Hae: “Aku di depan rumah kamu” 16.30

Jen: “Jangan bercanda, diluar hujan” 16.30

....

“Aku keluar” 16.31

Air dari langit tersebut kian deras jatuh ke permukaan bumi. Mendukung suasana dramatis yang melingkup keadaan seorang Lee Donghyuck berdiri di depan pagar rumah Lee Jeno dapat lihat dari jendela kamarnya. Dengan tergesa, Jeno mencari payung di sekeliling rumah. Agak kesulitan karena harusnya jarang ada hujan pada bulan april, belum waktunya dia peduli pada benda tersebut. Berhasil mendapatkannya, pria berkulit pucat itu segera berlari ke depan rumahnya menyusul Donghyuck agar tidak tambah basah karena bodohnya pria yang lebih muda darinya itu tidak memakai pelindung apa-apa selain cardigan coklat panjangnya.

Jeno membuka payungnya menyampari pria yang menatapnya sendu dari poni lepeknya itu. Namun ketika sudah dekat, alih-alih langsung masuk ke dalam teduhan polyester, Donghyuck menjauhkan dirinya.

Jeno terbelalak, membuat raut wajah tanda tanya akan sikap Donghyuck, “Apa yang kamu lakukan? Cepat kesini!”

Donghyuck menggeleng lalu berteriak, “Ada yang mau aku tanyakan!”

“Ok, ayo kita ke dalam”

Tapi Donghyuck tidak bergeming, membuat Jeno terpaksa harus dia yang mendekatkan. Namun yang didapat Jeno malah tepikan keras di tangan kanannya, membuat payung di genggamannya terjatuh.

Kini Jeno merasakan sama dinginnya dengan Donghyuck, tapi masih dalam keadaan bingung yang melanda. Donghyuck memajukan diri ke arahnya, memotong sedikit jarak.

“Bagaimana.. Bagaimana caranya kamu melakukan itu?”

Jeno tidak bersuara namun ekspresi wajahnya tidak berubah, masih tidak mengerti apa yang dimaksud lawan bicara berkulit coklat di hadapannya itu.

“Gimana caranya, kamu, mencintai tanpa pamrih? Gimana caranya aku kaya kamu Jeno, gimana?”

Setelah mendengar pertanyaan yang sudah dilengkapi itu, Jeno menyadari air yang mengalir di muka Donghyuck bukanlah salah satu dari sekian anugerah alam semesta. Kristal tersebut berasal dari kelenjar lakrima pria mirip beruang itu. Pria yang dicintai Jeno.

Namun bukan lagi menangis, Donghyuck kini terisak penuh di dada Jeno, mengepalkan tangan bulatnya di samping kepala yang dia sandarkan. Jeno memegang pergelangan tangan itu, menurunkannya dan berkata pelan, “Aku jawab di dalam ya, kita masuk dulu. Kamu kedinginan”

Kulit yang dia pegang itu memang terasa beku, berbanding terbalik dengan aura Donghyuck yang biasa memancarkan kehangatan. Tapi Donghyuck sekarang bukanlah Donghyucknya yang seperti biasa. Bukanlah Lee Donghyuck yang melindungi orang yang dia sayang dengan perisai keceriaan, namun Lee Donghyuck yang butuh dilindungi sejenak dari perisainya itu. Maka dari itu, Jeno merangkulkan lengan kanannya ke pundak Donghyuck, mengambil payungnya yang tergeletak tanpa daya, dan mengarahkan badan mereka ke dalam rumahnya yang menawarkan kenyamanan mereka perlukan saat ini.

-

“Aku gak pernah bilang aku mencintai kamu tanpa pamrih” Kalimat pertama yang Jeno keluarkan sejak mereka sudah nyaman dengan pakaian kering dan segelas cangkir coklat panas di masing-masing tangan.

Donghyuck menolehkan kepalanya, meminta elaborasi lebih lanjut.

“Aku cuma menunggu Hyuck. menunggu takdir bawa kamu pulang”

Pemuda taurus itu menghela napas dan melanjutkan perkataannya,

“Aku gak berhenti mencintai kamu karena aku yakin semua wajah yang kamu lewati seperti mengganti handphone baru kamu itu cuma fase. Fase pembelajaran hidup kamu.

“Mereka ada karena suatu alasan. Alasan yang buat kamu sampai ada di titik ini, nanya sama aku gimana caranya agar mencintai tanpa pamrih. Lucu, karena bukan itu sebenarnya yang ingin kamu lakukan, kan?”

Donghyuck patah hati, dia jatuh pada orang yang salah untuk sekian kalinya. Membuat dia berpikir, apa yang salah dan apa yang kurang padanya. Berusaha menjadi seseorang yang dia bukan, mulai melelahkan.

Tapi hanya ada satu orang yang selalu setia berada di ujung jalan yang tidak pernah Donghyuck tapaki. Yang walaupun dia pergi memakai sepatu orang lain, orang itu akan tetap percaya pada langkahnya. Sampai sini, Donghyuck kembali menangis, tapi tidak seberlebihan dibawah hujan seperti sinema elektronik India tadi.

“Hey, jangan menangis lagi. Sini.” Jeno menarik pelan lengan Donghyuck, menaruh cangkir hangat yang digenggam itu ke telapak meja, dan memangku badan pria berkulit eksotis itu di atas pahanya.

Malu dipandangi kagum oleh Jeno padahal dalam keadaan yang paling buruknya, Donghyuck menutup wajahnya. Jeno hanya tersenyum tipis akibat tingkah pria dambaannya itu.

“Udah ya sedihnya?”

“Aku jelek ya kalau lagi nangis?”

Jeno tertawa pelan lalu menggelengkan kepalanya.

“Kamu mau bagaimana juga tetap cakep menurut aku”

Donghyuck memajukan bibirnya, sedang tidak bisa membalas gombalan yang seenaknya dilontarkan oleh pemuda dibawahnya. Merasa sudah enakkan, Donghyuck berani mengindahkan pandangan retinanya dari bawah pahanya ke wajah Jeno yang masih sibuk menyatukan ceceran konstelasi di sekitar pipi pria gemini itu.

“Jen, kalau pamrih kamu terbalas sekarang mau gak?”

Jeno mengerjapkan matanya lalu langsung mengeluarkan ciri khas senyumannya. Membuat Donghyuck bertindak implusif dengan memegang dua belah peach wajah Jeno dan menyatukan dua bibir ranum itu.

Dengan ciuman yang lembut, suara cipakan kecil, dan hisapan halus tanpa terburu seperti waktu hanya dimiliki dua pemuda itu, Donghyuck berusaha memberi tahu Jeno bahwa dia juga merasakan hal yang sama. Bahwa Donghyuck akhirnya berjalan di tempat yang sama, alur yang sama, dan tujuan yang sama.

Donghyuck akhirnya kembali ke rumah berbentuk seorang manusia yang terlalu baik untuknya, seorang Lee Jeno.