write.as

ayah.

ayah.

ayah.

bangun—

⠀ ⠀ ⠀

BANGUN!

⠀ ⠀ ⠀

rasanya seperti ada yang menginjak jantungnya seperti pedal gas, memompa seluruh oksigen dari paru-parunya, lantas mendorong-paksa punggungnya dari atas kasur supaya ia terbangun dari stase tidak sadar.

“aman, coach,” seseorang menaruh tangan di pundaknya, secara otomat menahan tubuhnya agar tidak terguling jatuh dari ranjang. ada denging yang konstan di telinganya, dan ia merintih. butuh beberapa saat sampai akhirnya sesuatu yang terdengar seperti bisikan itu mulai terdekode sebagai kalimat yang koheren. kim jaehwan masih berusaha membuatnya berbaring lagi. “aman. baring, coach, tarik napas. you’re okay. apa yang lo rasain?”

jantungnya berdetak seolah ia ingin melompat dari kerongkongannya. “instrumenta—”

“apa yang lo rasain,” kali ini, ia digertak. ada alasan konkret mengapa jinhyuk menunjuknya sebagai direktur asosiasinya sepuluh tahun yang lalu.

“kayak hampir mati,” bisik jinhyuk, sambil membuka dan menutup jemarinya yang masih saja belum berhenti bergetar. separuhnya bercanda, separuhnya lagi—well. tergantung bagaimana kau ingin dia menjelaskannya.

“attaboy,” jaehwan menepuk punggungnya pelan.

jinhyuk dibantunya merebahkan diri lagi. sambil berbaring, dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. ini betul-betul 24 jam paling intens dalam hidupnya. satu detik dia merasa tidak apa-apa, detik berikutnya dia dilarikan ke base medik laboratorium? karena apa—stress dihantui konferensi pers yang harus dihadirinya tiap tahun? tapi ini sudah jadi rutinitas baginya. tidak ada alasan bagi jinhyuk untuk merasa demam panggung ketika dia telah melakukan hal yang sama terus-terusan selama sepuluh tahun lamanya.

(sepuluh tahun yang mengikis mentalnya perlahan-lahan—sepuluh tahun lamana ia menyaksikan orang-orang lenyap dari muka bumi ini; menyaksikan ribuan manusia kehilangan orang-orang yang mereka cintai, semata karena pertumbuhan hell’s gate selalu satu langkah lebih maju dari kesiapan S.T.A.R. labs.)

alas—

“kenapa kau nggak tidur, coach,” pertanyaan itu terlontar seperti batu yang diketapel tepat ke ulu hatinya.

apa yang berbeda kali ini?

“sudah kubilang, kan,” jinhyuk menatap pijar lampu ruang medis yang putih-kebiruan dengan perasaan gamang, “karena nggak bisa.”

“jangan bilang ini ada hubungannya dengan rahasia ilahi yang ingin kau ceritakan tadi pagi itu?” jaehwan mendelik.

jinhyuk bergumam asal. “bisa jadi.”

“oh, ayolah.”

“hei, suster,” panggilnya kepada ruangan kosong, sembari dia menunjuk jaehwan penuh akusasi, “usir orang ini, dong, saya pasien diganggu terus.”

“bagus, udah berani banyol berarti udah sehat, ya,” temannya itu terkekeh, mengacak rambut jinhyuk brutal. sebersamaan dengan itu, dia meraih ponsel dari saku kemejanya dan bangkit dari kursi. “whenever you’re ready, oke? gua kudu duluan ke instrumentation, btw—apparently satelit terraSAR-X yang lo minta bulan lalu baru aja nyampe, jadi gua perlu monitor juga ke sana. just,” salah satu tangannya menahan pintu kaca itu membuka. dia menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan, “do me a favor and don’t get yourself killed that soon, can you at least promise me that, coach?”

hah. touché.

“tunggu,” cegat jinhyuk, sebelum pintunya betul-betul tertutup. jaehwan menatapnya tidak sabaran. “terus gua harus ngapain di sini?”

“itu ada makanan dari anak-anak di atas meja,” matanya mengikuti ke mana arah dagu jaehwan menuding. ia begitu terperanjat kala menemukan berplastik-plastik makanan dan buah-buahan. “sama kalo nggak salah, itu tv ada netflixnya. atau kalo lo mau, gua bisa mampir ke departemen IT habis ini minta mereka nyambungin pornhub ke sana, how does that sound to you?”

dilemparnya salah satu bantal dari ranjang ke arah pintu, yang sayangnya tidak berhasil mengenai wajah jayus asosiasinya itu. jinhyuk bisa merasakan bola matanya bergulir. “sori, ya, tapi nothing wrong with my sex life, kalo lo mau tahu.”

“i know,” temannya itu justru mengedipkan sebelah mata, sebelum akhirnya kabur dengan sebuah, “see you tomorrow, coach. tidur yang banyak, sana!”

jinhyuk memandang bantalnya yang jatuh meleset di lantai.

tahu apa yang lebih dibenci jinhyuk dari segala keberisikan yang selalu dibawa kim jaehwan bersamanya?

fakta bahwa dia lebih benci mendengarkan dirinya sendiri berpikir di dalam sunyi manakala temannya itu tidak ada. ⠀ ⠀

ayah.

ayah.

pulang, ayah. ⠀ ⠀

lucu bagaimana dia butuh tidur untuk bisa sembuh, tapi pada saat yang sama tidur merupakan hal terakhir yang dibutuhkannya untuk bisa tetap waras. ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀ ⠀