Ibra yang selalu tunduk pada ego dan gengsi. Menjadikan pertemuan dua insan tersebut menjadi jalan lurus tanpa ujung pemberhenti. Perlu kejadian-kejadian sepele dan klise seperti terpeleset kulit pisang ataupun pemadaman listrik dadakan untuk menimbulkan interaksi yang lebih signifikan. Jangan ditanya bagaimana diding rumah sampai jenuh menjadi saksi interaksi mereka yang kerap kali sebatas, “aku pamit”. Iya hanya itu, keseharian mereka hanya berpamitan lalu pulang dan kembali masuk ke kamar masing masing tanpa sepatah kata.

Namun cukup aneh untuk hari ini karena ibra menyadari rumah mereka seperti apartemen sewaan atau rumah kos-kosan. Begitu asing satu sama lain padahal hubungan resmi telah keduanya sandang. Baiklah, barangkali tepukan meriah patut Ibra dapatkan karena pemuda itu mulai menyadari keanehan dalam kehidupan rumah tangga mereka setelah 3 tahun pernikahan telah berjalan.

Sejenak suara Adit yang bertanya padanya kembali membuatnya berfikir keras.

Emang lo ga pernah gitu? Ngerasa kangen sama istri lo? Ya mungkin ga sampe kangen, tapi lo pasti sadar rumah kerasa sepi banget pas Kiya ga ada. Apa karena lo udah biasa?

Mungkin tadi ketika ditanya Ibra hanya tertawa dan menggeleng sambil menjawab 'tidak' dengan spontan. Namun sekarang dirinya kembali merenungkan pertanyaan yang terkesan baru baginya.

Kehidupan rumah tangganya dan Adit memanglah berbeda. Walaupun diawali dengan garis takdir yang sama, namun Aditya mengalami rentetan kejadian yang cukup bergelombang pada awalnya hingga menciptakan keharmonisan dalam rumah tangganya. Jelas sekali berbeda dengan Ibra dan Kiya, seolah alur kehidupan mereka telah digariskan secara lurus tanpa ujung yang selalu konstan. Mengingat kepribadian keduanya yang memanglah mirip sehingga tidak banyak hal yang perlu mereka benahi atau membuata turan baru yang merepotkan. Rasanya Ibra bersyukur karena Kiya dapat menyesuaikan perannya tanpa tuntutan yang berarti

Rainy

Barangkali sunyi memang menjadi ciri khas dari rumah yang Ibra dan Naura tempati. Bukan berarti tidak ada penghuni, atau kesan mistis yang kerap kali membuat kisah menjadi begitu misteri. Tidak, bukan seperti itu. Keduanya baik Ibra maupun Naura memanglah bukan kedua insan yang gemar bercengkrama ataupun membeci situasi sunyi.

Meskipun kepribadian mereka cukup bertolak belakang, antara Naura yang memang sosok yang tenang dengan Ibra yang mendadak jadi pendiam jika tidak di keramaian. Barangkali orang akan bingung, mengapa Ibrahim yang selalu tak luput dengan gurauan atau senyuman yang terkembang berubah menjadi pribadi yang tenang. Namun begitulah nyatanya, memvangnya ekspetasi apa yang orang sematkan pada pemuda itu? Menjadi aktif kesana kemari lantas tertawa walau tidak ada interaksi? Yang benar saja, bedakan sifat ceria dengan orang gila, keduanya bahkan tidak sedikitpun memiliki kemiripan. Bukankah manusia memang begitu unik apabila lebih jauh kita tilik.

Namun sedikit berbeda kali ini, jika biasanya musik mengalun sayup secara pasti dari arah kamar Ibra, kali ini kamar itu hening seolah tak berpenghuni. Terlebih hujan telah mengguyur sejak satu jam lamanya, jadi tidak mungkin pemuda itu tidur mengingat Ibra cukup kesulitan untuk terlelap ketika nyanyian hujan mulai datang. Naura nyaris tidak peduli, namun ponsel pemuda itu tergelak begitu saja di atas meja dapur dengan pintu samping rumah yang terbuka hingga air hujan masuk tanpa diminta. Keduanya cukup masuk akal jika ada yang tidak beres saat ini.

Maka membatalkan niat awal untuk mengambil semangkuk buah anggur hijau dari kulkas, Naura berlari menuju kamarnya dan membuka laptop. Dengan cepat gadis itu mengecek CCTV rumah, dan benar saja, Ibra telah pergi meninggalkan rumah dengan tak wajar terlebih kondisi diluar tengah hujan deras.

Menahan napasnya sejenak sebelum mematikan kembali laptop miliknya, Naura bergegas menyusul pemuda itu setelah menyambar satu payung dan jaket lantas berlari keluar.

Tidak ada petunjuk apapun selain insting yang Naura gunakan untuk mencari kepergian sang suami yang tidak wajar. Kamera CCTV hanya merekam sampai halaman rumah. Tidak tahu kemana arah yang dituju Ibra setelahnya. Memacu kakinya menembus derasnya hujan dengan naungan payung seadanya. Naura cukup bersyukur tidak ada petir yang menyambar sebab keadaan akan jauh lebih sulit apabila hal itu terjadi.

“Neng Naura, mau kemana?”

Naura cukup terkejut bagaimana namanya dipanggil oleh pak jajang, salah satu satpam di daerah perumahannya. Pria dengan perawakan tegap dan kulit sawo gelapnya itu sering menyapa Naura dengan logat daerahnya yang kental. Maka merasa memiliki kesempatan saksi mata, Naura mendekati pos dengan tergopoh.

“Punten pak jajang, liat Ibra tidak?” “Oalah, cari a Ibrahim? Tadi kang Doni lihat ya kang?” Ujar pak jajang sembari menengok ke arah rekannya. “Iya neng, tadi saya lihat. A ibra hujan hujanan.”

Berusaha menekan rasa cemas, Naura kembali bertanya “kapan lihatnya, kang? Tau ngga sekarang Ibra kemana kira-kira?”

“Waduh, kurang tau neng. Saya lihatnya tadi banget hampir sejam yang lalu. Tadi si aa nya jalan ke utara sana yang arah jembatan itu”

Mungkin insting kepedulian memang ada sewajarnya, melihat bagaimana raut panik tercetak jelas pada wajah Naura, dengan tanpa diminta Pak Jajang mengambil payung yang tergantung pada sisi kiri dinding, “ayo neng, saya bantu”

Naura menggeleng cepat, “Nggak usah pak, saya cuma lupa bilang sesuatu ke Ibra”.

Naura segera berpamitan tak lupa dengan senyuman dan perubahan kontur muka agar tidak menuai curiga. Dan kedua laki-laki paruh baya tersebut hanya mengangguk paham dan membiarkan Naura pergi sendirian menembus hujan.

Gadis itu kembali melanjutkan pencarian ke arah utara sesuai informasi. Dengan sesekali menoleh ke kanan dan kiri menyusuri jalanan perumahan yang sepi. Tak lama dirinya telah sampai di jembatan yang telah disebutkan tadi, menatap arus air yang deras sembari berdoa dalam hati berharap kekhawatirannya tidak terjadi lantas kembali mencari sosok sang suami.

Naura berhenti di area bermain, kedua matanya memicing berusaha mengenali pemuda yang duduk di ayunan sendirian. Dengan tergesa Naura mendekati pemuda itu dan benar, dia adalah Ibra. Sontak kelegaan didapat oleh gadis itu, bersyukur sang suami tidak melakukan hal lain yang membahayakan dirinya. Pemuda itu hanya diam mengabaikan kondisi sekitar dan membiarkan hujan menerpa tubuhnya.

“Ibra...” panggil Naura setelah sampai tepat di depan pemuda itu, memayunginya agar derasnya air tidak lagi menghujani tubuh kurus itu. Namun Ibra hanya diam, menatap kosong apapun yang didepannya dan bahkan tidak bereaksi sedikitpun atas panggilan Naura.

“Pulang, yuk” Naura menarik pelan sebelah tangan Ibra. Merasa ada yang menyentuh tangannya, Ibra menoleh menatap Naura yang tersenyum, “Yuk!”


Jika ditanya bagaimana perasaan Naura setelah mendapati sang suami begitu berantakan dibawah naungan hujan, sendirian secara mengenaskan. Entahlah, Naura itu tidak banyak tahunya, baik tentang dirinya maupun orang lain. Apatis? tidak juga, namun perasaannya begitu campur aduk hingga penjabarannya tidak akan cukup hanya satu kalimat saja.

Karena rasa ketakutan itu akan selalu ada namun kelegaan telah dirinya dapatkan secara luar biasa. Hanya pola pikir Naura saja sebenarnya, yang penting tidak ada hal yang lebih buruk terjadi. Maka menuntun Ibra untuk kembali pulang lantas dengan hati-hati menyuruh pemuda itu membersihkan dirinya sendiri sedangkan gadis itu juga melakukan hal yang sama mengingat tubuhnya juga terkena guyuran hujan juga.

Bukan apa, bukan pertama kali juga, jadi Naura cukup percaya Ibra masih bisa melakukan hal hal sederhana seperti membersihkan diri dan berganti pakaian kendati jiwa pemuda itu seperti hilang disedot makhluk bernama dementor dengan sekuat tenaga.

“Ibra, keluar yuk.” ucap Naura setelah pintu kamar dengan cat coklat itu diketuk sebanyak tiga kali. Dengan sabar gadis itu diam menunggu, bukan menunggu jawaban Ibra, namun menunggu pemuda itu keluar dengan sendirinya.

Cukup lucu bagaimana Naura berhati-hati sekali sebab dengan kondisi Ibra yang sekarang kedatangan Naura yang menerobos masuk ke kamarnya akan membuat keterkejutan hingga emosi pemuda itu jadi tidak karuan. Maka pilihannya hanya dua, menunggu sampai pemuda itu keluar dengan sendirinya atau masuk setelah lamanya pemuda itu tak mengubris ajakannya.

Begitulah adanya, Naura beserta caranya, seolah gadis itu memahami bagaimana situasi tanpa dijabarkan lagi. Barangkali suatu alasan kuat dimana Ibra selalu mengatakan bahwa dirinya tidak perlu apapun asalkan sang istri tidak pergi darinya. Naura cukup melengkapi sisi bagian Ibra dengan caranya sendiri kendati gadis itu selalu bersikap apa adanya tanpa dilebih-lebihkan.

Tepat setelah itu, suara debuman terdengar memekik seperti benturan benda tumpul dari dalam kamar Ibra. Serta merta Naura menjadi terkejut dan segera masuk tanpa permisi.

“Ibra?” panggil Naura ketika sepasang mata deo itu berusaha mencari presensi sang suami. Hingga apa yang Naura lihat cukup mengejutkan sekaligus melegakan. Beberapa buku berceceran di lantai dan Ibra yang hanya berdiri diantaranya dengan menunduk dengan tatapan kosong, sama seperti sebelumnya.

Naura mendekat menyentuh lengan pemuda itu dan mengusapnya dengan perlahan seolah menenangkan tanpa pengucapan yang lugas. Jujur saja Naura tidak terlalu memahami namun melihat bagaimana kaus pemuda itu yang telah berganti dengan beberapa busa sabun masih tertinggal di belakang telinga dan helaian rambut basah dengan tetesan air, membuat naura berspekulasi jika sang suami baru selesai mandi dan tidak sengaja menyenggol rak buku. Namun entah benar atau tidaknya, gadis itu masih bersyukur tidak ada yang terluka kali ini.

Cukup lama Naura mengusap bahu sang suami demi menenangkan, juga selama itulah Ibra tetap menunduk menatap kosong buku-buku yang berceceran di lantai. Segera Naura membawa tangannya naik ke atas untuk menangkup wajah tampan sang suami dan mengarahkan padanya. Gadis itu mencoba untuk mengalihkan perhatian Ibra. “Keringin dulu yuk rambutnya, nanti masuk angin”

Maka tanpa meminta persetujuan lagi, Naura menarik lengan Ibra dan membawanya untuk duduk di tepi ranjang. Gadis itu lantas membuka lemari dan mencari lokasi handuk kecil. Setelah menemukan, gadis itu segera melakukan aktivitasnya, berdiri di depan ibra yang masih setia bungkam dan mengeringkan rambut pemuda itu yang sudah mulai memanjang. Gadis itu tidak ingat kapan terakhir kali sang suami memotong rambutnya.

“Habis ini makan ya. Kalo masih males nanti aku suapin. Gapapa ya, sedikit kok” ucap Naura seolah bermonolog sendiri sebab Ibra masih enggan merespon apapun. Tidak apa, bagi Naura mengetahui sang suami tidak terluka fisiknya sama sekali sudah menjadi suatu kelegaan baginya.

Ada banyak kemungkinan terjadi, mengingat Ibra berjalan menyusuri perumahan tanpa alas kaki dan arah tujuan dengan kondisi hujan deras. Mengingat kembali membuat Naura merasa sakit, dada itu kembali sesak layaknya perasaan manusia pada umumnya hingga pelupuk matanya kembali mengenang.

“Kiya...” panggil Ibra serak.

Naura sontak menghentikan aktivitasnya mengusap kepala sang suami. Tangannya menangkup kedua sisi wajah Ibra dan mengarahkan padanya membuat Naura dapat menatap tepat kedua netra Ibra, “Iya? Kenapa?”

“Maaf” ucap Ibra begitu saja, pemuda itu kemudian beringsut memeluk pinggang Naura dan menyandarkan kepalanya pada tubuh sang istri. Naura tersenyum sekilas dengan tingkah sang suami sebelum membalas pelukan itu sama eratnya. Mengusap pelan kepala Ibra yang hampir kering dengan aroma shampo yang masih menguar harumnya.

“Ga ada yang perlu dimaafin. Terima kasih, karena Ibra sudah mau bertahan.”

Mendengar itu Ibra hanya mengangguk lemah, cukup nyaman dengan usapan lembut dari Naura di kepala. Sejenak pikiran gamang mulai muncul begitu saja, mengumpulkan memori hingga menampakkan situasi buruk yang bisa terjadi kapan saja. “Aku boleh minta?”

“Hm? Minta apa?”

Ibra mendongak, menatap tepat netra sang istri begitu saja hingga Naura sedikit terkejut. Gadis itu mengangkat sebelah alis seolah mempertanyakan kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut Ibra.

“Tetap disini, ya. Jangan pernah pergi dari aku”