write.as

EXTRA VI

“Tuh Wakil lu dateng.” Arkan buka suara saat melihat Atra memasuki area bengkel membuat panitia yang sudah datang lebih dulu menjatuhkan perhatian pada sosok yang baru.

“Oit.” ia menyapa satu persatu yang sudah datang dengan melakukan fist bump, ada sekitar lima belas sampai dua puluh orang yang datang ke Bengkel Alief, beruntung tempat itu luas dan lebih layak dari terakhir Atra datang.

“Sini, Tra.” itu Theo yang sudah duduk dengan sebuah laptop dipangkuan, menepuk sisi kosong di samping kanannya untuk Atra duduk.

“Kenapa gak lusa aja kumpul di kampus buat liat final layout?” matanya jatuh pada layar laptop Theodore yang berisi layout yang sebelumnya pernah ia lihat.

“Niat awal mau begitu cuman Alief pengen ‘buka bengkel’ buat anak-anak nongkrong malmingan, sekalian dah biar akrab gua kumpulin panitia.” Buka Bengkel sama seperti halnya Open House, kalau memang sudah diniatkan begitu tidak heran sih.

Suasana bengkel yang terakhir ia kunjungi gelap dan sepi, malam ini sudah lebih terang karena lampu berwarna-warni menghiasi tempat tersebut, banyaknya minuman kaleng dan beberapa minuman beralkohol, belum lagi sebuah televisi besar yang memang sengaja di sambungkan ke sebuah PlayStation untuk mendukung malam kumpul-kumpul mereka.

Jujur saja Atra merasa tenang melihat ‘keharmonisan’ dua kubu yang jarang terjadi (malah tidak pernah) di bawah sofa di atas karpet terlihat Harvi dan Alief yang tengah bertarung — kali ini lewat Game PS, sekelompok grup perempuan tengah bergossip yang samar-samar terdengar kata ‘Marcel’ diantara topik mereka, Jinan yang sepertinya sedang mendekati Christian juga terlihat larut dalam obrolan, banyak hal yang… baru malam ini.

Ctak “Lu ngelamun?” Theo terkekeh setelah menjentikan jari di depan wajah Atra; melihat laki-laki itu tersentak kaget.

“Oh sorry, gimana tadi?”

“Ini layout yang ada di gua masih yang lama, layout baru hasil finishing baru gua sama anak Desain yang liat.” Atra merespon dengan membulatkan bibirnya ‘o’.

“Mereka bikinin layout video juga dari entrance, booth jualan, sampe panggung, lu mau liat duluan apa nanti?”

“Nanti bareng yang lain aja.” Theo menangguk sebagai respon, ‘tak lama setelahnya Atra mengikuti arah pandang Theo yang jatuh pada sebuah gelang di lengan kirinya.

“Congrats.” ucapnya dengan suara yang hampir tidak terdengar — tapi berhasil ditangkap oleh Atra, senyum sang ketua perlahan mengembang.

“Thanks.” hampir saja Atra mengeluarkan banyak pertanyaan kalau saja ia tidak ingat sedekat apa kekasihnya dan Theodore.

“The, nunggu siapa lagi?” itu Maria yang mengintrupsi, “Oh Marcel belum dateng ya.” belum dijawab ia sudah mengedarkan pandangan mencari sosok yang belum hadir.

“ANJING. CURANG LU.” Alief berteriak, Harvi tertawa puas — yang lain ikut tertawa.

“Mulai sekarang aja The, si Marcel gak muncul di grup, ah anjing males gua main sama dia curang, anjing.” adu yang kalah, sambil menunjuk Harvi, sementara tim Atra tidak henti mengolok-ngoloknya hingga cekcok kecil terjadi (lagi) — ya Tuhan baru harmonis.

“Tuh Marcel dateng.” Sena buka suara, dari ambang kusen (tanpa pintu) Marcel berdiri membuka helm; pandangannya bertemu dengan Atra.

“Anjay rambut baru lu.” Arkan nyeletuk, Marcel mengangguk dengan senyum mengembang — jangan tanya bagaimana respon kebanyakan perempuan disana, Atra saja hanya bisa menggelengkan kepala, aduh, rasanya mau pamer kalo Marcel pacar gua.

“Keren Cel, gua pengen dah potong begitu juga.” timpal Alief yang sudah lupa dengan kekalahannya.

“Darimana lu baru muncul.” ujar Theo basa basi, melakukan bro fist.

“Sini duduk.” dengan cepat Theo berdiri menyisakan tempat kosong di samping Atra — menarik tangan Marcel untuk duduk di tempatnya, tepat di samping Atra. Sebelum itu ia melihat Theo menyeringai pada Marcel yang dibalas dengan tawa, semacam komunikasi lewat tatapan — yang hanya bisa dilakukan oleh sahabat sejak bau kencur.

Marcel dan Atra duduk bersebelahan (tanpa cekcok) tentu saja sebuah pemandangan yang baru bagi mereka yang melihat, cukup nervous karena mata yang tidak henti tentu padangan dan Marcel, Atra sengaja berdehem.

“Ayo mulai mulai.” Theo memecah keheningan, televisi yang semula dipakai untuk bermain PS berubah menjadi layout panggung yang ingin di tunjukan.

“Bentar bro.” lampu meredup, “Nah begini cakep kaya di bioskop.” siapa lagi kalau bukan ulah Alief yang men-setting kumpul-kumpul mereka.

Fokus sudah sepenuhnya tertuju pada Theodore yang berada di depan televisi besar, ia memutarkan video layout yang dimaksud sambil menjelaskan detail bagian terkhusus, acap kali suara takjub terdengar saat konsep yang sudah matang dijelaskan secara gamblang dan terperinci.

“Cakep banget anjir.” Christian memecah keheningan setelah Theo selesai menjelaskan, “Rayang, tim lu emang gokil dah.” pujian itu jatuh pada salah satu panitia yang bertanggungjawab pada Desain.

“Yoi, gampang ini mah.” Rayang mengacungkan jempol.

“Jadi karena sisa kurang lebih sebulan, gua harap konsep ini bisa kepake sampe hari festival. Semangat semangat.” Theo menangkat satu kaleng soda, diikuti dengan yang lain

“Cheers.” / “CHEEEERS!”

“Bro, kita lanjut party lah.”

“JANGAN AH, nonton film aja dong.” itu suara dari cewe cewe, mereka menolak tumpah dengan bau alkohol.

“Ayo nonton aja dah.” Rendi setuju, mayoritas pun setuju,

“Nah, nonton sambil minum minum kan bisa bro, pilih lah film yang romantis, siapa tau balik dari sini ada yang jadi. Suasana mendukung nih.” Rayang menimpali.

“Deal.” Theo sudah putuskan yang lain tentu saja tidak bisa berucap. Dengan cepat ia berpindah kesisi kosong di samping Harvi, dasar modus pikir Atra yang melihat aksi ketuanya.


Film berputar, mereka sudah larut — beberapa larut kedalam film, beberapa sudah merasa enteng akibat alkohol yang diteguk (walaupun tidak dengan kadar berlebih). Sementara Atra di tempat duduknya tidak cukup kuat menahan kantuk, mata bulatnya sudah berkedip melihat ke arah layar televisi; hal tersebut tentu saja disadari oleh Marcel.

Tanpa suara Marcel melebarkan tangannya, merangkul Atra; merasakan pergerakan disampingnya, Atra menoleh, ‘tak butuh waktu lama untuknya mendapat posisi yang nyaman bersandar pada sang kekasih.

“Tidur aja.” Atra bisa merasakan deru nafas Marcel saat laki-laki itu berbisik; suaranya teramat kecil tapi cukup jelas karena bibir Marcel menempel pada daun telinganya. Beruntung suara dari film yang diputar juga teramat kencang.

Sebenarnya kalau dibilang ngantuk atau tidak; mata Atra sudah berat dan ingin sekali terpejam dalam sandar Marcel, kalau saja ia tidak ingat dimana mereka sekarang — Atra tidak mau mengejutkan orang-orang disana saat lampu nyala dan mendapati dua rival sedang berpelukan. Ah, seandainya ia cukup berani.

“Mau pulang?” Atra menggeleng, ia tidak enak kalau harus pulang ditengah kumpul-kumpul mereka, belum lagi melihat Harvi yang sedang seru dengan film yang diputar — Pulang bersama Sena juga tidak bisa karena adiknya masih akan menghabiskan malam dengan Lia.

Satu tegukan lain sebelum Atra menahan pergerakan Marcel; gelas berpindah, Marcel melihat Atra yang menggeleng. “Bauu.” tanpa suara tapi cukup Marcel pahami saat melihat gerak bibir si manis. Bau alkohol maksudnya.

“Okeeeee.” setuju yang lebih besar untuk tidak lanjut meneguk cairan di dalam gelas.