warnings : implied content, praise kink, degradation kink, humiliated kink, weird kink, profanities.

siklusnya selalu sama. mereka mulai mirip serdak pada kain baju dan kecup kupu-kupu, lalu diakhiri raung tangis pilu paling candu.
“bagus. iya begitu. anak baik. pinter. anak pinter.”
“kak heeseung, ah—kakh!”
“jangan panggil kak, sayang.”
nafas sunghoon hangat di leher heeseung saat ia bertanya dengan terengah-engah. “kenapa?”
“kalo kamu manggilnya pakai suara cabul begitu akunya bisa gila.”
cekikikan. “kinky.”
heeseung mengangguk menyetujui. “i have so many kinks sejak sama kamu. aku gak mau nambah lagi, gila.”
“it's because of me.” cegukan.
“those things yang kamu sebut kinks itu, it's because of the object is me.”
ingatan heeseung jadi mengembara dihari yang mana obrolan dengan jay jadi melenceng kemana-mana. tadinya cuma ngomongin sambal pecel dekat kos gak seenak biasanya karena yang meracik bukan ibu-ibu bersenyum hangat yang biasa melainkan anak muda asing seumur mahasiswa, jadi percakapan amoril berisi “gue biasanya suka pengen kalo jake gigitin bibir sama main lidah. heran, itu bocah ada fiksasi oral apa gimana.” kata jay, heeseung cuma meringis.
“kalo lo pas sunghoon ngapain, bang?” kan. sudah bisa heeseung tebak kemana ini mengarah. tapi ujung-ujungnya dia jawab dengan nada paling sungguh-sungguh yang pernah jay dengar. “sunghoon ya pemicu itu sendiri. dia cuma duduk ngomong pake suara lucu, matanya hilang waktu senyum, gue udah pengen gigit.”
jay mendesis. “kanibalisme.”
heeseung menggeleng pelan menyingkirkan jay dan tatap jijiknya dari kepala.
“kamu bukan objek, sayang.” jempolnya mengelus tulang selangka sunghoon yang bercak rona ungu. hasil perbuatannya.
“you're a love.” lanjutnya
“you're a love too.”
“we're love.”
“ya, cinta yang lagi buat cinta.”
“makanya,” ringisan menyela ucapan sunghoon saat ia merasa seperti tubuhnya melompat-lompat kecil diatas pangkuan heeseung.
“makanya, buat cintanya ini bisa di cepetin gak pak. kamu lama banget geraknya dasar laki-laki terhormat.”
“i'm being gentle. gak mau nyakitin kamu.” diciuminya leher yang lebih muda.
“kamu gak nyakitin aku. kasar sesekali gak apa-apa.” tangannya bergerak meremas surai hitam yang sedari tadi sudah menyangkut di jemarinya.
“kan konteks nya sama-sama nyenengin.”
“kamu tau gak, sih,” nafas sunghoon gemetar saat ia rasakan heeseung mengenai tepat batas warasnya dengan mantap. kuku-kukunya yang runcing tenggelam di bahu heeseung. ya, disitu. tepat.
mengerti, heeseung buat dirinya konstan menumbuk tempat itu lagi, lagi dan lagi. sunghoon menjerit, matanya berembun. ya ampun.
sunghoon berkedip, air matanya jatuh lalu melanjutkan dengan susah payah, “dipuji terus-terusan sama kamu emang enak. disini kayak ada yang bikin geli.” tangannya mendarat diatas perutnya. niatnya ingin sekedar memberi tahu, tapi ia malah merasakan heeseung didalam tubuhnya. ia merona.
heeseung tertawa kecil. salah satu tangannya meninggalkan pinggul sunghoon, berpindah menuju tangan cinta-nya yang masih diatas perut. matanya tak lepas dari manik kenari coklat saat ia menekannya lebih keras, giginya menggertak. membuat mereka sama-sama merasakan diri mereka yang menjadi satu.
sunghoon mengerang kencang.
“brengsek heeseung!” gerutuan tak jelas keluar dari mulutnya dan heeseung cuma terkikik.
sunghoon mengontrol nafasnya untuk melanjutkan, “still. dipuji emang enak, tapi kalo dikatain juga sama enaknya.”
heeseung membuka mulutnya hendak membalas, tapi sunghoon buru-buru memotong. “bukan enak, sih. lebih ke—apa ya—aneh, tapi aneh yang bikin seneng. yang bikin semangat.”
“kalo kamunya seneng,” tangan heeseung bahkan tak gagap saat merengkuh pinggul sunghoon lebih erat.
“i'll do it.” lanjutnya tersenyum menatap yang dibalas sunghoon tak kalah manis.
“akh!” senyum sunghoon menghilang saat ia ditampar.
ia tercekat “hee—”
“diem.”
mata sunghoon melebar saat rambutnya ditarik. keras. sakit.
tak ada lagi senyum. tak ada lagi tatap hangat, tak ada lagi heeseung yang kecup dirinya dengan puja-puji. pinggulnya dicengkram erat seakan ingin diremukkan.
ia menelan. enak.
“mainan gak bisa ngomong.” heeseung mendesis.
sunghoon mengangguk cepat, serasa kepalanya akan lepas dari tempat seharusnya. ia takut. tapi juga bersemangat.
ia antusias. enak.
menit kedepannya, sunghoon merasa pita suaranya ditarik putus oleh tangan kasat mata atas jerit melengking yang ia curigai berasal dari mulutnya.
atau mungkin itu tangan heeseung.
©strofeh