Jeno suka Donghyuck.

Jeno suka pria yang lebih muda 2 bulan darinya itu. Jeno suka caranya melucu dengan sengaja seperti tanpa disengaja. Jeno suka suara tawa yang dikeluarkannya saat sedang bercanda atau menggoda teman sebangkunya. Jeno suka dia yang seperti bersinar di antara temannya yang lain walaupun kulitnya sewarna sawo matang. Jeno suka Donghyuck yang membuat orang bahagia bahkan hanya karena dia bernapas.

Jeno suka Donghyuck, dan dia sangat menerima pernyataan itu tanpa elakan seperti peluru yang langsung menembus jantungnya tanpa memakai rompi anti-tembak.

Jeno sangat suka Donghyuck, sampai dia berada di posisi ini. Duduk menghadap tiga pasang mata tertuju heran melihat keberadaannya di bawah radar Donghyuck.

“Halo.” Sapa Jeno ke arah tiga teman yang diinfo Donghyuck sebelumnya adalah teman sepermainannya. Lampu peringatan di kepalanya bersinar terang berputar seperti cahaya mercusuar. Jeno mengabaikannya.

-

Pertemanan mereka tidaklah seburuk itu sebenarnya. Itu pun kalau hubungan mereka bisa disebut teman. Jeno merasa dia masih orang luar. Masih merasa satu dari sekian kemungkinan orang yang di ajak makan siang bersama oleh Donghyuck waktu itu. Kedua nya baru selesai menyelesaikan kelas bahasa asing mereka, berjalan berdampingan sampai akhirnya harus berpisah jalan karena Jeno akan menghabiskan waktu istirahat makan siangnya bersantai di sanggar panah ketika Donghyuck memulai ajakan dengan, “Kamu sendirian Jen? Mau makan bareng sama aku dan anak-anak gak?”

Jeno awalnya ragu, tapi apalah dia jika tidak mengambil kesempatan. Jeno menganggukan kepalanya, dan begitulah bagaimana dia menyapa tiga kepala dengan raut wajah serius menatap koran yang sepertinya usang dan lama (terdapat tahun bertulis angka 19 di depannya).

“Mereka pasti sibuk cari Benny & Mice.” Kata Donghyuck ke Jeno saat baru masuk ke kantin dan melihat ketiga sahabatnya itu. Jeno mengernyitkan dahinya tapi tetap mengikuti Donghyuck menelusuri bangku-bangku sampai di tempat teman-temannya bersemayam.

Setelah di sapa, ketiganya memiliki reaksi berbeda. Yang paling tinggi kurus berambut pirang hanya tersenyum tipis, Yang bibirnya paling lebar berambut coklat tua tersenyum besar dan melirik jahil ke arah Donghyuck, dan yang paling kecil berambut putih dicampur ungu (yang nantinya dikoreksi Renjun itu adalah warna lilac) duduk di antara si Tinggi Kurus dan Bibir Lebar, tersenyum miring ke arahnya.

“Duduk Jen, kamu mau apa? Sekalian aku pesenin.”

Satu, dua, tes. Otak Jeno kosong. Dia tidak yakin harus ditinggal sendiri bersama tiga orang asing yang bahkan belum diketahui namanya padahal sudah lima menit menyapa dan hanya disuguhi senyuman.

“Aku ikut aja deh.”

“Ekhem.” Tiba-tiba yang paling kecil berdeham keras disengaja.

“Duduk aja sini gak apa-apa, kita gak gigit kok. Eh kecuali Yangyang, kita gatau deh” Dan si Bibir Lebar yang sepertinya bernama Yangyang itu berdengus.

“Iya duduk aja, Jen.” Kata si Tinggi Kurus dengan nada menggoda. Seperti ada muslihat di balik nada kalimat ditarik yang dikeluarkannya.

Mungkin maksudnya mereka baik, Jeno tidak ambil pusing saat itu. Jeno akhirnya menurut untuk duduk dan memberikan titipan pesanannya ke Donghyuck.

Setelah ditinggal Donghyuck, interogasi dimulai. Inikah salah satu jalannya mendekati dambaan?

“Namanya siapa tadi, Jeno ya?” kata si Bib- eh Yangyang.

“Belum nyebut nama sih, tapi iya saya-eh aku Jeno.”

“Akrabin aja kali yak, kan nanti sering ketemu juga. Gue Renjun, ini Jaemin-” menunjuk si tinggi kurus. “Dan ini Yangyang” menunjuk si Bib- Yangyang. Jeno harus berhenti memberi julukan jika sudah tahu nama aslinya.

“Kita udah sering denger tentang lu, Jen. Dari Donghyuck” Jeno merasa aneh jika namanya ditekan seperti itu. Tapi dia membelakangi perasaannya dengan mementingkan fakta bahwa dia dibicarakan oleh sang pujaan hati ke para sahabatnya.

“Dan gw sih gak mau mempermanis suasana, tapi sebagai permulaan aja. Donghyuck tahu lu suka sama dia”

“Kita tahu lu suka sama dia” tambah Yangyang.

“Jadi tolong jangan main kucing-kucingan di depan gw ya”

“Semoga langgeng ya” Si Tinggi Kurus Jaemin mengangkat separuh tubuhnya dan menepuk pundak Jeno dari sebrang meja.

“Langgeng apanih?” Tanpa semuanya sadari, Donghyuck sudah membawa tampan berisi pesanan dia dan Jeno ke meja mereka.

“Hubungan lu ama Jeno” celetuk tanpa saringan dari mulut Yangyang. Kalau saja kedua tangan Donghyuck bebas, Jeno yakin dia akan menyiram kuah panas sop di mangkuknya itu ke muka Yangyang dari warna merah padam yang terpapar di wajahnya.

Tapi insecuritas itu kejam, dia menghalangi pikiran positif Jeno. Jeno menduga bahwa Donghyuck hanya malu jika diejek hal romantisisme. Kesimpulan yang di dapat Jeno siang itu : Teman-temannya Lee Donghyuck aneh. Dan dia tidak ada bedanya karena bergabung dan menikmati bercakap dengan empat sekawan tersebut.

-

Huang Renjun.

Mengingatkan Jeno pada si ‘cabai rawit’, kiasan yang terlalu sering digunakan bagi orang mungil yang selalu meledak-ledak atau lincah. Walaupun kalimat yang dikeluarkan dari mulutnya tidak jauh beda dengan Yangyang, tapi lebih berbobot dan juga lebih pedas. Tidak butuh waktu lama Jeno bersama dengan kegiatan 'Lingkaran Neraka' -sebutan Donghyuck yang iseng membuat kesal ketiga temannya itu- untuk tahu bahwa mereka berempat hanya punya satu otak dan itu semua dipegang oleh Renjun. Selalu tahu apa yang dia mau dan selalu penasaran dengan hal-hal yang dia tidak tahu.

Dengan kalimat fakta yang terkadang membuat orang gerah, Renjun sebenarnya ramah. Dia adalah orang yang mudah bergaul dan baik hati dengan orang yang baru dikenalnya, tapi kecuali Jeno. Karena di berikan kenyataan bahwa sang pujaan mengetahui perasaanmu tapi tidak melakukan apa-apa tentang hal itu di awal pertemuan mereka sama saja jahat kan?

Renjun dan Donghyuck mempunyai ikatan interaksi sosial yang kompleks. Mereka terlihat bermusuhan tapi tidak bisa lepas dari satu sama lain. Kalau Jeno tidak pernah melihat Renjun dengan lantang meneriakan Donghyuck bukanlah tipenya sambil menatap Jaemin, Jeno pastilah sudah cemburu.

Renjun adalah kesadaran mereka berempat. Dengan dia, mereka tidak perlu bertele-tele karena anaknya tidak sabar dan perlu kejujuran secepatnya agar semua masalah cepat selesai. Seperti saat secara tidak resmi dia merekrut Jeno ke lingkaran neraka di basecamp (baca: garasi Yangyang) genap dia satu bulan mengenal mereka.

“Hubungan rekanan kita itu terdiri dari 5% kepercayaan, 20% pengkhianatan, dan sisanya perjuangan agar pertemanan ini tidak kandas di tengah jalan” Kata Renjun khusus kepadanya dengan pensil tajam di tangan kanan, hasil dia meraut. Kenapa dia pegang pensil itu, Jeno tidak tahu.

“Jadi?” Kata Jeno tidak yakin mau di bawa kemana arah pembicaraan ini.

“Jadi begini-” “Jadi, selamat datang di klub, Jeno.” Teriak Donghyuck nyaring agar menaikan suasana yang tiba-tiba jatuh entah kenapa. Usaha tersebut tidak ada hasil. Aura Jeno masih dipenuhi kebingungan.

“Maksudnya, Jen. Kalau ada apa-apa jangan sungkan ya.” Jaemin menyelesaikan percakapan tidak ada artinya itu. Jeno masih tidak suka penekanan kalimat 'Jen' di suara Jaemin.

Besok malam nya , Jeno ikut ke pesta remaja yang diundang acara kakak tingkat kenalan Jaemin. Renjun langsung menobatkan dirinya sebagai 'pengemudi yang ditunjuk' walau sudah dipastikan Jaemin tidak akan minum karena alergi alkohol tapi Renjun tetap bersikeras, padahal dia tidak tahu apa-apa soal mengemudi. Uber andalannya.

Argumen tidak dilakukan karena semua tidak peduli dan Jaemin juga tanpa alkohol sudah bergaya seperti orang mabuk di setiap harinya.

Memasuki sepuluh menit ke dalam rumah yang digunakan untuk pesta tersebut, mereka berlima terpisah. Setengah jam kemudian, Jeno berhasil menemukan Donghyuck yang sedang menari di ruang tengah pesta hampir terhimpit badan kakak-kakak kelasnya. Bahkan di tengah kerumunan dengan cahaya terburuk, Jeno melihat Donghyuck masih yang paling benderang. Jeno yakin dia belum mabuk, dia hanya meminum segelas kecil booze ketika haus mencari Donghyuck ke segala penjuru ruangan. Tapi dua manik coklat yang bertemu dan provokasi melalui kerlingan jemari membuat dia sangat tidak sadar sudah berada di depan badan pria berkulit eksotis itu. Dan bukan salahnya bila akhirnya dia menyatu bersama Donghyuck di lantai kotor dan pilihan musik dengan suara bass hancur yang termainkan di speaker besar televisi keluarga.

Lelah berdansa atau menggerakan badan secara aneh ke segala arah, mereka memutuskan beristirahat ke salah satu sofa yang tidak diisi pasangan kelebihan hormon. Mendapati di salah satu sofa tersebut, adalah Renjun yang raut mukanya menjelaskan betapa membosankannya pesta remaja ini. Jeno yang merasa dirinya sendiri masih dalam keadaan lebih baik dibanding Donghyuck yang entah berapa banyak alkohol dikonsumsi dari caranya menggelayut mesra lengan Jeno, memutuskan mengajak Renjun keluar dari acara itu saja.

“Renjun.” Teriak Jeno di antara kebisingan musik. “Ayo keluar.” Teriaknya lagi. Jeno bersyukur kepada tuhan karena Renjun cepat membaca gerak bibir tanpa dia harus mengulangi kalimatnya.

Sampai di luar Renjun berusaha menghubungi Jaemin dan Yangyang untuk segera pulang bersama atau mengancam dengan kejam akan ditinggal saja jika mereka masih lama bersenang-senang.

Karena dirasa cukup lama menunggu dan lengan yang mulai kaku digelayuti seperti koala oleh Donghyuck, Jeno berkata “Udah tinggalin aja ya, gw sekalian mau nganter Donghyuck.”

“Dia kan satu kamar asrama sama gw.” Kata Renjun dengan muka datar.

“Oh.”

Jeno rasa dia juga sudah agak mabuk ditambah frustasi. Lelah menyambangi pucuk matanya. Dan sebelum Insting Introvert nya mulai menendang keras, Jeno bertanya kembali “Tapi ini tetap mau tungguin mereka?”

“Ya enggaklah.” Renjun lalu memperlihatkan layar benda pipih bentuk persegi itu ke muka Jeno. Jeno sedikit pening sehingga membutuhkan waktu menyempurnakan penglihatannya yang kabur untuk mengetahui di layar tersebut memunculkan navigasi arah uber yang dipesan oleh Renjun. Jeno mengangguk lega lalu memperbaiki postur tubuh Donghyuck agar tidak berpegang kepada lengan kirinya saja. Dia memeluk setengah badan Donghyuck sehingga yang lebih muda bersandar pada pundaknya dan agar badan Donghyuck juga terasa hangat karena angin tengah malam sudah mulai merayapi mereka. Jeno juga kasihan pada Renjun, menarik pundak mungil itu mendekat agar mereka bertiga bisa merasakan kehangatan bersama.

Keheningan menunggu uber terpecah ketika Renjun berbicara “Makasih ya, kalau gak ada lu gw biasanya bakal sendiri lebih lama kaya tadi sampai di ajakin orang gak jelas ngobrol.”

Jeno tidak tahu harus merespon apa karena jujur alkohol murahan itu efeknya sangatlah konyol sehingga dia malas berfikir dan menjawab dengan sentimen yang kurang .“Sama-sama”.

Renjun tertawa. “Wah, lu beneran mabuk ya Jeno.”

Donghyuck sepertinya sudah tertidur karena getaran tawa badan Renjun yang terbagi membuat dirinya menggerang kecil dan tambah menenggelamkan wajahnya di pundak Jeno. Dengan kesadaran yang mulai terkikis, Jeno tersenyum menikmati momen tersebut. Puas mencium aroma pria yang berada di mimpinya selama 4 bulan terakhir.

“Iya, gw mabuk.”

-

Na Jaemin.

Kontrasi dari julukan pertama yang diberikan Jeno, Jaemin tidaklah setinggi itu. Ukurannya sepantar dengan Jeno. Jaemin tidak memiliki suasana hati, tapi hanya tensi rendah dan tinggi yang semuanya di atur oleh Renjun.

“Jadi ice americano 2 yang satu two-shots, Renjun vanilla latte, Yangyang sama Hyuck choco mocca. Gw pesen ya.” Info Jeno memastikan pesanan teman-temannya itu dan mengangkat dirinya dari kursi di cafe langganan mahasiswa kampus mereka.

“Bentar, itu ice americano two-shots buat siapa? Jaemin ya?” Tahan Renjun sambil melirik Jaemin meminta konfirmasi pemuda yang sibuk mengetik sesuatu di ponsel nya. Tidak ada jawaban, Jeno yang mengangguk. Renjun menggaruk dagunya, berpikir. “Pesenan Jaemin ganti, apa aja asal jangan ada susunya”

“Kenapa?” Tanya Jeno penasaran.

“Gw lagi gak mood hyperaktif Jaemin.”

Kalaupun Jaemin tahu bahwa pesanannya di ganti, pria tersebut tidak ada perlawanan sehingga Jeno melenggang ke arah kasir tanpa berpikir dua kali.

Jaemin tidak pernah menunggu, karena dia adalah orang yang ditunggu alias jam nya seperti karet yang meleleh karena terlalu santainya dia menanggapi waktu. Bahkan ke acara pesta remaja minggu kemarin padahal yang mengundang adalah kenalannya tapi dia yang datang paling terakhir.

Jeno tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Jaemin. Selain tidak punya suasana hati, dia juga tidak begitu dekat dengan pria kelahiran agustus tersebut.

Tadinya.

Sampai kebetulan yang dibetulkan di resto seafood emperan jalan setiap hari minggu menjadi ritual pertemuan dua orang paling tinggi di 'Lingkaran Neraka'.

Dari yang awalnya,

“Eh makan disini juga?”

“Hai Jen. iya makan disini juga soalnya dekat sama rumah.”

Sampai akhirnya,

“Kapan bisa makan malam bareng lagi berdua sama Hyuck.”

“Ya ajaklah Jen, ngomong mulu tapi aksinya gak ada.”

“emang ngomong gampang orang lidah gak bertulang. Masalahnya dia sibuk terus sama organisasinya 2 bulan ini, liat puncak kepalanya saja gw gak bisa”

'Tring'

Bunyi pesan chat masuk disertai tampilan notifikasi “Pesan baru dari Jaemin” di halaman kunci ponsel Jeno membuat dia mengernyit heran ke Jaemin.

“Gw kirim gambar Hyuck pas masih kecil, buka deh” Kata Jaemin meletakan ponselnya dan mengambil sumpit melanjutkan makanannya.

Jeno langsung memasukan password ponselnya dan mengunduh dokumen gambar yang dikirim Jaemin. Pria pecandu kopi itu biasa mengirim gambar dengan format lampiran, agar kualitasnya tidak hancur. Setelah lima menit penuh menatap kegemasan berukuran 3.9 megabyte pixel tersebut, Jeno memajukan bibirnya.

“Gw jadi makin kangen.”

“Ya emang itu tujuannya gw kasih, biar lu makin tersiksa” Cengir pemuda Leo tersebut dengan mulut isi tongseng udang.

Jeno tidak tahu harus berterima kasih atas gambar baru untuk dimasukan ke folder “Hyuck(insert emoji hati)” di galerinya atau berencana pura-pura tidak sengaja mendorong meja mereka yang berisi penuh piring kotor ke arah Jaemin.

-

Liu Yangyang.

Jeno kadang hampir lupa keberadaan hidup Yangyang. Selain Hyuck, Yangyang adalah yang tersibuk diantara keempat rekan -mereka tidak mau dibilang teman apalagi sahabat- tersebut. Ada saja kegiatan mahasiswa, acara ulang tahun, pesta perayaan yang bahkan dia seharusnya tidak termasuk ke dalamnya tapi tetap dihadiri oleh sosoknya. Namun berbeda dengan Dongyuck yang masih rajin bertukar pesan pagi, siang, sore, dan malam dengan Jeno, dia tidak sedekat itu untuk mengabari hari-harinya ke Yangyang.

Sore itu dari semua sore di basecamp setelah 6 bulan Jeno bergabung dengan Lingkaran Neraka -Jeno sudah mempastikan untuk memanggil nama ini saja ke empat sekawan tersebut- Yangyang mengajak mereka menghadiri acara tanding lari di sanggar olahraga nya. Katanya olimpiade kecil-kecilan dari segala jenis cabang untuk merayakan ulang tahun sanggar ke sepuluh tahun itu.

Proposal verbal tersebut ditolak mentah oleh Renjun, “Gw lewat, gak suka olahraga.”

“Sorry bro, gw gak bisa ikut kali ini, waktunya bentrok sama premier film jepang kesukaan gw. Udah janjian sama yang lain.” Kata Jaemin dengan senyum minta maaf.

“Santai, lu gimana Hyuck?” Donghyuck yang ditanya, langsung mengalihkan perhatiannya dari ponsel Jeno yang menampilkan video lucu ketiga kucing peliharaan menggeleng pelan. “Maaf Nyang, gw ada acara sama keluarga nyokap kalo hari itu. Suruh undur aja lombanya biar gw bisa dateng.”

“Palelo undur-undur, siapa lu? Berasa presiden lu?” Kata Yangyang kesal-bercanda, sebelum melirik Jeno sebentar dan menghela nafasnya. “Yaudah gak apa-apa kalo gak ada yang mau dateng.”

“Gw bisa kok.” Entah apa yang merasuki Jeno saat itu. Tapi nada suara Yangyang tadi terasa sedih sekali walaupu raut mukanya tidak menunjukan hal tersebut, jadi Jeno membalas tatapan heran Yangyang untuk meyakinkan dirinya akan datang ke acara yang bahkan disana dia pasti tidak kenal siapapun. Sedangkan ketiga pasang mata lainnya saling bertukar pandang bingung. Lagi-lagi insting introvertnya berteriak, yang lagi dan lagipun Jeno abaikan.

Hari H pun tiba, pertanyaan-pertanyaan mulai hinggap berat di punggung Jeno ketika dia sampai di depan gerbang stadium. Kenapa dia disini? Apa yang membawa dia kesini? Siapa yang memaksa dia kesini padahal tidak ada yang mengajak? Mengapa dia harus kesini?

Tapi Jeno hanya menepuk dirinya sendiri dan menguatkan mentalnya karena dia kesini untuk Yangyang, salah satu 'rekan' terdekat Donghyuck, dambaan hatinya. Dan hasil tidak akan berbuah bila tidak ada usaha.

Iya, dia rasa dia masih berusaha harus mendekati teman-teman Donghyuck agar mendapatkan tempat yang aman di hati Donghyuck.

Jeno sempat kebingungan mencari bangku dengan jarak pandang enak untuk melihat para pelari yang akan bertanding. Yangyang sudah info dia masuk kegiatan berlari dan pacu kuda. Namun karena sempat cedera pinggang, Yangyang tidak meneruskan pacu kuda terlebih dahulu. Sehingga hari ini dia hanya berlomba Lari 5.000 meter putra tiga babak.

Setelah duduk dan menyamankan kakinya di bawah bangku depan, dia berhasil mendapatkan perhatian Yangyang. Walau agak jauh seperti semut, berkat bantuan kacamata minus yang dipakainya karena sedang tidak ingin memakai lensa kontak, Jeno tahu Yangyang menunjukan keterkejutan pada kehadiran Jeno.

Selesai mendapatkan medali emas dan acara sudah usai, Jeno mendapati dirinya di samper oleh Yangyang dengan napas yang terengah-engah karena berlari dari ujung tempat berlomba ke bagian Jeno berpijak itu lumayan jauh.

“Hey santai aja kali, gak usah lari” Kata Jeno sambil tertawa ketika dia yakin Yangyang sudah cukup dekat untuk mendengar ucapannya.

“Gw gak nyangka lu beneran datang Jen. Apa lu sama Hyuck? Tuh anak gak jadi ikut acara keluarga?” Kata Yangyang melihat sekitar Jeno berdiri mencari keberadaan temannya yang mirip pudu itu. Jeno menggeleng, “Gak, cuma gw.”

“Hah, serius? Gak sama Hyuck?” Teriak Yangyang karena beberapa gerombolan pesepakbola melewati mereka.

“Iya.” Ucap Jeno singkat dan padat.

“Oh gw kira lu gak akan datang kalau gak ada Donghyuck”

Jeno hanya mengedikan sebelah bahunya dan memberi buket bunga berisikan mawar, lilli, dan tulip ke Yangyang. “Tadi di luar ada yang jualan dan gw liat orang-orang pada ngasih sesuatu ke 'atlet' disini, jadi gw beli aja buat lu. Rame ya disini ternyata. Acaranya resmi gitu?”

“Lumayan, ada televisi nasional juga.” Info Yangyang sambil berterima kasih atas pemberian bunga dari Jeno.

“Lu suka olahraga?” Tanya Yangyang.

“Gw ikut panah. Tadi ada ya lombanya gw liat?”

“Oh ya, lu manah? Satu klub dong sama Jaemin?”

“Iya, tapi dia jarang dateng.”

“Ck, tipikal Jaemin. Eh tapi bukan karena dia males ya, cuma kalau telat dia suka bablas gitu anaknya” Jeno hanya tersenyum mengangguk.

“Karena lu anak panah gw kenalin sama kakak tingkat gw namanya Kun, dia ketua panah disini. Ayo ikut gw.”

Dan selanjutnya apapun kalimat yang dikeluarkan Yangyang tidak begitu di dengar Jeno ataupun teringat samar di kenangannya karena dia lebih fokus melihat kembang api yang tiba-tiba muncul di atas stadium terbuka itu.

-

Lee Donghyuck.

Jeno suka Donghyuck.

Pengingat jika kalian lupa dengan paragraf pembuka cerita ini.

Hampir setahun sudah dia bermain bersama Lingkaran Neraka, namun di saat yang sama juga Jeno rasa belum ada nama di atas hubungannya dengan Donghyuck.

Jeno bukanlah orang yang mementingkan validasi status, tapi dia sudah ada tujuan ingin bersama Donghyuck sampai akhir hayat.

Renjun sebenarnya sudah menenangkan dia bahwa gelagat mereka, dia dan Donghyuck tidak ada bedanya dengan pasangan suami yang sudah menikah 20 tahun. Tapi tetap lubang itu masih ada karena belum ada satu kalimat “aku menyukaimu” yang bertukar di antara mereka berdua.

Jaemin seperti menodong pisau di belakang kepalanya, memberi pilihan jika tidak mau diteruskan ya tinggalkan. Jika bukan dia yang mulai maka berhentilah. Daripada hanya merana tidak jelas kebingungan di setiap acara makan minggu malam mereka.

Yangyang cuma ada disini sebagai pemanis karena terlalu malas mendengar rundung kisah cinta Jeno. Atau terlalu sibuk, entahlah.

Seperti peramal, minggu ini firasat Jeno mulai tidak enak. Dari senin sampai kamis yang konsisten akan kesiangan, tanpa kabar dari Donghyuck, dan tugas yang dikerjakan malah beranak pinak, Jeno percaya bahwa dia membenci minggu ini. Dan tentu saja petaka sebagai klimaks cerita ini hadir.

Hari jumat di siang yang menyengat itu, Lingkaran Neraka tanpa Donghyuck melakukan ritual biasa mereka mencari komik Benny & Mice di koran Kompas lama. Yangyang yang sudah mulai bosan, lalu mengambil ponsel dan mulai menggulir sesuatu di layarnya.

Jaemin tanpa mengalihkan pandangan dari kertas tipis tersebut mengambil botol minum teh pucuknya di atas meja dan memberikannya pada Jeno, “Tolong bukain dong, Jen”. Jeno yang memang tidak ikut ritual tersebut dan masih menunggu kehadiran Donghyuck kebetulan duduk disamping kiri Jaemin, mengambil botol yang disuguhkan dan bersiap mengerahkan tenaga yang biasa orang lakukan jika membuka tutup botol yang baru dibeli. Tapi ancang-ancangnya sia-sia ketika dia dapat membuka tutup botol tersebut dengan mudah, seperti botol tersebut memang sudah dilepas segelnya dari awal oleh empunya.

“Ini udah kebuka Jaem.” Kata Jeno polos ke arah Jaemin yang tidak menatap balik. Tanpa dosa, Jaemin hanya mengambil botol yang sudah terbuka tutupnya itu dari tangan Jeno lalu mengucapkan, “Makasih ya Jen”

Jeno menghela napas, “Sama – sama” lalu meletakan tutup botol itu di permukaan meja dengan keras.

Tak lama, pucuk dicinta ulam pum tiba. Bunga cinta Jeno, Donghyuck akhirnya datang. Empat hari bagaikan jutaan purnama seperti kata Rangga pada Cintanya, membuat Jeno tidak bisa bila tidak menampakan senyum khasnya melihat calon kasihnya tersebut.

Tapi ada yang aneh dan perasaan tidak enak itu muncul kembali. Donghyuck tersenyum, namun bukan senyum yang Jeno damba. Bukan juga senyum itu di arahkan langsung ke arahnya. Tapi ke semua Lingkaran Neraka dan dia.

“Ada yang mau gw kasih tahu ke kalian.” pembuka kalimat yang Jeno mulai merasakan keresahannya.

“Gw punya pacar dong.” Cengir Donghyuck. Renjun, Jaemin, dan Yangyang menghentikan kegiatan mereka seketika itu juga.

“Jeno kan?” Bisik panggung Jaemin ke Renjun yang disebelahnya namun dapat di dengar oleh semua orang bahkan termasuk yang punya nama.

Kalaupun Donghyuck mendengar, dia tidak menghiraukan hal tersebut dan langsung menunjukan suatu gambar dari ponselnya. Tapi seperti apa gambar tersebut, Jeno tidak mau tahu. Sampai disini dia langsung tersadar dari keterkejutannya dan bangkit dari kursi. Berkata dengan kilat “Gw lupa ada urusan, nanti join lagi.” lalu beranjak ke arah mana saja asal tidak berada di dekat Lingkaran Neraka saat itu juga.

Renjun, Jaemin, dan Yangyang tahu dia tidak akan kembali.

Setelah kejadian tersebut, tiga minggu sudah Jeno berhasil menghindari empat teman barunya. Menenggelamkan dirinya dengan tugas-tugas dan malah belajar materi ujian akhir semester lebih awal. Jeno tidak bisa bohong, hatinya sakit. Tapi dia yakin nanti akan sembuh pada waktunya. Untuk sekarang menjauhi Lingkaran Neraka adalah keputusan yang tepat menurut dia. Sampai akhirnya rencana tersebut harus ditunda terlebih dahulu karena Renjun saat ini sudah berdiri di depan meja panjang perpustakaan tempat dia membaca. Renjun menatapnya tajam dan mengambil kursi untuk duduk di hadapannya. Jeno menggelengkan kepalanya dan kembali fokus pada ensiklopedia perhewanan di tangannya.

“Lu ngejauhin kita.” Kata Renjun dengan suara pelan karena sebenarnya ini bukanlah wilayah yang tepat untuk sebuah konfrotasi.

“Ya terus?” Kata Jeno yang masih tidak melihat lawan bicaranya itu. Membalik lembar halaman selanjutnya.

“Lu gak kangen sama kita? Gak kangen sama Donghyuck?” Renjun meringis masam mengucapkan pertanyaan terakhir.

Jeno menjawab ketus, “Ngapain gw ngangenin pacar orang.” Renjun menghela nafasnya, mengeluarkan ponsel dari sakunya untuk menghubungi seseorang.

“Jaem, lu kesini deh” ... “Gw gak bisa ngadepin sendirian begini” ... “Iya tapi gw orangnya gak sabaran” ... “Udah, lu kesini aja” ... “Yaudah gw gak jadi traktir xbux nih”

Tak lama setelah kalimat terakhir tersebut di lontarkan, keluar dua anggota Lingkaran Neraka lainnya muncul dari balik rak buku dekat meja mereka berada.

“Kalian daritadi di situ?” Jeno tidak terlihat impresif dengan tingkah mereka bertiga.

“Hai Jen, udah lama gak makan seafood bareng nih. Bapaknya nanyain lu ke gw masa.” Jaemin duduk mengambil sisi kanan Renjun yang otomotis membuat Yangyang duduk di sisi kiri.

“Jeno, kak Kun nyariin lu juga katanya uhmmm tertarik ama teknik manah yang lu bilang namanya uhmmm apasih gw gatau tapi gitulah mokoknya nyariin” Kata Yangyang mengeluarkan senyum canggung, Jeno menaikan setengah alisnya lalu memutar bola matanya.

“Kalian tuh pada ngapain sih?”

“Ngajak maen lah.”

“Kurang jelaskah kalau gw gak tertarik, Jaem?”

“Jen, lu tuh gak bisa begini terus.”

“Kenapa gw gak bisa Yang?”

“Ya lu gak bisa jauhin kita dengan alasan yang sama dengan lu jauhin Donghyuck. Emang kita salah apa?”

“Lu butuh alasan yang kuat, Renjun?”

Semua terdiam, jeda untuk badai yang akan datang. Jeno memulai suara dengan pelan karena dia ingat ini masih di perpustakaan.

“Kalian semua ngerti gak sih? Kalian sahabatnya Donghyuck-

“Rekan.” Sela Yangyang.

”-ya apalah itu namanya. Lu gak kasihan sama gw? Gak kasihan sama hati gw? Main sama kalian, sedangkan orang yang gw suka, bagian dari kalian juga, 'rekan' kalian itu, asik pacaran sama orang yang bukan gw. Mau ditaruh dimana muka gw?”

Renjun menyambar jawabannya, “Jen, lu tuh temen kita, rekan kita juga. Mau seberapa lama kita bertiga temenan ama Donghyuck bukan berarti kita nganggep apa yg dia lakuin tuh bener.” Renjun mengambil napasnya sejenak. “Donghyuck tuh bodoh. Orang bodoh yang lagi jatuh cinta.”

“Iya, jatuh cinta sama pacarnya.”

Renjun yang kesal hampir menggebrak meja dengan tangan mungilnya itu, “Tapi itu bukan pacar-” Jeno tidak dapat mendengar kalimat akhir dari Renjun karena yang paling kecil diantara mereka itu sibuk di bekap mulutnya oleh Yangyang.

“Jen, sorry ada hal yang gak bisa kita kasih tahu ke elu karena bukan posisi kita juga. Lu perlu ngobrol langsung sama Donghyuck” Kata Jaemin tenang, kontras dengan kedua teman yang sedang susah mengontrol emosi di sampingnya.

“Dia gak kelihatan mau ngobrol sama gw.” Jeno dengan akting cueknya itu mencoba kembali ingin fokus memahami info tentang perkawinan para badak, tapi tidak bisa.

“Lu ngecek hp lu gak sih? Ada kali mah harusnya ratusan misscall ama WA dari Donghyuck.”

“Gw blok nomernya.”

Emosi Renjun memuncak namun alih-alih berteriak dia menggengam kencang tangan Yangyang dan Jaemin di sisinya.

Dibawah kesakitan tersebut, Yangyang berusaha membujuk, “Jen bener deh lu perlu bicara, empat mata, yang serius ama Donghyuck. Kalo pun dia gak suka sama lu- AWW” Yangyang merasakan denyut kaki kanannya sehabis diinjak oleh Renjun lalu meneruskan omongannya kembali, “– maksud gw, semua masih bisa di selesaikan secara kekeluargaanlah intinya”

“Gak tertarik.” Ucap Jeno mengedikan bahunya.

“Ya tuhan Jen. Hal ini tuh gak bakal terjadi kalau lu mau nyatain duluan.” Kata Renjun frustasi.

“Oh jadi ini semua salah gw?” Jeno akhirnya mengangkat wajahnya melihat dengan jelas ketiga orang di depannya. “Ok, iya gw salah. Harusnya dari awal gw gak berharap apapun sama hubungan gak jelas antara gw sama Hyuck. Gw gak sepantas itu untuk dia. Tapi ketika semuanya berakhir, ini juga salah gw gitu? Iya, emang gw doang kali yang salah.”

Yang ditanya menunjukan keterkejutan atas penampakan muka Jeno yang merah dan air mata yang mengembang di bawah garis mata. Mereka tidak ada maksud untuk pembicaraan ini berujung pada krisis kepercayaan diri Jeno. Jeno menundukan kepalanya kembali dan mencengkram keras buku yang masih dia genggam.

“Mending kalian semua pergi daripada ganggu orang lain belajar. Disini perpustakaan.”

Renjun yang masih ingin mengucapkan sesuatu dicegah Jaemin, “Udah kita keluar aja, bener kata Jeno kita ganggu orang disini.” Lalu menarik lengan kurus Renjun ke arah pintu keluar.

“Maaf ya Jen.” Ucap Yangyang kecil sebelum menyusul teman-temannya.

Meninggalkan Jeno dan rencana menjauhi mereka untuk tetap berjalan.

-

Lee Jeno.

Pemuda itu berkulit pucat, mempunyai mata yang ikut tersenyum ketika dia bahagia, ditambah tawa yang menunjukan gigi taring kecil imutnya. Jeno, yang terkenal tapi tidak sadar bahwa dia dikagumi oleh segala kalangan. Jeno, kesayangan semua ibu-ibu dari mahasiswa dan mahasiswi di kampusnya. Lee Jeno, orang yang Lee Donghyuck sukai setahun belakangan ini.

Kini dia tidak ada di samping Donghyuck seperti biasa dan lelaki gemini tersebut menyesali perkataannya waktu itu.

Pikiran Donghyuck kembali berputar pada jumat siang sebulan lalu dan seminggu sebelumnya dari hari tersebut. Waktu itu keadaan sedang buruk untuk dirinya. Nilai kuis dadakan yang paling kecil di kelas dan gosip yang di dengar antara hubungan Jeno dengan kakak tingkatnya membuat dia melakukan tindakan implusif dengan mengakui foto pacar kakaknya di hadapan teman-temannya dan Jeno.

Niat Donghyuck tadinya hanya akan berkata bercanda di akhir kalau saja reaksi teman-temannya hanya mengumpati dia seperti biasa karena mereka juga tahu betapa kasmarannya Donghyuck dengan orang yang duduk di samping kiri Jaemin siang itu, bukan malah diam seratus abad berujung peninggalan Jeno dari meja mereka.

Setelah kepergian Jeno yang didapatinya hanyalah air muka tanda tanya dari ketiga temannya.

“Wow, ekspektasi gw ke lu tuh rendah Hyuck tapi ... wow.” Kata Renjun.

Jaemin hanya berucap “Wow.” juga karena tidak ada kata-kata yang bisa mengukapkan ketidakjelasan adegan yang barusan terjadi.

“Gw kira yang kaya begini cuma kejadian di FTV doang.” Tanggap Yangyang.

Donghyuck yang tahu apa yang mereka maksud membalas tanpa acuh, “Loh, emang gw salah? kan gw sama dia gak pacaran. Gw bebas ama siapa aja dong.”

“Gini nih nasi uduk dikasih nyawa, otak lu kaya semur tahu. Ya kan lu suka dia, dia suka lu, kalian tahu kalian sama-sama suka. bedanya apa coba kalo bukan pacaran?” Renjun menatap Donghyuck seakan-akan dia orang gila.

“Gak tahu. Dia gak pernah ngomong kalo kita pacaran.”

“Terus itu bener pacar lu? Bukannya itu Kak Taeil ya pacarnya Kak Johnny? Lu nyatut pacar abang lu sendiri?”

“Ya enggaklah. Niat gw tuh bercanda sama lihat reaksinya Jeno.”

“Ya udah tuh liat reaksinya Jeno. Terus gimana?” Donghyuck memutar bola matanya merespon pertanyaan Yangyang dan mencoba menghubungi Jeno dari ponselnya. Tapi yang di dapati hanya suara Veronica -operator telepon otomatis- bahwa nomer yang dihubunginya telah di alihkan. Dia mencoba whatsapp namun semua pesan yang terkirim hanya berceklis satu dan foto profil Jeno terpasang default. Akun Twitter Jeno juga tidak bisa dicari apalagi Instagram yang dia tidak punya sedari awal. Semuanya menyadarkan Donghyuck, bahwa dia telah mengacaukannya.

Kembali ke masa sekarang, Donghyuck menarik napasnya panjang dan berniat tidak mau mengeluarkannya,

“Keluarin gak napas lu, mau mati lu?” Kata Renjun dengan menodong sendok yang digunakannya untuk makan di depan hidung Donghyuck.

“Buat apa hidup bila napasku saja sudah dibawa dia yang telah pergi?” Balas Donghyuck berpura-pura menangis yang sebenarnya dia mau lakukan dengan nyata.

“Tai, gak usah dangdut lo.” Renjun kembali memakan nasi goreng yang barusan dia beli diluar lalu mengalihkan perhatiannya ke acara lawak televisi kecil di kamar asrama mereka yang sempit. Di kamar persegi 3 x 4 yang telah menjadi saksi bisu perjuangan Donghyuck dan Renjun dalam menghadapi rintangan perkuliahan, kini kamar tersebut juga melihat sendunya orang patah hati karena kesalahannya sendiri.

“Jun”

“Hm?”

“Terus gw harus gimana?” Tanya Donghyuck di atas kasurnya menatap langit-langit putih yang telah dinodai bercak bekas bocor saat hujan.

“Lu butuh pendapat gw sekarang? Waktu lu ngerjain Jeno sama kita-kita, lu gak butuh pendapat gw tuh.”

“Gw gak butuh pendapat, gw butuh bantuan.”

“Susah dicari sendiri.”

“Kok lu sinis si Jun. Ya gw tau gw salah, tapi gimana mau benerin kalo temen-temen gw pada begini.”

“Lagian, udah tahu temen-temen lu begini, malah ngide.”

Donghyuck menegak ludahnya, tidak mengeluarkan debatan lagi karena sedang tidak ingin. Yang dia ingin sekarang Jeno. Kerinduan ini sudah mencapai batasnya. Bukan satu hari atau dua hari, namun satu bulan setengah dia tidak dapat mencapai komunikasi dengan pria bermata bulan sabit itu.

Dia masih sering bertemu dengan Jeno di kelas yang mereka punya bersama, tapi antara Jeno yang sibuk mencatat penjelasan, datang paling akhir atau cepat mengangkat lengannya untuk bertanya pada dosen sehingga tidak menyisakan celah Donghyuck memberi penjelasan.

Pernah Donghyuck mencoba untuk duduk secara paksa disamping Jeno ketika dia datang lebih awal, tapi yang disampar malah membesarkan suara musik pada headphonenya dan baru melepaskan benda itu ketika pelajaran di mulai.

Di luar kelas lebih parah. Jeno menganggapnya seperti angin lalu ketika bertemu, itupun jika memang mereka bertemu. Kadang jika sudah melihat satu sama lain di koridor, Jeno putar balik ambil jalur lain. Di situ Donghyuck paham bahwa Jeno memang sengaja. Dan Donghyuck bertekad bahwa mereka tidak bisa selamanya begini. Dia tidak akan seperti kebanyakan fiksi penggemar untuk menyelesaikan kesalahpahaman dengan sangat lama. Dia akan menyelesaikan ini dengan cara Huang Renjun, Na Jaemin, dan Liu Yangyang jika otak mereka dijadikan satu dan ada kesalahan teknis di dalamnya. Jadi, Donghyuck melakukan ini.

Sore hari kamis setelah Jeno selesai pertemuan dengan organisasi panahnya seperti apa yang telah diketahui oleh Donghyuck tentang jadwal kegiatan Jeno, Donghyuck menjalankan rencananya. Donghyuck juga tahu arah mana yang akan diambil oleh Jeno untuk menuju ke parkiran kampus dimana motornya bersemedi.

Sesuai dugaan yang tepat, Donghyuck berhasil melihat batang hidung Jeno yang muncul di pinggir lapangan kampus. Donghyuck tidak menyia-nyiakan kesempatan itu lalu berdiri dari tempat persembunyiannya dan berlari lurus ke arah Jeno.

“Lee Jeno!” Teriak Donghyuck seperti penggemar yang bertemu idolanya.

“Lee Jeno, kita butuh bicara!”

Jeno sudah dipastikan terkejut dengan kehadiran orang yang ingin dilupakan oleh hatinya secara tiba-tiba itu dari lawan arahnya berjalan, lalu secara cepat menavigasikan langkahnya melintasi lapangan yang diisi oleh beberapa orang yang sedang bermain basket. Tapi Donghyuck telah sampai di titik terendah dirinya, tidak berpikir panjang untuk mengikuti Jeno dan merebut paksa bola basket dari orang yang mau melemparkannya ke ring.

Tidak berapa lama kemudian, suara keras dari benda memantul yang bertabrakan dengan kepala itu terdengar.

Semua orang yang berada di sekitar peristiwa tercengang dan Donghyuck sang tersangka, juga tidak kalah kaget. Namun sebelum Donghyuck sadar dengan apa yang barusan dia lakukan, Jeno merasakan dirinya ringan seperti terbang dan pingsan tersungkur di tengah lapangan.

-

”.. ya gw gatau kalau jadinya bakal begini.”

“Ya siapa yang bakal tau sih lu bakal bikin anak orang gagar otak.”

“Terus gimana, Jun?”

Keributan itu menjadi hal pertama yang menyapa Jeno setelah dia sadar. Kepalanya masih terasa berat disusul denyutan benjol dari belakang kepalanya. Tapi karena hafal dengan suara cicit sedih hasil di omeli temannya itu Jeno mengeluarkan suaranya.

“Hyuck?”

“Jenooo” Teriak Donghyuck bahagia melihat objek afeksi nya itu telah siuman dan berusaha membangunkan setengah badannya dari kasur.

“Eh, jangan cepet-cepet bangunnya, pasti lu masih pusing” Donghyuck memegang lengan Jeno dan membuat topangan di belakang punggung Jeno menggunakan tangan kirinya.

Ya siapa yang tidak akan pusing, jika diberikan lemparan bola basket seberat 600 gram dengan kecepatan 40 m/s tepat pada lapisan pelindung otaknya tersebut. Jeno beruntung dia hanya merasakan sakit kepala.

Jeno masih meringis ketika duduknya sudah dalam posisi benar membuat Donghyuck menatapnya dengan kasihan dan rasa bersalah yang tambah banyak. Setelah itu mereka berdua terdiam, tidak tahu siapa yang harus memulai pembicaraan duluan.

Di dalam kesunyian itu, Renjun membersihkan tenggorokannya memberi tanda bahwa dia akan keluar ruangan meninggalkan mereka berdua untuk mempunyai waktu penyadaran yang mereka butuhkan.

Setelah terdengar pintu UKK ditutup, Donghyuck akhirnya mengeluarkan suara,

“Aku minta maaf” Donghyuck menunduk malu di samping kasur yang Jeno tempati. Lebih tertarik melihat semut hitam yang berlari melewati pinggir besi kasur. Yang dimintai pengampunannya hanya menatap lurus ke depan. Tapi Jeno tahu dia juga tidak bisa menghindar terus, sekarang atau nanti dia pasti harus mengalami adegan ini, jadi dia mau tidak mau harus memberi respon untuk pembicaraan dua arah ini.

“Untuk memberi aku harapan atau ngelempar bola ke ke kepala aku?”

“SEMUA, tapi aku gak niat ngasih kamu harapan palsu kok. Aku juga suka sama kamu.” Kata Donghyuck mengeluarkan jurus mata rusa betinanya. Walaupun Jeno masih belum menatap balik wajah dia.

Seharusnya mendengar hal tersebut membuat Jeno merasa bahagia, senang dan mabuk kepayang seperti apa yang dia bayangkan selama masa pendekatan dengan Donghyuck. Tapi yang dia rasa sekarang adalah cenutan nyeri di atas kepala dan apakah ada cairan yang dikeluarkan dari hidungnya karena dia merasakan basah di atas piltrum bibir?

“Jeno kamu mimisan”, seru Donghyuck bergerak mengambil tisu di atas lemari besi disamping kasur lalu mengelap hidung Jeno sambil mengangkat wajahnya agar mendongak ke atas. Tanpa sadar sebagian badan Donghyuck sudah menjulang di atas Jeno. Wajah mereka berdekatan karena Donghyuck yang harus melihat jeli apa darah mimisan tersebut tersebar kemana-mana. Menurut Donghyuck pribadi sangat disayangkan bila wajah tampan Jeno terusak oleh pemandangan yang tidak enak.

Jeno yang sudah sadar akan jarak yang pendek di antara mereka memundurkan kepalanya sedikit agar terbebas dari genggam tangan Donghyuck di kedua sisi wajahnya. Tapi alih-alih melepas, Donghyuck malah makin mencengkram pipi Jeno agar tetap menatap mukanya.

“Hyuck, sakit.”

“Maaf, soalnya kamu menjauh terus” Bisik Haechan seakan-akan takut bila berbicara keras Jeno akan menghilang. Jeno ingin sekali menghela napasnya, tapi dia tahan karena bila dia lepas dan menghirup udara kembali lalu mencium aroma orang yang ada dihadapannya ini membuat Jeno tidak bisa bila tidak harus memeluknya sekarang.

“Kalau kamu suka aku, gimana sama pacar kamu?”

Pertanyaan tersebut berhasil membuat Donghyuck yang menjauhkan dirinya dari Jeno tapi tetap menaruh bokongnya di atas kasur. Donghyuck melihat Jeno dengan tatapan anak kecil yang balonnya habis di rebut. Membuat Jeno menatap balik bingung ke Donghyuck.

“Yang itu bukan pacar aku. Aku bohong karena ada hal yang bikin aku kesel. Sebenarnya aku juga mau jelasin sesuatu tapi kamu jangan ketawa, tolong?”

Jeno memiringkan kepalanya sedikit memberi tanda dia mendengarkan dan Donghyuck bisa melanjutkan bicaranya.

“Kaya yang tadi aku bilang, aku suka kamu dan kamu 'kayaknya' juga suka sama aku-

“Gak kayak, emang bener suka.”

”-iya kan aku ceritanya gak tahu bener apa enggak. Soalnya kamu setiap ditanya ibu kantin atau terakhir sama bapak-bapak di babershop kita potong rambut bareng bilangnya aku belum jadi pacar kamu-

“Ya emang belum?”

”-nah makanya kalau belum kok kita gak jadi-jadi?” Cemberut Donghyuck.

“Terus pas acara kamu disewa jadi MC di pensi kemarin sama kakak cewe rambut pendek cantik itu, hampir semua orang pasangin kamu sama dia. Jadi aku bohong soal aku punya pacar. Niat aku bercanda terus mau lihat reaksi kamu juga biar gak cuma aku aja yang panas denger celotehan orang-orang.”

Jeno mulai mengerti kemana asal muara Donghyuck melakukan itu. Cemburu. Satu kata namun dapat memberi efek benjolan besar di kepalanya. Jeno tersenyum kecil lalu memegang pipi tembam Donghyuck di telapak tangan kanannya.

“Kenapa kamu gak bilang duluan sama aku kalau kita harus jadian?” Dalam hati, Jeno merasa munafik.

“Iya ya kenapa aku gak bilang duluan?” Gengsi. Jawab Donghyuck di dalam pikirannya.

“Kalau gitu aku juga minta maaf. Kata Renjun ini semua gak akan terjadi kalau aku juga harusnya maju duluan biar kamu gak diambil orang.” Lalu mencoba mendekatkan badannya namun ditahan oleh Donghyuck.

“Eh gak usah gerak-gerak. Kepala kamu emang udah gak sakit?”

“Masih. Cuma aku mau cium kamu.”

Donghyuck membelalakan matanya sebelum menenangkan diri dan berkata “Kamu belum nembak aku, Lee Jeno!” Senyumnya usil dengan pipi yang hangat dibawah usapan Jeno.

“Lee Donghyuck, Matahari ku, Bunga Cintaku, yang aku usahakan menjadi jodoh akhirku, mau gak nikah sama aku?”

Bukannya jawaban positif yang di dapat malah tamparan pelan pada pipi Jeno. Tapi tidak ada kesan kasar didalamnya.

“Serius ih”

“Ini lagi serius, gembul. Mau gak nikah sama aku?”

“Dikasih makan apa aku nanti?”

“Rumput.” Cengir polos Jeno yang kembali mendapat tepukan halus dari Donghyuck.

“Kelamaan nih, Lee Jeno kamu mau gak jadi pacar aku!”

“Itu belakangnya tanda seru ya bukan tanda tanya?” Untuk seseorang yang meminta tangannya untuk dinikahkan barusan, Jeno punya nyali yang tinggi bermain api seperti ini. Donghyuck pantas mendapatkannya.

“Yaudah, gak usah jadian aja kita. Aku nikah ama yang lain aja.” Lengos Donghyuck. Dua orang bisa bermain dalam pertandingan ini.

“Yakin bisa?” Tiba-tiba Donghyuck merasakan hembusan napas di pipinya dan mendapati wajah Jeno sedekat garis tali akhirat saat kiamat nanti. Jika saja Donghyuck hanya bergerak maju sedikit.

Tapi Jeno melihat dia dengan tatapan mengintimidasi, “Aku bilang, yakin bisa?” Pertanyaan itu dikeluarkan dengan suara berat yang selama ini Donghyuck tidak tahu bila Jeno punya.

Pertahanan Donghyuck runtuh, menjawab pertanyaan Jeno dengan memotong jarak antara wajahnya dengan pria kelahiran april tersebut. Tidak ada kembang api atau kupu-kupu terbang seperti apa yang diceritakan oleh para gadis remaja dan pasangan di film-film barat yang sering dibaca atau ditontonnya, namun Donghyuck yakin bahwa ciuman Jeno adalah yang termanis dari segala kue cemilan yang pernah dirasakan oleh Donghyuck.

Tempelan yang berubah menjadi lumatan pelan dan hisapan-hisapan kecil tersebut dihentikan sejenak sebelum Donghyuck mengambil napasnya dan berkata, “Iya aku mau. Aku mau nikah sama kamu”

Jeno tertawa lepas mendengar ucapan Donghyuck.

“Sebanyak suka aku ke kamu tapi bener kata kamu tadi, aku mau ngasih makan apa ke kamu nanti? Kita pacaran dulu aja ya, kamu makannya banyak.”

“Putus aja yuk.” Jeno menyungingkan bibirnya dan kembali mencoba menyatukan wajah mereka namun tercegah karena suara ketukan keras Renjun di ambang pintu disusul dua kepala yang menyembul di belakang.

“Kalau mau mesum diterusin di tempat Jeno aja, fasilitas umum nih.”

“Sirik tanda tak mampu.” Donghyuck menjulurkan lidah ke arah Renjun yang hanya membalas dengan kepalan tangan ingin dilempar. Renjun, Jaemin, dan Yangyang akhirnya masuk ke UKK yang agak lebar itu lalu memeriksa kepala Jeno dengan seksama.

“Masih inget gw kan ya Jen?” Kata Jaemin.

“Ini berapa Jen? Kalau salah berarti lu jadian ama Hyuck dalam keadaan terpaksa” Kata Yangyang menunjukan angka dua dengan jari telunjuk dan tengahnya.

“Sialan, emang gw apain bisa jadi aljajeimer”

“Alzheimer, tolol.” Kata Renjun mendorong kecil kepala Donghyuck.

Dalam diam, Jeno memperhatikan keempat temannya tersebut.

Dengan status barunya bersama Donghyuck, Jeno tahu dia harus terbiasa untuk waktu yang lebih lama dengan mereka.

Dan dia rasa saat ini sudah sangat terbiasa karena bagaimanapun dia termasuk anggota Lingkaran Neraka juga.

Seperti menyukai Donghyuck, pernyataan diatas dia juga terima tanpa elakan seperti peluru yang langsung menembus jantungnya tanpa memakai rompi anti-tembak.

Kecuali memang dari awal dia tidak berniat memakai rompi tersebut.

End.