Epiphany
Belahan jiwa
: seseorang yang memiliki ikatan kuat dan kamu cintai begitu dalam.
Di dunia ini, kamu dapat menemukan belahan jiwamu setelah mencapai usia 25 tahun. Usia yang merupakan fase peralihan dari remaja menjadi dewasa. Usia ketika bicara cinta bukan hanya untuk permainan semata, melainkan untuk dua insan menjalin hidup selamanya bersama, dengan saling percaya dan saling berbagi duka dan suka.
Namun, mencari cinta dan mendapatkan belahan jiwa di dunia ini memiliki konsekuensi yang berbeda dengan dunia lain di luar sana. Kala kita jatuh kepada orang yang salah, jiwa kita akan bergerak berpindah, meloncat menuju ruang waktu entah sebelum atau sesudah, dan harus menjalani hidup dengan usia yang tidak lagi sama, meskipun mental yang dipunya masih berada pada usia sebelumnya.
Setiap orang memiliki sebuah gelang yang hanya dapat dilihat oleh dirinya sendiri. Gelang yang menunjukkan usia yang ia punya dengan warna hijau yang berpijar terang. Sehingga, secara tidak langsung, sampai seseorang berumur 25 tahun, angka kehijauan tersebut hanya akan bertambah nilainya tanpa berubah warnanya. Tetapi, jika seseorang tersebut tersadar bahwa ia menyukai orang yang tidak digariskan sebagai belahan jiwanya, akan terjadi distorsi di hidupnya dan sekelilingnya; bentuk muka dan badannya akan berubah menjadi lebih tua atau lebih muda, serta gelang yang ia punya akan menunjukkan 2 angka yang berbeda. Angka pertama merupakan usia asli yang ia miliki. Jika ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada usia 25 tahun, angka tersebut akan tertulis 25 dengan warna kebiruan, sedangkan angka kedua dengan warna kekuningan merupakan usia baru yang ia harus jalani di masa sekarang.
Renjun memiliki satu teman sedari ia kecil. Mereka berdua tumbuh bersama, satu sekolah, bahkan bekerja di tempat yang sama, sehingga membuat Renjun merasa nyaman untuk bertahun-tahun berada di dekatnya. Sampai suatu ketika, tiba-tiba saja temannya tersebut memberi Renjun sebuah berita, “Jun, kamu pasti tidak menyangka. Aku akhirnya menemukan belahan jiwaku.” Renjun pun mengernyitkan dahinya kala mendengar ucapan yang mengguncang dadanya.
“Bagaimana bisa?” tanya Renjun.
Saat kisah cinta mulai diceritakan oleh temannya tersebut, Renjun tersadar bahwa dunia sekelilingnya mulai mengabur. Renjun mengerti apa yang terjadi, ternyata ini merupakan patah hatinya yang pertama kali. Dan bahwa selama ini, ia menyukai temannya sedari dini.
Renjun yang semula berada pada sebuah ruangan besar dengan banyak meja kubikel karena ia dan temannya bekerja sebagai redaktur pemula, tiba-tiba saja Renjun berada di ruangan yang hanya menjadi miliknya seorang. Ia membaca sebuah kartu nama yang berada di atas meja. Kartu yang bertuliskan namanya beserta jabatan baru yang ia punya, Huang Renjun – Redaktur Pelaksana di Redaksi Majalah NEO.
Renjun melirik pada gelang yang melingkar di tangannya.
Biru – 25
Kuning – 28
Renjun lalu berjalan keluar menuju kursi yang baru beberapa detik sebelumnya ia duduki. Teman sedari Renjun kecil, yang memang seharusnya duduk bersebelahan dengan Renjun, akhirnya berdiri ketika Renjun mendekati dirinya dan berkata, “Pak Renjun, untuk ulasan perjalanan terkait Negeri di Atas Awan Toraja telah saya kirimkan ke e-mail Bapak.”
Renjun tidak menyangka bahwa ia kini menjadi atasan temannya. Mereka sudah bukan lagi teman sedari lama. Laki-laki yang berada di depan Renjun hanyalah redaktur pemula berusia 25 tahun, sedangkan Renjun harus menjalani hidup barunya yang terlempar dengan perbedaan lebih tua 3 tahun. Ia pun perlu mendalami tanggung jawab baru yang ia emban seketika. Renjun akhirnya hanya bisa menghela napas yang sempat ia tahan sebelumnya.
Jatuh cinta ternyata sangat menyusahkan, sedangkan perjalanan untuk menemukan belahan jiwa tetap harus berjalan walaupun hati sudah terlanjur dipatahkan.
Jaemin awalnya hanya menyibukkan diri menjadi reporter. Apalagi saat ini sedang banyak bencana alam banjir yang diakibatkan ulah manusia karena membuang sampah sembarangan. Ia harus siap ketika diminta turun ke wilayah yang tergenang banjir dan melaporkan situasi terkini kepada khalayak ramai. Teman-temannya sering mengingatkan untuk mencari belahan jiwanya karena umurnya sudah mencapai 25 tahun, tetapi Jaemin tidak terlalu peduli. Sampai akhirnya Jaemin merasakan adanya ketertarikan saat bertemu reporter lain yang meliput berita banjir di dekatnya. Jaemin dapat merasakan dedikasi yang tulus dari reporter tersebut karena sosok itu turut membantu warga sekitar naik ke perahu yang disediakan tim khusus penanggung jawab bencana daerah dan juga menolong beberapa hewan peliharaan yang masih tertinggal di beberapa rumah warga.
Pertemuan keduanya masih berlanjut ketika stasiun tempat Jaemin bekerja turut menjadi official partnership penyelenggaraan turnamen badminton se-Asia Tenggara. Reporter itu merupakan karyawan baru dan diangkat menjadi karyawan tetap karena kinerjanya yang maksimal dan tangguh. Mereka berdua bahkan sama-sama memiliki hobi sejenis di bidang badminton sampai akhirnya sering berlatih bersama.
Jika sebelumnya Jaemin selalu langsung pulang ke rumah ketika sudah menyelesaikan liputannya di lapangan, beberapa waktu belakangan ini kebiasaannya mulai berubah. Ia sering menghampiri tempat kerja sang reporter yang kini sudah dekat dengannya. Jaemin bisa merasakan nyaman saat menghabiskan waktu bersama sosok tersebut. Namun, ia masih belum bisa memastikan apakah semua ini bisa disebut sebagai pertanda suka atau tidak.
Seiring berjalannya waktu yang sering dihabiskan bersama, Jaemin kira hanya dirinya saja yang merasakan getaran berbeda. Ternyata, rekan reporternya tersebut secara terang-terangan menyatakan perasaannya pada Jaemin. Saat Jaemin turut mengungkapkan rasa sukanya, ia menyadari bahwa apa yang dilihat di sekelilingnya tidak lagi sama. Dunia Jaemin kini berubah seketika. Ia tidak lagi dihadapkan pada sosok yang selalu bersamanya meliput berita, melainkan seorang dosen yang dulu membimbing tugas akhirnya sampai ia mendapatkan predikat Sarjana Ilmu Komunikasi dengan peminatan Jurnalisme.
Kata suka yang baru saja Jaemin dengar tiba-tiba saja langsung tergantikan dengan ajakan untuk masuk ke ruang bimbingan. “Jaemin, kenapa kamu berdiri saja di depan pintu? Saya sudah mengijinkan kamu untuk duduk.” Jaemin meminta maaf selagi melihat draft skripsi yang sekarang sudah berada di tangan kanannya. Ada rasa takut pada diri Jaemin untuk melirik pada lengan kiri yang terbelit gelang penanda usia. Dengan kondisi yang ia miliki sekarang, Jaemin sebenarnya sudah cukup paham. Bahwa ia baru saja terpental jauh ke belakang.
Na Jaemin.
Biru – 25
Kuning – 21
Jaemin teringat salah satu pepatah yang sempat dibacanya di media dan mungkin dapat ia gunakan suatu hari nanti untuk artikel buatannya. Amor Fati. Cintailah takdir yang kamu dapatkan. Namun, mengapa takdir sendiri yang mematahkan hati kecil yang Jaemin punya?
Meskipun demikian, hidup di dunia ini membuat semua orang mengerti dan mau tidak mau menjalani takdir yang diberi. Takdir memang menunjukkan Jaemin ke jalan yang lain. Ia harus menerima bahwa sosok reporter itu bukan untuk dirinya, dan begitu juga sebaliknya. Jaemin dapat menganggap bahwa usianya yang jauh berkurang sekarang sebagai kesempatan kedua untuk memperbaiki diri, menyempurnakan tugas akhirnya yang dulu tidak begitu menarik dan banyak revisi di sana sini, mengeksplorasi lebih banyak situasi dan kondisi guna meningkatkan kemampuan sebagai seorang yang akan berkarir di jurnalistik, bahkan untuk mencoba kembali mendaftar di perusahaan yang ia sempat ingini, Redaksi Majalah NEO.
Jika takdir memang bisa menghancurkan hati kecilnya, setidaknya di sisi lain, takdir bisa mengarahkan Jaemin kepada pintu yang berbeda.
Kala satu tahun telah bertambah, akhirnya Jaemin dapat mengikuti perekrutan terbuka sebagai redaktur di Redaksi Majalah NEO dan mengisi kekosongan kursi yang dulu sempat diisi oleh Renjun.
Renjun yang telah bekerja selama satu tahun penuh sebagai redaktur pelaksana sudah ditugaskan untuk mewawancarai calon pekerja baru yang berada di bawah supervisinya. Saat proses perekrutan berlangsung, mereka berdua akhirnya bertemu, ketika Jaemin membuka pintu dan Renjun menunggu untuk Jaemin duduk. Kedua pasang mata mereka pun menubruk dan saling tatap, seperti ada ketertarikan yang kini belum bisa mereka tangkap. Namun, untuk saat ini, tidak ada di antara mereka yang ingin saling harap.
Selama proses wawancara yang dilakukan oleh Renjun, Jaemin dapat menjawab segala pertanyaan dengan baik dan lancar. Bahkan mereka berdua terdengar seperti sedang berbincang antar kolega kerja saja. Renjun merasa puas dengan karakteristik yang Jaemin punya. Tetapi, ada sedikit yang mengganggu pikiran Renjun. Untuk seseorang yang dapat menjawab segala hal dengan lugas, tentu Jaemin memiliki segudang pengalaman yang tidak dimiliki oleh mahasiswa yang baru saja lulus, sehingga pertanyaan terakhir pun ditanyakan oleh Renjun, “maaf jika pertanyaan ini menyinggung. Tapi, anda tidak terdengar seperti orang yang baru saja berusia 22 tahun. Jika saya boleh tahu, berapa usia asli anda?”
Jaemin tersenyum. Ia menatap Renjun dalam-dalam seraya membalikkan pertanyaan calon atasannya tersebut, “Bapak juga tidak seperti orang yang sudah berpengalaman memegang jabatan tinggi. Jadi, berapa usia asli Bapak?”
“Anda dulu.”
“Baiklah. Usia saya 26 tahun, Pak.”
Mendengar demikian, Renjun pun membalas senyuman hangat laki-laki yang jauh terlihat lebih muda dari dirinya itu. “Jangan panggil Bapak jika kita tidak dalam lingkungan kerja. Aku seumuran denganmu, Jaemin.”
Dengan bermodalkan pengalaman yang sebelumnya dimiliki sebagai seorang reporter, Jaemin merasakan banyak kemudahan ketika ia telah diterima bekerja sebagai redaktur di perusahaan yang baru. Ia tahu, tugas sebagai reporter di lapangan itu sulit. Apalagi harus mempersiapkan pertanyaan yang sudah disusun secara sistematis sebelum menemui narasumber. Belum termasuk dengan beberapa permintaan khusus, seperti berita yang hanya ingin menunjukkan sisi positif saja. Dan juga harus ditambah dengan penyuntingan naskah berita yang dikirimkan oleh reporter. Namun, itu semua memang sudah menjadi konsekuensi di bidang jurnalistik.
Jaemin sudah beberapa kali menggaruk tengkuk belakangnya. Keningnya turut mengernyit sampai kedua alisnya hampir menyatu saat membuka e-mail dari salah satu reporter yang baru saja mengirimkan bahan berita untuk disunting, “berita ini bukannya sudah pernah naik di minggu kemarin?” gumam Jaemin sembari melakukan pengecekan laporan yang terletak di folder Ekonomi dan Bisnis di laptop miliknya.
Kebetulan, saat itu, Renjun baru saja selesai menyeduh kopi. Renjun harus melewati kubikel Jaemin sebelum ia dapat menuju ke ruangannya. Bisa Renjun lihat dari belakang, karyawan barunya tersebut sedang menumpu tangan di dagu. Renjun pun tergerak untuk menghampiri Jaemin dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakan.
“Nanti coba minta reporternya untuk menambah beberapa bahan lagi, Jaemin. Seingat saya berita tentang resesi 2023 sudah banyak diliput di mana-mana. Sekalian cari narasumber dari pihak akademik universitas untuk menganalisis sisi positif yang bisa dilakukan masyarakat saat mengalami resesi.” Renjun tiba-tiba saja memberikan saran sembari memegang cangkir kopi di tangan kanan.
Jaemin sedikit panik dengan keberadaan redaktur pelaksana di belakangnya. Ia mengangguk sebagai respon dari kalimat Renjun barusan. Jaemin akui, Renjun sebagai atasannya tidak pelit dalam berbagi ilmu juga tak segan membantunya dalam menjalankan pekerjaan.
“Tetap di-follow up ke saya, ya. Sekiranya kamu ada butuh sesuatu, bisa langsung kabari saja,” imbuh Renjun.
“Siap, Pak! Laksanakan! Saya komunikasikan dulu dengan reporter terkait,” Jaemin menggebu-gebu sembari mengepalkan tangan. Renjun melihatnya sebagai sesuatu yang menggemaskan. Namun, ia memilih untuk berlalu saja ke ruangannya dengan senyuman yang ditahan. ‘Semangatnya luar biasa,’ batin Renjun dalam diam.
Jika Jaemin melihat Renjun sebagai sosok yang akrab dengan semua bawahannya, di mata Renjun, Jaemin merupakan sosok yang luwes dan banyak akal. Beberapa kali dalam rapat yang diselenggarakan untuk mencari artikel yang dapat disematkan pada majalah edisi selanjutnya, Jaemin sering memberikan hal maupun ide baru yang tentu saja langsung disetujui oleh Renjun sembari memberikan senyuman pertanda puas. Bahkan Jaemin sering meminta untuk ia saja yang terjun langsung mencari data.
“Aku kan pernah menjadi reporter sebelum kembali berumur 21 tahun. Jadi, aku ingin untuk melakukannya sendiri. Bagaimana, Renjun? Boleh kah?” tanya Jaemin saat mereka berdua telah berada di perjalanan pulang. Kedua rumah mereka memang searah, sehingga mereka sering pulang dan menaiki bis yang sama.
“Iya. Boleh saja,” jawab Renjun singkat. Tentu saja Renjun mengijinkan Jaemin melakukan hal tersebut karena seorang redaktur pasti tahu pasti data apa saja yang dibutuhkan, walaupun secara tidak langsung, Jaemin seperti melakukan dua pekerjaan sekaligus. Renjun pun membalikkan pertanyaan dengan sedikit rasa kekhawatiran. “Tapi, aku tidak mau kamu jadi memberatkan dirimu sendiri. Terlebih lagi kamu juga masih pekerja baru.”
“Tidak, Renjun. Aku senang. Aku malah sedikit prihatin padamu. Kita memiliki usia yang sama tetapi jabatanmu sudah terlampau tinggi untuk kamu bisa melalang buana sepertiku. Jadi, kamu tidak perlu cemas. Aku juga akan meneleponmu setiap bepergian, sehingga kamu bisa merasakan mengambil data secara langsung walaupun hanya lewat virtual,” ucap Jaemin memberi saran. Dan begitu lah hari-hari mereka ke depan. Jaemin sering mengajak Renjun untuk melakukan video call dengannya dan mereka berbicara tentang apa saja, tidak terkecuali tentang pekerjaan, seperti layaknya kawan lama yang selalu membagikan segala hal untuk satu sama lainnya.
Tidak itu saja yang akhir-akhir ini mereka berdua biasakan. Jaemin pernah membuat ide untuk meliput beberapa restoran atau bar yang cocok dimuat di majalah dan bisa direkomendasikan kepada publik. Jaemin pun mengajak Renjun untuk ikut pergi dengannya. Mereka berdua menyebutnya sebagai ‘acara makan malam yang dibalutkan dengan tanggung jawab pekerjaan’. Dan, di sudut ruangan yang diterangi temaram lilin di atas meja, mereka berdua mencicipi beberapa hidangan utama dan bintang lima, serta bersenda gurau seperti pasangan yang baru mau dimabuk asmara. Tawa Renjun pun membahana setiap Jaemin mengutarakan isi kepala, sembari mereka terus saling melempar senyuman untuk keduanya, serta jari-jemari yang terkadang bersentuhan tanpa diminta.
Setelah menghadapi satu minggu pekerjaan yang cukup menguras waktu dan pikiran, mereka berdua sering terlihat duduk di sebuah meja bar. Diiringi musik berirama jazz yang menenangkan, selagi mengomentari betapa hebatnya pemain saksofon yang mengisi malam mereka yang panjang. Sampai tiba-tiba Jaemin sudah mulai hilang kesadaran dan Renjun membopongnya dari masuk taksi sampai Jaemin terbaring di kasur miliknya sendiri. Setelah Renjun menaruh obat pereda sakit kepala beserta segelas air di atas nakas dan membalut Jaemin dengan selimut yang hangat, seketika salah satu tangan Jaemin terangkat, untuk menahan Renjun yang bersiap pergi beranjak. “Tetap di dekatku, Renjun,” gumam Jaemin.
Bukan alkohol yang membuat Jaemin berkata demikian, melainkan keterikatan batin yang meronta karena kedua jiwa memang saling menginginkan.
Renjun menaruh tangan Jaemin kembali masuk ke dalam selimut dan mengelus pelan pipi bawahannya tersebut. Tanpa sadar badan Renjun membungkuk dan hampir saja mengecup pelan kening seseorang yang akhir-akhir ini sering memenuhi kesehariannya. Renjun pun bergegas menarik diri dan terburu-buru berlalu pergi. Saat ia sudah berada di taksi untuk pulang ke rumahnya sendiri, Renjun pun menggelengkan kepala atas tindakan yang di luar pikir panjangnya. ‘Aku ini kenapa?’ batinnya bertanya.
Saking seringnya mereka menghabiskan waktu bersama di luar jam kerja, tiba-tiba saja terbersit sesuatu di pikiran Renjun. Ia lalu menatap Jaemin lekat dan membuat Jaemin bertanya apa yang mengganggu benak Renjun sekarang.
“Aku baru saja kehilangan teman lama. Seseorang yang membuatku bisa berada di titik ini sekarang,” Renjun terdiam sebentar untuk memberikan jeda pada kalimat sebelumnya, sehingga Jaemin dapat memahami apa arti di baliknya. Renjun lalu menyambung lagi perkataannya, “aku tidak tahu aku kenapa, Jaemin. Tapi, aku ingin, kali ini saja, bisa menjadi orang yang egois. Aku nyaman berada di dekatmu dan ini membuatku takut. Aku takut jika suatu saat nanti kita akan jatuh pada seseorang dan takdir dengan secepat kilat memisahkan aku dan kamu. Jadi, bolehkan aku memohon? Agar di antara kita tidak ada yang jatuh hati kepada siapa pun?”
Renjun belum tahu bahwa Jaemin juga mengalami ketakutan yang sama. Rasa takut akan kehilangan sosok yang sudah membuatnya merasa bahagia dalam beberapa waktu belakangan. Kehadiran Renjun bahkan dapat membuat Jaemin merasakan keterikatan nyata bahwa sebenarnya ia juga tidak ingin berpisah dengan sosok di hadapannya sekarang.
“Aku sebenarnya menerka, sosok seperti apa yang nanti dapat membuat diri ini jatuh hati lagi, Renjun. Aku juga sempat kehilangan seseorang di masa lalu. Tetapi, kamu harus tahu, bahwa aku juga nyaman bersamamu—” kalimat Jaemin menggantung begitu saja dengan tatapan yang mengunci kedua mata Renjun.
Keduanya pun tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai akhirnya Jaemin bersuara kembali, “mari kita saling menahan diri.”
Setelah konversasi terakhir, Jaemin dan Renjun lebih sering disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Mereka mulai jarang menghabiskan waktu bersama di luar jam kerja. Hal tersebut dilakukan sebagai jalan terakhir untuk tidak saling jatuh cinta, karena mereka masih belum siap jika harus berpisah.
Namun, yang namanya hati memang tidak bisa dipungkiri, Renjun beberapa kali kedapatan menatap dalam sosok Jaemin saat redaktur muda itu sedang menjelaskan argumennya mengenai narasumber terbaru. Atau Jaemin yang hanya bisa memandang kosong ruangan Renjun selagi merindukan interaksi ketika mereka sedang bersama baik di dalam ataupun di luar jam kerja.
Ditambah dengan kebiasaan keduanya yang saling mengucapkan selamat malam sebagai sapaan penutup sebelum tidur, atau sebuah telepon singkat guna memberikan semangat untuk beraktivitas di pagi hari, yang kini sudah tidak mereka lakukan lagi demi menjaga kedua hati.
Jaemin tahu bahwa Renjun adalah orang terakhir yang pulang saat semua karyawan sudah selesai bekerja. Sampai suatu ketika, Jaemin mendengar obrolan tak sengaja dari rekannya bahwa raut muka atasannya tersebut sudah tidak secerah biasanya. Hal ini membuat Jaemin khawatir dengan segala praduga dan keinginan untuk bertanya bagaimana keadaan Renjun sebenarnya, sehingga ia sengaja untuk pulang lebih lama demi bisa mengamati Renjun dari dekat.
Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 malam, Renjun akhirnya keluar dari ruangannya dan mengurut dahinya sejenak sebelum mengunci pintu. Ia tidak menyadari bahwa Jaemin masih berada di kursinya.
“Renjun, kamu baik-baik saja?”
Pertanyaan dari Jaemin berhasil menegakkan kepala Renjun yang sedari tadi tertunduk karena lehernya sudah terasa berat akibat banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. “Kamu belum pulang?” tanya Renjun spontan.
“Belum. Aku memang sengaja menunggu kamu,” balas Jaemin jujur.
Tentu saja kalimat Jaemin barusan membuat Renjun bertanya-tanya dan sekaligus menciptakan rasa hangat yang mendadak di hatinya, “menunggu aku?”
Jaemin mengangguk yakin, “iya. Aku khawatir denganmu.” Ia pun tercekat oleh kalimatnya sendiri, sedangkan Renjun masih mengantisipasi apa yang sebenarnya Jaemin ingin katakan selanjutnya.
“Aku— juga merindukanmu,” ucap Jaemin dari lubuk hatinya yang terdalam.
Renjun menatap sendu ke kedua mata Jaemin. Pikirannya sekarang sedang sibuk beradu, apakah ia sebaiknya berterus terang dan ikut berkata demikian, atau ia tetap teguh saja pada pendirian. Setelah cukup lama Renjun mempertimbangkan, ia pun mengatakan sesuatu yang meruntuhkan pertahanannya selama beberapa hari ke belakang, “aku juga sangat rindu padamu, Jaemin.”
Mereka pun berjalan keluar untuk menunggu bis di halte. Sembari duduk, mereka berdua kembali saling tenggelam pada pikiran masing-masing. Apakah salah jika mereka ingin menikmati rasa yang perlahan mulai menguak di hati kala otak sudah penuh terisi atas satu sama lain? Apakah salah untuk memiliki ketertarikan dengan orang lain walaupun sosok itu belum tentu digariskan oleh takdir?
“Jaemin, aku tahu ini salahku. Di saat aku tidak ingin kita tersakiti di kemudian hari, tetapi kita malah tersakiti sekarang ini,” ucap Renjun memecah keheningan.
Jaemin yang semula hanya melihat kendaraan yang sibuk berlalu-lalang akhirnya memandang Renjun dan memusatkan fokusnya kepada sang atasan. “Terus kamu mau apa?” tanyanya.
“Aku takut jika aku mengucapkannya, aku dan kamu tidak akan lagi duduk berdua sekarang.”
Jaemin tersenyum. “Renjun, aku tahu rasanya saling suka. Saat dulu aku pikir bahwa ia adalah segalanya, sekarang aku malah dipertemukan dengan kamu,” Jaemin lalu terdiam sebentar sebelum melanjutkan, “aku lama-lama sedikit paham. Mungkin kita memang harus dihadapkan dengan berbagai macam orang sampai akhirnya disatukan dengan yang terbaik dan sudah ditakdirkan.”
Tangan Jaemin pun naik perlahan untuk mengelus pipi Renjun pelan, “dan untuk sekarang, orang terbaik itu masih kamu, Renjun.”
Renjun meraih tangan Jaemin yang berada di wajahnya untuk menggenggam tangan tersebut. Sembari Renjun menunduk untuk menatap tangan mereka yang bertautan, ia tidak sadar bahwa air matanya kini mulai berjatuhan. Renjun lalu melepas tangan tersebut untuk mengelap mukanya yang sudah basah dan tindakan tersebut malah membuat Jaemin waswas. Bahwa mungkin saja Jaemin terlalu memaksakan opininya pada laki-laki yang sudah berjuang agar mereka tidak dipisahkan.
Setelah Renjun merasa dirinya sudah cukup tenang, ia pun membalas tatapan Jaemin dalam-dalam, “kalau begitu ucapkan selamat tinggal pada satu sama lain, Jaemin. Aku jatuh cinta padamu.”
Renjun dengan cepat menarik Jaemin ke dalam dekapannya dan melabuhkan ciuman yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah ciuman kasar karena pemikiran Renjun yang kalut dan dipenuhi rasa takut bahwa waktu akan mengambil kedua jiwa yang sekarang bibirnya sedang saling memagut.
Sampai detik terus berjalan, mereka berdua masih tidak merasakan adanya perbedaan. Kedua bibir mereka masih saling mengecup, sedangkan kedua pasang tangan masih saling memeluk. Bising kendaraan pun masih saling mengadu selagi suasana halte bis masih belum berubah menjadi tempat yang baru.
“Sebentar. Aku perlu memproses ini,” ungkap Renjun selagi melirik pada gelangnya yang memijarkan warna.
“Na Jaemin. Biru 27. Kuning 23. Aku mencintaimu belahan jiwaku,” Jaemin menarik lagi Renjun ke dalam pelukan untuk menciumi bibir Renjun yang sekarang sudah memanjatkan senyuman.
Mereka dulu memang tidak ingin saling harap, karena berpikir bahwa takdir akan mematahkan kembali apa yang telah mereka lewati hanya dalam sekejap, meskipun kedua tubuh memaksa untuk saling dekap.
Mereka pikir kedekatan antar keduanya timbul dari rasa nyaman. Rasa yang mungkin tumbuh di diri Renjun yang baru saja kehilangan seorang teman, sebelum dihadapkan dengan Jaemin yang datang untuk menggantikan sosok yang sekarang ia sudah lupakan. Sedangkan, rasa nyaman di diri Jaemin yang mungkin muncul karena hatinya baru saja dihancurkan, sehingga kehadiran Renjun seperti ada untuk menyembuhkan.
Kemarin, keduanya masih belum sadar bahwa takdir sebenarnya sudah mempersiapkan mereka untuk dieratkan dan disatukan. Namun sekarang, kedua tangan kini sudah saling genggam, sembari kedua pasang mata saling menatap orang yang ia akan bersama-sama habiskan waktunya sampai di masa depan.