katestrofe

aku mati. pada hari bumi diperjelas dan kepala diperas aku mati pada kenyataan naas. bahwa mauku setinggi bambu. namun, meraih saklar lampu sulit meski dengan kaki solid. gemetar gemetar. nak, mengapa kamu terlahir seperti sebuah mega. jarimu seinchi kepalamu seluas meraki tetapi dirimu semurah yang penting jalani hari. pasti mati. serta merta a.m menjadi p.m tanpa kamu benar-benar patut atensi.

—02am.

Mama, you have no idea how much insane are your daughter. She’s— she’s a mess in her arrogance. She’s a literal bitch and worse kid you ever have. She’s masturbate at your pillows, and even doesn’t act like her peers. She’s broken. At her worse, at her bad, at the lowest human beings.

—terakhir, 54.

apa ya. aku duduk dan dapati dada sesak begitu cuitan yokazeshiwaza di unggah ulang oleh pemiliknya. aku kurang paham mata ku perih karena rambut yang ku gerai atau apa. bahwa aku gak pernah rasakan yang diterima tory dalam dunia yang dibuat tangan jaja. aku gak pernah dipanggil princess oleh milikku. aku apa-apa namun tidak kedapatan diberi puji sebab aku lakukan hal dengan baik oleh milikku. milikku punya kehadiran yang hangat sekaligus hambar apatis. bukan diberi puji atau punya orang lain mengulur bantu, aku dapati anika gak paham dan bisa minta tolong orang. mungkin kamu gak mau nyusahin, mungkin kamu mau jadi perempuan yang mandiri, mungkin independen cocok buatmu. mungkin, mungkin, mungkin. mungkin benar, mungkin kamu gak punya hak bicara karena membenarkan.

nggak. nggak. usia 10 dan ditampar verbal ‘anika mah sudah biasa. gak pernah bilang mamanya ya, guru menyuruh beli buku. apa-apa sendiri.’ mama marah, ada nada gak terima dalam intonasi keibuannya. aku abai soal implikasi di balik itu semua bahwa ternyata, ternyata; aku terlalu belia buat berpikir takut menyusahkan milikku. atau kenyatan meskipun aku bilang meski aku berterus-terang, milikku punya kuasa kelewat kecil buat membantu. maka aku diam. maka aku gak akan minta bantuan, maka aku menjadi bocah sok emo yang rumahnya rusak dan gak punya tempat buat sekedar lelap. maka aku punya anika yang hari-harinya berharap ia menghilang supaya gak perlu minta bantuan, supaya gak perlu rasakan susah, supaya anika gak perlu ada.

—lupa, 2632.

cw // 200 words heehoonseung!high school, blow jobs, degradation kink, profanities.


Naksirnya Sunghoon gak muluk-muluk, lihat Heeseung dari jarak 20 kaki buat matanya yang minus 1 ini juga gak apa-apa. Syukur-syukur bisa papasan atau berdiri sampingan waktu antre beli mie ayam. Meski konsekuensinya ia harus pinter-pinter tahan diri supaya gak berlutut karena parfum Heeseung yang seakan minta dia buat jadi anak penurut.

Tapi buat lihat kakak kelasnya ngatain lonte teman seangkatannya sambil dikasih blow job di belakang gedung lama sekolah, jelas. Jelas kasus yang jauh beda.


Kampret.

Salahin tangannya yang jujur sekali langsung garuk di detik ke 7.

Ia juga mau giginya di penis Heeseung.


Mau nangis.

Sudah, anjing. Tapi saraf otaknya malah terus-terusan rapal 'mau nangis mau nangis.'

Bedanya cuma tubuhnya yang gemetar sana-sini tahan nada cabul yang kebelet kabur.

Gimana gak kebelet, anjrit? Kontol gue lagi disedot.

Gak percaya. Gila.

Dunia, Injak gue sekarang. Dunia, injak gue sekarang.

Injak Sunghoon yang bukannya narik ke bawah resleting celana abu-abu yang dijahit pensil punya Heeseung pake gigi malah punya muka Heeseung di antara kakinya, sekarang.

Gak mau pulang. Sunghoon gak mau pulang. Dia cuma mau disepong sampai gak bisa ngomong. Atau Heeseung yang nggak bisa ngomong, atau mereka yang nggak bisa ngomong, atau nggak bisa ngomong sambil disepong.


© strofeh

“lihat sini, jangan nunduk.”

kecup, kecup, kecup.

pipi, dahi, hidung, mulut, leher, telinga, intinya kecup. jangan sampai ada yang lewat. mau yang dipangku makin mengerut mirip kuncup, heeseung gak akan berhenti hingga puas dan cukup.

“dongak.”

sudah merasa payah dan gak bisa apa-apa, yang lebih muda juga gak ada nyali buat angkat kepala.

“gue bilang, dongak. siapa yang tadi bilang mau lihat?”

ia gak kuasa dicengkeram dagunya, diperintah buat menghadap yang di depannya. cuma buat lihat ia sudah merah di mana-mana.

“lihat ke cermin.”

you are such a mess, hoon.

peluk, peluk


baswara.

90% manusia menganut kebiasaan jelek berupa selalu ambil kesimpulan sendiri tanpa mikirin yang sebenarnya tuh gimana. sayangnya gue termasuk dari bagian sekian persen yang disebutkan.

ada rasa mencelos sedikit waktu membaca pesan dari ega dan yang bisa gue pikirkan saat itu cuma ingin peluk bocah itu erat-erat.

pikiran-pikiran lalu perihal dia adalah anak orang kaya yang dimanja dan dikabulin apa-apa maunya jadi boomerang seram yang bikin gue meringis. salah besar kalau ega dapat cukup cinta dari keluarganya—mama papanya. ega jelas butuh dirangkul di sana-sini.

memikirkan kalau dia rela capek dan gak punya waktu luang buat menghindari kesepian bikin gue merenung. jelas menyadari capeknya gue gak ada apa-apanya karena tiap pulang rapat osis ada bunda yang masak makan malam, ada eji yang ngadu dikasih gelang kembar sama temannya, lalu ada ayah yang diomelin bunda karena lebih milih ngopi dulu baru makan.

gue bahkan gak yakin ada yang menyambut ega waktu dia salam masuk ke dalam rumahnya.

lihat, swara. lihat gimana dia dengan lugu nulis nama lengkapnya di atas formulir pendaftaran ekstrakurikuler paduan suara dan mengabaikan formulir lainnya teronggok dengan iming-iming sebuah pelukan.

nggak. itu bukan iming-iming. itu janji, janji yang gue buat bukan cuma untuk maha mega tapi juga diri gue sendiri.

jelek banget gue lihat-lihat baswara yang selalu ngeluh ini tiba-tiba punya perasaan pengin jagain adik kelas yang baru 4 hari dia kenal. iya, sih, maha mega jelas punya banyak hal menarik yang bikin orang mau nempel dan jagain dia.

jadi, swara, ini jelas perasaan yang normal.


“baswara! ada yang nyariin, nih!”

“suruh masuk aja, mit!”

sayup-sayup suara mita berbicara dengan seseorang—yang gue tahu betul siapa—terdengar yang gak lama disusul suara pintu ruang osis ditutup. lalu setelah itu hening.

ruang osis diisi suara tangan gue yang sibuk merapikan kertas formulir ekskul dari kelas yang gue mentori. menyusun terpisah tiap-tiap ekskul sembari mengabaikan detak berisik di dada. gue berdeham.

“bisa tolong ambilin absen osis di dalam laci samping jendela?”

gue gak dengar jawaban, namun gue bisa membayangkan dan yakin ega mengangguk di balik punggung gue. sebab selanjutnya yang gue dengar adalah langkah kaki lalu suara berderit pelan laci kayu yang ditarik.

dan gue baru berani menoleh. itu beneran maha mega yang menunduk mengorek isi laci dengan gerak minim. dilanjut mukanya berkerut—mungkin gak menemukan apa yang dicari sebab memang gak ada absen osis di situ.

gue mengabaikan tumpukan kertas yang setengah beres di atas meja dan mengambil langkah lebar menuju bocah itu. bisa gue lihat dia makin berisik mencari benda yang gak mungkin ada di sana.

hingga gue berdiri satu langkah di belakangnya, ega menyerah mencari dengan dengus frustrasi yang bisa gue dengar. jelas gak menyadari keberadaan gue. tangannya menutup laci lalu berbalik, dan gue menghentikan apapun yang hendak keluar dari mulutnya dengan bergerak maju memberi pelukan besar yang erat.

persetan, deh, sama apapun yang mau dia ucap, gue cuma tahu caranya mendorong kepala anak orang ke ceruk leher gue sendiri.

dia jelas terkejut. napas tajam yang ditarik di leher gue jadi bukti yang bikin gue mempererat lingkaran tangan di sekeliling tubuhnya. tangan kanan gue sendiri seakan tersangkut kusut di helai rambut hitamnya yang halus, jadi gue memilih mengusak kecil kepalanya berkali-kali buat mengabaikannya.

tubuh tegang di bawah kuasa gue ini mulai rileks berbarengan gerak kecil tangan yang meremas almamater osis yang gue pake.

maha mega beneran berbau harum yang halus.

“kak swara.” ega memecah keheningan selama 4 menit kami yang mirip teletubbies.

dia mengangkat kepalanya tanpa aba-aba meski tangan gue masih menempel di kepalanya. hingga wajahnya berhadapan langsung dengan milik gue sendiri dan entah kenapa tiba-tiba gue merasa kecil.

“ternyata kak swara pendek, ya.”

ngentot.


©strofeh

di tempat gue.

teks itu sudah lewat 15 menit sejak ega meng-klik tombol sent dan dihadapannya, berdiri sosok kawan yang akrab dengannya sedari maba.

entah ega yang kurang memperhatikan atau rian yang memang bertambah tinggi dari terakhir kali mereka bertemu. rasanya ia seperti menciut duduk di ujung kasur dengan rian menjulang di depannya.

“yan—”

ucapannya dipotong dengan gerak rian yang mendorong tubuhnya hingga berbaring di kasur yang ia bereskan asal waktu tahu temannya akan berkunjung. kelihatan nggak berniat buat buka mulut dan malah mengangkangi ega yang gak tahu harus berbuat apa. hingga rian tiba-tiba menempatkan lutut kanannya di antara kaki ega, bergerak menekan selangkangannya keras-keras.

“akh!”

ri—

rian mendorong dada ega agar tetap telentang. urat-urat tangannya kelihatan jelas benar-benar menahan ega supaya laki-laki itu gak kemana-mana sembari lututnya gak berhenti menekan yang mati-matian tangan ega coba jauhkan dari dirinya.

rian ya Tuhan—akh!”

air mata menetes lembut dari sepasang manik rusa milik ega, menggelapkan setitik area sprei tempatnya jatuh. kaca tipis berbinar memenuhi pandangannya dengan kabur menampilkan rian yang senantiasa melihatnya diam tanpa raut berarti.

“ega.”

yang dipanggil sesenggukan, tangannya nggak lagi berusaha menjauhkan rian. kini berpindah menutupi mulutnya supaya berhenti berisik. merasa malu terisak-isak cuma karena rangsangan kecil yang gak berhenti sampai saat ini.

“ega, hey.”

“ega. sayang.”

tangan rian dengan lembut menangkup pipi ega. membawa wajahnya supaya menghadap dan bertatapan langsung dengan dirinya. diusap dan dicubit kecil pipinya. dihapus bersih jejak air mata yang melintas sepanjang kulit hingga rahangnya.

“rian mau bantu ega, inget?” nada suara rian pelan-pelan, mirip orang dewasa yang mencoba mengajarkan banyak hal di dunia kepada balita.

kiranya ega gak beda jauh dengan sisa isak dan wajah berurai air mata. cegukan kecil yang gak begitu ketara juga kulitnya yang sedikit gelap memerah hangat.

itu gak sakit. gak ada rasa ngilu sedikitpun yang ega cecap dari tindakan rian. itu semua kelewat enak. keterlaluan enak sampai ega gak tau harus bagaimana dan memilih menangis sebagai pilihannya yang paling memalukan. meski begitu, ega merasakan bahagia diperlakukan sedemikian rupa. diberi perhatian dan tindakan lembut oleh rian.

gila. ega gak pernah sekalipun membayangkan bakal ada di posisi ini. menangis atas rangsangan yang disebabkan teman paling akrabnya dan diajak berbicara bahasa bayi dengan subjek nama.

rian mau bantu ega, inget?

ega hampir lupa rian ada di sini karena permintaannya sendiri kalau saja rian gak bicara.

“ega.”

rian tatap lamat-lamat mata rusa yang balik menatapnya. masih berbinar halus, kelihatan tersesat dan bingung. diam-diam menggertakkan gigi demi menahan diri.

“ega jangan nangis. kalau nangis, rian di sini bukan cuma bantu, tapi juga ngancurin ega.”


©strofeh

“mau ngerokok? tinggal satu, sih. gue bisa kasih buat lo.”

“mau?”

“nah, selipin di bibir. pegang pake tangan, iya gitu. pinter, hisap. yang kuat, hoon.”

“mhm.”

“ditahan. jangan langsung dikeluarin.”

uhuk! uhuk!

“baru pertama kali, ya?”

“emang harusnya gitu. pertama kalinya pasti kesedak terus batuk. kalo gak batuk dimana kesenangannya ’kan, hoon?”

“eh? perih banget, ya? sampe nangis gitu.”

“gapapa. harus tahan. biar terbiasa. nanti dilain waktu gak bakal kesedak lagi. ’kan udah terbiasa.”

“g-gakh... bisa!”

“harus bisa. katanya mau jago biar bisa ngerokok bareng gue? kok sekarang udah nyerah?”

“ayo, hoon. lagi. hisap.”

“s-sakit!”

“hm? apanya yang sakit?”

“tenggorokan? tenggorokan lo sakit?”

“mana coba gue liat, buka mulut lo.”

“kakh—”

“eh.”

“kenapa mulut lo ditutup? ’kan jari gue belum dikeluarin, hoon.”

“mmh.”

“yaudah, gapapa. sekarang kayak tadi. hisap, terus, kulum.”

“pinter.”

warnings : implied content, praise kink, degradation kink, humiliated kink, weird kink, profanities.

siklusnya selalu sama. mereka mulai mirip serdak pada kain baju dan kecup kupu-kupu, lalu diakhiri raung tangis pilu paling candu.


“bagus. iya begitu. anak baik. pinter. anak pinter.”

“kak heeseung, ah—kakh!”

“jangan panggil kak, sayang.”

nafas sunghoon hangat di leher heeseung saat ia bertanya dengan terengah-engah. “kenapa?”

“kalo kamu manggilnya pakai suara cabul begitu akunya bisa gila.”

cekikikan. “kinky.

heeseung mengangguk menyetujui. “i have so many kinks sejak sama kamu. aku gak mau nambah lagi, gila.”

it's because of me.” cegukan.

those things yang kamu sebut kinks itu, it's because of the object is me.

ingatan heeseung jadi mengembara dihari yang mana obrolan dengan jay jadi melenceng kemana-mana. tadinya cuma ngomongin sambal pecel dekat kos gak seenak biasanya karena yang meracik bukan ibu-ibu bersenyum hangat yang biasa melainkan anak muda asing seumur mahasiswa, jadi percakapan amoril berisi “gue biasanya suka pengen kalo jake gigitin bibir sama main lidah. heran, itu bocah ada fiksasi oral apa gimana.” kata jay, heeseung cuma meringis.

“kalo lo pas sunghoon ngapain, bang?” kan. sudah bisa heeseung tebak kemana ini mengarah. tapi ujung-ujungnya dia jawab dengan nada paling sungguh-sungguh yang pernah jay dengar. “sunghoon ya pemicu itu sendiri. dia cuma duduk ngomong pake suara lucu, matanya hilang waktu senyum, gue udah pengen gigit.”

jay mendesis. “kanibalisme.”

heeseung menggeleng pelan menyingkirkan jay dan tatap jijiknya dari kepala.

“kamu bukan objek, sayang.” jempolnya mengelus tulang selangka sunghoon yang bercak rona ungu. hasil perbuatannya.

you're a love.” lanjutnya

you're a love too.

we're love.

“ya, cinta yang lagi buat cinta.”

makanya,” ringisan menyela ucapan sunghoon saat ia merasa seperti tubuhnya melompat-lompat kecil diatas pangkuan heeseung.

“makanya, buat cintanya ini bisa di cepetin gak pak. kamu lama banget geraknya dasar laki-laki terhormat.”

i'm being gentle. gak mau nyakitin kamu.” diciuminya leher yang lebih muda.

“kamu gak nyakitin aku. kasar sesekali gak apa-apa.” tangannya bergerak meremas surai hitam yang sedari tadi sudah menyangkut di jemarinya.

“kan konteks nya sama-sama nyenengin.”

“kamu tau gak, sih,” nafas sunghoon gemetar saat ia rasakan heeseung mengenai tepat batas warasnya dengan mantap. kuku-kukunya yang runcing tenggelam di bahu heeseung. ya, disitu. tepat.

mengerti, heeseung buat dirinya konstan menumbuk tempat itu lagi, lagi dan lagi. sunghoon menjerit, matanya berembun. ya ampun.

sunghoon berkedip, air matanya jatuh lalu melanjutkan dengan susah payah, “dipuji terus-terusan sama kamu emang enak. disini kayak ada yang bikin geli.” tangannya mendarat diatas perutnya. niatnya ingin sekedar memberi tahu, tapi ia malah merasakan heeseung didalam tubuhnya. ia merona.

heeseung tertawa kecil. salah satu tangannya meninggalkan pinggul sunghoon, berpindah menuju tangan cinta-nya yang masih diatas perut. matanya tak lepas dari manik kenari coklat saat ia menekannya lebih keras, giginya menggertak. membuat mereka sama-sama merasakan diri mereka yang menjadi satu.

sunghoon mengerang kencang.

“brengsek heeseung!” gerutuan tak jelas keluar dari mulutnya dan heeseung cuma terkikik.

sunghoon mengontrol nafasnya untuk melanjutkan, “still. dipuji emang enak, tapi kalo dikatain juga sama enaknya.”

heeseung membuka mulutnya hendak membalas, tapi sunghoon buru-buru memotong. “bukan enak, sih. lebih ke—apa ya—aneh, tapi aneh yang bikin seneng. yang bikin semangat.

“kalo kamunya seneng,” tangan heeseung bahkan tak gagap saat merengkuh pinggul sunghoon lebih erat.

i'll do it.” lanjutnya tersenyum menatap yang dibalas sunghoon tak kalah manis.

akh!” senyum sunghoon menghilang saat ia ditampar.

ia tercekat “hee—

diem.

mata sunghoon melebar saat rambutnya ditarik. keras. sakit.

tak ada lagi senyum. tak ada lagi tatap hangat, tak ada lagi heeseung yang kecup dirinya dengan puja-puji. pinggulnya dicengkram erat seakan ingin diremukkan.

ia menelan. enak.

mainan gak bisa ngomong.” heeseung mendesis.

sunghoon mengangguk cepat, serasa kepalanya akan lepas dari tempat seharusnya. ia takut. tapi juga bersemangat.

ia antusias. enak.

menit kedepannya, sunghoon merasa pita suaranya ditarik putus oleh tangan kasat mata atas jerit melengking yang ia curigai berasal dari mulutnya.

atau mungkin itu tangan heeseung.


©strofeh

cw // mirror sex, explicit contents, mild angst.


heeseung tak akan pernah mendengarnya. tak akan pernah.


mata rusa itu menatapnya melalui cermin. menyusuri segala yang direfleksikan disana, tubuhnya dijelajahi, dijajah, dijamah, dilahap habis euforia. porselennya berkilauan sebab peluh, dilukis ruam-ruam mirah semu hampir ungu. tubuhnya lemas, mungkin sudah menggelepar jatuh ke lantai bila heeseung tak menahan pinggangnya erat. pastikan ia tak kemana-mana saat heeseung buat dirinya benar-benar tenggelam di dalam sunghoon. jari-jari panjangnya meraup rahangnya supaya tetap mendongak biar balik menatap, teringat ucapannya yang mau ia melihat heeseung saat membuatnya hilang waras.

sunghoon berteriak. menangis akan nikmat. resonansi pita suaranya mirip kaset rusak. bisa ia lihat dirinya yang dilacuri sang terkasih disana, ingin pingsan, tapi terlalu tak sudi lewati ini dalam bunga lelap. ditiduri didepan cermin dengan posisi berdiri dan kaki disangga tinggi buat dia kalap—menjerit, ini terlalu banyak.

“heeseung, heeseung—ah.”

yang dipanggil tetap bungkam. tanamkan kecup dileher jenjang sunghoon, memberinya dukungan, lalu sedetik kemudian bergerak semakin kesetanan. sunghoon melengking. tapi yang heeseung tangkap hanya hening.

ditatapnya lagi mata sayu si cinta di cermin.

aku ingin dengar kamu mendesah, sunghoon.

itu yang sunghoon tangkap dari gerak isyarat tangan heeseung.


©strofeh