kaptenchan

isinya cuma hal halu.

Upside Down : Blurb

Menghindari sebuah perjodohan merupakan hal yang saat ini Sagi lakukan. Dengan bermodalkan nekat serta bantuan sahabatnya, dia pergi meninggalkan kota asalnya menuju kota B yang memiliki suasana berbeda dengan kota asalnya.

Hamparan sawah dan hijaunya pepohonan menjadi pemandangan setiap paginya. Kicauan burung menggantikan omelan orangtuanya untuk menemui sosok calon suaminya yang entah siapa tidak ia kenal. Semua nampak begitu sempurna dan sesuai rencana sampai sebuah bencana datang di kehidupannya.

Mesin EDC yang menerima semua kartunya bertuliskan declined alias ditolak. Orangtuanya membekukan semua akses keuangan miliknya, menyisakan uang tunai dua juta rupiah di dompetnya yang tentu tidak cukup untuk membayar biaya penginapan mahalnya.

Dan tibalah di kehidupan sengsara lainnya, karena demi membayar semua utangnya, Sagi bekerja di resort mewah itu dan mempertemukannya dengan Brian—bos ganteng yang membuat hatinya selalu berdebar.

c o m i n g s o o n.

Upside Down : Bab 1

KOTA B jelas begitu berbeda dengan kota asalnya. Sepanjang jalan dari stasiun menuju hotel—rekomendasi sahabatnya—terpampang hijaunya sawah yang ditanami padi dan birunya langut yang tidak terkena polusi.

Sagi jelas menyukainya.

Setelah setengah tahun kembali ke negara ini, dia akhirnya bisa menjauh dari suasana bising kota A sekaligus ceramah orangtuanya yang membuat telinganya berdengung kesakitan. Bukan hanya telinga, melainkan kepalanya yang juga sakit atas pembahasan orangtuanya yang tidak jauh-jauh dari :

  1. Pernikahan
  2. Calon Suami
  3. Perjodohan
  4. Suami

Sagi sudah pusing dengan semua itu dan dia juga tidak berminat sama sekali untuk menikah dalam waktu dekat. Lagi pula, jika harus menikah dia mau suaminya adalah seseorang yang dia cintai. Bukan calon yang diberikan oleh orangtuanya karena pernikahan bisnis.

Setibanya di hotel yang memiliki suasana begitu menakjubkan, Sagi segera menuju meja respsionis dan memilih kamar dengan tipe deluxe yang harga per malamnya membuat orang awam menjerit. Tetapi bagi pelanggan sekelas Sagi, putri dari pemilik stasiun televisi, harga tersebut merupakan harga yang wajar untuk sebuah kenyamanan dan kemewahan selama dia tinggal di sana.

Setelah mengurusi segala hal yang berbau dengan kamar, akhirnya dia tiba di kamar pribadinya. Kamar yang cukup luas dengan kolam renang sekaligus dapur dan ruang makan. Jangan lupakan fasilitas spa dengan butiran diamond yang membuat Sagi sudah ngiler hanya dengan membayangkannya.

Menjatuhkan badannya ke ranjang, Sagi memejamkan matanya. Menikmati hari pertamanya di kota B dengan tidur tenang tanpa ocehan maminya serta segala hal yang membuatnya pusing.

. . .

Malam hari pun tiba.

Sagi mengganti pakainnya dengan pakaian yang lebih tebal dan berjalan keluar dari kamarnya setelah berendam dengan air hangat dan menikmati alunan musik yang mampu membuat otot tegangnya menjadi rileks. Dengan rambut yang ia biarkan terurai, Sagi berjalan menuju resto yang berada di bagian timur hotel.

Hotel ini memang memiliki dua resto. Satu di bagian timur dan satu lagi di bagian barat. Kedua resto ini mengusung tema yang berbeda dimana pada resto bagian barat menyajikan menu barat sedangkan pada resto bagian timur menyajikan makanan lokal dari seluruh nusantara dimana setiap hari dalam seminggu akan memiliki menu yang berbeda.

Dan menyesuaikan moodnya malam ini, Sagi ingin makan masakan lokal. Dia bosan dengan makanan barat yang hampir 5 tahun ia nikmati karena masa studinya di luar negeri. Sepanjang jalan setapak yang dia lewati, pemandangan sekitar hotel benar-benar membuatnya takjub. Hotel ini memiliki rancangan dengan kombinasi gaya bangunan khas nusantara dan eropa. Meski kedua gaya itu tampak sangat kontras, tetapi arsitek yang mengambil projek untuk membangun hotel ini berhasil membuat keduanya menyatu.

“Maaf,” kata Sagi saat tak sengaja menabrak seseorang yang berdiri di hadapannya.

Ketika orang itu berbalik secara perlahan bak sebuah slow motion, Sagi tak bisa berbohong bahwa itu momen terepik sepanjang ia hidup. Bagaimana bisa ada makhluk setampan ini di sebuah kota yang terhitung pelosok?

Sosok itu menatap Sagi dengan datar sekaligus merasa terganggu karena orang asing yang tiba-tiba menabrak badannya.

“Lain kali kalau jalan dilihat yang bener, Mbak!”

Oke, Sagi memang salah karena terlau menikmati pemandangan sepanjang jalan menuju resto hingga tidak sadar menabrak pria asing itu. Tetapi, bukankah respon pria dengan postur tubuh jangkung itu bisa dibilang cukup berlebihan?

Sagi yang tidak ingin merusak moodnya memilih untuk mengabaikan perkataan pria itu debgan berjalan melewatinya serta wajah angkuh yang membuat pria itu mendengus sebal.

Melanjutkan perjalanannya, Sagi akhirnya tiba di Resto Batara—nama resto timur dari hotel ini—dan langsung memilih tempat duduk sembari menunggu pegawai resto datang menghampirinya.

Memesan menu yang cukup berat di malam hari menjadi pilihan Sagi hari ini. Sembari menunggu pesanannya, dia memilih untuk melamun. Bukan karena ia banyak pikiran, tetapi melamun memang sungguh menyenangkan di saat seperti ini.

Setelah pesanannya datang, Sagi menikmati setiap suap nasi dengan senang. Rasa yang disajikan oleh resto ini cukup memuaskan lidahnya hingga membuatnya ingin mencoba menu lainnya.

“Permisi?”

Suara itu terdengar di telinganya. Sejurus kemudian, dia mendogakkan kepalanya. Sebuah senyum manis terbit dari bibir pria itu sebagai sebuah sapaan yang membuat Sagi benar-benar terpana.

“Ya?”

Sagi menjawab setelah menghilangkan rasa terpukaunya pada sosok rupawan yang berdiri di hadapannya.

“Boleh mengganggu waktunya sebentar?” tanya pria itu yang membuat Sagi mengernyitkan alis heran. Tetapi dia memilih untuk diam, tidak mengajukan pertanyaan melainkan menunggu kelanjutan ucapan pria tadi.

“Perkenalkan saya Brian, salah satu pengelola hotel Taman Sari Djiwa, ingin meminta waktu anda sebentar untuk menjadi responden mengenai kualitas dan pelayanan Resto Batara?”

Sagi menatap sosok di hadapannya dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. Dia ragu, ada angin apa tiba-tiba seseorang datang dan memintanya menjadi responden?

Dia kembali meneliti penampilan Brian. Melihat dengan seksama pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala untuk emmastikan bahwa apa yang diucapkan pria itu bukan sebuah prank. Merasa yakin bahwa penampilan pria itu tidak mungkin menipunya, Sagi menganggukkan kepala sebagai tanda setuju untuk menjadi salah satu responden bulanan kualitas dan pelayanan Resto Batara.

Sesi tanya-jawab itu berlangsung dengan tenang. Sagi mengisi kuisioner itu dengan senang hati sampai tahap terakhir.

“Terima kasih untuk waktunya Nona Sagi,” ucap pria itu dengan ramah.

Sagi yang merasakan jantungnya berdebar dan gerogi itu hanya mengangguk, kemudian dengan berani dia berkata, “Pak Brian, saya boleh minta kartu namanya?”

Sagi ragu pria itu akan memberikannya dilihat dari ekspresinya yang terlihat enggan. Wajahnya sudah terlihat kuyu dan tak bersemangat. Namun, tak perlu waktu lama, senyumnya terbit secerah matahari jam dua belas siang kala Brian menganggukkan kepalanya, mengulurkan sepucuk kertas berbentuk persegi panjang yang merupakan kartu nama idaman Sagi.

Dan ketika Brian sudah berpamitan untuk pergi. Wajah Sagi yang sumringah tadi seketika berubah masam saat melihat nama yang tertera di kartu itu.

Batara Resto Taman Sari Djiwa Hotel +62X-XXX-XX

Ini bukan kartu yang dia inginkan! Dia ingin kartu nama Brian bukan katering restoran ini!