kalriesa

Jaemren Oneshot au based on TDS 2 Day 3 in Yokohama.

Semua orang juga tahu, perpaduan suara Jaemin dan Renjun bagaikan salah satu alunan indah yang hadir dan menenangkan siapapun yang mendengarnya. Saat grup band kampus bernama Missing Puzzle itu turut hadir mengisi acara ulang tahun Neo University selama tiga hari berturut-turut, maka penggemar dari berbagai fakultas pun rela berdesakan demi menikmati penampilan mereka secara keseluruhan. Renjun berperan sebagai vokalis utama, Jaemin sebagai keyboardist yang turut serta menulis lirik lagu untuk dinyanyikan oleh Renjun, Jeno sebagai bassist dan Jisung yang menjadi penabuh drum.

Tiada yang tahu akan hubungan khusus di antara Jaemin dan Renjun karena mereka berhasil menutup rapat-rapat status keduanya sebagai sepasang kekasih. Padahal mahasiswa/i lain seringkali melihat mereka bersama selama di kampus. Bahkan sempat tersebar beberapa video di mana Jaemin sibuk memijit pundak Renjun sepulang jam kuliah. Atau bahkan elusan dari kepala sampai leher yang diterima Renjun di tengah keramaian saat mereka baru selesai latihan di studio musik yang ada di area kampus. Juga dengan Renjun yang sering memberikan perhatian kepada Jaemin seperti membawa beberapa barang maupun mengusap-usap kepala Jaemin saat partner satu grubnya itu sedang terlihat kelelahan. Tapi ketika ditanya lebih lanjut, jawaban yang diterima tak jauh-jauh dari; “kita mau cari ide untuk referensi lagu baru,“lagi ada keperluan bareng,” atau “ada tugas berdua.”

Bermula dari Jaemin yang sudah lama tak bermain keyboard berjumpa dengan Renjun yang sedang bersenandung di depan kantin FE sembari menggenggam sebungkus cemilan ubi berbumbu di tangannya. Sebut saja Jaemin jatuh cinta dengan suara Renjun saat telinganya merekam untuk yang pertama kali. Kali ke dua mereka bertemu, tepat di tata usaha jurusan, di mana Renjun sedang menunggu antrian untuk mendapatkan cap di Kartu Studi Mahasiswa miliknya. Jaemin salah fokus saat tangan Renjun seperti sedang memainkan tuts demi tuts piano secara virtual. Sampai akhirnya pertanyaannya terlontar begitu saja dari bibir keringnya, “kamu bisa main piano ya?” dan dijawab dengan anggukan kecil yang menjadi awal kedekatan keduanya.

“Suara kamu bagus, Ren” Jaemin memotong steak menjadi beberapa bagian dan kemudian disodorkan kepada Renjun. Mereka berdua memesan menu yang sama yakni Double Chicken Crispy Steak.

“Loh...”

“Iya. Itu buat kamu” lalu Jaemin memotong steak miliknya dan mulai mengunyah pelan.

Renjun tersenyum simpul dengan perlakuan Jaemin padanya. “Kamu sendiri kenapa ngga coba pakai keyboard di studio musik jurusan aja? Kata Haechan, kamu pernah satu les musik bareng sama dia”

“Malas, Ren. Lagipula, mama enggak suka kalau aku main keyboard.

“Tumben kalian ngga mau kasih tau ke gue apa lagu baru selanjutnya?” tanya Haechan yang sibuk mengunyah keripik kentang di samping Jeno, sedangkan lelaki yang bertubuh lebih kekar daripada Haechan itu senyum-senyum saja dengan kedua matanya yang memandang gemas sang kekasih.

“Besok aja lo dengerin sendiri” ungkap Jaemin gampang.

“Kasih tau dong yaaaaang,” Haechan mengeluarkan pose andalan berupa wajah penuh harap ke arah Jeno yang hanya ditanggapi dengan gelengan kepala sembari mengelus bahu Haechan dengan tersenyum.

“Yaudah! Gue ngga mau nonton besok!”

“Yakin? Pacar kesayangan lo nampil juga padahal” Renjun muncul dengan satu tenteng plastik di tangannya yang penuh dengan snack dan minuman untuk dibagikan ke teman-temannya yang ada di dalam studio musik. Wajahnya mengarah sekilas pada Jeno, lalu beralih ke Haechan dengan dagu mendongak.

“Fans Jeno banyak, Chan. Kalau lo ikutan datang, kan bisa pelototin yang caper ke pacar sendiri” Jaemin menambahi tanpa memutus pandangannya dari Renjun yang menghampirinya beberapa langkah. Ia menerima satu kaleng kopi Americano dan bungkusan cemilan berukuran besar. “Makasih sayang” ujar Jaemin dengan nada lembut. Rambut Renjun diacaknya lalu dirapikan kembali dengan penuh cinta.

Sementara itu, Renjun memberikan senyum manisnya pada Jaemin sebagai balasan atas ucapan terima kasih barusan.

“Terus, kapan kalian mau go public? Di luar sana udah banyak yang yakin kalau kalian pacaran, masih aja ngga mau kasih konfirmasi. Bikin pengumuman kek. Apa kek” Haechan jengah dengan Jaemin dan Renjun yang bermesraan di hadapannya.

Bibir mungil Renjun menampilkan senyuman kecil. Jenis senyuman yang bisa membuat hati Jaemin lemas seketika sampai tak bisa mengalihkan pandangannya sama sekali dari kekasih tersayang.

“Makannya, datang besok biar tahu jawabannya.”


Dua dari tiga lagu sudah dibawakan oleh grup band Missing Puzzle di acara Economic Creative with FE Neo. Sebelum masuk ke penampilan selanjutnya yang sekaligus mempromosikan lagu baru dari Missing Puzzle, MC memberikan beberapa pertanyaan untuk dijawab empat personel grup band tersebut.

“Setelah ini kan kalian bakalan nampilin lagu baru. Boleh tau ngga sedikit bocoran darimana idenya muncul sampai akhirnya lagu ini bisa rilis?”

Renjun, dan Jisung bersamaan menunjuk ke arah Jaemin. Sedangkan Jeno sibuk mencari Haechan di tengah keramaian dan akhirnya menemukan kekasihnya tersebut mengenakan hoodie berwarna ungu yang bertuliskan GO JENO MY BOYFIE. Senyumnya mengembang seketika.

“Idenya dari sosok-sosok kesayangan di sekitar kita” jawab Jaemin tanpa ragu sembari memberikan tatapan mendalam pada Renjun. “Sebenarnya di lagu ini, bukan hanya gue aja yang nulis liriknya, Jeno turut berpartisipasi.”

Fakta tersebut memunculkan banyak apresiasi berupa tepuk tangan meriah. Bahkan beberapa penggemar yang duduk di kursi, sampai berucap 'wow' secara bersamaan.

“Sosok kesayangannya siapa nih kalau boleh tahu?” tanya MC lebih lanjut.

Jeno dengan bangga menunjuk ke arah Haechan, sedangkan Jaemin mengarahkan tatapan tulusnya ke sosok yang duduk persis di sampingnya, Renjun.

Jawaban dari Jaemin dan Jeno memunculkan banyak tanda tanya. Sampai akhirnya Haechan yang tadi sempat memerah pipinya-menutup hoodie nya dan tak berani menatap ke sekeliling mulai bangkit dari kursinya dan memberikan lambaian tangan ke arah Jeno.

“CIYEEEEE JENOOOOO”

“Bentar dulu nih, i am still waiting the answer from Jaemin bro” pancing MC yang bernama Mark.

Suasana semakin ramai karena banyak sorak-sorai yang menunjuk ke arah Renjun. Chenle sebagai adik sepupu Renjun yang turut sejurusan dengannya hanya geleng-geleng kepala. Mulutnya membentuk kata R-E-N-J-U-N sembari cekikikan tak sabar.

“Kita langsung dengerin aja kali ya lagu barunya” ungkap Jaemin dengan mengacungkan jempol ke arah penonton. Jeno pun langsung mengambil gitar yang tak jauh di dekatnya.

“Judul lagunya adalah Kepingan Cinta. Lagu ini didedikasikan untuk semua sosok berharga yang kalian miliki dan berpengaruh di kehidupan masing-masing. Di mana, tanpa kehadiran sosok berharga tersebut, hidup kalian bisa terasa hampa dan tak berwarna—” Jaemin menjeda sejenak kalimatnya sebelum akhirnya kembali melanjutkan, “Kepingan Cinta merupakan lagu baru yang berbeda dibanding sebelumnya. Semuanya ambil bagian untuk bernyanyi dan lagunya full akustik. Kita mulai dengan permainan gitar dari salah satu personel terbaik Missing Puzzle, Jeno”

“Ayo berikan tepuk tangan yang meriah untuk Missing Puzzle teman-teman sekalian!” teriak Mark penuh semangat yang dituruti dengan sorak-sorai membahana dari penonton setia di hadapan mereka.

Saat Jeno memulai petikan senar di gitar miliknya, riuh yang sebelumnya terdengar, perlahan mulai memudar dan fokus dengan penampilan empat lelaki yang duduk berjejer di atas panggung. Urutan duduk dari kanan ke kiri adalah Jeno, Jisung, Jaemin dan yang terakhir adalah Renjun.

Di kursi penonton, Haechan menatap syahdu sosok Jeno yang bermain gitar dengan apiknya sembari melantunkan lirik lagu terbaru. Dilanjutkan dengan Renjun yang bernyanyi di bagian kedua. Ketika Jaemin memulai bagiannya, Renjun yang duduk di sampingnya dengan senyum mengembang sempurna, meletakkan dagu kecilnya persis di atas bahu kiri milik Jaemin. Sepasang matanya berbinar menatap sosok yang sedang bernyanyi dengan tatapan bahagia. Tak berapa lama setelahnya, kepalanya sengaja diadu ke kepala Jaemin untuk kemudian digesek-gesek kecil ke kiri dan ke kanan. Sontak saja hal tersebut mengundang teriakan heboh dari bangku penonton.

“Eh Renjun ngapain?!”

“Ini konsep lagunya apa please?! Kok Jaemin nyanyi sambil senyum malu gitu sih?!”

“Jaemin Renjun officially berlayar kah?!!!!!”

Begitu banyak kekagetan yang muncul sampai ada beberapa penonton yang berdiri dan mengeluarkan ponsel masing-masing demi merekam momen tersebut. Ketika reff mulai dinyanyikan oleh Jisung, Jaemin terlihat mengelus paha Renjun lembut.

“LANJUTKAN AJA PACARAN DEPAN UMUMNYA!!!!!” teriak Haechan sembari menahan tawanya yang gagal.

Saat masing-masing sudah menyelesaikan bagiannya untuk bernyanyi, Jaemin maju beberapa langkah mendekati bibir panggung dengan menarik tangan Renjun.

Part of Tetangga Punya Rasa

Jaemren AU~

💚💛205.


Sudah tujuh menit berlalu, Renjun masih telaten meneteskan betadine di pipi Jaemin. Mereka saling berhadapan dengan isi pikiran yang hanya diketahui masing-masing.

Apa gw tanya lagi aja ya arti story Renjun yang lalu? Soalnya dia ngga ngejelasin sama sekali maksudnya,

Jaemin natapnya bisa biasa aja ngga sih? Untung tangan gw ngga gemetaran,

Tanya aja deh. Daripada gw kepikiran lagi,

“Nah udah beres—”

Sebelum Renjun berhasil menurunkan tangannya guna meletakkan betadine dan kapas kembali ke tempat semula, tangan Jaemin sudah menggapai lebih dulu jemari Renjun dan mengelusnya dengan lembut.

“Makasih ya udah mau ngobatin gw”

Ucapan terima kasih dari Jaemin memberikan dampak aneh lagi di hati Renjun, sampai ia harus susah payah meluncurkan satu kata balasan dari ujung bibirnya, “iya.”

“Gw mau tanya sesuatu boleh, Ren?”

“Bo—leh. Tanya aja” jawab Renjun pasrah dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Terlalu sulit matanya untuk fokus ke lawan bicara, karena jantungnya terlanjur kocar-kacir.

“Gw masih belum paham isi story lo tentang yang selalu bikin gw senyum dan bahagia itu Jaemin seorang...” ia menggigit bibir bawahnya sebagai pertanda serius. Keningnya turut mengernyit, menandakan bahwa dirinya membutuhkan penjelasan lebih lanjut dari sosok di hadapannya.

“Yang bikin lo ngga paham, sebelah mananya?”

“Semuanya,”

“Gw pikir udah jelas, Na” Renjun malah ikut-ikutan menggigit bibirnya efek gugup diberikan pertanyaan yang mau tak mau secara langsung menggambarkan perasaannya selama ini ke tetangganya sendiri.

“Lo bahagia jadi tetangga gw berarti?”

Izinkan Renjun untuk melempar bantal yang ada di kamar Jaemin karena tak kuasa menjabarkan lebih lanjut.

“Ya bahagia, tapi maksud gw lebih dari itu Nanaaaaaaa”

“Lebih gimana maksudnya?” Jaemin kembali bertanya.

Renjun langsung teringat isi curhatannya dengan Haechan; rasa suka itu bisa muncul ke siapa aja, Ren. Kak Jaehyun emang suka sama lo, tapi lo belum tentu bisa nyaman sepenuhnya. Mending liat aja siapa sosok di sekitar lo yang ngga pernah nyatain rasa sukanya, tapi bisa bikin lo nyaman dan kehadirannya selalu menenangkan. Saat sosok itu ngga ada, rasa kehilangan lo justru lebih besar. Pusat kebahagiaan lo cuma ada saat dekat dia. Cari tau deh. Ada ngga yang kaya gitu?

Saat pertanyaan terakhir dari Haechan muncul, secara otomatis otak Renjun tertuju ke satu nama yang mendeskripsikan keseluruhan kalimat teman curhat satu kelasnya itu; Na Jaemin.

“Ren?”

Jemari yang sedari tadi digenggam oleh Jaemin, ditimpa oleh tangan Renjun yang lain.

“Dengarin gw baik-baik, Nana. Kebahagiaan yang gw maksud bukan sebatas dari status kita sebagai tetangga aja. Apapun yang gw lakukan, asalkan itu sama lo, pasti endingnya bahagia. Nggak peduli waktu dan tempat. Semua perhatian yang lo kasih selama ini selalu bikin hati gw meleleh dan ngga karuan. Bahkan gw ngga rela kalau lo lebih perhatian ke yang lain. Jangan tanya kenapa karena jawabannya adalah gw cemburu—”

Renjun mengatupkan bibirnya sejenak. Butuh effort besar dan nyali luar biasa untuk mengungkapkan yang selama ini menumpuk di kepalanya. “Sekarang gw tanya balik. Rasa sayang yang lo mention di chat itu apakah tulus?”

Mata Jaemin melotot seketika dan merespon dengan jawaban secepat kilat, “Iya! Gw tulus selama ini sayang ke elo, Ren!”

“Emang lo bahagia kalau gw sama yang lain?”

“Engga lah! Pengennya, gw yang bikin lo bahagia, tapi kan lo pernah ngasih tau bakalan awkward kalau ada tetangga yang tiba-tiba nyatain perasaan sukanya”

“Lah, bukannya di chat yang lalu itu kita lagi bahas tentang kak Jaehyun ya?”

“Bukan Ren...Itu pertanyaan pribadi tentang perasaan suka gw ke elo...”

”...”

Hening tercipta beberapa saat dan keduanya menyadari kepolosan masing-masing. Sampai akhirnya Jaemin memberanikan diri untuk bersuara kembali, “jadi...kalau gw suka sama lo....gimana???”

“Kalau?”

“Engga maksudnya—”

“Yang bener kenapa sih Na!!!”

“Iya—eem, bukan kalau. Gw suka sama lo Renjun. Gimana???”

“Ya gw juga suka sama lo. Terus maunya gimana???”

”...”

“TINGGAL JAWAB YAUDAH KITA PACARAN AJA YOK!!! GITU AJA KOK SUSAH SIH ADEK-ADEK” lengkingan dari arah pintu kamar Jaemin yang memang terbuka sedari tadi, mengagetkan dua anak muda dengan mulut menganga.

Jaehyun sibuk mengelus-elus punggung Winwin yang terlepas emosinya, “sabar. Nanti lo dikira kesurupan,”

Jaemin dan Renjun masih memproses kenapa dua sosok yang tak diduga bisa muncul tiba-tiba tanpa aba-aba di momentum sakral seperti sekarang.

“Kak Winwin kok bisa di sini?”

“Gw nyariin Renjun, ternyata malah main ke rumah lo, Jaem. Udahlah cepat lanjutin lagi. Gw capek nungguinnya. Bentar lagi Jaehyun mau ngajak Jaemin adu otot biar bisa dipilih sama Renjun” Winwin sengaja ceplas-ceplos seenak jidatnya.

“Injun ngga suka kak Jae...” / “Renjun punya Jaemin, kak Winwin...”

“Oke. Fix Jaehyun patah hati. Berarti taruhannya gw yang menang ya Jaehyun. Lo mesti bayarin uang kuliah gw semester depan” Winwin melengos pergi dituruti Jaehyun di belakangnya dengan senyuman lebar.

Sedangkan Jaemin dan Renjun lagi-lagi harus memproses pernyataan kak Winwin barusan. Namun Renjun malah terdistraksi dengan jawaban tetangganya saat merespon kakaknya.

“Injun—punya Nana?”

“Ehm, iya. Punya gw bukan dalam konteks tetangga”

“Jadi kita...”

“Kita pacaran ya Injun.

©Kalriesa🦋

Malam sebelum Jaehyun memulai rencana taruhannya tentang Renjun, ia terlebih dahulu mengendap-endap ke depan kamar Jaemin. Telinganya didekatkan ke arah pintu, guna mengetahui apakah Jaemin sudah terbang ke alam mimpi atau masih terjaga. Ketika Jaehyun yakin bahwa sepupunya itu belum tidur, ia langsung mengirim pesan pada Winwin, kakak kandung Renjun.

“Jaeminnya belum tidur nih”

“Bagus. Pura-pura ngapain kek. Main gitar aja. Lo bisa kan?”

“Nggak usah ditanya. Udah pasti bisa. Kan gw sempat main gitar sambil nyanyi di kafe buat lo”

“Hahaha. Udah ah cepetan, gw keburu ngantuk”

“Okeee. Pakai skenario yang kita bahas kan?”

“Iya, Jae. Nanti pandai-pandai lo aja ngolah kata-katanya gimana”

“Lo cukup iya-iya aja, Win. Serahin semuanya sama gw”

“Yang penting suara lo harus besar biar bisa kedengeran sama Jaemin”

“Aman. Jaehyun kok dilawan. Cogan lintas kota nih”

“Terserah lo deh. Udah cepetan mulainya”

Maka skenario untuk membuat Jaemin, sepupu Jaehyun meradang level tinggi pun dijalankan. Mereka pikir reaksi Jaemin sebatas diam saja atau malah mengadu kepada kedua orang tuanya. Ternyata melebihi ekspektasi awal yang bahkan sampai harus saling tinju dan memberikan bekas biru di badan masing-masing.

©Kalriesa🦋

Part of Tetangga Punya Rasa

Jaemren AU~

💛💚194.


BUGH

Hantaman selanjutnya masih melayang tanpa bisa dihindari oleh Jaehyun. Lebih tepatnya ia tidak menyangka bahwa Jaemin akan memukulnya sekuat tenaga seperti sekarang.

“Gw nggak peduli kelakuan lo di luar sana gimana kak, tapi jangan pernah mikir buat ngelakuin hal yang nggak benar ke Renjun!”

Cairan kental berwarna merah mulai muncul menghiasi wajah Jaehyun. Ia tersenyum sinis sembari melemparkan tatapan mengejek ke arah Jaemin tanpa merespon kalimatnya.

Suara Jaemin meninggi, “jelasin ke gw maksud omongan lo sebelumnya kak!”

“Yang mana satu? Soal gw taruhan? Atau plan gw untuk tidurin tetangga lo—”

Sebelum Jaemin sempat meninju Jaehyun untuk yang ke sekian kalinya, tangan kekarnya dapat ditahan oleh kakak sepupu yang badannya lebih besar dan tegap darinya. Urat-urat di leher Jaemin yang awalnya samar, kini muncul bersamaan dengan rahangnya yang semakin mengeras.

“KAK JAEHYUN!”

Jaemin menggeram dan meneriakkan nama sepupunya sampai terdengar ke lantai satu, tempat di mana orang tua Jaemin belum tertidur dan masih menikmati acara tv dengan syahdu. Membuat keduanya panik seketika dan berlari ke sumber suara.

“Gw nggak ngerti kenapa lo seheboh ini duhai adik sepupu”

“Apa yang terjadi sama Renjun, itu jadi urusan gw, kak”

“Tau batas, Na Jaemin. Renjun bukan siapa-siapa buat lo. Kalaupun gw berhasil ngegebet Renjun, nanti uang taruhan bisa kita bagi dua—”

“Brengsek!”

“Nana! Berhenti nak!” suara berat milik papa Jaemin hadir di tengah-tengah ketegangan.

Nafas Jaemin memburu, bukannya semakin tenang, ia malah berusaha mendorong Jaehyun sampai hampir oleng.

“Berhenti papa bilang!!”

Jaehyun maju selangkah dan mendekatkan dirinya sembari berbisik ke Jaemin dengan nada penuh konfrontasi, “kita ngga level, Jaemin. Renjun bakal jadi milik gw”

Seperti semburan magma dari gunung berapi yang terpendam sekian lama, tak peduli walau sosok di depannya merupakan kakak sepupunya sendiri dan dapat kekuatan entah darimana, Jaemin berhasil menarik tangannya dari cengkeraman Jaehyun dan lepas kendali untuk kemudian memberikan pukulan demi pukulan yang tiada henti.

Mau tak mau Jaehyun turut membalas karena rasa sakit yang mulai mengalir di beberapa bagian tubuhnya, sekaligus sebagai pertahanan diri dari amukan adik sepupu.

Bahkan papa Jaemin tak berhasil melerai keduanya. Sampai akhirnya satu suara yang Jaemin kenal berhasil mengalihkan indera pendengarannya demi memastikan apakah sosok yang memanggilnya tersebut benar ada di rumahnya atau tidak.

“Nana.... Jangan berantem, Na...”

©Kalriesa🦋

Part Tetangga Punya Rasa 1


Malam itu, Jaemin masih terjaga. Ia baru saja selesai mengucapkan kalimat selamat tidur pada tetangga sebelah. Perutnya tiba-tiba terasa lapar dan meminta untuk diisi. Akhirnya ia putuskan untuk turun ke lantai bawah demi menghilangkan rasa laparnya. Kamar Jaemin terletak di lantai 2, bersebelahan dengan kamar tamu yang ditempati oleh Jaehyun. Jaemin sedari tadi memang mendengar bunyi senar gitar samar-samar dari arah kamar Jaehyun. Namun tak lama kemudian, suara itu berhenti. Jaemin pikir sepupunya itu sudah tertidur. Jadi dirinya berjalan saja dengan santai melewati kamar Jaehyun yang pintunya ternyata dibuka sedikit.

“Gw kira liburannya bakal b aja. Ternyata enggak. Soalnya gw nemu mainan baru di sini” terdengar suara yang lumayan keras dari kamar Jaehyun dan dapat didengar oleh Jaemin.

Awalnya Jaemin masa bodoh dengan percakapan yang dilakukan sepupunya, sampai ketika Jaehyun menyebutkan kalimat yang membuat dahinya mengernyit bingung.

“Taruhan aja. Gw yakin menang kok. Secara anaknya masih polos. SMA pula, gak pernah pacaran. Palingan dikasih perhatian sedikit langsung klepek-klepek. Percaya deh sama gw”

“SMA? Gak pernah pacaran?” Jaemin membatin.

“Kayanya sih belum pernah diapa-apain. Makannya gw penasaran. Bisa kali gw sosor bibirnya. Soalnya ciumable. Gemas gw liatnya”

Dahi Jaemin makin berkerut. Ia tidak mengerti arah pembicaraan yang dilakukan kakak sepupunya tersebut. Tapi perasaannya mulai tidak beres. Sampai akhirnya Jaehyun melanjutkan kalimatnya kembali.

“Uang semester yang jadi taruhannya. Kalau gw berhasil, lo bayar semesteran gw. Kalau gw gagal, ya gw bayarin punya lo. Deal? Oke nice”

Jaemin menggeleng kecil begitu mendengar kalimat terakhir sepupunya, “kak Jae ngomongin siapa sih?”

Ia pun menempelkan telinganya perlahan di sela-sela pintu kamar Jaehyun demi mendengar obrolan sepupunya tersebut.

“Bahan mainannya? Tetangga sebelah rumah Jaemin, namanya Renjun. Syukur-syukur bisa gw tidurin. Hahaha”

BRAK!

Pintu kamar Jaehyun dibanting paksa oleh Jaemin dari luar. Tangannya mengepal kuat mengarah ke kakak sepupu yang sedang duduk dengan gitar terletak di atas pahanya.

“JANGAN SEMBARANGAN NGOMONG!!!”

BUGH!

©Kalriesa🦋

Jaemin akhirnya tersadar bahwa ia telah menaruh hati sejak pertama kali bertemu dengan Renjun walau saat itu mereka masih sama-sama kecil. Yang Jaemin masih ingat di memorinya, ia tak mau jauh-jauh dari Renjun dan menginginkan tetangganya itu untuk selalu bahagia karena senyum Renjun terlalu menawan saat memperkenalkan diri di hadapannya. Sayangnya, perasaannya terlalu kabur, tertutupi status mereka berdua yang saling disematkan satu sama lain sebagai tetangga.

Ketika Jaemin meyakini bahwa segala tingkah laku yang ditujukannya pada Renjun sedari dulu sudah dibumbui perasaan tak biasa, ia harus merasa kalah pada sepupunya, kak Jaehyun, karena telah berani mengungkapkan pernyataan suka lebih dulu kepada tetangga kesayangannya.

Padahal sebenarnya tak ada salahnya jika tetangga saling punya rasa menjurus semakin suka dan semakin ingin menjaga satu sama lainnya.

©Kalriesa🦋

Part of Tetangga Punya Rasa

Jaemren AU~

💚💛170.


Jaemin menunggu dengan sabar tepat di ruang tamu karena tetangganya itu telat bangun, padahal ia harus ikut kerja bakti sore ini.

Ia tidak akan menyalahkan Renjun yang tidur sepulang dari sekolah. Justru pak RT nya lah yang aneh karena mengadakan kerja bakti di sore hari. Di mana-mana, kerja bakti itu pagi hari. Memang pak RT mereka aja yang unik bin ajaib.

“Jaemin, lo ngelamunin apa?” tanya Renjun yang baru saja memunculkan diri dengan setelan sederhana ala anak rumahan. Kaus putih lengan panjang dan celana olahraga hitam bermerk Adidas yang juga dimiliki Jaemin. Sebut saja mereka berdua memang sengaja couple-lan karena membelinya barengan.

“Engga kok” mata Jaemin memicing menatap Renjun dari atas sampai bawah. Seperti sedang mengabsen satu per satu sosok mungil di hadapannya, “kenapa ngga pakai topi?” tanya Jaemin cepat.

“Topinya ngga ketemu”

“Matahari kan masih ada, Ren”

“Ngga panas pun. Udahlah ayo kita ke lapangan. Nanti kena omel pak RT” lengan Jaemin ditarik cepat dalam hitungan detik oleh Renjun. Sampai-sampai ia tidak bisa mengomeli tetangga kesayangannya itu.

“Kenapa sih ngeyel kalau dikasih tau. Gw kan ngga mau kalau lo kepanasan, Ren...”


Renjun merengut duduk di salah satu batu besar yang ada di lapangan kompleknya. Di kepalanya sudah bertengger selimut kecil entah milik siapa, yang jelas bukan punya Jaemin, tapi tetangganya itu bisa mendapatkannya dan meletakkan selimut kecil tersebut guna menghalau sinar matahari sore hari yang tidak memberikan efek apa-apa bagi Renjun.

Lain Renjun, lain pula Jaemin. Pemuda kelahiran Agustus itu sedang menahan kesal karena bisa-bisanya Jaehyun muncul di acara kerja bakti komplek dan mencuri perhatian bapak-bapak karena gesit dalam bekerja.

“Nanti pos rondanya, saya aja yang ngecat, pak” ujar Jaehyun tersenyum sembari membawa rumput hasil sabetannya untuk kemudian dikumpulkan di sisi ujung lapangan.

“Barengan aja sama yang lain”

“Gapapa pak. Saya hobi ngecat kok”

“Minimal dua orang yang ngecat nak. Biar cepat selesai”

Renjun yang memang tak jauh posisinya, tiba-tiba bersuara, “Renjun aja pak yang bantu ngecat gimana?”

“Boleh tuh” / “Jangan!”

Kedua jawaban berbeda yang keluar dari mulut Jaehyun dan Jaemin malah jadi perhatian sekitar.

“Saya aja yang bantu kak Jae, pak. Ngga usah Renjun. Nanti bajunya kotor” jawab Jaemin kalem.

Beberapa pasang mata, termasuk Renjun di dalamnya, ikut mengernyit mendengar jawaban Jaemin barusan.

“Gw maunya sama Renjun bukan sama lo, Jaemin” jawaban mutlak diberikan Jaehyun dengan sengaja untuk memancing emosi adik sepupunya.

Pak RT sampai garuk-garuk kepala melihat tingkah tiga pemuda kompleknya.

“Kalau yang ngerjain lebih banyak kan bisa cepat selesai. Lagian kenapa pengen sama Renjun sih?”

“Suka-suka gw dong. Renjunnya aja ngga ada protes. Ya kan, Injun???”

“Ha? Errr, iya sama gw aja. Lagi daritadi gw cuma duduk aja kok”

“Ngga usah, Ren. Ngecat tuh capek. Udah gw aja” Jaemin masih kekeh dengan ucapannya.

“Jangan maksa, Jaemin. Lo cuma tetangganya Injun. Ngga ada hak untuk ngatur-ngatur Renjun melebihi orangtuanya.”

“Gw nggak ngatur Renjun ya kak. Lo ngga tau apa-apa mending diem deh”

“Lo yang diem. Gw suka sama Renjun, jadi jangan ikut ngatur-ngatur gw.”

©Kalriesa🦋

A fog

Haechan pernah katakan, hubungan mantan itu hanya memiliki dua versi, terbaik dan terburuk. Jika kalian masih tetap bisa berteman setelah putus dan berlaku seolah tiada masalah apapun yang terjadi, itu adalah bagian terbaik. Jika menutup diri, memperbaiki hati yang compang-camping, hanya bisa memandang dari jauh sembari mengulang memori lama yang tiba-tiba muncul begitu saja—selamat! Karena tandanya hatimu sembuhnya akan lama.

Dan Renjun sedang mengalaminya. Ia mencoba memilih yang paling positif dari dua pilihan yang disebutkan sahabatnya.

“Ah, mana mungkin mantan bisa saling ngga kenal” ucap Renjun kala itu.

“Hhh Ren. Lo belum tau aja gimana rasanya”

Jika bisa dideskripsikan—seperti kabut yang menghalau pandangan. Sebenarnya kamu masih mampu berjalan, tapi waspada akan apa yang kamu temui nantinya.

Tapi kabut tak pernah membuatnya menahan air mata sembari mengeratkan tangan dengan kuatnya.

Alasannya? Jaemin, mantan kesayangannya sedang berada di depannya. Renjun sudah ancang-ancang memberikan senyuman seperti biasa, juga mata berbinar seolah bertemu teman lama. Nyatanya, begitu pandangan keduanya bertemu, Jaemin lah yang pertama kali membuang muka, menganggap eksistensi Renjun tak pernah ada.

Kabut yang masih samar,—

Sampai ketika Jaemin benar-benar melewati Renjun tanpa melihatnya seujung jari pun.

—kabutnya mulai menghalau pandangan mata,—

“Woy Jaemin! Sombong bener lu!”

Suara Haechan berhasil menembus indera pendengaran Renjun. Dan ia menunggu respon Jaemin selanjutnya.

“Eh Can. Sorry gue buru-buru. Duluan”

Tiada sapaan berarti untuk Renjun dari Jaemin.

—dan kabut mulai berhasil membuat sesak di ulu hati Renjun.


Epiphany

Belahan jiwa : seseorang yang memiliki ikatan kuat dan kamu cintai begitu dalam.


Di dunia ini, kamu dapat menemukan belahan jiwamu setelah mencapai usia 25 tahun. Usia yang merupakan fase peralihan dari remaja menjadi dewasa. Usia ketika bicara cinta bukan hanya untuk permainan semata, melainkan untuk dua insan menjalin hidup selamanya bersama, dengan saling percaya dan saling berbagi duka dan suka.

Namun, mencari cinta dan mendapatkan belahan jiwa di dunia ini memiliki konsekuensi yang berbeda dengan dunia lain di luar sana. Kala kita jatuh kepada orang yang salah, jiwa kita akan bergerak berpindah, meloncat menuju ruang waktu entah sebelum atau sesudah, dan harus menjalani hidup dengan usia yang tidak lagi sama, meskipun mental yang dipunya masih berada pada usia sebelumnya.

Setiap orang memiliki sebuah gelang yang hanya dapat dilihat oleh dirinya sendiri. Gelang yang menunjukkan usia yang ia punya dengan warna hijau yang berpijar terang. Sehingga, secara tidak langsung, sampai seseorang berumur 25 tahun, angka kehijauan tersebut hanya akan bertambah nilainya tanpa berubah warnanya. Tetapi, jika seseorang tersebut tersadar bahwa ia menyukai orang yang tidak digariskan sebagai belahan jiwanya, akan terjadi distorsi di hidupnya dan sekelilingnya; bentuk muka dan badannya akan berubah menjadi lebih tua atau lebih muda, serta gelang yang ia punya akan menunjukkan 2 angka yang berbeda. Angka pertama merupakan usia asli yang ia miliki. Jika ia sadar bahwa ia telah jatuh cinta pada usia 25 tahun, angka tersebut akan tertulis 25 dengan warna kebiruan, sedangkan angka kedua dengan warna kekuningan merupakan usia baru yang ia harus jalani di masa sekarang.

Renjun memiliki satu teman sedari ia kecil. Mereka berdua tumbuh bersama, satu sekolah, bahkan bekerja di tempat yang sama, sehingga membuat Renjun merasa nyaman untuk bertahun-tahun berada di dekatnya. Sampai suatu ketika, tiba-tiba saja temannya tersebut memberi Renjun sebuah berita, “Jun, kamu pasti tidak menyangka. Aku akhirnya menemukan belahan jiwaku.” Renjun pun mengernyitkan dahinya kala mendengar ucapan yang mengguncang dadanya.

“Bagaimana bisa?” tanya Renjun.

Saat kisah cinta mulai diceritakan oleh temannya tersebut, Renjun tersadar bahwa dunia sekelilingnya mulai mengabur. Renjun mengerti apa yang terjadi, ternyata ini merupakan patah hatinya yang pertama kali. Dan bahwa selama ini, ia menyukai temannya sedari dini.

Renjun yang semula berada pada sebuah ruangan besar dengan banyak meja kubikel karena ia dan temannya bekerja sebagai redaktur pemula, tiba-tiba saja Renjun berada di ruangan yang hanya menjadi miliknya seorang. Ia membaca sebuah kartu nama yang berada di atas meja. Kartu yang bertuliskan namanya beserta jabatan baru yang ia punya, Huang Renjun – Redaktur Pelaksana di Redaksi Majalah NEO.

Renjun melirik pada gelang yang melingkar di tangannya. Biru – 25 Kuning – 28

Renjun lalu berjalan keluar menuju kursi yang baru beberapa detik sebelumnya ia duduki. Teman sedari Renjun kecil, yang memang seharusnya duduk bersebelahan dengan Renjun, akhirnya berdiri ketika Renjun mendekati dirinya dan berkata, “Pak Renjun, untuk ulasan perjalanan terkait Negeri di Atas Awan Toraja telah saya kirimkan ke e-mail Bapak.”

Renjun tidak menyangka bahwa ia kini menjadi atasan temannya. Mereka sudah bukan lagi teman sedari lama. Laki-laki yang berada di depan Renjun hanyalah redaktur pemula berusia 25 tahun, sedangkan Renjun harus menjalani hidup barunya yang terlempar dengan perbedaan lebih tua 3 tahun. Ia pun perlu mendalami tanggung jawab baru yang ia emban seketika. Renjun akhirnya hanya bisa menghela napas yang sempat ia tahan sebelumnya.

Jatuh cinta ternyata sangat menyusahkan, sedangkan perjalanan untuk menemukan belahan jiwa tetap harus berjalan walaupun hati sudah terlanjur dipatahkan.

Jaemin awalnya hanya menyibukkan diri menjadi reporter. Apalagi saat ini sedang banyak bencana alam banjir yang diakibatkan ulah manusia karena membuang sampah sembarangan. Ia harus siap ketika diminta turun ke wilayah yang tergenang banjir dan melaporkan situasi terkini kepada khalayak ramai. Teman-temannya sering mengingatkan untuk mencari belahan jiwanya karena umurnya sudah mencapai 25 tahun, tetapi Jaemin tidak terlalu peduli. Sampai akhirnya Jaemin merasakan adanya ketertarikan saat bertemu reporter lain yang meliput berita banjir di dekatnya. Jaemin dapat merasakan dedikasi yang tulus dari reporter tersebut karena sosok itu turut membantu warga sekitar naik ke perahu yang disediakan tim khusus penanggung jawab bencana daerah dan juga menolong beberapa hewan peliharaan yang masih tertinggal di beberapa rumah warga.

Pertemuan keduanya masih berlanjut ketika stasiun tempat Jaemin bekerja turut menjadi official partnership penyelenggaraan turnamen badminton se-Asia Tenggara. Reporter itu merupakan karyawan baru dan diangkat menjadi karyawan tetap karena kinerjanya yang maksimal dan tangguh. Mereka berdua bahkan sama-sama memiliki hobi sejenis di bidang badminton sampai akhirnya sering berlatih bersama.

Jika sebelumnya Jaemin selalu langsung pulang ke rumah ketika sudah menyelesaikan liputannya di lapangan, beberapa waktu belakangan ini kebiasaannya mulai berubah. Ia sering menghampiri tempat kerja sang reporter yang kini sudah dekat dengannya. Jaemin bisa merasakan nyaman saat menghabiskan waktu bersama sosok tersebut. Namun, ia masih belum bisa memastikan apakah semua ini bisa disebut sebagai pertanda suka atau tidak.

Seiring berjalannya waktu yang sering dihabiskan bersama, Jaemin kira hanya dirinya saja yang merasakan getaran berbeda. Ternyata, rekan reporternya tersebut secara terang-terangan menyatakan perasaannya pada Jaemin. Saat Jaemin turut mengungkapkan rasa sukanya, ia menyadari bahwa apa yang dilihat di sekelilingnya tidak lagi sama. Dunia Jaemin kini berubah seketika. Ia tidak lagi dihadapkan pada sosok yang selalu bersamanya meliput berita, melainkan seorang dosen yang dulu membimbing tugas akhirnya sampai ia mendapatkan predikat Sarjana Ilmu Komunikasi dengan peminatan Jurnalisme.

Kata suka yang baru saja Jaemin dengar tiba-tiba saja langsung tergantikan dengan ajakan untuk masuk ke ruang bimbingan. “Jaemin, kenapa kamu berdiri saja di depan pintu? Saya sudah mengijinkan kamu untuk duduk.” Jaemin meminta maaf selagi melihat draft skripsi yang sekarang sudah berada di tangan kanannya. Ada rasa takut pada diri Jaemin untuk melirik pada lengan kiri yang terbelit gelang penanda usia. Dengan kondisi yang ia miliki sekarang, Jaemin sebenarnya sudah cukup paham. Bahwa ia baru saja terpental jauh ke belakang.

Na Jaemin. Biru – 25 Kuning – 21

Jaemin teringat salah satu pepatah yang sempat dibacanya di media dan mungkin dapat ia gunakan suatu hari nanti untuk artikel buatannya. Amor Fati. Cintailah takdir yang kamu dapatkan. Namun, mengapa takdir sendiri yang mematahkan hati kecil yang Jaemin punya?

Meskipun demikian, hidup di dunia ini membuat semua orang mengerti dan mau tidak mau menjalani takdir yang diberi. Takdir memang menunjukkan Jaemin ke jalan yang lain. Ia harus menerima bahwa sosok reporter itu bukan untuk dirinya, dan begitu juga sebaliknya. Jaemin dapat menganggap bahwa usianya yang jauh berkurang sekarang sebagai kesempatan kedua untuk memperbaiki diri, menyempurnakan tugas akhirnya yang dulu tidak begitu menarik dan banyak revisi di sana sini, mengeksplorasi lebih banyak situasi dan kondisi guna meningkatkan kemampuan sebagai seorang yang akan berkarir di jurnalistik, bahkan untuk mencoba kembali mendaftar di perusahaan yang ia sempat ingini, Redaksi Majalah NEO.

Jika takdir memang bisa menghancurkan hati kecilnya, setidaknya di sisi lain, takdir bisa mengarahkan Jaemin kepada pintu yang berbeda.

Kala satu tahun telah bertambah, akhirnya Jaemin dapat mengikuti perekrutan terbuka sebagai redaktur di Redaksi Majalah NEO dan mengisi kekosongan kursi yang dulu sempat diisi oleh Renjun.

Renjun yang telah bekerja selama satu tahun penuh sebagai redaktur pelaksana sudah ditugaskan untuk mewawancarai calon pekerja baru yang berada di bawah supervisinya. Saat proses perekrutan berlangsung, mereka berdua akhirnya bertemu, ketika Jaemin membuka pintu dan Renjun menunggu untuk Jaemin duduk. Kedua pasang mata mereka pun menubruk dan saling tatap, seperti ada ketertarikan yang kini belum bisa mereka tangkap. Namun, untuk saat ini, tidak ada di antara mereka yang ingin saling harap.

Selama proses wawancara yang dilakukan oleh Renjun, Jaemin dapat menjawab segala pertanyaan dengan baik dan lancar. Bahkan mereka berdua terdengar seperti sedang berbincang antar kolega kerja saja. Renjun merasa puas dengan karakteristik yang Jaemin punya. Tetapi, ada sedikit yang mengganggu pikiran Renjun. Untuk seseorang yang dapat menjawab segala hal dengan lugas, tentu Jaemin memiliki segudang pengalaman yang tidak dimiliki oleh mahasiswa yang baru saja lulus, sehingga pertanyaan terakhir pun ditanyakan oleh Renjun, “maaf jika pertanyaan ini menyinggung. Tapi, anda tidak terdengar seperti orang yang baru saja berusia 22 tahun. Jika saya boleh tahu, berapa usia asli anda?”

Jaemin tersenyum. Ia menatap Renjun dalam-dalam seraya membalikkan pertanyaan calon atasannya tersebut, “Bapak juga tidak seperti orang yang sudah berpengalaman memegang jabatan tinggi. Jadi, berapa usia asli Bapak?”

“Anda dulu.”

“Baiklah. Usia saya 26 tahun, Pak.”

Mendengar demikian, Renjun pun membalas senyuman hangat laki-laki yang jauh terlihat lebih muda dari dirinya itu. “Jangan panggil Bapak jika kita tidak dalam lingkungan kerja. Aku seumuran denganmu, Jaemin.”

Dengan bermodalkan pengalaman yang sebelumnya dimiliki sebagai seorang reporter, Jaemin merasakan banyak kemudahan ketika ia telah diterima bekerja sebagai redaktur di perusahaan yang baru. Ia tahu, tugas sebagai reporter di lapangan itu sulit. Apalagi harus mempersiapkan pertanyaan yang sudah disusun secara sistematis sebelum menemui narasumber. Belum termasuk dengan beberapa permintaan khusus, seperti berita yang hanya ingin menunjukkan sisi positif saja. Dan juga harus ditambah dengan penyuntingan naskah berita yang dikirimkan oleh reporter. Namun, itu semua memang sudah menjadi konsekuensi di bidang jurnalistik.

Jaemin sudah beberapa kali menggaruk tengkuk belakangnya. Keningnya turut mengernyit sampai kedua alisnya hampir menyatu saat membuka e-mail dari salah satu reporter yang baru saja mengirimkan bahan berita untuk disunting, “berita ini bukannya sudah pernah naik di minggu kemarin?” gumam Jaemin sembari melakukan pengecekan laporan yang terletak di folder Ekonomi dan Bisnis di laptop miliknya.

Kebetulan, saat itu, Renjun baru saja selesai menyeduh kopi. Renjun harus melewati kubikel Jaemin sebelum ia dapat menuju ke ruangannya. Bisa Renjun lihat dari belakang, karyawan barunya tersebut sedang menumpu tangan di dagu. Renjun pun tergerak untuk menghampiri Jaemin dan memperhatikan apa yang sedang dikerjakan.

“Nanti coba minta reporternya untuk menambah beberapa bahan lagi, Jaemin. Seingat saya berita tentang resesi 2023 sudah banyak diliput di mana-mana. Sekalian cari narasumber dari pihak akademik universitas untuk menganalisis sisi positif yang bisa dilakukan masyarakat saat mengalami resesi.” Renjun tiba-tiba saja memberikan saran sembari memegang cangkir kopi di tangan kanan.

Jaemin sedikit panik dengan keberadaan redaktur pelaksana di belakangnya. Ia mengangguk sebagai respon dari kalimat Renjun barusan. Jaemin akui, Renjun sebagai atasannya tidak pelit dalam berbagi ilmu juga tak segan membantunya dalam menjalankan pekerjaan.

“Tetap di-follow up ke saya, ya. Sekiranya kamu ada butuh sesuatu, bisa langsung kabari saja,” imbuh Renjun.

“Siap, Pak! Laksanakan! Saya komunikasikan dulu dengan reporter terkait,” Jaemin menggebu-gebu sembari mengepalkan tangan. Renjun melihatnya sebagai sesuatu yang menggemaskan. Namun, ia memilih untuk berlalu saja ke ruangannya dengan senyuman yang ditahan. ‘Semangatnya luar biasa,’ batin Renjun dalam diam.

Jika Jaemin melihat Renjun sebagai sosok yang akrab dengan semua bawahannya, di mata Renjun, Jaemin merupakan sosok yang luwes dan banyak akal. Beberapa kali dalam rapat yang diselenggarakan untuk mencari artikel yang dapat disematkan pada majalah edisi selanjutnya, Jaemin sering memberikan hal maupun ide baru yang tentu saja langsung disetujui oleh Renjun sembari memberikan senyuman pertanda puas. Bahkan Jaemin sering meminta untuk ia saja yang terjun langsung mencari data.

“Aku kan pernah menjadi reporter sebelum kembali berumur 21 tahun. Jadi, aku ingin untuk melakukannya sendiri. Bagaimana, Renjun? Boleh kah?” tanya Jaemin saat mereka berdua telah berada di perjalanan pulang. Kedua rumah mereka memang searah, sehingga mereka sering pulang dan menaiki bis yang sama.

“Iya. Boleh saja,” jawab Renjun singkat. Tentu saja Renjun mengijinkan Jaemin melakukan hal tersebut karena seorang redaktur pasti tahu pasti data apa saja yang dibutuhkan, walaupun secara tidak langsung, Jaemin seperti melakukan dua pekerjaan sekaligus. Renjun pun membalikkan pertanyaan dengan sedikit rasa kekhawatiran. “Tapi, aku tidak mau kamu jadi memberatkan dirimu sendiri. Terlebih lagi kamu juga masih pekerja baru.”

“Tidak, Renjun. Aku senang. Aku malah sedikit prihatin padamu. Kita memiliki usia yang sama tetapi jabatanmu sudah terlampau tinggi untuk kamu bisa melalang buana sepertiku. Jadi, kamu tidak perlu cemas. Aku juga akan meneleponmu setiap bepergian, sehingga kamu bisa merasakan mengambil data secara langsung walaupun hanya lewat virtual,” ucap Jaemin memberi saran. Dan begitu lah hari-hari mereka ke depan. Jaemin sering mengajak Renjun untuk melakukan video call dengannya dan mereka berbicara tentang apa saja, tidak terkecuali tentang pekerjaan, seperti layaknya kawan lama yang selalu membagikan segala hal untuk satu sama lainnya.

Tidak itu saja yang akhir-akhir ini mereka berdua biasakan. Jaemin pernah membuat ide untuk meliput beberapa restoran atau bar yang cocok dimuat di majalah dan bisa direkomendasikan kepada publik. Jaemin pun mengajak Renjun untuk ikut pergi dengannya. Mereka berdua menyebutnya sebagai ‘acara makan malam yang dibalutkan dengan tanggung jawab pekerjaan’. Dan, di sudut ruangan yang diterangi temaram lilin di atas meja, mereka berdua mencicipi beberapa hidangan utama dan bintang lima, serta bersenda gurau seperti pasangan yang baru mau dimabuk asmara. Tawa Renjun pun membahana setiap Jaemin mengutarakan isi kepala, sembari mereka terus saling melempar senyuman untuk keduanya, serta jari-jemari yang terkadang bersentuhan tanpa diminta.

Setelah menghadapi satu minggu pekerjaan yang cukup menguras waktu dan pikiran, mereka berdua sering terlihat duduk di sebuah meja bar. Diiringi musik berirama jazz yang menenangkan, selagi mengomentari betapa hebatnya pemain saksofon yang mengisi malam mereka yang panjang. Sampai tiba-tiba Jaemin sudah mulai hilang kesadaran dan Renjun membopongnya dari masuk taksi sampai Jaemin terbaring di kasur miliknya sendiri. Setelah Renjun menaruh obat pereda sakit kepala beserta segelas air di atas nakas dan membalut Jaemin dengan selimut yang hangat, seketika salah satu tangan Jaemin terangkat, untuk menahan Renjun yang bersiap pergi beranjak. “Tetap di dekatku, Renjun,” gumam Jaemin.

Bukan alkohol yang membuat Jaemin berkata demikian, melainkan keterikatan batin yang meronta karena kedua jiwa memang saling menginginkan.

Renjun menaruh tangan Jaemin kembali masuk ke dalam selimut dan mengelus pelan pipi bawahannya tersebut. Tanpa sadar badan Renjun membungkuk dan hampir saja mengecup pelan kening seseorang yang akhir-akhir ini sering memenuhi kesehariannya. Renjun pun bergegas menarik diri dan terburu-buru berlalu pergi. Saat ia sudah berada di taksi untuk pulang ke rumahnya sendiri, Renjun pun menggelengkan kepala atas tindakan yang di luar pikir panjangnya. ‘Aku ini kenapa?’ batinnya bertanya.

Saking seringnya mereka menghabiskan waktu bersama di luar jam kerja, tiba-tiba saja terbersit sesuatu di pikiran Renjun. Ia lalu menatap Jaemin lekat dan membuat Jaemin bertanya apa yang mengganggu benak Renjun sekarang.

“Aku baru saja kehilangan teman lama. Seseorang yang membuatku bisa berada di titik ini sekarang,” Renjun terdiam sebentar untuk memberikan jeda pada kalimat sebelumnya, sehingga Jaemin dapat memahami apa arti di baliknya. Renjun lalu menyambung lagi perkataannya, “aku tidak tahu aku kenapa, Jaemin. Tapi, aku ingin, kali ini saja, bisa menjadi orang yang egois. Aku nyaman berada di dekatmu dan ini membuatku takut. Aku takut jika suatu saat nanti kita akan jatuh pada seseorang dan takdir dengan secepat kilat memisahkan aku dan kamu. Jadi, bolehkan aku memohon? Agar di antara kita tidak ada yang jatuh hati kepada siapa pun?”

Renjun belum tahu bahwa Jaemin juga mengalami ketakutan yang sama. Rasa takut akan kehilangan sosok yang sudah membuatnya merasa bahagia dalam beberapa waktu belakangan. Kehadiran Renjun bahkan dapat membuat Jaemin merasakan keterikatan nyata bahwa sebenarnya ia juga tidak ingin berpisah dengan sosok di hadapannya sekarang.

“Aku sebenarnya menerka, sosok seperti apa yang nanti dapat membuat diri ini jatuh hati lagi, Renjun. Aku juga sempat kehilangan seseorang di masa lalu. Tetapi, kamu harus tahu, bahwa aku juga nyaman bersamamu—” kalimat Jaemin menggantung begitu saja dengan tatapan yang mengunci kedua mata Renjun.

Keduanya pun tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai akhirnya Jaemin bersuara kembali, “mari kita saling menahan diri.”

Setelah konversasi terakhir, Jaemin dan Renjun lebih sering disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Mereka mulai jarang menghabiskan waktu bersama di luar jam kerja. Hal tersebut dilakukan sebagai jalan terakhir untuk tidak saling jatuh cinta, karena mereka masih belum siap jika harus berpisah.

Namun, yang namanya hati memang tidak bisa dipungkiri, Renjun beberapa kali kedapatan menatap dalam sosok Jaemin saat redaktur muda itu sedang menjelaskan argumennya mengenai narasumber terbaru. Atau Jaemin yang hanya bisa memandang kosong ruangan Renjun selagi merindukan interaksi ketika mereka sedang bersama baik di dalam ataupun di luar jam kerja.

Ditambah dengan kebiasaan keduanya yang saling mengucapkan selamat malam sebagai sapaan penutup sebelum tidur, atau sebuah telepon singkat guna memberikan semangat untuk beraktivitas di pagi hari, yang kini sudah tidak mereka lakukan lagi demi menjaga kedua hati.

Jaemin tahu bahwa Renjun adalah orang terakhir yang pulang saat semua karyawan sudah selesai bekerja. Sampai suatu ketika, Jaemin mendengar obrolan tak sengaja dari rekannya bahwa raut muka atasannya tersebut sudah tidak secerah biasanya. Hal ini membuat Jaemin khawatir dengan segala praduga dan keinginan untuk bertanya bagaimana keadaan Renjun sebenarnya, sehingga ia sengaja untuk pulang lebih lama demi bisa mengamati Renjun dari dekat.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 malam, Renjun akhirnya keluar dari ruangannya dan mengurut dahinya sejenak sebelum mengunci pintu. Ia tidak menyadari bahwa Jaemin masih berada di kursinya.

“Renjun, kamu baik-baik saja?”

Pertanyaan dari Jaemin berhasil menegakkan kepala Renjun yang sedari tadi tertunduk karena lehernya sudah terasa berat akibat banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. “Kamu belum pulang?” tanya Renjun spontan.

“Belum. Aku memang sengaja menunggu kamu,” balas Jaemin jujur.

Tentu saja kalimat Jaemin barusan membuat Renjun bertanya-tanya dan sekaligus menciptakan rasa hangat yang mendadak di hatinya, “menunggu aku?”

Jaemin mengangguk yakin, “iya. Aku khawatir denganmu.” Ia pun tercekat oleh kalimatnya sendiri, sedangkan Renjun masih mengantisipasi apa yang sebenarnya Jaemin ingin katakan selanjutnya.

“Aku— juga merindukanmu,” ucap Jaemin dari lubuk hatinya yang terdalam.

Renjun menatap sendu ke kedua mata Jaemin. Pikirannya sekarang sedang sibuk beradu, apakah ia sebaiknya berterus terang dan ikut berkata demikian, atau ia tetap teguh saja pada pendirian. Setelah cukup lama Renjun mempertimbangkan, ia pun mengatakan sesuatu yang meruntuhkan pertahanannya selama beberapa hari ke belakang, “aku juga sangat rindu padamu, Jaemin.”

Mereka pun berjalan keluar untuk menunggu bis di halte. Sembari duduk, mereka berdua kembali saling tenggelam pada pikiran masing-masing. Apakah salah jika mereka ingin menikmati rasa yang perlahan mulai menguak di hati kala otak sudah penuh terisi atas satu sama lain? Apakah salah untuk memiliki ketertarikan dengan orang lain walaupun sosok itu belum tentu digariskan oleh takdir?

“Jaemin, aku tahu ini salahku. Di saat aku tidak ingin kita tersakiti di kemudian hari, tetapi kita malah tersakiti sekarang ini,” ucap Renjun memecah keheningan.

Jaemin yang semula hanya melihat kendaraan yang sibuk berlalu-lalang akhirnya memandang Renjun dan memusatkan fokusnya kepada sang atasan. “Terus kamu mau apa?” tanyanya.

“Aku takut jika aku mengucapkannya, aku dan kamu tidak akan lagi duduk berdua sekarang.”

Jaemin tersenyum. “Renjun, aku tahu rasanya saling suka. Saat dulu aku pikir bahwa ia adalah segalanya, sekarang aku malah dipertemukan dengan kamu,” Jaemin lalu terdiam sebentar sebelum melanjutkan, “aku lama-lama sedikit paham. Mungkin kita memang harus dihadapkan dengan berbagai macam orang sampai akhirnya disatukan dengan yang terbaik dan sudah ditakdirkan.”

Tangan Jaemin pun naik perlahan untuk mengelus pipi Renjun pelan, “dan untuk sekarang, orang terbaik itu masih kamu, Renjun.”

Renjun meraih tangan Jaemin yang berada di wajahnya untuk menggenggam tangan tersebut. Sembari Renjun menunduk untuk menatap tangan mereka yang bertautan, ia tidak sadar bahwa air matanya kini mulai berjatuhan. Renjun lalu melepas tangan tersebut untuk mengelap mukanya yang sudah basah dan tindakan tersebut malah membuat Jaemin waswas. Bahwa mungkin saja Jaemin terlalu memaksakan opininya pada laki-laki yang sudah berjuang agar mereka tidak dipisahkan.

Setelah Renjun merasa dirinya sudah cukup tenang, ia pun membalas tatapan Jaemin dalam-dalam, “kalau begitu ucapkan selamat tinggal pada satu sama lain, Jaemin. Aku jatuh cinta padamu.”

Renjun dengan cepat menarik Jaemin ke dalam dekapannya dan melabuhkan ciuman yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Sebuah ciuman kasar karena pemikiran Renjun yang kalut dan dipenuhi rasa takut bahwa waktu akan mengambil kedua jiwa yang sekarang bibirnya sedang saling memagut.

Sampai detik terus berjalan, mereka berdua masih tidak merasakan adanya perbedaan. Kedua bibir mereka masih saling mengecup, sedangkan kedua pasang tangan masih saling memeluk. Bising kendaraan pun masih saling mengadu selagi suasana halte bis masih belum berubah menjadi tempat yang baru.

“Sebentar. Aku perlu memproses ini,” ungkap Renjun selagi melirik pada gelangnya yang memijarkan warna.

“Na Jaemin. Biru 27. Kuning 23. Aku mencintaimu belahan jiwaku,” Jaemin menarik lagi Renjun ke dalam pelukan untuk menciumi bibir Renjun yang sekarang sudah memanjatkan senyuman.

Mereka dulu memang tidak ingin saling harap, karena berpikir bahwa takdir akan mematahkan kembali apa yang telah mereka lewati hanya dalam sekejap, meskipun kedua tubuh memaksa untuk saling dekap.

Mereka pikir kedekatan antar keduanya timbul dari rasa nyaman. Rasa yang mungkin tumbuh di diri Renjun yang baru saja kehilangan seorang teman, sebelum dihadapkan dengan Jaemin yang datang untuk menggantikan sosok yang sekarang ia sudah lupakan. Sedangkan, rasa nyaman di diri Jaemin yang mungkin muncul karena hatinya baru saja dihancurkan, sehingga kehadiran Renjun seperti ada untuk menyembuhkan.

Kemarin, keduanya masih belum sadar bahwa takdir sebenarnya sudah mempersiapkan mereka untuk dieratkan dan disatukan. Namun sekarang, kedua tangan kini sudah saling genggam, sembari kedua pasang mata saling menatap orang yang ia akan bersama-sama habiskan waktunya sampai di masa depan.

Renjun suka menunggu. Entah itu dalam riuh pikirannya, saat sunyi tinggal sendiri, atau bahkan ramainya dunia. Ia akan selalu menunggu dengan bahagia.

Sama halnya ketika ia menunggu kepastian dari Jaemin, sosok yang memberi janji sedari dini saat hati mungilnya masih belum memahami arti cinta sejati.

Renjun selalu setia. Saat Jaemin minta ia jaga hatinya dan akan kembali di waktu yang tepat kiranya.

Tapi semuanya sirna, saat Renjun sudah jatuhkan hatinya pada pemuda yang senang berkelana dan abai akan komitmennya.

Asanya hilang. Harapan yang ia bubuhkan dengan nyalang kini terhempas seperti debur ombak di lautan.

Jika manusia tak bisa menjaga hatinya, tak semestinya ia teguh memupuk cinta.

“Na Jaemin ternyata pacaran dengan mahasiswa fakultas sebelah. Mereka ketemu di program jajanan FEB.”

Maka gundahnya menjadi nyata. Jika menunggu adalah kegiatan yang dahulu sangat disenanginya, tak ayal semua akan berbalik rupa.

Harusnya gue ngga perlu menunggu lo, Jaemin. Kalau ternyata apa yang selama ini lo nyatakan hanya sebatas bualan belaka.

Flashback

“Gue suka sama lo, Renjun. Akan selalu suka, tapi saat ini gue belum bisa jadikan lo sebagai pacar. Tunggu gue sampai waktunya tiba ya.”